Chapter 10 - Future in-law

1866 Words
= Flashback 15 tahun yang lalu. Rumah keluarga Walton. Kota CA, Amerika = Sore itu, keluarga Walton mengadakan acara barbeque yang rutin diadakan tiap akhir bulan. Pasangan itu memang sangat senang menyelenggarakan acara-acara kecil dengan mengundang beberapa tetangga dekat untuk turut meramaikan suasana. Biasanya para pria akan berkumpul sambil memanggang makanan dengan segelas bir di tangan, sedangkan para wanita sibuk bergosip di dapur atau pun mengawasi anak-anak mereka yang sedang bermain di area kolam renang. Seperti bulan-bulan sebelumnya, Alexander Walton mengambil tugas untuk memanggang sosis. Pria itu baru membalikkan sosis-sosisnya di grill saat merasakan tepukan pelan di bahunya. "Alexander." Tahu siapa yang menepuknya, Alex hanya menoleh singkat dan menyapa. "Hai, Rod. Datang juga kau. Sendirian?" "Aku datang bersama Greg. Kau lihat Lory?" "Lorelai? Tadi sepertinya sedang bersama Lily kecil. Fred tidak ikut?" Membuka bungkusan lain yang ternyata daging mentah, tanpa basa-basi Rod langsung meletakkannya di alat pemanggang itu. Kepulan asap tipis segera terbentuk yang diiringi dengan suara desisan daging yang terbakar. Tampak ia menaburkan garam dan lada asal ke atasnya. Raut pria setengah baya itu sedikit keruh sebelum ia menjawab pertanyaan temannya dengan suara pelan. "Mungkin sedang bersama Andrea. Aku tidak terlalu tahu kegiatan anak itu." Alex tersenyum. "Sepertinya hubungan anakmu cukup serius, Rod. Kau akan menikahkan mereka?" Pertanyaan itu membuat Rod terdiam lagi, tapi ia akhirnya menjawab. "Entahlah. Aku sebenarnya kurang setuju dengan hubungan mereka." Menyisihkan sosis-sosis yang telah cukup matang ke piring bersih, Alex menoleh pada temannya. "Kau kurang setuju? Bukannya almarhum isterimu sepertinya menyukai Andrea dulu? Kalau tidak salah, dia juga datang ke pemakaman isterimu, kan?" Tampak Rod menusuk-nusuk daging yang sedang dipanggangnya sambil berfikir. "Aku hanya ingin Fred fokus dulu dengan kuliahnya. Setelahnya, konsentrasi untuk menjalankan perusahaan. Baru setelah itu, dia bisa berfikir tentang hal-hal lain seperti cinta dan sejenisnya. Itu saja." Raut Alex tampak sedikit kaku saat menatap daging di depannya. "Kau bukan menolaknya karena latar belakangnya kan, Rod?" Terdengar helaan nafas dari hidung temannya. "Sejujurnya ya. Andrea... berasal dari kalangan menengah-bawah. Ayahnya hanya buruh pabrik dan ibunya pun tidak bekerja. Anak itu bahkan harus kerja serabutan untuk membiayai sekolahnya sendiri. Kau juga tahu mereka tinggal di lingkungan yang cukup kumuh di belahan kota ini. Aku bahkan heran, dia bisa masuk ke universitas yang sama dengan Fred." "Setahuku dia mendapatkan beasiswa, kan?" "ITU yang dia katakan, Lex. Tapi tidak ada yang tahu kebenarannya." Suara Rod terdengar sedikit geram. "Rod... Kau telah menghina kekasih anakmu sendiri. Kau sadar itu?" Degusan kasar terdengar kembali dari hidung Rod. Raut pria baya itu tampak berkerut. "Aku tahu, Lex. Aku tahu. Dan aku tidak bangga dengan itu. Tapi aku hanya ingin Fred fokus dulu dengan masa depannya. Aku tidak mau masa depannya terganggu karena hal-hal seperti wanita dan lainnya." Kening Alex berkerut dalam. "Rod? Kau yakin hanya itu alasanmu menolaknya?" Kembali Rod terdiam. Pria itu tampak ragu-ragu sejenak sampai akhirnya memandang Alex di sampingnya. "Sebenarnya, Lex. Ada satu kejadian tadi siang yang membuat aku tidak setuju Fred berhubungan dengan Andrea. Gadis itu memang cukup bisa membuat Fred bertanggungjawab, tapi tadi siang-" "Alex?" Sapaan lembut dari arah belakangnya membuat Alex menoleh dan tersenyum. "Liliana. Kemari, darling." Wanita cantik berusia pertengahan 40-an itu menghampiri Alex dan mengecup ringan bibirnya. Tampak ia menyerahkan baskom berisi sayuran bersih ke tangan pria itu. "Sayurannya." "Terima kasih, darl." Liliana memandang tetangganya. "Roderick? Selamat datang. Kau ke sini sendirian?" Dua orang itu berjabat tangan singkat dan Rod kembali menusuk daging di alat pemanggang itu. "Aku datang dengan Gregory." Bola mata Liliana yang biru tampak bersinar cerah dan bergerak-gerak mencari di kerumunan. Suara tawa ceria dan teriakan beberapa anak yang bermain di area kolam, membentuk senyuman di bibir wanita itu. "Oh? Ada di mana dia?" Ikut memandang kerumunan, tampak bahu Rod yang gempal terangkat. "Entahlah. Tadi aku memintanya mencari Lory. Mungkin dia sedang menemui anakmu." Ikut nongkrong dengan kedua pria baya itu, terdengar suara Liliana yang lembut bertanya lagi. "Dia sudah punya kekasih?" Wanita itu memberikan segelas bir baru pada suaminya dan mulai menyesap dari gelasnya sendiri. "Siapa? Gregory?" Kekehan lembut terdengar dari mulut Liliana. "Tentu saja Gregory. Bukannya Fred sudah punya Andrea?" "Aku ingin mencarikannya kekasih baru." Perkataan ringan tapi cukup tajam itu membuat pasangan Walton saling bertatapan penuh arti. "Kau benar-benar tidak menyukai Andrea, ya?" "Aku hanya ingin yang terbaik untuk Fred. Apa itu salah?" Keheningan sejenak terbentuk, tapi segera dipecahkan oleh suara lembut Liliana. "Tidak ada yang salah dengan itu. Tapi pertanyaannya, apa itu akan membuat Fred bahagia?" "Cinta tidak bisa menjamin seseorang hidup bahagia, Lily. Tapi materi bisa. Sebesar apapun cinta seseorang, hal itu akan musnah saat kau tidak bisa memberi keluargamu makan dan tempat tinggal yang layak. Tapi dengan materi, kau bisa memberikan segalanya yang terbaik untuk keluargamu. Dan dengan kenyamanan itu, kau bisa menumbuhkan cinta dari sana. Aku bicara ini dari pengalaman. Bukan omong kosong." Penjelasan tersebut membuat pasangan itu terdiam. Kondisi Rod sangat berbeda dengan mereka. Fred dan Lorelai adalah anak dari isteri kedua Rod yang meninggal setahun lalu. Keduanya menikah karena dijodohkan, dan pernikahan itu langgeng selama hampir 25 tahun. Dari pernikahan pertamanya, pria itu tidak memiliki anak dan hanya bertahan 1 tahun saja. Isteri pertama pria itu berasal dari kalangan biasa dan meninggalkannya untuk pria lain yang jauh lebih kaya. Saat itu, Rod baru saja mulai merintis usahanya dan beberapa kali jatuh-bangun karena kegagalan. Barulah setelah bercerai, pria itu dapat lebih fokus pada bisnisnya dan memutuskan menikah kembali 5 tahun setelahnya. Rod benar-benar tidak ingin anaknya menapaki jalur yang sama dengan dirinya dulu, dan harus merasakan sakit hati karena dikhianati dengan alasan yang sebenarnya dapat diantisipasi. Ia benar-benar tidak mau itu, apalagi usia anaknya masih sangat muda saat ini. Masih 21 tahun. Masih panjang jalan untuk ditempuhnya. Pria itu menganggap penting mencari pasangan selevel. Dengan demikian, mereka dapat saling support saat kesulitan menimpa yang lainnya. Berbeda saat ada ketimpangan. Jelas yang satu hanya menjadi benalu bagi yang lain, dan akan pergi saat kejatuhan terjadi pada pasangan inangnya. Seperti yang terjadi pada dirinya. Pembicaraan itu terputus saat beberapa pasangan menyapa mereka dan mulai mengambil makanan dari meja. Ketiga orang itu pun bercakap-cakap sebentar dengan para tamu. Setelahnya, tampak Liliana pergi menemani para tamunya untuk mengobrol sambil bersantai di samping kolam renang. Menatap wanita cantik di depannya, Rod bergumam pelan. "Kau sangat beruntung, Alex. Kau dapat menikahi wanita yang kau cintai dan bersamanya hingga sekarang." Menyesap minumannya, Alex tersenyum samar. "Kau memang bisa bilang begitu. Aku sangat beruntung Liliana masih mau bersamaku yang cacat ini." Kata-kata itu membuat ekspresi Rod kaku dan ia memandang temannya sangat tidak enak. "Alex. Bukan seperti itu maksudku. Kau pasti mengerti-" Menepuk bahu Rod, Alex terkekeh pelan. "Jangan tegang begitu, bro. Aku sangat tahu maksudmu." Kedua sahabat itu kembali terdiam, sampai Alex menatap temannya lagi. "Kau belum menjawab pertanyaan Liliana tadi. Gregory sudah memiliki kekasih?" "Greg? Setahuku belum. Entahlah. Tapi aku memang cukup jarang melihatnya bersama wanita." "Oh? Bukannya dulu dia dikenal playboy?" "Playboy? Setahuku tidak. Tapi mungkin saat masih berandalan dan tergabung dengan geng motor, anak itu memang banyak bergaul dengan wanita-wanita liar yang jauh lebih dewasa darinya. Mungkin karena itu, dia dicap playboy kelas kambing." Tawa Alex terdengar membahana dan ia menepuk punggung Rod keras. "Kelas kambing? Aku baru tahu kalau playboy ada kelas-kelasnya sendiri." Mengurut pelipisnya sendiri, Rod menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tolong jangan ingatkan aku mengenai kelakuan anak itu lagi, Lex. Hampir saja aku menyerah mengurusnya. Kalau saja waktu itu kau tidak datang membantuku di kantor polisi, aku mungkin sudah mengusirnya dari rumah. Aku sudah benar-benar tidak tahan dengan perilaku anak itu." "Tapi kau tidak menyerah padanya dan sekarang, dia anak kebanggaanmu, kan? Aku pernah mendengarmu memuji-mujinya saat berbicara dengan beberapa rekan bisnismu." Tangan Rod terangkat untuk menghentikan perkataan Alex. "Dulu adalah dulu. Sekarang adalah sekarang. Aku bangga pada pencapaiannya yang sekarang tapi tolong, aib masa lalunya jangan diungkit lagi. Aku masih merasa pusing kalau mengingatnya kembali." Kembali Alex tertawa dan pria itu menyesap minumannya lagi. Ia menatap ke arah isterinya yang tampak cantik dan luwes bergaul dengan siapa saja. Wanita itu selain cantik, ia juga pintar dan memiliki karir yang cukup membanggakan. Liliana juga sebenarnya bisa saja mendapatkan pria lain yang lebih sempurna, tapi memilih dirinya. Pria cacat yang tidak akan pernah bisa memberi wanita itu- "Oh ya. Kenapa kau menanyakan tentang Gregory? Apa kau ada calon untuknya?" Sedikit berdehem untuk melegakan tenggorokannya yang tiba-tiba seret, Alex menjawab santai. "Aku dan Liliana hanya terpikirkan sesuatu. Sebenarnya, berapa usia Gregory tahun ini?" "Tahun ini? Bulan kemarin ulang tahunnya yang ke-25. Kenapa memangnya?" Jawaban itu membuat kening Alex berkerut. "Hmm... Cukup jauh juga ya." "Cukup jauh? Memangnya siapa yang kau pikirkan untuk dijodohkan padanya?" Mata Alex yang gelap tampak mengerjap. Ia terdiam sebentar dan akhirnya menjawab pelan. "Liliana kecil." Alis Rod yang berwarna pirang gelap tampak terangkat keheranan. "Liliana kecil? Lily maksudmu? Anakmu? Kau yakin?" "Karena itu aku menanyakannya padamu, Rod. Sebenarnya kekhawatiranku adalah jarak usia mereka yang cukup jauh. Kalau Gregory berusia 25 tahun sekarang, berarti perbedaan mereka sekitar 11 tahun. Lagipula, ini masih wacana. Lily juga masih 14 tahun. Hanya saja, Liliana dan aku pernah membicarakannya dulu." Kepala Rod terangkat dan pria itu tampak berfikir. Saat berkata lagi, terdengar nadanya hati-hati. "Kau tidak masalah dengan masa lalu Greg? Latar belakang anak itu juga cukup suram, Lex." "Aku tahu. Tapi masih jelas, kan? Sebenarnya hal itu tidak menjadi masalah bagi kami berdua. Aku dan Liliana melihat Greg anak yang cukup bertanggungjawab. Meski masa lalunya tidak bisa dipungkiri, cukup berwarna. Tapi anak itu berhasil melewatinya cukup baik. Ia lulus c*m-laude, berhasil melanjutkan pendidikan dengan biaya sendiri dan sekarang bekerja di perusahaan konsultan terbesar di NY. Apa yang kurang dari anak itu?" Kata-kata itu membuat Rod terpaku. "Kau tidak masalah dengan latar belakangnya?" "Roderick. Apa yang tidak jelas dari Gregory? Dia anak dari Georgiana Ashley, salah satu supermodel terkenal di jamannya. Ayahnya juga adalah salah satu orang terkaya di Eropa sana, meski tidak pernah mengakuinya. Dia memang berasal dari keluarga brokenhome, dan punya orangtua tidak bertanggungjawab. Tapi kau lihat dia sekarang? Anak itu telah berhasil melewatinya dan itu karena didikanmu. Aku mungkin tidak akan mempertimbangkannya bila dia tidak diasuh olehmu, Rod. Aku memilihnya karena dia itu ANAKMU." Ekspresi Rod di depannya tampak terharu dan kembali tidak mampu berkata-kata. "Aku justru khawatir kau yang tidak bisa menerima latar belakang Lily, Rod." Perkataan pelan dari Alex membuat Rod cukup terkejut. "Apa maksudmu?" "Kau tahu bukan, kalau Lily bukan anak kandung kami berdua?" Mendengar itu, Rod terlihat menghela nafasnya dalam. Ekspresinya tampak tidak suka. "Alexander. Sudah kukatakan beberapa kali, jangan pernah menganggapku merendahkanmu. Kau pikir kita sudah mengenal berapa lama? Bukan setahun-dua tahun Alex, tapi puluhan tahun. Sejak kecelakaan fatal dulu, aku sudah tahu mengenai kondisimu. Karena itu aku bersyukur kau berjodoh dengan Liliana. Kau pria yang baik, berhak mendapatkan wanita baik juga. Tuhan pun merestui kalian berdua dengan menghadirkan Lily, meski dengan cara yang tidak menyenangkan. Dan aku selalu menganggap Lily anak kalian." Senyuman penuh terima kasih terukir di bibir Alex. "Roderick. Terima kasih." Pria gempal itu mengulurkan tangan kanannya dan salah satu alisnya naik, bertanya. "Jadi, kita sepakat menjodohkan mereka?" Terkekeh gembira, Alex membalas uluran tangan itu dan menggenggamnya sangat erat. "Sangat sepakat. Aku akan sangat gembira kalau bisa menjadi besan-mu, bro." Menengguk sisa minumannya, kepala Rod mengangguk mantap. "Baguslah. Karena aku akan membicarakannya dengan anak itu malam ini. Dan dia harus menerimanya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD