Chapter 8 - Who told you all that sh*t?

1816 Words
"Gregory." Menoleh ke sampingnya, Gregory berdiri dari duduknya dan tampak bersalaman erat dengan seorang pria. Keduanya pun saling memberikan pelukan dan tepukan punggung ala lelaki. "Frederick." Pria yang baru datang itu tersenyum ramah. "Kau tampak sehat, Greg. Syukurlah." Gregory balas tersenyum, meski samar. "Terima kasih, Fred. Dad?" "Papa titip salam. Ada hal yang harus diurusnya dulu di kantor. Urgent." Gregory mengangguk. "Dia masih sibuk? Bukannya kau sudah menggantikannya sejak 2 tahun lalu?" Senyuman kecut muncul di wajah Fred. "Dia tidak akan pernah pensiun, Greg. Meski secara manajemen dia menyerahkan jabatannya, tapi tetap saja ada beberapa detail yang dia masih ingin tangani sendiri. Dia BARU akan berhenti, di saat benar-benar HARUS berhenti." Kekehan kecil yang jarang muncul, tiba-tiba saja terdengar dari mulut Gregory. "Kau benar. Dia memang sangat perfectionist." "Mirip denganmu sebenarnya. Kau tidak sadar?" "Hmm." "Kau masih tinggal di SD? Bagaimana kantormu di sana? Kau jadi menjualnya?" Kepala Gregory menggeleng. "Aku masih belum tahu, Fred. Banyak yang harus kupertimbangkan sebelum benar-benar menelepasnya nanti. Aku juga masih belum tahu akan menetap di mana." "Kau berubah pikiran? Padahal sebelumnya kau sudah sangat ingin melepasnya. Sudah kubilang, kan? Lebih baik kau bergabung dengan Harrington saja. Kau kan tahu, papa pun menginginkanmu untuk membantuku di sana. Lagipula, kau akan lebih dekat dengan rumah Greg." Perkataan itu hanya dijawab Gregory dengan senyuman tipis. Ia mengalihkan tatapannya ke depan. Terlihat dinding kaca yang membatasi ruangan di baliknya. Bertanya-tanya, Fred ikut menoleh dan matanya melebar. Ia menatap pria di sebelahnya dan berbisik. "Kau berhasil membawanya pulang?" Pandangan Gregory terlihat masih datar. "Ya. Setelah sekian lama." Tampak Fred mengamati wajah pria itu intens. Ia kembali menepuk ringan bahu lelaki itu. "Semangatlah, bro. Kau masih punya kesempatan." Kembali kepala pria itu menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Fred. Terlalu banyak hal yang masih jadi misteri, dan aku tidak tahu apakah bisa memecahkannya dalam waktu singkat. Aku juga tidak tahu apakah masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Perkataan itu membuat Fred menarik nafas dalam dan nadanya terdengar menegur saat ia berbicara lagi. "Greg. Aku sangat tahu kalau kejadian 15 tahun lalu itu sama sekali bukan kesalahan siapa pun. Semuanya hanya salah paham karena rasa marah, juga kecewa. Aku yakin dengan kesabaranmu, semuanya akan beres pada waktunya. Kau juga mampu melewatinya belasan tahun ini, kan? Apa salahnya menambah beberapa bulan lagi? Mungkin terdengar tidak etis, tapi gunakan kejadian ini sebagai kesempatanmu mendekatinya." Menyimpan kedua tangan di sakunya, Gregory menarik nafas dan akhirnya mengangguk singkat. "Kau benar, Fred. Mungkin, aku memang harus melakukannya." Suara pintu yang terbuka pelan membuat kedua pria itu menoleh bersamaan. Tampak sosok Lily yang pucat keluar dari ruangan ICU itu. Saat melihat Fred, langkahnya terhenti di tengah jalan. Raut wanita itu yang terkejut dan tidak tersenyum, sama sekali tidak mengganggu pria berambut pirang itu untuk menyapa dengan senyum sumringah. "Liliana. Akhirnya aku bertemu lagi denganmu." Fred mulai melangkah mendekati Lily ketika terdengar deheman dari sampingnya. Alih-alih mencium pipi wanita itu, Fred menepuk bahu mungil Lily dengan sentuhan seringan bulu. "Kau masih tetap kecil, sunshine. Sepertinya pertumbuhanmu sudah terhenti sejak belasan tahun lalu." Cukup terhibur dengan kata-kata Fred, Lily akhirnya memberikan senyuman lembut di bibirnya. Ia lega karena pria itu masih tetap Fred yang dikenalnya dulu. Fred yang ramah. Fred yang kocak dan sama sekali tidak mirip dengan karakter saudaranya yang berbeda 180 derajat. Masalahnya, ia jatuh cinta pada pria yang dingin dan bukan pria yang hangat seperti Fred. Apakah ia menyesal? Hatinya masih bertanya-tanya. "Dan kau masih tetap menyebalkan, bubba." *** Ketiga orang itu akhirnya berkumpul di salah satu kedai kopi dekat rumah sakit St. Collins. Hari sudah cukup malam, dan tidak terlalu banyak orang berkunjung ke rumah sakit. Menyesap kopinya, mata Fred mengamati dua orang di depannya. Ia dapat menangkap kalau kedua orang itu canggung dan kaku. Bolak-balik ia melihat Gregory melirik wanita di depannya dan seperti akan mengatakan sesuatu, tapi kemudian mengurungkannya. Lily sendiri terlihat acuh tak acuh dan meminum kopinya dengan memandang ke arah lain. Ada apa dengan dua orang ini? Seingat Fred, dulu Lily kecil sangat mengagumi saudaranya. Meski tidak pernah mengatakan langsung, tapi ia selalu melihat bola mata birunya yang besar tampak bersinar tiap kali melihat pria itu. Senyuman anak itu pun terlihat lebih lebar dan kedua pipinya yang gembil memerah cantik. Karena mereka cukup akrab, ia jadi sangat tahu dan sadar adanya perbedaan reaksi itu. Dan itu membuatnya iri pada Gregory. Rasa iri yang sempat membuatnya melakukan hal-hal nakal di belakang saudara angkatnya itu. Mengingat kelakuannya yang tidak bertanggungjawab dulu, setitik rasa bersalah timbul di hati Fred. Maafkan aku, bro. Tapi kau memang menyebalkan dulu. Sangat tidak nyaman dengan suasana yang aneh ini, pria pirang itu akhirnya meletakkan gelasnya. "Hum, Lily? Jadi, selama ini kau tinggal di mana? Kau belum menceritakan petualanganmu selama pergi dari rumah, sunshine. Apa kau menemukan pria-pria sejati di luaran sana?" Panggilan kecil itu membuat Lily mengeluarkan kekehan kecil tanpa disadarinya. "Kau masih memanggilku 'sunshine'?" Menoel sejumput rambut Lily yang terlepas dekat telinganya, bibir Fred tersenyum lebar. "Kau akan selalu menjadi sunshine-ku, dear. Kau selalu bersinar seperti matahari, dan menyinari jiwaku yang kelam. Kalau masih belum memiliki kekasih, mungkin aku bisa menjadi kandidat terkuatmu, Lily." "Menggantikan Andrea?" Nama itu tiba-tiba saja terceplos dari mulut Lily tanpa dipikirnya dulu. Suasana hening tidak mengenakkan terjadi. Hilang sudah percakapan ringan yang diinisiasi Fred tadi. Salah tingkah, Lily menatap Fred canggung. "Maafkan aku, Fred. Aku tidak bermaksud-" "Aku akan merokok di luar." Pria berambut pirang itu tiba-tiba saja berdiri dengan sedikit kasar. Tanpa menoleh lagi, ia keluar dari kafe dan tampak mengambil sebatang rokok dari jas kasualnya. Ia mulai menikmati benda itu sendirian. Masih merasa tidak enak, tatapan Lily jatuh ke arah Gregory yang duduk di depannya. Eskpresi pria itu datar dan tidak menampilkan emosi apapun, membuatnya menunduk kembali. "Mereka sudah lama putus, tapi Fred belum bisa move on. Nama itu cukup tabu dibicarakan, Red." Penjelasan lembut itu membuat Lily mengangkat pandangannya kembali. "A- Aku tidak tahu. Seingatku dulu, mereka selalu terlihat akrab. Bukannya mereka sudah bersama lama dan Fred bilang akan menikahinya setelah dia lulus kuliah?" Kali ini, kelopak mata Gregory yang menunduk. Pria itu mengamati jari-jari Lily yang menangkup di atas meja. "Ada sesuatu terjadi setelah kamu pergi. Andrea pergi sebelum menuntaskan kuliahnya, dan Fred akhirnya bergabung dengan Harrington. Mereka tidak pernah bertemu lagi sejak itu." Jari telunjuk Gregory mendekat dan menyentuh salah satu jari Lily di meja. Wanita itu bisa merasakan usapan pelan jari pria itu yang mengelus buku-bukunya lembut. Hawa panas pria itu perlahan mulai mengalir dalam sentuhan kulit mereka yang seringan kapas. Tidak mau terbawa suasana, Lily menarik tangannya dan menyimpannya di pangkuan. Tampak Gregory masih terpaku di posisinya dan pria itu belum mengangkat kepalanya. Tangannya mulai mengepal. Keheningan terjadi selama beberapa saat, sampai suara rendah pria itu terdengar lagi. "Kenapa kamu sangat membenciku, Red?" Memandang pria di depannya, mata biru Lily sedikit mengeras tapi suaranya masih terdengar lembut. "Aku tidak pernah membencimu, Gregory. Tidak sama sekali, bahkan setelah kamu menyakitiku lagi dan lagi. Justru seharusnya aku yang bertanya padamu. Kenapa kamu membenciku selama ini?" Tatapan Gregory naik dan memandang lurus wanita di depannya. Baru kali ini Lily melihat sorot matanya yang terlihat seperti memendam kepedihan, membuat wanita itu mengerjapkan mata terkejut. Ia lebih terkejut saat mendengar suara berat pria itu yang terdengar sedikit bergetar. "Aku berani bersumpah demi ibuku yang sudah meninggal, Liliana Walton. Belum pernah satu kali pun dalam hidupku, aku membencimu. Dari mana kamu mendapat pikiran seperti itu tentangku?" Pernyataan dengan pesan kuat itu membuat Lily tertegun. Ini adalah pertama kalinya ia mendengar Gregory bersumpah. Selama mengenalnya, ada tiga hal yang diketahuinya tidak pernah dilakukan oleh lelaki itu. Pertama meminta maaf, yang kedua bersumpah dan yang ketiga, mengucapkan kata sayang. Harga diri pria itu sangatlah tinggi. Ia tidak meminta maaf karena selalu merasa benar. Ia tidak bersumpah karena memang jarang berbohong. Tapi untuk yang ketiga, Lily sama sekali belum tahu alasannya. Wanita itu bisa melihat raut keras pria itu yang mulai dihiasi oleh berbagai emosi yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Kedua mata birunya bergerak-gerak saat memandang Lily dengan tatapan penuh arti. "Liliana. Sekali lagi aku tanya, siapa orang yang telah mengatakan semua itu padamu?" Setelah kesekian kalinya pertanyaan itu terlontar, wanita itu akhirnya sadar betapa penting jawabannya bagi pria yang dikenal arogan ini. Masalahnya, ia tidak tahu apakah etis baginya untuk menjawab jujur sekarang. "Greg-" "Maaf, guys. Aku harus pulang sekarang. Barusan papa meneleponku. Dia memintaku segera datang ke kantor untuk mempersiapkan materi meeting besok. Ada kontraktor yang ternyata bermasalah di lapangan." Interupsi Fred yang tiba-tiba, langsung memecah suasana tegang itu. Tampak pria berambut pirang itu tidak sadar dengan situasi yang terjadi, saat ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya ke atas meja. Menyimpan dompet tipis itu ke dalam kantong jasnya, Fred menoleh pada Lily. "Sunshine, kau akan tidur di rumah Harrington, kan?" Belum mempersiapkan apapun, Lily tampak cukup bingung. "Aku..." Gregory langsung memotongnya. "Aku akan mengantarmu dulu ke rumah Walton untuk melihat situasi. Rumah itu tidak seperti dulu sejak bibi meninggal. Kalau terlihat tidak nyaman, lebih baik kamu menginap di tempatku. Seingatku, masih ada kamar tamu yang kosong bukan, Fred?" "Kamar itu sudah dijadikan gudang, Greg. Kau tahu sendiri hobi papa sekarang. Memancing." "Kalau begitu cuma tersisa kamar..." Gregory terdiam. Ketiga orang itu sangat tahu siapa yang dimaksud pria itu tadi. Suasana menjadi hening dan tidak enak. "Mungkin hotel-" "TIDAK." "TIDAK." Dua bersaudara tanpa ikatan darah itu menjawab tegas bersamaan, membuat Lily terdiam. "Kau tidak boleh menginap di hotel, Liliana! Kau ada di kampung halamanmu sendiri! Dan apa gunanya ada dua lelaki di sini kalau tidak bisa menjagamu? Kau akan menginap di rumah kami. Titik! Kalau mau, kau nanti tidur di kamarku saja. Kita bisa saling menghangatkan-" Menarik lengan Lily untuk berdiri di sampingnya, Gregory berkata dingin. "Kamu akan tidur denganku, Red." Raut muka Fred terlihat sebal saat menatap saudaranya yang memandangnya penuh permusuhan. Dengusan terdengar dari hidung pria itu dan ia menatap jam tangannya. Mulutnya tampak meringis. "Aku sudah membuang banyak waktu. Papa akan memukul pantatku." "Sebaiknya begitu. Pergilah sekarang, Fred. Kehadiranmu mulai membuatku kesal." Tertawa lepas, pria itu melambaikan tangan dan masuk ke dalam mobil hitamnya. Tidak lama, kendaraan itu meninggalkan lokasi dan tinggallah dua orang canggung yang tampak bergandengan tangan. Menarik tangan Lily lembut, kepala Gregory menoleh pada wanita itu. "Ayo kita pergi, Lily. Sebaiknya kita tidak terlalu malam sampai di rumahmu." Mata biru Lily tampak terpaku pada tautan tangan mereka. Ia bisa merasakan genggaman Gregory yang hangat dan mantap di tangannya. Suhu panas dari kulit pria itu menular padanya, membuat udara malam yang dingin segera terasa hangat di tubuhnya. Wanita itu merasa terlindungi. Menghela nafas dalam, Lily mengangguk. Sepertinya, ia memang akan butuh kehadiran lelaki ini nanti. "Ayo, kita pergi sekarang." Jantung wanita itu mulai berdetak lebih cepat. Untuk pertama kalinya sejak meninggalkan kota ini 15 tahun yang lalu, ia baru akan kembali lagi ke tempat masa kecilnya dulu. Rumah yang tadinya menyimpan banyak memori indah itu, kini justru menjadi sumber mimpi-mimpi buruknya selama ini. Makin gugup, tanpa sadar Lily mer*mas tangan Gregory semakin kuat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD