Chapter 13 : Sebuah Keajaiban

2077 Words
Siera menutup mulutnya syok, bahkan saking syoknya dia menjatuhkan kantong plastik yang dibawanya ke lantai. "P-Pak Digo?" ucapnya terbata. "Pak Digo sejak kapan ada disitu?" lanjutnya histeris. Digo mengendikkan bahunya pelan, menanggapi santai ekspresi syok wanita itu. "Dari tadi kayaknya," balasnya dengan kedua tangan dilipat di depan d**a. Mata Siera melotot, kaget sekaligus marah. "Pak Digo ngeliat saya ganti baju?" hardiknya. Digo lagi-lagi terlihat begitu santai. Dia menggaruk tengkuknya sambil meringis. "Kayaknya sih gitu," jawabnya santai lalu disusul jeritan melengking Siera. Dengan tangan mengepal penuh emosi wanita itu berjalan maju dan menerjang Digo. Siera memukuli pria itu dengan brutal. Digo pun mengaduh kesakitan. Dengan sekuat tenaga dia menahan pukulan bahkan tendangan Siera di sekujur tubuhnya. Digo benar-benar terkejut akan kemampuan wanita itu. Siera yang sepertinya lemah, terlihat tidak bisa menyakiti bahkan seekor semut sekalipun ternyata memiliki tenaga yang luar biasa. Namun justru Digo senang karenanya. Dia suka wanita pemberontak. Tipenya sekali. Apalagi yang manis dan seksi seperti Siera. "Dasar kurang ajar! Hidung belang! Rasain nih! Rasain kamu b******k!" Digo tersenyum bahagia melihat wajah cantik Siera yang malah terlihat semakin cantik saat sedang marah seperti saat ini. Digo terkekeh ketika melihat Siera mulai lelah menyerangnya yang semakin lihai menghindar. "Capek ya, Baby?" godanya sambil menyeringai. Siera menatapnya penuh dendam. Nafasnya yang putus-putus dan tak beraturan, dengan bibir mengatup rapat dan mata berkilat amarah membuat Digo tersenyum bahagia. "Pak Digo akan saya laporkan ke polisi. Ini termasuk tindak pelecehan," seru wanita itu galak. Digo menyipitkan matanya sembari pura-pura berpikir. "Pelecehan ya? Tapi kan aku nggak sengaja," balasnya. "Justru yang salah itu kamu, Baby. Kamu ganti baju nggak lihat-lihat tempat. Kan harusnya kamu ganti di kamar mandi." "Tapi saya-" "Atau kamu sengaja ya ganti baju sembarangan biar aku lihat?" tuduh Digo. "Jadi harusnya kamu yang aku laporkan ke polisi. Kamu sudah melecehkan aku." Siera membelalak mendengar perkataan Digo. Wanita itu menggeleng pelan. Sepertinya Digo memang tidak waras. "Pak Digo gila ya?" sentaknya. Digo terkekeh geli. "Iya, Baby. Aku gila karena kamu," katanya kemudian maju dan memeluk pinggang Siera. Siera menjerit, memberontak, berusaha melepaskan diri dari jeratan bos gilanya itu. "Pak Digo, lepas!" jeritnya. "Tolong! Tolong!" teriaknya. Wanita itu ketakutan karena saat ini dia sedang berada di kamar berdua dengan seorang pria m***m dan gila. "Lepas! Lepas! Lepas!" teriaknya sambil memukuli badan Digo. Tapi usahanya tidak membuahkan hasil. Pria itu tidak bisa dilawan dengan tubuhnya yang kecil dan lemah. "Pak Digo..." seru Siera yang mulai lemas. "Yes, Baby?" balas Digo. Siera mungkin akan menangis jika saja Utami tidak datang tepat waktu. Wanita itu langsung menjerit syok melihat Siera dan Digo berpelukan di dalam kamar. Apalagi dengan keadaan piyama handuk Digo yang sudah terlepas karena pertarungannya dengan Siera tadi. Lalu baju Siera yang juga berantakan akibat ulahnya sendiri yang sejak tadi berontak di pelukan Digo. "Astagfirullah Mas Digo... Non Siera!" jeritnya sambil menutup mulutnya kaget. "Kalian mau zinah ya!" tuduhnya seram. "Mbak Uut! Tolongin saya!" seru Siera. Digo langsung melepaskan Siera begitu Utami datang. Pria itu menatap marah pembantu rumah tangganya itu karena sudah merusak suasana. "Kamu ngapain disitu? Ganggu aja!" sentaknya. "Mas Digo mau ngapain Mbak Siera?" balas Utami galak. "Mbak, tolong!" Siera berlari mendekati wanita itu. "Bos kamu gila! Dia mau kurang ajar saya," adunya pada Utami. "Nggak! Mana mungkin aku kayak gitu!" sangkal Digo. "Jangan percaya, Ut! Orang dia sendiri yang buka baju!" lanjutnya. "Pak Digo jangan bohong! Pak Digo kan tadi ngintipin saya pas ganti baju!" "Aku nggak ngintip, Baby. Astaga..." balas Digo kesal. "Kamu yang gantinya di sembarang tempat. Karena keliatan jelas ya udah aku nggak perlu ngintip kan?" jawab Digo yang membuat Siera meradang. "Apa!" Siera mengepalkan tangannya kuat-kuat karena emosi. "Kamu harus dikasih pelajaran ya!" geramnya. "Silahkan! Aku juga bakal kasih kamu pelajaran!" balas Digo tak mau kalah. Siera sudah akan menyerang Digo. Namun teriakan Utami yang tak kalah menggelegar seperti Karla membuatnya menghentikan langkah. "Udah jangan saling lempar kesalahan!" katanya. "Mas Digo sama Non Siera tuh sama aja. Saya mau laporkan kalian ke Nyonya Karla," ancam Utami. Siera langsung mengangguk setuju akan pernyataan Utami. "Laporkan Mbak! Bilang sama Bu Karla kalo anaknya yang kurang ajar ini udah kurang ajar sama saya!" ujarnya. Digo melengos malas melihat Utami melotot padanya. Dia sangat tidak menyukai Utami. Pembantu rumah tangganya itu terlalu galak seperti Karla. Mungkin karena Utami terlalu dekat dengan Karla. Makanya sifat galaknya menular. "Saya mau lapor Nyonya kalau Mas Digo dan Non Siera berbuat asusila! Biar kalian berdua dinikahin sekarang juga," ancam Utami kemudian berlalu keluar kamar. Siera yang tadinya mengangguk setuju sontak terbelalak. "Ap-apa? Dinikahin?" ujarnya kaget. Wanita itu menoleh pada Digo yang sedang tersenyum bahagia. Siera langsung lari terbirit-b***t keluar dari kamar. "Mbak Uut, tunggu! Mbak Uut!" Digo yang ditunggal sendiri malah bertepuk tangan bahagia. Rupanya mamanya tidak salah memilih seorang pembantu rumah tangga. Di balik sifat galaknya, Utami pengertian juga rupanya. "Uut cerdas," gumamnya senang. *** Siera mendengus kesal saat mendengar suara klakson berkali-kali dari arah belakangnya. Matanya menyipit jengkel, menatap orang yang saat ini mengemudikan Mercedes hitam tersebut. Lagi, wanita itu mendengar suara klakson yang berasal dari mobil tersebut. Siera memutuskan untuk berhenti, membiarkan mobil mewah yang semula berjalan pelan itu berhenti tepat di depannya. "Ayo dong, Baby. Kamu nggak capek apa jalan kaki?" Siera melengos seketika. Kedua tangannya dilipat di depan d**a sambil merengut. "Nggak usah ngurusin saya. Saya bisa pulang sendiri," ketusnya. "Tapi rumah kamu kan masih jauh, Baby. Kamu mau sampai rumah jam berapa? Ini tuh udah malem." Siera meliriknya kesal. "Siapa juga yang bilang ini masih pagi!" balasnya dan membuat pria yang mengenakan kemeja hitam dan celana jins itu tertawa renyah. "Kamu makin keliatan seksi kalo lagi ngambek kayak gitu tau nggak." Siera sontak mendelik jengkel. "Pak Digo!" serunya. Digo terkikik. Pria itu melepas sabuk pengaman yang dia pakai lalu turun dari mobil dan menghampiri Siera. "Ayo naik! Biar aku antar pulang. Kasian Saski tuh kalo tidur di mobil lama-lama," bujuknya lembut. Siera mendengus pelan. Pria itu kalau ada maunya saja berbicara manis. Dasar perayu ulung, batinnya. Wanita itu melirik sosok mungil yang sedang terlelap di jok belakang mobil. Wajahnya terlihat begitu lelah. Siera jadi tidak tega melihatnya tidur meringkuk di jok belakang mobil. Digo benar, pikirnya. Kasihan jika anak itu harus tidur meringkuk lebih lama. Melihat Siera mulai luluh, Digo segera membukakan pintu mobil untuknya. "Ayo masuk!" ajaknya yang ditanggapi lirikan kesal oleh Siera. "Aku janji nggak akan kurang ajar deh," lanjutnya. Siera menyipitkan matanya, menatap Digo curiga. Dia tau janji pria itu tidak bisa dipegang. Tapi dia tidak ada pilihan lain. Hari sudah malam dan untuk sampai di rumah dengan cepat hanya bisa dilakukan jika menumpang mobil Digo. Siera menghela nafas pasrah. Dengan malas dia masuk ke dalam mobil Digo lalu memakai sabuk pengamannya. Di luar mobil, Digo memekik girang. Pria itu tersenyum puas lalu mengikuti Siera masuk ke dalam mobil. Digo menyetir mobil dengan kecepatan sedang. Sambil sesekali melirik Siera yang tidak bersuara dan juga Saski. Digo tersenyum kecil mendengar dengkur halus anak itu. Saski anak yang sangat aktif dan lincah. Seharian bersama Digo, anak itu tidak bisa diam. Digo dibuatnya sibuk sampai tidak sempat merayu Siera. Tapi dalam hatinya Digo merasa senang bisa membuat Saski tertawa-tawa seperti tadi siang. Karena diam-diam dia menyukai suara tawa anak itu. "Siera..." "Hm..." "Saski sehari-hari emang ceria dan aktif ya?" tanyanya pada Siera. Wanita itu terdiam sejenak mendengar pertanyaan Digo. Kemudian dia menggeleng pelan. "Nggak juga," jawabnya singkat. "Masa sih?" Siera mengangguk pelan. Dia menoleh kearah Saski lalu tersenyum tipis. Dia masih ingat betul bagaimana wajah bahagia anak itu tadi siang saat berenang dan bermain bola dengan Digo. Tawanya begitu lepas, wajahnya yang berbinar-binar itu, baru Siera lihat pertama kalinya. Selama ini anak itu pendiam dan cenderung suka menyendiri di sekolah. Saski juga anak yang patuh dan jarang meminta pada Siera. Tapi bersama Digo, anak itu seolah berubah menjadi sosok lain. Siera tidak akan lupa tawa riang dan wajah berserinya tadi siang. Siera tidak menyangka Saski bisa secerewet seperti tadi. "Saski mau ulang tahun ya?" tanya Digo. "Kok Pak Digo tau?" balas Siera kaget. "Tadi dia bilang sama aku." Saski mengerutkan dahinya, menatap Digo tak percaya. "Terus Saski minta hadiah khusus pas dia ulang tahun nanti." "Hadiah? Hadiah apa?" tanya Siera bingung. "Ada deh. Mau tau aja," balas Digo jahil. Siera mendengus pelan. Dan itu sontak membuat Digo terkekeh. Pria itu menghentikan mobilnya di lampu merah. Lalu memandang Siera lekat. "Kamu mau tau apa hadiah yang mau aku kasih ke Saski?" tanya Digo. "Apa emangnya?" balas Siera. "Aku kasih tau deh. Tapi..." "Tapi apa?" sela Siera tak sabar. "Tapi cium dulu," goda Digo. Siera mendengus kesal. Wanita itu langsung bersindekap sambil merengut. "Siera..." Siera berdecak pelan. Tidak sedikitpun dia menoleh pada Digo yang terus berusaha menggodanya. "Cium dong," rayu Digo. "Sekali aja deh." "Siera..." "Mau nggak? Mumpung masih lampu merah nih." Siera tetap diam tak bergeming, bersikap seolah Digo adalah makhluk tak kasat mata. "Kamu malu ya?" kata Digo. "Aku matiin lampunya deh kalo malu." Siera sontak mendelik padanya. "Pak Digo!" geramnya yang membuat tawa Digo menyembur. *** Digo memasuki gerbang taman kanak-kanak tempat Saski bersekolah dengan wajah cerah, secerah langit siang itu. Di tangannya, dia memegang paper bag berisi sebuah bola. Bola berwarna pink dengan gambar tokoh Hello Kitty kesukaan Saski di Siera-sisinya yang baru dia beli tadi. Digo tertawa kecil membayangkan wajah imut anak itu tersenyum padanya. Bel istirahat berbunyi. Digo mempercepat langkahnya menuju ke kelas Saski. Dia ingin segera menemui anak itu dan memberikan hadiahnya. Digo mencari Saski di kelasnya. Tapi rupanya anak itu tidak ada disana. Kelas Saski sudah kosong. Anak-anak yang lain berhamburan bermain di taman. Digo menyapukan pandangannya ke sekeliling taman, berusaha menemukan bocah mungil yang manis itu disana. Tapi tetap rupanya anak itu tidak juga ada di taman. Dengan cemas Digo menelusuri sekitar sekolah Saski. Takut-takut bila terjadi apa-apa dengannya. Pria itu terlalu fokus mencari Saski hingga tanpa sadar menabrak seorang anak kecil hingga terjatuh. "Om, hati-hati dong kalau jalan!" omel bocah perempuan seusia Saski dengan rambut keriting sebahu. "Eh.... iya maaf ya. Om buru-buru," balas Digo. "Kamu gapapa?" Anak itu hanya merengut saja sambil mengibaskan tangan Digo yang berusaha membantunya berdiri. "Kamu kenal Saski nggak?" "Nggak!" "Masa nggak kenal Sih? Namanya Saskirana. Kelasnya yang diujung tuh. Yang suka pake tas hello kitty. Kenal nggak?" Anak itu menghentakkan kakinya kesal. "Dibilangin nggak tau ya nggak tau! Om ngerti nggak sih!" serunya marah. Dia menabrak Digo dengan sengaja lalu menjulurkan lidahnya meledek Digo. Kemudian anak itu berlari menuju ke taman. Digo melotot kaget. "Heh... dasar kecebong!" geramnya. "Hei, keriting! Sini kamu kalo berani! Dasar anak nggak sopan!" katanya. Digo menggeram pelan saat melihat anak itu masih sempat meledeknya meski jarak mereka sudah cukup jauh. Inilah yang membuat pria itu tidak suka anak-anak. Mereka itu bandel, berisik, tidak sopan dan bikin pusing. Digo sangat tidak menyukai anak-anak, kecuali Saski. Ya, menurutnya hanya Saski anak termanis di dunia ini. Dia sopan, baik, dan menggemaskan. "Ayah!" Kekesalan Digo sontak musnah saat melihat anak berkuncir dua berlari kecil menghampirinya. Senyumnya mengembang seketika begitu melihat Saski. "Ayah kesini?" ujar bocah itu senang. Digo mengangguk cepat. "Saski darimana aja sih? Ayah cari Saski di kelas nggak ada," katanya. Saski meringis, menunjukkan senyumnya yang manis meski satu giginya ompong. "Tadi Saski pipis," jawab anak itu. "Nih buat Saski." Digo memberikan tas yang dia bawa tadi pada Saski. Anak itu menerimanya dengan senang dan langsung membukanya. "Bola?" Digo mengangguk. "Suka?" tanyanya. "Suka, Ayah!" jawab Saski antusias. Anak itu langsung memeluk bola yang diberikan oleh Digo sepenuh hati. "Makasih, Ayah," katanya senang. Saski menarik lengan Digo agar pria itu berjongkok di depannya. Lalu dengan cepat Saski memberikan sebuah kecupan di pipi Digo. "Saski sayang sama Ayah." Digo terdiam. Senyumnya mengembang sangat lebar. Pria itu mengacak pelan rambut Saski. Digo begitu senang saat ini. Saski, adalah favoritnya sekarang. Karena anak itu dan ibunya, kehidupan Digo secara perlahan mulai berubah. Dia yang dulu selalu menghabiskan malam di club, minum-minum dan bermain wanita, kini bisa tidur di kamarnya dengan nyenyak. Sungguh keajaiban. Digo membiarkan Saski bermain dengan temannya di taman. Sementara dia sibuk dengan ponselnya. Sebenarnya hari ini jadwalnya lumayan padat. Dia ada rapat penting dengan para pemegang saham siang ini. Dan pertemuan dengan tim audit internal dari perusahaan cabang sore harinya. Jadi mumpung ada waktu luang sedikit, dia menyempatkan diri menemui Saski di sekolahnya. Digo sedang berusaha menghubungi sekretarisnya di kantor saat terdengar bunyi rem berdecit kencang. Dan saat pria itu menoleh, betapa terkejutnya dia. Digo membatu, memandang bola pink yang tadi dia berikan pada Saski, menggelinding di tengah jalan. Dan sedetik kemudian Digo membuang ponselnya lalu berlari kencang menghampiri Saski.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD