Rencana Terselebung

2037 Words
"Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah perempuan yang shalihah." - HR. Muslim. *** Annita memijat pelipisnya pelan, merasa penat. Rasanya bekerja di Fianhira makin terasa berat dengan adanya orang-orang yang tidak suka dengannya. Padahal ia sudah berusaha ramah pada semua orang. Tapi, tetap saja akan ada yang tidak suka dengannya. Seberasa keras pun ia berusaha terlihat baik. Seperti kutipan dari salah satu sahabat nabi, Ali bin Abi Thalib: "Tidak perlu menjelaskan tentang dirimh kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh ktu. Dan yang membencimu tidak akan percaya itu." Tidak ada gunanya menjelaskan tentang ia adalah orang yang seperti ini kepada orang-orang. Entah yang suka atau pun tidak suka padanya. Karena percuma, sudah tertanam dalam hati mereka tentang tanggapan mereka terhadap Annita. Entah itu hal baik atau pun buruk. Dan kejadian seperti itu terjadi lagi. Karina, mantan pacar bosnya datang mengamuk sampai menamparnya kasar. Rasa sakit dan perihnya masih terasa sampai saat ini. Bahkan, bekasnya pun masih memerah pada pipi Annita. Perempuan berkerudung itu menghela napas samar, tersentak kecil saat telepon di depannya berdering. Ia langsung menjawabnya dengan berusaha terlihat biasa saja. "Selamat siang, dengan Annita Zhahira, asistennya Bapak Alfi Alhusyan di sini. Ada yang bisa saya bantu?" Ujarnya dengan berusaha tersenyum. "Annita? Ini saya, Aditya." "Pak Adit, ada apa pak?" Tanyanya dengan masih menempelkan telepon itu pada telinga. "Alfi, kemana ya? Telepon saya gak diangkat sama dia. Padahal dari tadi saya sudah mencoba telepon berulang kali." Kata Aditya di seberang membuat Annita menegakan tubuh, melongokan kepala ke ruangan Alfi yang masih kosong. "Pak Alfi barusan keluar sih, pak." "Bisa minta tolong bantu cari, ada hal penting yang mau saya sampaikan sekarang." Annita mengiyakan lalu berdiri, "kalau begitu, saya matikan teleponnya ya, pak. Saya akan minta Pak Alfi untuk menelepon bapak kembali nantinya." Katanya sembari mengucap salam lalu mematikan sambungan. Annita pun, melangkah masuk ke dalam ruangan Alfi dan mengecek apa ada hape di atas meja. Ternyata ada, bosnya pergi tanpa membawa hape sama sekali. Perempuan yang memakai gamis abaya  hitam itu melangkah ke koridor, berbelok menuju lift dan berdiri di sana menunggu pintu lift terbuka. Ia berdiri tidak tenang sembari memandangi angka di depannya yang berwarna merah. Yang nomornya perlahan menurun dan berganti beberapa kali. Beberapa saat kemudian, pintu lift terbuka membuat Annita menegakan tubuh melihat Alfi di depannya yang hendak melangkah keluar dari sana. "Tadi ada telepon dari Pa––" omongannya terpotong saat Alfi memanggilnya dengan tatapan dingin. "Ann," "Iya, pak?" Balas Annita gagap, kemudian menunggu apa yang akan laki-laki itu katakan padanya. Bukannya melanjutkan kalimatnya yang belum selesai. Alfi malah terdiam dan melamun, seperti memikirkan sesuatu. "Pak, Pak Alfi." Panggil Annita sekali lagi membuat Alfi yang sedang melamun tersadar. "Hm, kenapa?" Katanya balik bertanya sembari melangkah keluar dari lift. "Tadi, Pak Aditya telepon." Jelas Annita sembari berjalan mengekori Alfi, berusaha mengejar langkah besar bosnya itu. "Kenapa dia gak telepon di hape saya saja?" Decaknya tak suka. "Hape bapak kan ketinggalan di meja bapak." Kata Annita berusaha tidak mendelik, "oh." Balasnya tanpa beban lalu menyelonong masuk ke ruangannya tanpa sepatah kata lagi. Annita menghela napas samar, berusaha bersabar saja. Semua orang di kantor selain Aditya, tidak menyukainya. Hanya Aditya yang bisa memberi sedikit kelonggaran tentang hubungan baik mereka di kantor. Karena Aditya sudah seperti seorang teman. Cara bicara, tindakan dan juga humornya benar-benar membuat Annita nyaman. Tidak tertekan seperti sekarang saat sedang bersama Alfi yang seperti bunglon. Kadang baik. Kadang judes. Kadang dingin. Kadang seenaknya. Entah kepribadian asli seorang Alfi itu bagaimana, Annita tidak tahu. "Siap-siap, kita akan ke hotel sekarang." Kata Alfi membuat Annita membulatkan mata kaget, "ngapain ke hotel, pak?" pertanyaan bingung Annita membuat Alfi sontak menolehkan kepala. Melihat ekspresi shock Annita di depan pintu membuat laki-laki itu mendengus samar. "Ada klien di sana, ketemuannya di hotel. Mereka yang sudah reservasi lebih dulu, karena katanya orangnya tidak suka hotel lain selain hotel Angkasa, hotel berbintang dekat sini." Jelasnya membuat Annita menganggukan kepala mengerti. "Kalau begitu saya siap-siap dulu, pak." Ijinnya sembari kembali ke mejanya dengan menyalin beberapa file yang bisa saja nanti dibutukan saat meeting dengan klien rahasia itu. Alfi masih berdiri di samping pintu, sudah siap dengan jas rapinya. "Loh? Bapak belum pergi?" Tanya Annita yang sudah selesai memasukan flashdisk ke dalam totebagnya. "Saya tunggu kau," balas Alfi sembari melangkah lebih dulu membuat Annita mengernyitkan dahi. Padahal kan Annita dan Alfi tidak akan pergi sama-sama. Laki-laki itu jelas pergi dengan supirnya, dan Annita tidak bisa menumpang di mobil bosnya itu. Jadi, lebih baik dia naik angkot atau kendaraan umum lainnya. Keduanya pun, sudah masuk ke dalam lift. Annita berdiri paling belakang sampai tubuhnya terbentur dinding lift. Sedangkan, Alfi di sudut depan. Berdiri kaku seperti patung. Tidak ada obrolan di antara keduanya. Annita sedang sibuk memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa menghasilkan uang sekarang. Karena kalau tidak dapat uang dalam waktu dekat ini. Bisa-bisa tantenya akan memarahinya seperti kemarin-kemarin. Apalagi bulan depat kakaknya akan segera ujian akhir. Karena masih ada pembayaran yang belum selesai, jadinya tunggakan makin berkali lipat. Belum lagi harus belanja bulanan kebutuhan sehari-hari. Dan juga uang untuk bayar kostan. Rasanya kepala Annita mau pecah saking dipenuhi dengan persoalan tentang keuangan. "Hhh," mendengar helaan napas gusar Annita, Alfi refleks menoleh. "Kau ada masalah?" Tanyanya masih menoleh membuat Annita yang baru sadar sontak menggelengkan kepala, tersenyum masam. "Gak ada, pak." Alfi menatapnya datar kemudian mengalihkan pandangannya sesaat, "jelas-jelas kau ada masalah, apa karena masalah Karina tadi? Tenang saja, saya pastikan dia tidak akan kembali mendekati ruangan kau dan saya." Kata Alfi sembari melangkah keluar lebih dulu saat pintu lift terbuka. Annita terdiam, lalu mengikuti Alfi dari belakang. Tidak menanggapi perkataan bosnya. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Karena Annita masih banyak pikiran sekarang. "Kau ikut saja dengan mobil saya, lagipula saya akan pergi dengan sopir jadinya kan bertiga. Kau tidak perlu cemas," kata Alfi menjelaskan membuat Annita menganggukan kepala mengiyakan. "Terima kasih, pak." Alfi memejamkan mata saja sebagai balasan. Keduanya menunggu mobil di depan kantor, dan beberapa saat kemudian mobil sedan hitam terlihat mendekat dan berhenti tepat di depan mereka berdua. Alfi masuk lebih dulu, duduk di kursi depan. Sedangkan, Annita di kursi belakang sendirian. Setelah mereka masuk, mobil pun melaju pergi dari sana. Meninggalkan area Fianhira yang luas. Annita menatap keluar jendela dengan tatapan sayunya. Perempuan itu berulang kali menghela napas gusar, benar-benar tidak tahu harus bagaimana sekarang. Tabungannya juga tidak ada untuk menbayar kostan bulan ini. Kalau tidak segera membayar dan memberi tantenya uang. Bisa saja Annita akan diusir dari rumah, dan ia tidak tahu nanti harus kemana. Tidak ada sanak keluarganya selain tantenya di kota ini. Ia juga tidak akan berani ngekost sendiri tanpa mahrom. Annita tersentak kecil saat hapenya bergetar di dalam totebag. Ia pun merogoh hapenya yang sudah agak retak dan menipiskan bibir melihat nama si penelepon. Ia melirik ke depan Alfi yang juga tidak sengaja meliriknya pada kaca mobil. "Saya boleh angkat telepon sebentar?" "Hm," angguk Alfi yang membuat Annita langsung menempelkan hape pada telinga. "Halo, assalamu alaikum." Ujarnya sembari merunduk, mencengkram sudut gamisnya pelan. "Kau kapan pulang?" Tanya seseorang di seberang. "Belum tau, tante. Ini masih kerja." Balas Annita berusaha sesopan mungkin. "Kau sudah dapat uang buat bayar kostannya? Jangan sampai lupa kalau hari ini jatuh temponya, kalau kau gak bawa uang pulang nanti, kau saya tendang keluar dari rumah. Biar ngerasain gimana susahnya cari uang, hidup enak selama ini karena modal numpang." Annita menggigit bibir sembari menganggukan kepala lirih. "Kalau kau gak bawa uang, lebih baik gak usah pulang. Baju-bajumu sudah tante simpan depan pintu rumah. Jadi, kau tidak perlu tinggal di sini lagi." "Tante, tapi kan––" sambungan telepon diputus begitu saja membuat Annita merunduk dengan menutup wajahnya beberapa saat. ** Alfi berulang kali melirik kaca mobil, mengamati ekspresi sendu Annita yang terlihat banyak pikiran. Dan makin kelihatan setelah perempuan itu menerima telepon dari seseorang. Entah itu telepon dari siapa, yang jelas Annita sedang berusaha menahan tangisnya. Mobil berhenti di depan sebuah hotel berbintang. Keduanya pun turun dari mobil dengann memandangi sesaat mobil yang mereka naiki sudah berbalik ke arah basement, parkir di sana. Alfi melirik sesaat pada Annita yang berusaha terlihat biasa saja. "Kau beneran tidak apa-apa? Kalau tidak enak badan, lebih baik pulang duluan saja." Katanya sembari melangkah masuk diikuti Annita yang menggeleng menanggapi ucapannya. "Saya gakpapa, pak." Balas Annita kembali berbohong dengan membalas tersenyum saat disambut oleh pegawai hotel. "Reservasi atas nama Alfi husyan," kata lelaki itu membuat Annita mengernyitkan dahi pelan. "Reservasinya atas nama, bapak?" Alfi menganggukan kepal membenarkan, lalu menerima kartu kamar hotel kemudian melangkah mengikuti salah satu pegawai yang akan menunjukan letak kamar hotel yang akan mereka tuju. "Kliennya yang reserfasi atas nama saya. Dan sampai sekarang saya belum tahu siapa orangnya," "Rahasia benget ya, pak?" Alfi mengangguk membenarkan, "entah orang gila mana. Yang jelas nanti saya dan kau pasti akan ditanya yang aneh-aneh. Jadi, kalau ada pertanyaan yang buat kau tidak nyaman. Tidak usah dijawab, mengerti?" Ujarnya pada Annita yang langsung menganggukan kepala mengerti. Beberapa saat kemudian setelah menaiki lift ke lantai 10. Keduanya melangkah beriringan menuju kamar yang disebutkan tadi. Sebelum menempelkan kartu untuk membuka pintu kamar. Keduanya dikagetkan karena pintu di depan terbuka begitu saja yang langsung disambut oleh perempuan cantik yang tubuhnya bak model. Alfi mendengus samar mengenali perempuan di depannya yang merupakan sekretaris sang kakek. Ia dan Annita pun melangkah masuk. Alfi mendecak kasar melihat kakeknya yang sedang duduk bersama tiga orang asing di sofa. Ia sama sekali tidak mengenali mereka. Alfi menolehkan kepala pada Annita yang nampak membulatkan mata kaget seakan kenal akan tiga orang yang kakeknya bawa itu. "Kalian sudah datang, silahkan duduk." Alfi menajamkan pandangannya melihat kakeknya duduk di sana dengan santainya. Padahal seingatnya beberapa saat yang lalu ia baru saja berbicara mengenai perjodohan dan sebagainya bersama sang kakek. Tapi, sekarang sudah berpindah tempat dan duduk hadapannya. Ia menolehkan kepala pada Annita yang terlihat membatu dengan tatapan tidak mengertinya. "Perkenalkan, ini Nuraini, Ini Haris dan Rahmah ... keluarga besarnya Annita." Jelas kakeknya tersenyum membuat Alfi melebarkan mata kaget. "Karena kau tidak bergerak juga, dan masa kontrak juga tinggal besok. Jadi, kakek turun tangan untuk membantu. Biar kau segera mendapat istri, dan dia adalah Annita." Alfi makin melebarkan mata kaget sembari menoleh sesaat pada Annita yang seakan hilang nyawa di sebelahnya. "Saya tantenya Annita, saya tentu saja memberikan restu." Kata Nuraini tersenyum lebar sembari mengangkat jempol pada Annita. "Tante tadi telepon cuma becanda, tante dari tadi sudah di sini sama Pak Andreas." Lanjut wanita itu lagi tersenyum berbinar. "Kalian berdua tidak perlu repot-repot. Semua WO, dan segala macam hal yang kalian butuhkan akan diurus sama sekretaris kakek. Jadi, kalian berdua hanya membawa diri saja." "Kakek kan seharusnya bertanya dulu sama saya dan juga Annita, kan?" Geram Alfi dengan rahang mengeras. "Annita pasti setuju, kok. Iya kan, Annita?" Sahut wanita di sofa sana membuat Annita terdiam. "Pokoknya kakek jangan bercanda lagi. Hentiin semua ini, sama sekali gak lucu." Kata Alfi benar-benar tidak habis pikir dengan sang kakek. "Besok kalian berdua libur saja, kalian harus pergi melaporkan pernikahan kalian ke KUA. Istirahat aja di rumah, biar saat acara kalian sehat-sehat saja." Kata Andreas lagi tanpa beban, tidak mendengar perkataan Alfi yang sudah ingin mengamuk. "Minggu depan kalian langsung menikah, setelah pulang ke KUA kalian langsung ukur baju ya." Tambah Andreas lagi sesaat melirik ke arah Annita yang diam saja. "Karena kalian sudah bertemu satu sama lain dengan keluarga calon kalian. Saya anggap kalian sudah setuju dengan pernikahan ini ya? Kalau begitu saya pamit terlebih dahulu, ada banyak kerjaan." Kata Andreas sudah berdiri membuat keluarga Annita langsung menganggukan kepala sopan pada kakek tua itu. Alfi sudah mengejar kakeknya sampai ke luar hotel, benar-benar marah. Ekspresinya keruh, sampai kepalan tangannya mengerat. "Kakek beneran hilang akal ya? Apa hidup kakek membosankan sampai harus melakukan hal seperti tadi? Apa gak mikirin perasaan bingung Annita tadi?" Andreas tersenyum mendengar itu, "apa kakek harus bersyukur sekarang, karena kau akhirnya mau memikirkan perasaan orang lain." Alfi mendecak, kakeknya masih saja bisa bercanda disituasi serius begini. "Kalian berdua sama-sama saling membantu kok, simbiosis mutualisme. Kau menikah dengannya karena membantu agar dia bisa tinggal jauh dari orang-orang serakah di dalam kamar sana. Dan dia pun, menikah dengamu agar kau bisa naik jabatan. Apalagi masalahnya?" Alfi mengeraskan rahang, memejamkan matanya erat ingin kembali protes. Namun, kakeknya sudah menyelonong pergi tanpa menjelaskan lagi maksud pernikahan dadakan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD