Sebuah Kontrak

1751 Words
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah : 216). *** Annita masih melongo di tempatnya dengan mengerjap-ngerjapkan matanya polos. Perempuan itu tidak menyangka kalau orang yang menyelonong masuk ke dalam kamarnya adalah CEO di perusahaan tempatnya bekerja sekarang, Alfi Alhusyan. Alfi diam saja, dengan melirik ekspresi Annita pada spion mobil. Laki-laki itu hanya menggigit rahangnya kuat dengan mempertahankan ekspresi dinginnya. Pintu mobil di samping mereka berdua terbuka membuat keduanya tersentak kecil membuat Adit yang baru mendaratkan bokongnya pada kursi jadi memicing. "Ada apaanih? Kenapa pas aku masuk kalian berdua mendadak diam. Kalian lagi ngomongin aku, ya?" Tebak pemuda itu sudah kepedean sembari menoleh ke belakang Annita yang hanya tersenyum masam. "Kenapa sih, ekspresi kalian berdua kayak orang keciduk sedang melaku––" "Keciduk apanya? Itu udah lampu ijo." Kata Alfi mengalihkan pembicaraan, Adit mendecih pelan sembari memasang safety beltnya lalu melajukan mobil sedang. "Kalian beneran gak mau cerita sama aku, kenapa tadi diam-diaman?" Tanya Adit masih belum menyerah sembari fokus menyetir. "Annita." "Iya, pak?" Latah Annita kaget sampai terperanjat kecil membuat Adit yang memanggil jadi terkekeh pelan. "Kenapa bengong, dah. Tadi Alfi marahin kamu lagi?" Curiganya sembari menoleh pada Alfi yang diam saja tidak bereaksi banyak. "Gak kok, pak. Tadi emang gak ada apa-apa." Ujar Annita berusaha bersikap seperti biasa. "Ck, kalian berdua mencurigakan." Gumam Adit masih tidak percaya. Beberapa saat kemudian mereka sudah sampai ke japanese restourant yang bangunannya berdiri sendiri. Berdekatan dengan toko-toko penjual bunga juga di sebelahnya. Ada juga beberapa penjual baju distro di sana. Annita melangkah keluar saat mobil terhenti di samping tempat parkir. Perempuan itu meninggalkan ranselnya di dalam mobil dan juga bunga yang hancur tadi. Ia mengikuti Alfi yang melangkah di depannya. Keduanya menunggu Adit yang memarkirkan mobil. Masih sama-sama mengatupkan bibir rapat dengan suanasa yang makin canggung. "Eung ... bapak gak apa-apa?" Ceplos Annita akhirnya memberanikan diri, Alfi jadi menoleh dan menatapnya bingung. "Apanya?" "Saat itu kan bapak kelihatan luka, karena saya terlalu kaget dan takut sampai ngusir bapak cepat. Tanpa coba ngertiin situasi bapak saat itu, saya ... minta maaf." Alfi terdiam lama memandangi Annita yang merunduk dengan memain-mainkan sudut gamisnya kikuk. "Saya seharusnya tidak langsung mengusir bapak." "Jadi, kau akan membiarkan saya tidur di kamarmu malam itu?" Annita sontak mendongak dengan melotot, "ya, enggaklah, pak. Maksud saya ... malam itu pasti bapak sedang ... ketakutan ... karena bapak kayak dikejar orang. Makanya saya ... ngerasa bersalah, karena gak nolongin bapak." Akunya jujur kembali merunduk dengan memandangi kedua kakinya yang terbungkus sepatu. "Kenapa masih diam di sini? Ayo masuk!" Suara serak Adit membuat mereka berdua jadi mengulum bibir ke dalam. Terpaksa mengekori Adit yang sudah membuka pintu, masuk lebih dahulu. Annita masih melangkah melamun dengan menghela napas samar, makin merasa bersalah kalau kembali memgingat kejadian malam itu. Seingatnya juga bosnya itu nampak keringatan dan terluka. Bisa saja dia dikejar oleh orang-orang jahat. Tapi, tunggu. Atau mungkin bosnya itu dikejar-kejar karena berbuat jahat. Tapi, tidak mungkin. Walaupun muka dan ekspresi Alfi yang seperti tokoh antagonis di film-film. Tetap saja Alfi tidak akan sejahat wajahnya. "Aduh." Annita jadi meringis pelan dengan memandangi punggung lebar di depannya yang baru saja ditubruk hidungnya. "Kenapa bapak tiba-tiba berhenti?" Alfi mendecak saja kemudian membuka pintu lebar, "kau dari tadi melamun." Ketusnya sembari menunjuk pintu dengan dagu menyuruh Annita untuk masuk lebih dulu. "Terima kasih, pak." Keduanya pun berjalan bersisian dengan mencari keberaan Adit. Dan ternyata pemuda itu sudah naik ke lantai dua, karena di lantai satu tidak ada penampakannya. "Ini kita gak makan sushi kan, pak?" Tanya Annita dengan mengernyitkan dahinya tak suka. "Kenapa? Kalau ke restoran jepang kan emang harus makan sushi." Balas Alfi santai sembari menaiki undakan tangga bersama Annita di sebelahnya. "Sa-saya gak biasa makan makanan mentah, pak. Sushi makanan yang asing buat lambung saya, nanti dia kaget." Ceplosnya dengan meringis samar membuat Alfi diam-diam tersenyum kecil. "Ya, berarti kau cukup melihat kami makan saja." Katanya tanpa beban, Annita menghela napas lalu mengangguk saja. Tidak bisa menolak. Adit sudah melambai di mejanya membuat Annita dan Alfi menghampirinya. Pemuda itu sudah merunduk membaca menu, Annita duduk di depannya dan Alfi mengambil tempat duduk di sebelah Annita membuat perempuan itu menoleh sesaat lalu menaruh kedua tangannya di atas meja. "Ngapain, buruan pesan." Ujar Adit masih belum mengalihkan pandangannya ke menu. "Saya gak bisa makan sushi, pak. Gak suka makanan mentah." Adit sontak mendongak lalu menggelengkan kepalanya heran. "Kan menu lain ada, tuh ada ramen, chirashizushi, yakiniku dan masih banyak lagi." "Chirazhi apa, pak?" Ulang Annita merasa asing dengan nama menu yang barusan didengarnya. "Udah, makananmu samain saja dengan pesanan saya." Potong Alfi cepat. "Kan bapak katanya mau pesan sushi tadi?" "Kata siapa?" "Kata bapak, kan?" "Gak ada." Kata Alfi dengan ekspresi yakinnya lalu mengangkat tangan memanggil pelayan. Lelaki itu pun menyebutkan pesanannya begitu pun dengan Adit yang sudah senyum-senyum pada mbak pelayan. "Pesanannya nanti diantar ya, silahkan ditunggu." Kata pelayan sopan sembari melangkah pergi meninggalkan tiga orang di meja kayu itu. "Katanya kau akan menikah? Dengan Karina?" Alfi mendecak saja mendengar pertanyaan basi itu. "Kenapa membahas soal itu saat makan begini?" Decak Alfi tak suka, "kan belum makan, kita masih menunggu pesanan. Jadi, ceritakan saja. Kau akan menikah dengan siapa?" Tanya Adit masih kekeuh  membuat Annita yang berada bersama mereka jadi mengatupkan bibirnya rapat merasa tidak pantas berada di sana. "Tidak ada." Balas laki-laki beralis tebal itu sembari menyenderkan bahunya pada kursi. "Kalau kau tidak menikah, jabatanmu akan diturunkan oleh presiden direktur. Jadi, karena sudah terhubung kontrak, kau harus menikah kan tahun ini?" Alfi mengusap wajahnya kasar dengan membasahi bibir bawahnya. "Ya, cari perempuan yang bisa kamu ajak kerja sama aja. Pernikahan kontrak begitu, biar kayak drama-drama korea." Saran Adit dengan nada riang seakan omongannya tidak bermakna apa-apa. "Eung ... kalau menurut saya, pak. Sebaiknya bapak cari perempuan yang emang mau menikah sama bapak. Bapak juga mau menikah dengan dia, pernikahan kan bukan sesuatu yang bisa dijadikan mainan apalagi kontrak? Pernikahan itu sakral, pak." Jelas perempuan itu panjang lebar, "itu sama Ibu Karina aja, kan tiap pagi Ibu Karina minta balikan. Pasti mau kalau diajak menikah sama bapak." lanjutnya dengan hati-hati takut kalau-kalau omongannya menyinggung Alfi. "Nah, benarkan apa yang aku katakan. Karina memang pilihan yang tepat, apalagi dia kan mantan terakhirmu. Dan juga dia masih menempelimu kemana-mana, jadi Karina saja." Kata Adit antusias dengan tersenyum lebar, Alfi mendecak saja tidak mau menanggapi. Bahkan, melemparkan tatapan dinginnya pada Annita di sebelahnya yang langsung merunduk karena takut. Annita merutuk samar, kenapa tadi berani-beraninya memberikan saran pada lelaki itu yang sekarang masih membuatnya merinding. Seharusnya Annita tahu betul kalau Alfi bukan tipe manusia yang mau menerima saran orang lain. Lihat aja ekspresi keruhnya sekarang, seperti orang yang ingin menelan Annita bulat-bulat. "Ini urusanku, jadi kalian tidak usah repot-repot ikut campur." Tegasnya dengan merapikan anak rambutnya yang berjatuhan pada keningnya. Adit dan Annita sekilas saling pandang lalu kompak merapatkan bibir, keduanya jadi berdehem canggung karena suasana yang mendadak suram karena ekspresi Alfi yang makin menjadi-jadi. "Tapi, bukannya bulan depan sudah habis masa kontraknya ya?" Kata Adit mulai membahas lagi, Annita jadi tersenyum masam berusaha mengode atasannya itu agar cepat mengganti topik sebelum suasana makin panas. "Aku berbicara seperti ini sebagai seorang teman, aku tidak ingin kamu turun jabatan hanya karena kontrak gila yang kakekmu itu buat sendiri." Ujar Adit jadi melengos samar, memeluk tangan di depan d**a dengan menatap Alfi di hadapannya lurus. "Aku bilang jangan ba--"  "Oh itu makanannya sudah datang," potong Annita cepat sembari tersenyum ceria berusaha mencairkan suasana yang terasa dingin di sana. Bahkan, Annita hampir membeku karena kedua lelaki itu malah saling melemparkan tatapan tajam. Katanya mereka berdua bersahabat tapi malah seperti orang yang terlibat perang dingin begini. Ya. Kalau mau bertengkar nanti saja, pas Annita tidak ada. Kalau sekarang kan Annita jadi tidak tahu harus memihak siapa. Dan juga tidak bisa melerai, takut-takutnya nanti ia sendiri yang terkena bogeman mentah keduanya. Membayangkannya saja membuat Annita jadi bergidik sendiri. "Sekarang makan dulu, isi perut dulu ... baru pulang." Kata perempuan itu sudah menarik piring Alfi menekatkan pada lelaki itu, "ini pesanan bapak, kan?" tanyanya agak mencodongkan tubuhnya, menujulurkan tangannya sampai lengan gamisnya hampir menyentuh saos dalam makananya membuat Alfi langsung sigap mencengkram ujung lengan gamisnya. "Eh?" "Hati-hati," kata lelaki itu dengan penuh penekanan, Annita jadi menciut kecil sembari merapatkan bibir. Sekilas melirik Adit yang malah meledeknya dengan menahan tawa membuat Annita mencuatkan bibirnya pelan. Bos gak ada akhlak emang. "Ini udang ya?" Tanyanya dengan menyayukan tatapannya. "Terus kau pikir itu anak gajah?" Sahut Alfi sarkas membuat Annita jadi mendorong makanannya menjauh. "Kenapa lagi? Kau ini sebenarnya pilih-pilih makanan ya. Udah syukur dibeliin," kata Alfi tajam sampai membuat Annita tertohok begitu saja. "Sa-saya alergi udang, pak. Jadi, agak ... " mendengar itu Alfi jadi melebarkan matanya kaget dan meneguk ludahnya kasar. " Kenapa gak bilang? Kau belum makan, kan?" Tanya jadi mendadak lembut. Adit jadi menatap ke arah laki-laki itu curiga dengan alis bertautan. "Tadi kan bapak yang langsung pesan." Cicit Annita membela diri. "Ya, meskipun begitu aku harus tetap bilang kalau kau alergi udang." "Tapi, kan bapak gak bilang tadi mau pesan makanan yang ada udangnya apa enggak." "Benar juga sih," Adit di depan keduanya melongos samar sembari mengunyah makanannya dalam mulut, menelannya pelan dengan masih menjadikan dua orang di depannya sebagai titik fokusnya. Lelaki itu mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja lalu perlahan tersenyum lebar memikirkan sebuah rencana yang bagus untuk temannya yang sedang galau masalah pernikahan itu. Alfi sudah mengangkat tangan dan kembali memanggil pelayan untuk memesan ulang makanan untuk Annita membuat Adit makin menatap curiga ke arah keduanya. Seperti ada rahasia di antara mereka berdua yang cuma Alfi dan Annita yang tahu. Apalagi mereka terlihat akrab sekali serperti bukan pertama kali bertemu. Bukan akrab, lebih ke pernah dipertemukan dalam situasai tidak terduga. Annita kelihatannya masih biasa-biasa saja seperti tidak ada yang terjadi, istilahnya perempuan itu bisa menguasai ekspresi wajahnya. Berbeda dengan Alfi yang biasanya menampakan raut dingin kini mendadak seperti seseorang yang duduk dengan orang terkasih. Bukannya Adit berlebihan. Tapi, semenjak berteman dengan Alfi dari lama sampai sekarang. Temannya itu tidak pernah memperlihatkan raut cemasnya terhadap seorang gadis, meskipun itu pacaranya sekali pun. Makanya ia dan Karina putus karena Alfi yang seakan membangun tembok. Tapi, itu berbeda saat berhadapan dengan Annita.  Pemuda itu sedikit lebih mencair dari biasanya. "Al." Panggil Adit akhirnya membuka suara membuat lelaki itu menoleh ke arahnya. "Kamu gak perlu nyari calon istri jauh-jauh." "Apa maksudmu?" Adit tersenyum samar sembari menunjuk Annita dengan dagunya, "di sebelah kamu ada." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD