Alina masih memghabiskan sore itu bersama Candini dan Athaya. Irawan tak jadi ikut makan bareng karena, dia mendapatkan telepon darurat dari rumah sakit. Ya, Irawan adalah seorang dokter spesialis anak.
Dia meneruskan jejak mending ibunya sebagai seorang dokter. Merasa tidak rela karena harus meninggalkan Athaya dan Alina, lelaki itu berharap, bisa bertemu di lain waktu.
"Kau tak memperhatikan sikap Abimanyu yang menatap terus menerus ke arahmu gitu?" tanya Candini setelah menemukan sebuah restoran di lantai bawah mall.
Alina menatap sahabatnya, kemudian mengangguk. "Meski aku tahu pun, aku bukan anak remaja lagi yang harus baper, Candini.
"Ya. Kau benar. Aku rasa, dia ada rasa untukmu," ucap Candini.
"Jangan ngaco!"
"Loh, apanya yang ngaco? Sekarang kamu tinggal nunggu hari, di mana lelaki itu akan datang dan mengakui Athaya sebagai putranya." Candini sengaja mengucap pelan di akhir kalimat karena menjaga pendengaran Athaya.
"Jangan bahas itu, Candini! Aku mohon!" Alina menakupkan kedua telapak tangannya, di depan d**a.
"Dari sekarang, kamu memang harus bersiap mental, Alina," ucap Candini.
"Ya, aku sudah mempersiapkan semuanya sejak pertemuan kemarin.
"Mama, aku kenyang," ucap Athaya menatap mamanya.
Obrolan kedua wanita dewasa itu terhenti dan perhatian mereka langsung tertuju pada bocah tampan.
"Athaya, enggak habis makan spagettinya?" tanya Alina membersihkan sisa makanan di pipi putranya, menggunakan tisu.
Bocah itu mengangguk, "Iya, enggak habis, Ma!"
"Ya sudah, ayo cuci tangan!" ajak Alina terpaksa menjeda makannya.
"Mau cuci tangan sama tante?" Candini juga menawarkan bantuan kepada keponakannya.
"Enggak. Sama mama saja!" Athaya menolak dengan nada tak suka.
Hanya beberapa menit, Alina dan Athaya sudah duduk kembali di meja. Ibu muda itu meneruskan makannya, sedangkan Athaya asik dengan mainan yang diperoleh dari timezone.
"Apa kau pernah bertemu dengan mendiang istri Abimanyu?" tanya Candini memecah keheningan.
"Pernah beberapa kali kalau dia ke kantor," jawab Alina.
"Gadis tadi mirip siapa?" tanya Candini kepo.
"Mirip mendiang nona Anjani," jawab Alina sambil mengerutkan kening tanda berpikir.
Alina menyelesaikan makannya, setelah selesai, tatapannya tertuju pada Candini yang asik dengan minumannya.
"Kenapa pembahasannya masih sama?"
"Karena Abimanyu dan dirimu itu cerita yang tak bosan di dengar," jawab Candini dengan kekehannya.
"Ihs, si alan ...." umpat Alina kepada sahabatnya.
"Mama, aku boleh main lagi bareng kakak tadi enggak?"
Pertanyaan dari Athaya membuat Alina bingung mau menjawab apa. Jika boleh memilih, dia tak akan pernah mau bertemu dengan masa lalu. Terlebih, dia kenal dengan Abimanyu hanya sebatas karyawan dan tragedi malam itu.
"Boleh. Tapi, kalau kita bertemu tanpa di sengaja lagi," jawab Alina menjawil hidung mancung Athaya.
"Mama, janji ya?"
In Sya Allah, Sayang."
'Apa karena ada ikatan darah di antara mereka berdua, sehingga Athaya dan Nuara menjadi dekat meski baru saling mengenal?' tanya Alina dalam hati.
___
"Nenek, aku tadi bertemu adik kecil yang lucu." Naura mulai bercerita kejadian di time zone tadi dengan neneknya.
"Bertemu di mana, Sayang?" tanya Soraya menatap lembut ke arah sang cucu.
"Di tempat bermain, Nenek. Aku mau bawa dia pulang, tapi—"
"Tapi kenapa, Sayang?" tanya Soraya menatap wajah cucunya yang menunduk.
"Tapi, dia punya papa dan Mama," jawab Naura polos.
Tangan Soraya bergerak lembut mengelus pelan kepala Naura. "Nanti, kalau Allah udah kasih izin Naura punya adik, pasti akan ada anak kecil yang lucu di sini!"
"Apa papa melakukan dosa besar, nenek?" pertanyaan Naura membuat perhatian Abimanyu ke ponselnya pun terhenti.
Lelaki tampan itu menatap lembut ke arah anaknya yang menapilkan wajah polos tanpa dosa. Sedangkan Soraya tertawa karena pertanyaan sang cucu.
"Mungkin saja iya, Sayang. Allah marah sama papa. Semoga tidak lama lagi, Allah bakal baikan dan memberikan adik lucu untukmu," ucap Soraya.
'Iya, mungkin saja Allah marah ke papa, Sayang. Papa sudah merusak anak orang dan tidak bertanggung jawab,' monolog Abimanyu dalam hati.
"Naura, ikut embak ke kamar untuk mandi! Ini sudah sore, nanti malah kedinginan mandinya kalau kesorean," ucap Abimanyu sambil memberikan kode kepada pengasuh anaknya.
"Iya, Pa. Tapi, Papa enggak bakal bohong buat ketemuin aku dengan Athaya, kan?"
"Iya, Sayang. In Sya Allah, pasti nanti ketemu lagi."
Naura kemudian meninggalkan ruang tengah menuju ke kamarnya. Faraz yang sejak tadi diam menyimak obrolan istri dan cucunya, kini mulai menatap lekat ke arah Abimanyu.
"Siapa Athaya? Kenapa Naura begitu ingin bertemu dengannya?" Abimanyu menghela nafas panjang, saat dia diberondong pertanyaan oleh papanya.
"Dia anak berusia tiga tahun, Pa. Aku bertemu tak sengaja di kedai es krim, dan tadi bertemu lagi di mall. Anehnya, Naura yang punya sikap cuek, bahkan dingin terhadap anak kecil, langsung akrab dengan bocah itu."
"Keduanya bermain bersama cukup lama. Sejak saat itu, Naura juga ingin sekali punya adik yang lucu seperti Athaya," jelas Abimanyu.
"Wah, jadi penasaran dengan sosok Athaya," celetuk Soraya.
'Mama dan Papa pasti akan syock saat bertemu dengan Athaya,' monolog Abimanyu dalam hati.
"Kalau bertemu lagi, ajak dia datang ke rumah. Main di sini akan membuat anak-anak merasa nyaman," ucap Faraz.
"Aku lupa tidak minta no telpon ibunya, Pa. Padahal, dulu kami saling kenal," jawab Abimanyu.
"Nah, itu sudah kenal mah, bisa dong bawa anaknya ke sini. Asal kamu juga hatus izin sama suaminya. Jangan sampai ada kesalah pahaman nanti,"
"Iya, Pa."
Abimanyu akhirnya pamit ke kamar, dia akan mandi karena sore pun hampir hilang digantikan dengan malam. Namun, setelah sampai di kamar, dia duduk di ranjang menhadap ke arah nakas, di mana ada foto mendiang istrinya berada.
"Apa kabar, Anjani? Kau tahu kan, aku dua kali bertemu dengan Alina. Bahkan, anak kecil itu wajahnya mirip dengaku."
Abimanyu menjeda ucapannya, dia raih bingkai foto itu dan memandangnya dengan tatapan sendu.
"Aku belum mendapatkan bukti kalau dia anakku, Andi sedang menyelidikinya. Tapi, aku punya keyakinan kalau dia adalah putraku. Alina berbohong, iya kan, Sayang?"
"Aku akan menebus semua kesalahanku, aku juga akan mengakui semua hal yang sudah terjadi tiga tahun lalu kepada mama dan papa. Aku akan juga akan bersimpuh di kaki kedua orang tua Alina karena membuat putrinya hidup sengsara."
"Aku tidak sengaja melakukannya, Sayang. Aku pikir dia adalah dirimu. Dan sejak kejadian itu, aku merasa bersalah bahkan, kejadian itu menghantui diriku."
"Maafkan aku, Anjani Swasmita," ucap Abimanyu memeluk bingkai foto.
Abimanyu meletakkan kembali bingkai foto itu di tempat semula. Dia berjalan ke arah jendela, menatap langit yang memancarkan semburat warna jingga. Raut wajahnya menggambarkan betapa kusutnya pikiran lelaki itu.
Dia pikir, setelah tiga tahun berlalu akan hidup bahagia meski hanya dengan Naura saja. Mengsnang semua hal tentang Anjani Swasmita, dan melupakan segala kenangan buruk di masa lalu. Nyatanya, dia bertemu kembali dengan wanita yang dia ajak ke atas ranjangnya.
Berbagai keringat dan hanya memberikan kata maaf. Karena wanita itu menolak pertanggung jawaban atas perilaku Abimanyu. Kini ada segumpal penyesalan di benak lelaki tampan itu. Seandainya saja, dia sedikit keras akan keputusannya, Alina yang merasa dia rugikan tentu tidak akan mengalami kesulitan.
Meski sekarang, dia melihat, Alina cukup bahagia bersama keluarga barunya. Tetapi, siapa yang tahu luka yang bersembunyi di hati wanita itu? Tidak ada yang tahu, meski itu Abimanyu.
___
ALina terdiam dengan tatapan ke arah langit-langit kamarnya. Posisinya sedang tidur terlentang, kedua tangannya menjambak pelan rambut panjangnya. Dia teringat mengenai Abimanyu yang terus menatapnya.
Seolah matanya menyelidik ke semua anggota tubuhnya. Bahkan, Alina merasa berdebar dan gugup, semenjak lelaki tampan itu bertanya mengenai anaknya.
Hari ini, dia diselamatkan oleh hadirnya Irawan. Anak seorang dokter kandungan yang dulu memvonis dirinya mandul. Alina memanfaatkan keadaan untuk mengkambing hitamkan Irawan sebagai suaminya.
Untungnya lelaki itu paham akan situasi yang dia hadapi. Sehingga Abimanyu percaya, bahwa dirinya punya keluarga utuh yang bahagia.
"Apakah di hari lain masih ada kesempatan indah seperti hari ini? Bagaimana kalau Abimanyu semakin curiga dengan Athaya?"
Alina bangun dan menelungkupkan wajahnya pada lipatan tangannya. Dia benar-benar tak bisa berpikir, mengenai masalah putranya dan mantan bosnya.
"Percuma juga aku tutupi kenyataan ini, cepat atau lambat, semua ini akan terkuak," guma Alina pelan.