Kasus I : Kemurkaan Danang

2264 Words
Sebelum benar-benar menyerahkan minuman berupa suusu jahe ini kepada Daffa. Adiwilaga segera membuang isi gelas yang sudah ia tandai berisikan racun itu. Kemudian meninggalkan gelasnya di salah satu bangku kosong yang di atasnya masih tersisa gelas dan piring—sisa makan pengunjung lain yang belum dibereskan oleh pelayan. Lalu, gelas yang satunya—gelas yang aman isinya, ia bawa kepada Daffa. Pasti ia sudah sangat ingin meminumnya. Sampai di sana, Nismara tampak pucat. Adiwilaga tahu penyebab sang adik sangat pucat dan ketakutan itu. Bagaimana tidak ketakutan? Di sekitar mereka, ada dua sosok seetan dengan wajah hancurnya tengah mengamati aksi makan mereka. Dua setaan itu duduk di antara sisi kiri dan kanan Danang. Adiwilaga pastikan, setiap makanan ayam dan daging yang masuk ke dalam mulut Danang—akan langsung hilang karena dimakan oleh dua seetan yang berwajah hancur lebur itu. “Ninis, kenapa tidak dimakan? Enak lhoo..” Bagaimana Nismara bisa makan? Sedangkan nafsu makannya sudah hilang karena melihat daraah yang terus mengucuri wajah dua seetan berwajah hancur lebur itu. “I—iya Bu Ranika, ini saya sedang makan kok. Hanya saja, sudah kekenyangan. Pak Danang memesan banyak sekali makanan.” “Beliau memang seperti itu, sangat dermawan dan baik hati. Yang betah yaaa kalian berdua penelitiannya.” Rasanya ingin muuntah karena ucapan palsu Ranika itu. Tetapi, Nismara dan kakaknya hanya bisa tersenyum dan lagi-lagi hanya mengangguk percaya. Sepertinya sangat menyenangkan terlihat bodooh di depan orang liciik seperti Ranika dan Danang. Jika Danang bisa melihat para pegawainya yang tak kasat mata itu, Nismara menyimpan satu pertanyaan yang sangat membuatnya penasaran yakni, apa yang selama ini membuat Danang bisa sekuat dan sebetah ini? Seolah-olah terlampui terbiasa dengan setaan berbagai wujud disekitarnya, sungguh manusia yang matanya sudah dibutakan dengan harta dan kekuasaan. Hidup bersama dengan makhluk halus pun rela ia lakukan, hingga memberi makan mereka sudah menjadi kewajiban daripada memberi makan anak kandungnya sendiri. Alih-alih memberikan makan Daffa, Danang justru akan meracuni anaknya itu. Danang sudah bersiap menyaksikan bagaimana nantinya Daffa akan merenggut nyawa. Minuman yang telah diyakininya mengandung racun itu telah masuk ke tenggorokan Daffa karena tenggorokan Daffa terlihat seperti selayaknya orang yang tengah minum. Senyum tipis Danang perlihatkan sebagai pengiringnya mengantar kepergian Daffa, sebentar lagi.   “Enak banget, seger.” “Daffa seneng banget ya sama suusu jahe? Kak Ninis bisa kok buatin. Nanti di rumah kalau kepengen lagi, bisa minta tolong sama Kakak.” Nismara memberikan penawaran tulusnya pada Daffa. Anak lelaki itu hanya mengangguk malu-malu. Ia memang sangat menyukai susuu jahe, apalagi apabila susuu jahe tersebut merupakan buatan ibunya sendiri. Sayangnya, itu semua sudah tidak mungkin bisa Daffa nikmati, karena ibunya telah meninggal dunia. Merasa ada yang tidak beres karena Daffa tidak bereaksi apapun, Danang geram sendiri dibuatnya. Dalam hatinya, ia mengamuk. Siapa orang yang sudah berani merusak rencananya ini. Tak lama kemudian, saat mereka tengah berjalan kaki untuk sampai di rumah Danang. Danang mendapatkan bisikan ghaib. BERHATI-HATILAH DENGAN DUA MAHASISWA ITU. MEREKA TELAH MENGELABUHI KITA. MEREKA BUKANLAH ORANG SEMBARANGAN. SALAH MELANGKAH, NYAWA PRAJURIT GHAIBKU TARUHANNYA. SEBAIKNYA SEGERA LENYAPKAN PUTRAMU MALAM NANTI, DENGAN TANGANMU SENDIRI. SUDAH KUSIAPKAN RACUN DI TEMPAT BIASANYA. Adiwilaga dan Nismara mendengar itu semua. Inilah alasan mengapa Nismara tidak diizinkan oleh Adiwilaga untuk keluar kamar nanti malam. Baiklah, ia akan menuruti perintah kang masnya. Segala perintahnya pasti merujuk pada hal-hal baik. Maka dari itu, Nismara hanya cukup menuruti perintah sang kang mas. Malam tiba. Situasi mencekam dirasakan ada dan nyata disekitar Adiwilaga dan Nismara. Nismara di dalam kamar bersama dengan Asri. Karena Danang telah mengetahui identitas mereka yang sebenarnya, dengan sengaja pria itu mengunci rapat kamar Nismara dan Adiwilaga. Namun, Adiwilaga dengan segala upayanya membantu Daffa sudah memperkirakan ini semua akan terjadi. Pria itu memutuskan untuk keluar dari dalam kamarnya melalui ruang bawah tanah yang bisa ia tembus. Di ruang bawah tanah itu tidak terdapat ruangan mencurigakan. Hanya terdapat bagian tanah yang bisa ia buka jalannya untuk bisa sampai kembali di luar kamar yang telah segala dikunci dari luar oleh Danang itu. Diam-diam, Adiwilaga menyaksikan, bagaimana teganya Danang memasukkan racun itu ke dalam sebuah gelas berisi susuu putih. Sedangkan Daffa telah menunggu di meja makan, anak laki-laki tidak bersalah itu tengah bermain ponsel, memainkan game online yang mungkin bagi Danang merupakan permainan terakhir yang bisa dimainkannya. Karena setelah ini, Daffa akan pergi untuk selama-lamanya. “Diminum, Daffa. Ayah buatkan susuu jahe spesial untuk kamu.” “Aku kira malam ini Kak Ninis yang buatkan. Ternyata Ayah.. tumben, biasanya Ayah selalu bilang, kalau Ayah itu capek.” “Ah iya, Ninis dan Adi sudah tidur sepertinya. Tolong jangan diganggu ya, Daffa. Sepertinya mereka kelelahan.” “Iya, Yah. Aku minum ya..” Hanya dengan matanya yang menatap tajam ke arah gelas yang sudah ada di tangan Daffa itu, gelas tersebut sudah pecah secara misterius oleh tenaga tak kasat mata Adiwilaga. Hal tersebut sontak membuat Daffa terkejut, ia bahkan hanya memegang gelas kaca itu, lantas bagaimana bisa gelas kaca itu pecah begitu saja? “SIIALAN! KELUAR KAMU! DIMANA KAMU!? ANAAK IBLISS!” seru Danang yang kini tengah murka. Tanpa berlama-lama, Adiwilaga langsung menunjukkan dirinya. Ia bertingkah biasa saja. “Daffa, sebaiknya kamu pergi ke kamar. Jangan lupa kunci pintu kamar, jangan dengarkan apa pun. Dan, bawa ini..” Seperti itulah Adiwilaga terang-terangan berpesan pada Daffa yang tampak gemetar karena melihat ayahnya yang tiba-tiba marah besar. Apa sebenarnya yang terjadi? Di tangan Daffa, Adiwilaga memberikan cincin batu hitam yang entah Daffa sendiri tidak tahu apa maksudnya. ”Pakai. Dan sekarang, cepat pergi ke kamarmu. Bila perlu, pakai earphonemu, dan bermainlah game seperti biasanya dengan PCmu. Cepat Daffa!” “O—oke, Kak Adi..” “A—ayah—“ “PERGI KAMU!” Tanpa sebab apa pun, ayah Daffa murka. Setelah kepergian Daffa dan Adiwilaga memastikan cincin yang diberikannya pada Daffa benar-benar telah dipakainya, ia kemudian menatap tajam sosok Danang yang sudah menatapnya dengan senyum miring. Entah sejak kapan tangan Danang sudah membawa pisau tajam berukir dedaunan berwarna emas yang menurut penglihatan Adiwilaga—pisau bersih itu sebenarnya berlumuran daarah. Daarah seolah bercampur menjadi satu di sana. Mulai dari warna darah merah merona hingga darah yang berwarna hitam pekat sekali pun. Sepertinya senjata inilah yang diberikan oleh dukun Danang sebagai perlindungan alternative terakhirnya. “Hahhahaha.. akhirnya. Akhirnya kamu menunjukkan dirimu yang sebenarnya, Bocah Ingusaan! Cuihh!” Danang meludah sembarangan. “Anda sangat berbeda daripada biasanya, Pak Danang.” “Saya bosan berbasa-basi..” Danang berjalan mendekat kemudian bermaksud menusuk perut Adiwilaga menggunakan pisau yang dibawanya itu. Namun gerakannya seketika terhenti, padahal Adiwilaga hanya menatapnya dengan tatapan tajamnya. Siapa sebenarnya pria asing di hadapannya itu. “Lepaskan saya! Kamu belum tahu siapa saja yang menjadi penghuni rumah ini!? Awas kamu!” “KELUAR KALIAN SEMUA! SAYA SUDAH MEMPERSIAPKAN PERSEMBAHAN SPESIAL, MAKANAN KALIAN MALAM INI DATANG LEBIH CEPAT. SANTAPLAH!” Dalam keadaan tidak bisa bergerak karena kekuatan Adiwilaga itu, Danang masih sempat-sempatnya percaya diri memanggil seluruh makhluk halus peliharannya. Tak lama kemudian, mereka semua yang tak terlihat muncul mengerubungi dapur Danang ini. Mata Adiwilaga benar-benar sangat miris menyaksikan begitu banyaknya pengikut Danang yang merupakan makhluk ghaib. Mereka merupakan perpaduan berbagai macam bentuk. Ada yang bentuknya sangat menyeramkan dengan daraah segar yang terus mengaliri wajah mereka, ada pula yang wujudnya seperti manusia biasa namun tidak bisa diremehkan karena siapa yang tahu kekuatan mereka masing-masing. Adiwilaga sepertinya memerlukan bantuan Nismara untuk melakukan tugasnya mengelabuhi mereka semua untuk masuk ke dalam lubang yang tadi pagi-pagi sekali telah digalinya di belakang rumah Danang ini. Maka berbincang melalui batin dengan Nimara merupakan hal yang tepat—yang saat ini bisa dilakukan Adiwilaga sembari bibirnya tidak pernah berhenti merapalkan berbagai macam do’a, memohon perlindungan pada yang kuasa. Meskipun rasanya hawa meningkat drastis, padahal malam ini sangat dingin. Hawa di sekitarnya panas karena makhluk-makhluk ghaib ini merasa benar-benar kuat malam ini. Sepertinya mereka semua mendapatkan dukungan dari dukun Danang. Benar-benar aksi Danang ini sudah dipersiapkan secara matang-matang pula. “Kang Mas! Akhirnya Kang Mas memanggilku juga. Aku sudah tidak sabar melakukan tugasku!” “Jangan banyak bicara Nismara..” peringat Adiwilaga karena ia merasa tidak suka sang adik merasa senang, tidak sabar dan sombong untuk melakukan tugas yang menurutnya sangat mudah itu. Karena sebenarnya, kesombongan itu awal daripada kehancuran! Adiwilaga tidak ingin semua yang dilakukannya ini sia-sia. “Maafkan aku, Kang Mas..” Nismara menunjukkan penyesalannya dengan mengangkat dua jarinya ke atas. “Drama macam apa yang hendak kau buat, Bocah Ingusan!?” Mengabaikan ucapan Danang, akhirnya Adiwilaga melepaskan Danang dari jerat tak terlihatnya sehingga tubuh pria itu bisa bergerak bebas kembali. Kini, keduanya menyaksikan betapa kuatnya aroma tubuh Nismara sehingga berhasil membuat para seetan itu mengikutinya. “Tanpa diminta, bahkan wanita itu sudah menyerahkan tubuhnya. Hahahahhah!!” Danang mengira, mereka semua akan benar-benar memangsa Nismara karena jumlah Nismara yang hanya satu orang, sedangkan para seetan itu mungkin lebih dari dua puluh. Berbagai macam bentuknya, mulai dari yang berkepala manusia hingga yang berkepala hewan seperti kerbau. Mulai dari yang bertubuh manusia biasa seperti kita, hingga yang tubuhnya seperti ular dan hanya berupa organ dalam saja dengan kerangkanya. Daraah ghaib sebenarnya mengaliri seluruh penjuru rumah Danang ini, mengingat mereka semua berinteraksi di sini sehari-hari. Namun bagi Danang, semua itu sudah biasa. Bagi Daffa, ia tidak bisa mencium aroma anyir karena Danang sudah menutup indra penciuman Daffa pada para makhluk halus peliharaannya itu. “Lupakan mereka yang menurut anda akan menghabisi Nismara. Mari kita selesaikan urusan kita berdua, Pak Danang. Ada berbagai pertanyaan yang ingin saya ajukan.” Danang mengangguk-angguk. “Jadi namanya Nismara.. Cukup menarik untuk santapan lezat para ‘peliharaanku’.” Dengan santainya ia menyalakan rokok, kemudian mulai menyesap rokok yang telah menyala itu dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya masih menggenggam pisau. Tubuh Danang bersandar di pantry dapur, seolah-olah ia sudah sangat tahu bahwa dirinya akan menang di sini. Maka dari itu, ia membiarkan Adiwilaga memberikan beberapa pertanyaan kepadanya, sebelum Danang benar-benar akan membuat Adiwilaga menyusul Nismara. “Anda menggelapkan dana yang seharusnya dibagikan untuk meringankan beban warga miskin!” Sepertinya Adiwilaga tidak sedang bertanya, melainkan sedang memberikan pernyataan untuk bab kasus yang satu itu. Karena ia sangat tidak suka dengan kebiiadaban Danang yang rela memakan uang rakyatnya untuk bisa menikmati hidupnya yang sebenarnya sudah kacau balau sejak istrinya meninggal. “Hhahahhah, sejauh itu kau mengetahui apa yang kulakukan, Bocah Ingusan!? Kau mau aku memperlakukanmu perlahan, atau kah kau suka kebrutalan? Tidak ada jalan keluar yang bisa kau lalui, Adi..” “Saya bahkan sudah berserah atas hidup dan mati saya ini hanya kepada Allah Swt.” “Baiklah. Izinkan aku mengantarkanmu lebih cepat ke peristirahatan terakhirmu!” Danang mendekat pada Adiwilaga dengan gerakan tidak terduga gesitnya. Tentu saja Adiwilaga langsung menggerakkan tubuhnya melawan Danang. Syukurlah, dalam pertarungannya dengan Danang—ia bisa menjatuhkan pisau itu. Hanya dengan sekali tatapan, pisau itu pun hangus menjadi abu. Pisau itu bukanlah sembarang pisau, dukun Danang yang telah mengirimkannya. Kini, dukun itu mungkin tengah duduk, menyaksikan bagaimana Adiwilaga akan bertarung dengan Danang dan juga Nismara yang sebentar lagi akan berhasil menjerumuskan para seetan itu ke dalam lubang penjara yang semestinya menjadi hunian mereka. “Siialaan! Kau siapa sebenarnya, Adi!? Aku sudah muak dengan semua ini! Bunuuh aku!” “Terlalu mudah untuk membunuh anda, Pak Danang. Sampai-sampai, hal itu tidak akan pernah saya lakukan.” “Kenapa!? Bukankah kedatanganmu kemari untuk mengacaukan segalanya, dan berakhir dengan membunuhku!? Akan kau gunakan untuk apa darahku nantinya? Keabadianmu? Aaahh, kamu memang bukan orang sembarangan.” Danang sudah sadar, bila saat ini yang berdiri di hadapannya bukanlah bocah mahasiswa kemarin sore. Benar kata dukunnya, ia sudah berhasil dikelabuhi oleh Adi dan Ninis. “Keabadian bukanlah milik saya. Saya hanyalah umat biasa yang diutus untuk membumihanguskan orang biiadab seperti anda. Orang-orang yang bahkan saking tamaknya dengan kekuasaan, sampai rela mengorbankan anggota keluarga sendiri, darah daging sendiri. Woahh.. sebesar itu ketamakan anda, Pak Danang..” Adiwilaga sampai bertepuk tangan melihat Danang yang hingga di titik akhir ini tidak kunjung menyadari kesalahannya. Ia sudah mengambil nyawa Asri, kemudian apabila Adiwilaga tidak menggagalkannya—Danang juga akan mengorbankan Daffa, putranya sendiri. “Hidup dan matiku hanya untuk mencari kekuasaan, karena dengan kekuasaan—aku bisa bebas melakukan atau pun mendapatkan apapun yang kuinginkan! Kau mau apa!? Bunuhh aku jikalau kau bisa!” “Daripada membunuh anda, saya akan lebih puas melihat anda mempertanggung jawabkan segala kesalahan anda melalui jalur hukum. Memastikan anda benar-benar akan mendapatkan ganjaran yang setimpal dibalik jeruji besi!” “Kau punya bukti apa, Adi? Hahahha..” “Selain menggelapkan dana bantuan warga, anda juga merupakan otak utama dari pembunuhan istri anda sendiri bukan?” “SIIALAN!!” Kali ini, Danang sudah benar-benar murka. Ia melempar segala barang-barang yang ada di sekitarnya, berharap barang-barang itu mengenai kepala Adiwilaga. Tetapi tak ada satu pun barang yang bisa mengenai Adiwilaga. Semua barang itu justru hancur di depan matanya begitu saja, padahal Adiwilaga hanya berdiri. Namun jangan salah, dalam hatinya—ia terus berdo’a, memohon perlindungan hanya pada Yang Maha Kuasa. “Memang! Selama periode jabatanku, aku telah menggelapkan dana bantuan warga untuk hidup sejahtera! Memang aku juga yang dulu telah menumbalkan Asri untuk bisa mendapatkan jabatanku yang sekarang ini! Sebentar lagi, aku akan membunuhh Daffa! Ia nantinya yang akan bisa memperlancar aku untuk mencalonkan diri sebagai Bupati! Kau mau apa sekarang!? Semua sudah jelas! Dan kau, kau akan matii juga di tanganku! Selamanya jasadmu tidak akan ditemukan oleh siapa pun!” Menjeda kalimat panjang lebarnya tentang pengakuan. Danang kemudian tersenyum miring. Dengan nada yang sangat rendah dan lembut terdengar. Ia bertanya, “Sudah siapkah kau?” Adiwilaga telah merekam segala percakapannya dengan Danang, ia akan menggunakan ini sebagai bukti tambahan untuk menyeret Danang ke kantor polisi. Danang harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. “Sangat siap, Pak Danang.”   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD