SUMMER-05: PENGAKUAN

1930 Words
Esok harinya, pukul 6:30 pagi, motor Ari sudah terparkir di halaman muka sekolah. Karena semalam Irgi mengeluh ketiaknya sakit saat menggunakan kruk, alat bantu berjalan itu akhirnya dimodifikasi oleh Anggara. Tak berbeda jauh dengan apa yang dilakukan April, hanya saja busa yang diaplikasikan lebih tebal dan nyaman. Lumayanlah, setidaknya bisa bikin Irgi anteng saat menapakkan kaki. Baru saja Irgi akan melangkah ke koridor sekolah, sebuah motor menyusul masuk ke parking area. Irgi menoleh, mendapati April yang tengah turun dari Vespa-nya Adit. Irgi mendengkus keras, sementara Ari mencengkeram kruk Irgi kuat-kuat. Ya ngeri aja kan itu kruk melayang ke kepalanya Adit. Saat pandangan mata Irgi dan April bersirobok, amat jelas terlihat kalau April salah tingkah. “Hai ...” sapa Irgi. “Boo.” Adit mengerutkan kening, celingak celinguk antara mukanya April dan Irgi. “Boo!” ujarnya kemudian pada April dengan intonasi seperti tengah menakut-nakuti, pakai ngangkat kedua tangan pulak, ceritanya lagi cosplay jadi salah satu pamannya Casper. Konyol banget memang! April mendengkus lelah, Ari mesem-mesem, sementara Irgi mukanya tetap sedatar tembok, tanpa ekspresi. “Gue duluan, Pril,” ujar Adit kemudian, menyisip sekaligus melangkah di antara April dan Irgi. “Gue juga,” sambung Ari. Tanpa ba-bi-bu ia menjauh dari keduanya. “Pril?” tegur Irgi begitu untuk sesaat saja mereka hanya berdua dalam radius 10-meter. “Apa?” “Lo belum jawab pertanyaan gue semalam.” “Pertanyaan yang mana?” “Lo bokinan sama Adit?” Irgi mengulang pertanyaannya. Siapa tau April memang tak sempat mendengar kalimat itu. “Irgi ….” “Lo udah dijodohin sama dia dari bayi? Kok bisa sedekat itu? Kan lo anak baru.” “Lo tuh ya! Kenapa sih jadi orang ngeselin banget?” “Kenapa lo bisa kesal? Lo juga suka sama gue?” “Irgi ….” “Senin depan, kan giliran kelas gue tuh tugas upacara. Gimana kalau gue jadi pemimpin upacara? Sekalian nembak lo secara resmi.” “Gue tabok lo!” “Tabok aja!” April mendengkus. Ia juga heran ngapain ngeladenin Irgi? “Yuk! Lo mau berdiri di sini terus? Ngalangin jalan, Gi.” Irgi ngikutin langkahnya April. Wajahnya masih cemberut. April juga pakai kecepatan tanpa empati, lebih mirip kabur malah. Di depan sana, sang target justru bergabung dengan teman-teman sekelasnya. Makin nelangsalah Irgi. ‘Kalau udah punya cowok kenapa ga jawab iya sih? Mampus banget si Adit ga diakuin.’ Harusnya, hari ini tuh Irgi piket. Tapi, berhubung kondisi kakinya masih ngegantung, ya dia ga mungkin ikutan bebersih kelas. Akhirnya, Irgi didaulat membantu bendahara yang sudah putus asa nagihin uang kas. Irgi duduk di bangku beton tepat di samping kelasnya, memangku buku catatan kas kelas 2 A2-1. Rencananya, siapapun yang melewatinya, selama bagian dari 2 A2-1, hanya boleh masuk ke kelas setelah membayar lunas hutang mereka. “Woy! Sini lo!” panggil Irgi pada setiap teman sekelasnya yang hendak lewat. Pakai irama ngajak ribut. “Bayar kas dulu! Ngutang aja lo gedein!” Heran memang, giliran sama Irgi, mereka gampang-gampang aja bayar. Mungkin takut ga dikasih contekan pas ulangan. Sekitar lima menit sebelum bel tanda masuk pelajaran berbunyi, sebagian besar murid sudah berada di luar kelas, berpakaian olah raga. Irgi doang yang masih setia dengan putih abu-abunya. Oh iya, Irgi pun sudah mengembalikan buku kewajiban bersama mereka pada sang bendahara kelas. Irgi masih tetap di posisinya, tak berkutik sama sekali. Ada yang mengganggunya sedari tadi. Entah mengapa ia merasa April kadang membuat benteng tak kasat mata di antara mereka. Tapi lucunya, giliran Irgi ikutan senewen, April mendekat lagi. ‘Ngomong-ngomong, my boo tau nomer rumah gue dari mana? Ah sudahlah! Mending gue nyanyi.’ “Look into my eyes. You will see what you mean to me. Search your heart, search your soul. When you find me there, you'll search no more. Don't tell me it's not worth trying for. You can't tell me it's not worth dying for. You know it's true. Everything I do. I do it for you.” “Cie!” “Cie … April cie!” “Cie!” “Tembak dong, Gi!” “Asiiik. Traktir dong!” “Piwiiiit!” Irgi mengerutkan kening, wajahnya menoleh ke sang gadis yang menghempaskan napas dengan raut kesal. Perasaan Irgi cuma nyanyi. Ga ada niat buat mancing perhatian. Kan biasa dia mah begitu, bengong sambil nyanyi. Kalau bengong diam aja kan bahaya, bisa kesurupan. Di rumah aja kerjaannya akustikan sama Anggara. “Salah paham mulu!” gerutu Irgi. Ari yang duduk di sampingnya malah terkekeh. “Tuh liat mukanya. Judes banget! Ga usah bokinan lo Ri, bikin puyeng doang!” “Emang lo udah jadian? Semalam jadian di telpon?” tanya Ari. “Apaan! Kagak! Belum jadian aja gue dikasih muka ketekuk mulu. Gue tanya dia bokinan sama si Adit apa ngga, ga dijawab.” “Lagian lo buru-buru amat sih? Pedekate dulu. Ajak jalanlah.” “Lo pikir gue ga mau? Ini kaki lama banget sembuhnya.” Terdengar suara priwitan dari tengah lapangan. Akbar, sang guru olah raga melambaikan tangan, meminta para siswa kelas 2 A2-1 segera berkumpul di tempatnya berdiri. Mereka berlari ke tengah lapangan, hanya Irgi saja yang berjalan perlahan. Irgi tak mengalihkan tatapannya dari wajah April yang sudah berbaris di depan kelasnya, sementara sang pujaan hati justru memalingkan wajah, enggan bersitatap. Tiga pelajaran dengan durasi 45-menit persesinya rampung sudah. Waktunya beristirahat. Rutinitas Irgi masih sama, brunch dulu sama Ari. Begitu bekalnya habis, Irgi keluar dari kelas, siapa tau April ada di kelas sebelah. Nyatanya … tak ada juga. Kali ini, rasa kesal tak bisa ditahannya. Irgi melanjutkan langkah, tujuannya adalah anak-anak tangga yang akan membawa ke lantai dua gedung sekolah itu. Semua kelas tiga berada di sana. Namun, belum tuntas jarak yang ia tempuh, April dan Adit berjalan ke arahnya. Irgi serba salah, mau menghindar juga ga bisa. Ujung-ujungnya, ya beku di tempatnya. “Gi, lo nyalon jadi Ketua OSIS kan?” tanya Adit. “Kagak.” “Lah, divisi olahraga dan seni majuin nama lo.” “Kok bisa?” “Emang belum koordinasi?” “Baru wacana doang, belum gue iyain.” “Iyainlah. Siapa lagi kalau bukan lo?” “Ada Ari, Rahmat, banyak!” “Ari udah jelas-jelas nolak ….” “Gue juga nolak!” potong Irgi, ketus. “Kok lo nyolot?” “Bang, udah! Katanya mau ke ruang OSIS?” ujar April, berusaha menengahi sebelum terjadi keributan. Ribut dengan Ketua OSIS apalagi siswa kelas tiga, sepertinya bukan ide bagus. Bisa-bisa Irgi dicap adik kelas tersongong sejagad HighScope. Adit menghempaskan napas. Irgi pura-pura ga peduli. “Lo omonginlah Gi ke anak-anak. Oke?” Adit merendahkan suaranya. Ya, ia memang dikenal sebagai Ketua OSIS ter-berwibawa dalam tiga tahun terakhir. Pembawaannya tuh karismatik banget. Beda jauh sama Irgi. Kalau mau disaingin apple to apple, yang cocok paling Ari. “Hmm.” Sepanjang sisa hari hingga bel pulang berbunyi, Irgi seperti kehilangan jati diri. Ari saja sampai khawatir sangkin diamnya teman sebangkunya itu. Pulang sekolah Irgi juga lempeng aja ngelewatin parkiran motor. Beberapa orang temannya yang memerhatikan sampai bertanya pada Ari. Lah, Ari aja belum dicurhatin. “Ayo naik!” ujar Ari seraya menghentikan motornya di samping Irgi. Irgi tengah berjalan menuju jalan utama. “Lo duluan aja. Gue naik angkot.” “Gue antar. Ayo.” Irgi diam saja. “Ya udah, gue tunggu di depan!” pungkas Ari sebelum melajukan motornya kembali. Irgi pun lanjut berjalan, tak terburu-buru, tak pula sambil beramah-tamah dengan kawannya yang lain. Jika seorang anak yang selalu ceria tiba-tiba berdiam diri, pasti ia sedang ada masalah kan? “Gi? Ayo naik?” tanya Rahmat, juga memberhentikan motornya di samping Irgi. “Lanjut aja,” jawab Irgi, meminta Rahmat agar tak memperdulikannya. Rahmat mengangguk, melaju kembali. Jika di total, ada tujuh kali Irgi mendapatkan pertanyaan yang sama, termasuk dari Ari tadi. “Irgi,” tegur April yang kini berjalan di sampingnya. “Ngapain lo?” ketus Irgi. “Mau pulang.” “Kok ga sama Adit?” “Mereka ada rapat OSIS.” “Oh.” “Kok lo jalan sendiri?” tanya April lagi. “Iya. Makanya lo pergi deh. Ganggu!” “Kok gitu?” “Lo bikin gue pusing!” “Hah?” “Gue juga ga ngerti kenapa gue kesal banget sama sikap lo.” “Sikap gue?” “April … lo sadar ga lo selalu berusaha dekatin gue saat gue berusaha ga peduli sama lo?” April terdiam. “Lo suka sama gue?” tanya Irgi kemudian. “Gue ga mau punya musuh,” jawab April, lugas. “Oh. Oke. Paham gue sekarang.” “Irgi ….” “Apa itu juga artinya ... betul lo bokinan sama Adit?” April kembali terdiam. “Kenapa sih susah banget ngejawab?” “Ngga. Gue ga jadian sama Bang Adit.” “Terus?” “Mmm … dia nganggap gue adik.” “Apa?” “Iya. Gitu. Gue kenal dia dari kecil. Ayah kami sahabatan.” “Perasaan lo bertepuk sebelah tangan?” Irgi memperjelas situasi dan kondisi April. April malah terkekeh. “Oke,” ujar Irgi kemudian. “Oke apa?” “At least gue ga perlu ribut sama Adit buat dapetin lo.” “Di pikiran lo tuh cuma ribut aja ya?” Kali ini Irgi yang diam, tak menjawab. Selama beberapa langkah, meski keriuhan terdengar di sekitar mereka, namun bagi keduanya perjalanan itu sungguh sunyi. “Pril?” “Ya?” “Gue suka sama lo,” aku Irgi. Ia sampai menghentikan langkah. Mengungkap isi hatinya seraya menatap wajah April. Percayalah, degup jantung keduanya seolah hendak mendobrak rusuk. “Oh.” Hanya satu kata itu yang menjadi respon dari sang gadis. April kemudian lanjut melangkah, diikuti Irgi. “Jangan risih ya kalau gue nempelin lo mulu,” ujar Irgi lagi. “Gi … gue ga bisa.” “Belum juga dicoba masa udah ga bisa? Gue juga ga minta lo langsung jawab. Lagian kan gue cuma ngasih tau lo perasaan gue. Kita juga baru kenal. Kita pedekate dulu aja. Ya?” “Ga bisa, Gi,” cicit April lagi. “Karena Adit?” April mendengkus frustasi. “Adit kan ga niat jadiin lo ceweknya, kalaupun dia niat, fair enough kan ngasih gue kesempatan yang sama untuk bikin lo suka sama gue?” “Bukan itu masalah utamanya, Gi.” “Terus?” “Bokap gue orangnya keras.” Irgi kembali terdiam, meski tak lama, sekedar untuk memproses makna dari kalimat April barusan. “Oke. Bokap lo keras. Terus kenapa? Punya anak secantik lo kayaknya wajar kalau bokap lo punya sikap yang keras.” “Gue ga bisa pacaran!” tegas April. “Kan gue ngajak lo pedekate dulu.” “Gue kasih lo gambarannya ya. Lo ga bisa nelpon ke rumah gue. Kita juga ga bisa dekat di sekolah karena ada Bang Adit yang ga sungkan ngebocorin kelakuan gue ke Ayah.” “Lo bilang dia nganggap lo adik?” “Iya. Tapi dia juga bilang kalau gue berani pacaran, dia ga sungkan untuk ngaduin ke Ayah.” Irgi mendengkus. “Bokap lo dan bokapnya Adit sahabatan karena sefrekuensi kali? Setau gue Adit juga ga pernah punya cewek.” “Mungkin.” Irgi malah terkekeh. “Jadi, maaf ya Gi. Sekedar untuk ngasih kesempatan pedekate aja, gue ga bisa,” lanjut April. “Maaf juga, apapun alasan lo gue akan cari cara. Gue juga ga kepingin kayak gini. Tapi lo bikin gue sinting sumpah!” balas Irgi. “Irgi ….” “Gue suka sama lo. Gue kepingin dekat sama lo. Bagian mana yang lo ga ngerti?” “Lo tega kalau gue kena cambuk lagi?” Irgi … sontak membelalak. ‘Lagi?’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD