BAB 5Ines tepekur seraya memeluk lutut di trotoar depan hotel yang langsung terhubung ke jalan raya. Hilir mudik kendaraan dia abaikan. Dirinya butuh kepastian secepatnya sebelum kesuciannya pun direnggut oleh suami bajingannya itu. Dari arah depan, sorot lampu sebuah mobil sport mewah memantul ke wajahnya. Namun karena Ines menunduk sambil menangis tak dia hiraukan. Hingga mobil itu berhenti di dekatnya dan kaca mobil depan terbuka perlahan.
Tanpa Ines sangka, seorang lelaki turun dan menyimpan sesuatu di depannya. Sontak Ines mendongak dan menatap lelaki dengan kumis tipis itu. Kedua mata mereka bersirobok. Ines menautkan alis seraya mengalihkan pandang pada kresek warna hitam yang ada di depannya.
“Apa ini, Bang?” tanya Ines. Ya, usia lelaki itu sepertinya tak terpaut jauh darinya.
“Buat Mbaknya makan! Tadi punya Pak Langga ketinggalan, pas saya tanyakan katanya suruh kasihin sama yang membutuhkan saja!” tukasnya sopan. Ines terdiam, rupanya dirinya dikira pengemis oleh lelaki itu. Namun, demi mendengar nama Airlangga disebut, akhirnya Ines mengangguk seraya mengucap terima kasih.
“Baik, makasih, Bang!” tukas Ines seraya meraih kantong plastik itu.
“Iya, Mbak! Itu pasti enak, walau belinya di pinggir jalan, tapi itu satu-satunya makanan favorit Pak Langga yang tak pernah terlewatkan kalau pas ke Indonesia!” tukasnya seraya tersenyum.
Ines mengangguk. Tak lapar sebetulnya, jangankan merasakan lapar. Yang ada batinnya sedang panas. Namun sekali lagi, nama Airlangga menjadi alasannya menerima bungkusan dalam plastik warna hitam itu.
“Makasih banyak, Bang!” ucap Ines pada akhirnya.
“Sama-sama, Mbak! Oh iya, Mbak, maaf banget nih, ya ... daripada mengemis kayak gini, mending cari kerja, hmmm ... kebetulan di rumah orang tua Pak Langga lagi cari ART, kalau mau Mbak bisa melamar ke sana!” tukasnya seraya menatap iba.
"Oh betulkah? Saya memang lagi cari kerja, apa boleh minta alamatnya?" Entah kenapa tiba-tiba Ines tertarik, walaupun belum jelas statusnya setelah ini akan seperti apa. Lelaki itu terdiam, lalu masuk ke dalam mobilnya seperti mencari-cari sesuatu. Tak lama dia keluar lagi dan menyerahkan selembar kartu nama.
"Mbak, ini alamat orang tua Pak Langga, bilang saja dapat info dari Herman---sopirnya Pak Langga."
"Makasih, Bang!" Ines menerima selembar kertas itu lalu memasukkan ke dalam saku gamisnya. Herman berpamitan dan melanjukan mobilnya ke dalam, mau mengambil barang Pak Langga yang tertinggal. Senyuman terukir di bibirnya, menatap paras Ines yang rupawan membuatnya ingin agar perempuan itu kerja di majikan yang sama dengannya.
"Ah, semoga dia adalah jawaban dari doaku, Tuhan! Jodohkanlah aku dengannya!" batin Herman seraya meninggalkan Ines sendirian.
Ines sudah beralih fokus pada plastik hitam yang diberikan Herman. Perlahan jemari Ines membuka bungkusan kertas nasi yang ada di dalam plastik itu.
“Sate kambing?”Ines bergumam sendirian. Makanan itu benar-benar mengingatkannya pada Airlangga kecilnya dulu.
***
Airlangga kecil mengikuti ayunan langkah kaki Ines yang hanya beralaskan sandal jepit menuju ke arah perempatan. Mendengar cerita Ines tentang makanan yang enak, rasa penasaran Airlangga memuncak.
“Mang, satenya dua porsi!” tukas Ines seraya duduk pada bangku panjang yang berdekatan dengan meja.
“Ayam atau kambing?” tanya penjual sate. Airlangga yang baru hendak duduk berdiri lagi dan menatap kesal pada penjual sate.
“Kan teman saya bilang sate, kenapa Om ngatain dia ayam sama kambing?” tukasnya seraya berkacak pinggang.
Ines yang baru hendak menjawab saling lempar pandang dengan penjual sate, lalu keduanya tergelak seraya menatap wajah Airlangga yang memerah. Raut muka Airlangga berubah, dia tampak kebingungan karena kini malah ditertawakan. Namun akhirnya dia paham ketika penjual sate itu menjelaskan.
“Wah adek ganteng ini pandai melucu rupanya, yang Mamang maksud itu mau satenya , sate ayam atau sate kambing?” tukasnya menjelaskan seraya mengulum senyum. Sontak wajah Airlangga yang putih bersih itu diserang rona merah. Malu sekali sudah salah sangka dengan penjual sate yang dimarahinya.
***
Penggalan kenangan manis itu berlarian ketika dari arah pintu keluar terdengar suara hingar bingar. Ines menoleh seraya membungkus kembali sate kambing yang sudah bercampur lontong itu.
Rupanya acara sudah selesai. Para karyawan dan keluarganya berhamburan menuju tempat parkir.
Ines tersenyum miring, awalnya dia sudah hendak memburu Arlan dan meminta penjelasan. Namun melihat dua security yang tadi menyeretnya kembali berjaga, Ines mengurungkan niatnya.
Dia memiliki ide lain. Ines mengedarkan pandang ke sekitar angkot-angkot yang berbaris tak jauh dari tempatnya duduk. Ah, keberuntungan sedang berpihak rupanya. Tampak seorang ojol menepi dan memeriksa layar gawainya. Mungkin sudah malam dan sudah mau pulang. Semoga saja mau ketika Ines mintakan tolong.
“Bang, ojek?” sapa Ines. Sementara itu, sudut matanya sesekali menatap gerbang di mana para pengendara sudah mulai keluar. Dia hapal nomor mobil Arlan. Karenanya dia tak mau lagi kecolongan.
“Iya, Mbak! Langsung pesen saja di applikasi!” tukasnya.
“Hmmm … maaf, Bang! HP saya ketinggalan, tapi ini penting banget! Saya harus mengikuti seseorang. Ini berhubungan dengan nyawa dan masa depan saya!” Ines memelas. Tukang ojek itu tampak berpikir. Namun dari sudut mata, Ines melihat mobil Arlan sedang bersiap berbaur ke jalan raya. Ines tak punya banyak waktu dia langsung saja mengambil helm dan naik ke atas boncengan dan meminta tukang ojek itu jalan.
“Bang, ikuti mobil Innova warna hitam itu! Tapi jaga jarak, ya!” tukas Ines seraya menunjuk pada mobil Arlan. Dia sudah melingkarkan kerudung juga untuk menutup sebagian wajahnya.
“Ya sudah deh, Mbak!” tukang ojek itu nampak pasrah.
Sepeda motor yang ditumpangi mereka akhirnya melaju mengikuti innova hitam yang dikendarai Arlan. Setelah sekitar satu setengah jam, akhirnya mobil itu berbelok dari jalan utama dan masuk ke sebuah cluster perumahan. Ines masih mengikutinya dalam diam.
Di depan sebuah minimalis berlantai dua, innova hitam itu berhenti. Tampak Arlan turun dan membukakan gerbang. Lalu dia naik lagi dan memasukkan mobilnya ke dalam.
Ines mengawasinya seraya menjaga jarak aman. Lalu dia mengeluarkan gawainya dan mengambil gambar. Ines sudah memiliki rencana sendiri untuk membuat perhitungan dengan Arlan yang sudah menipunya. Pantas saja setiap sore setelah dia pijiti, Arlan selalu beranjak meninggakan rumah dengan alasan mengecheck karyawan shift malam di perusahaan. Rupanya bukan karyawan shift malam, tetapi istri simpanannya.
“Aku tak mau hancur sendirian, Mas! Mari kita hancur sama-sama sekalian!” batin Ines seraya menarik napas panjang. Lalu dia meminta tukang ojek itu menjauh dan kembali menuju kediaman ibu mertuanya. Ines tak hendak hidup berlama-lama di sana, tetapi dia hanya butuh penjelasan dan kepastian tentang statusnya. Menjadi pengantin baru yang harusnya indah, rupanya tidak berlaku baginya. Permasalahan yang menguras emosi kini menunggu diselesaikannya.
Sepeda motor yang ditumpangi Ines baru saja berhenti di halaman rumah ketika dari arah jalan terdengar deru mobil yang mendekat. Tampak mobil yang ditumpangi Ibu mertua dan kakak iparnya datang. Ines segera membayar tukang ojek itu agar buru-buru pergi. Dia tak mau jika tukang ojek itu harus menyaksikan keributan.