38- Ide

1049 Words
"Tidak bisa. Kalian tidak bisa melakukan segala sesuatu yang terburu- buru." Abah berucap dengan kalimat yang diam- diam menghanyutkan itu. Pria itu tersenyum dengan teduh menatap Argan dan juga Nino secara bergantian itu. "Kenapa gak bisa?" tanya Argan dengan mengerutkan dahinya. Ia bingung karena setahunya dahulu ia pun belajar bela diri dengan cepat. Tunggu, apa ia salah? "Iya, bukannya ada cara yang mudah dipelajari dalam waktu yang singkat?" Nino ikut menyambung. Ia menatap Argan yang juga tengah menatapnya, kemudian beralih menatap Abah. "Ya, 'kan?" tanyanya. Abah lagi - lagi tersenyum dengan teduh. Kemudian sembari memajukan dua gelas air putih ke hadapan Argan dan Nino di depannya itu ia menggeleng pelan. "Tidak bisa. Tidak ada bela diri yang dapat dikuasai dalam waktu singkat," ucap Abah lagi. Kemudian ia tersenyum. "Ibaratnya kalian berdua ini dua balita yang sedang belajar merangkak dan mana bisa tiba- tiba kalian langsung berjalan?" Ia menjelaskan dengan senyum teduh yang tak lepas dari wajahnya. Argan dan Nino sontak saling menatap. Mereka membulatkan bibir masing- masing sembari memahami perkataan dari Abah itu. Nyatanya yang dikatakan oleh Abah itu semuanya benar. "Oh, iya, Gan." Nino menyenggol lengan Argan dengan cepat. Lalu memasang wajah garangnya pada Argan itu. "Gimana sih lo dulu pernah bela diri masa gak tahu?" Argan sontak menyengir. "Oh iya, yah. Gue lupa," ucapnya sembari makin melebarkan cengirannya. Ia menatap Abah sembari kembali berujar, "Tapi dulu saya juga bisa bela diri dalam waktu cepat kok." "Kamu dulu pernah ikut bela diri apa?" Abah tersenyum. "Ee ...." Argan hendak menjawabnya secara langsung namun pemuda itu mendadak tak dapat mengingat nama bela diri yang ia ikuti. "Apa yah ... lupa," ucapnya lagi kemudian menggaruk belakang kepalanya yang memang gatal itu. Abah menggelengkan kepalanya prihatin, sedangkan Nino ... em ... rasanya ia hampir saja ingin memukul Argan sekarang. "Gan ..." Nino sudah hampir mengayunkan tangannya itu ke samping tubuh Argan namun tak jadi ketika ia tak sengaja bertatapan dengan Abah. Nino akhirnya ikut menyengir bersama Argan. "Jadi kira- kira berapa lama kami berdua baru bisa menyerap ilmu bela diri itu?" Nino akhirnya hanya dapat menanyakan hal itu. Ia menatap pada Abah di depannya itu. Abah kembali menggelengkan kepalanya dan mulai menjawab pertanyaan Nino itu. "Kalau kalian ingin belajar bela diri. Minimal kalian harus satu bulan di sini." Pria berkepala empat itu menatap Argan dan Nino dengan tegas. Argan dan Nino sontak bersitatap. "Satu bulan?" tanya kedua pemuda itu berbarengan dengan raut wajah yang terkejut. Abah mengangguk. "Dalam waktu satu bulan itu pun kalian baru bisa belajar ilmu dasarnya saja, tetapi akan saya ajarkan lagi di sela- sela waktu senggang." Ia menjelaskan dengan senyum lebar. Ditatapnya kedua pemuda itu lagi sebelum melanjutkan kalimatnya. "Jika kalian berdua sanggup untuk belajar selama satu bulan, besok kalian bisa ke sini lagi. Tetapi kalau kalian rasa satu bulan itu waktu yang terlalu lama, maka kalian boleh cari padepokan silat lain yang bisa menjanjikan untuk belajar dalam waktu singkat." Abah akhirnya menyimpulkan semua penjelasannya itu. "Silakan kalian berdua pikirkan dengan baik- baik," sambung Abah lagi sembari menatap kedua pemuda di depannya itu. Pada akhirnya ia memutuskan untuk memberi pilihan tersebut. Ia yakin bahwa kedua pemuda itu dapat memutuskan yang terbaik. Argan dan Nino yang mendengarkan hal itu sontak menunduk dan detik berikutnya mereka bersitatap. Mereka akhirnya mengangguk. Pada akhirnya kedua pemuda itu tidak dapat memaksakan apapun lagi dan memang harus memilih. "Kalau begitu kami berdua akan memikirkannya matang- matang hari ini, Bah." Nino yang pertama kali berucap. Ia segera menyenggol lengan Argan lagi seolah memberi isyarat untuk pemuda itu menyetujui ucapannya. Argan sontak mengangguk. "Iya, Bah. Kami akan pikirkan matang- matang dulu, baru berikutnya akan kami beri jawabannya besok." Abah hanya menganggukkan kepalanya. "Baiklah kalau begitu." Argan dan Nino akhirnya pulang ke kos- kosan mereka dengan membawa dua buah pilihan yang membingungkan. Mereka benar- benar harus memikirkan pilihan itu dengan matang. Pasalnya tak mungkin jika satu bulan itu diselesaikan hanya untuk satu misi, masih banyak misi lain, dan bagaimana dengan tugas- tugas mereka di perkuliahan? Dua buah pilihan itu benar- benar membingungkan untuk keduanya. *** "Jadi gimana keputusannya?" Bella menatap kedua pemuda di depannya itu yang tengah menyesap minuman masing- masing lewat sedotannya. Setelah mendapatkan pilihan seperti itu, kedua pemuda itu sontak menemui Bella. Argan dan Nino langsung meluncur menuju mall tempat Bella bekerja itu. Di sela waktu kerjanya sebagai resepsionis itulah Bella akhirnya menemui Argan dan Nino. "Gak gimana- gimana ..." Argan memulai jawabannya. Ia melirik Nino di sampingnya yang masih menunduk menyedot minumannya. Argan kembali menatap Bella. "Kami berdua, 'kan udah janji. Jadi gimana pun juga kami berdua harus menyanggupinya." Ia melanjutkan. Bella mendadak memberikan tatapan rasa bersalahnya. Ia merasa bahwa sepertinya terlalu membebani kedua pemuda di depannya itu. Namun sepertinya Argan memang sudah sangat bertekad. Sekarang hanya perlu melihat sikap Nino selanjutnya. "Tapi gimana sama kuliah kita, Gan?" Nino sontak mengangkat kepalanya menatap Argan. Tangannya masih memegang sedotan di gelasnya itu. "Kita masa gak ngampus?" tanyanya lagi. Argan mendecak lidahnya. Pemuda itu menatap Nino dengan bola mata memutar. “Kita bisa ngampus, No.” Ia mendadak merangkul pundak Nino di sebelahnya itu, kemudian pemuda itu menatap pada Bella. “Gue punya ide bagus.” Nino menatap Argan di sebelahnya. “Apaan?” Ia memberi Argan tatapan bingung. Pertama kali ia datang ke padepokan itu saja setelah ia direkomendasikan oleh teman kuliahnya, dan teman kuliahnya itu tak memberi tahu tentang sistem belajar di sana, apalagi ketika ia bertanya pada Argan, bahkan pemuda itu selalu menjawab dengan tak pasti. Alasannya adalah satu, yaitu lupa. Argan berdecak, ia menatap Nino dan Bella di depannya itu bergantian. Ia memberi tatapan seriusnya, tentu saja ia tak ingin dicap sebagai sosok yang tak bertanggung jawab. Bagaimana pun juga ia adalah satu- satunya orang yang pernah belajar bela diri, jadi ia harus memberi ide yang bagus. Argan mulai membuka suaranya. “Kita ikutin syarat latihan satu bulan itu. Tetapi kita juga harus buat syarat sendiri. Kita ‘kan ini sambal kuliah, pasti Abah bakal izinin kita buat fokus ke perkuliahan dulu, nah jadi kita tetap latihan bela diri di sela jam kuliah kita. Gimana?” Argan menaik turunkan alisnya setelah mengucapkan penjelasannya itu. Nino menatap Argan dengan mata bingung. “Tapi jadwal kuliah kita ‘kan beda.” Argan seketika menatap Nino. “Oh iya!” Dan … mendadak Argan merasa dirinya menjadi sosok yang tak berguna saat itu juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD