Hana dan Dini duduk di kursi yang jauh dari jangkauan Vito dan gerombolannya itu. Hana terus mengatur deru napasnya yang tak beraturan itu. Di sampingnya ada Dini yang terus mengelus- elus punggung Hana itu.
"Tenang, Han." Dini terus mencoba menenangkan Hana itu.
Sedangkan Hana hanya dapat tersenyum pelan. Kemudian mengangguk pada Dini.
"Iya, Din."
Hana berganti menggenggam tangan Dini. Ia selalu senang karena Dini terus berada di sampingnya itu. Bagaimanapun keadaannya, wanita itu tetap di sisi Hana, dan ia syukuri itu.
"Makasih, Din." Hana tersenyum makin lebar. "Makasih lo selalu ada di sisi gue, seberapa pun usia kita sekarang."
Dini terkesiap, ia membalas genggaman tangan Hana itu. Kemudian ia tersenyum cerah, semua gerutuannya telah lenyap. "Kembali kasih, Han. Makasih juga lo udah berada di sisi gue," balasnya.
Hana dan Dini tersenyum bersamaan. Mereka mengenang masa muda mereka. Bagaimana mereka bertemu di usia belasan tahun ketika SMA, kemudian harus berpisah ketika berkuliah di kampus yang berbeda bahkan kota yang berbeda. Tak sengaja akhirnya kedua wanita itu dipertemukan kembali di perusahaan yang sama, pada usia dua puluh tahunan.
Sampai akhirnya peristiwa tak mengenakkan itu terjadi. Di mana Ardian si karyawan dari departemen yang sama dengan Hana itu memacari wanita itu. Hana pikir awalnya memang Ardian menyukainya dan perasaannya memang berbalas, namun ternyata tak seperti yang ia pikirkan itu. Ardian ternyata memacari Dini juga, yang merupakan teman terdekat Hana. Mereka berpacaran tanpa Hana tahu, dan Dini pun tak tahu itu. Kedua wanita itu berhasil dibodohi oleh Ardian.
Kejadiannya sudah terjadi tahun lalu, namun tentu saja Hana masih akan mengingatnya sampai kapanpun. Bagaimana perasaannya dikhianati begitu saja. Kemudian Vito terus mengganggunya setelah akhirnya seluruh kantor pun tahu tentang kejadian itu. Karena tak kuat mendapatkan tatapan dan omongan tak mengenakkan itu, Hana akhirnya memutuskan mengundurkan diri dari jabatannya itu.
Keputusan yang masih sangat disesali oleh Hana sampai sekarang. Padahal jabatannya di perusahaan lamanya itu sudah sangat bagus dan bahkan hampir diangkat sebagai kepala divisi. Kini ia harus merintih kembali dari bawah.
Hana masih menyesali hal itu. Andai saja Hana menahan semua omongan dan tatapan itu. Andai saja semuanya tak terjadi. Andai saja ia tak jatuh cinta pada Ardian.
"Kalian gak apa- apa?"
Hana mendongak dan mendapati Argan serta Nino yang berjalan mendekat ke arah mereka. Argan menampakkan wajah khawatirnya. Namun Nino juga menampakkan raut yang tak berbeda jauh.
Argan berdiri tepat di hadapan Hana. Dan tanpa Hana sadari semenjak tadi ternyata ada sebuah gelas berisi air putih yang dibawa Argan di tangan kanannya. Pemuda itu langsung menyerahkan gelas itu pada Hana sembari berucap, "Diminum."
Ia tersenyum di sela wajah khawatirnya. "Biar lo lebih tenang," sambung pemuda itu.
Nino pun ternyata melakukan hal yang sama. Pemuda itu menyerahkan gelas itu pada Dini. Dan tanpa berbasa basi lagi, pemuda itu duduk di samping wanita itu.
"Lo tadi teriak gitu gak sakit tenggorokan?" tanyanya dengan polos pada Dini.
Dini terkekeh, namun tak banyak menjawab, ia segera meneguk air putih yang diserahkan Nino untuknya itu. "Makasih, ya."
Nino mengangguk pelan meskipun Dini tengah tak menatapnya. Ia beralih memandang Argan yang duduk di kursi paling ujung, tepatnya menduduki kursi di samping Hana. Jadi kini posisinya yaitu Argan dan Nino mengapit kedua wanita itu. Sengaja hendak melindungi kedua wanita yang rapuh itu.
"Thanks, ya, kalian udah bantuin kita berdua." Hana yang pertama kali berbicara di sela keheningan yang mendera itu.
Wanita itu menatap Argan dan Nino bergantian kemudian melanjutkan, "Kalau gak ada kalian, mungkin gue sama Dini gak tahu lagi nasibnya." Ia terkekeh di ujung kalimat.
Nino mengibaskan tangannya. "Enggak, kok. Kalian malah kuat. Kalian pasti bisa melawan mereka semua. Bahkan tadi kita gak ngapa- ngapain."
Argan mengangguk mengiyakan. "Bener," sahutnya cepat. "Kita gak ngelakuin apapun. Semuanya selesai berkat kalian berdua. Kalian wanita strong."
"Strong apanya?" Dini telah menyelesaikan minumnya. Ia menyerahkan gelas kosong pada Nino, lalu melanjutkan. "Kalian gak tahu aja Vito selalu bully Hana dengan menyebalkan. Itu tadi gue udah habis kesabaran aja, gak tahan selama ini sama kelakuan Vito itu."
Hana mengangguk mengiyakan ucapan Dini. Namun ia tak mengucap apapun.
Mengingat itu Argan langsung mengubah air mukanya. Ia mengepalkan kedua tangannya. Lalu memandang kejauhan di mana Vito dan gerombolannya itu berada.
"Dia sebenarnya siapa, sih?" Argan bertanya dengan geram. "Kenapa sok berkuasa banget?"
Hana mengikuti arah pandang Argan. Ia tak sengaja bertemu pandang dengan Vito, namun detik berikutnya Vito langsung mengalihkan tatapannya.
"Vito itu dulu teman gue." Hana menerawang. Ia mengalihkan tatapannya dan menatap Argan. "Tapi dia lama- lama berubah semenjak gue mulai dekat dengan Ardian. Bahkan Vito jadi menyebalkan dan bergabung dengan gerombolan itu. Anehnya dia langsung diangkat jadi ketua."
Dini mengangguk- anggukkan kepalanya. "Dia dulu itu baik, tapi semenjak Hana mulai kelihatan suka sama Ardian, Vito mulai berubah jadi sering gangguin Hana."
Argan dan Nino seolah speachless mendengar kenyataan itu. Seolah benar- benar terkejut mendengar fakta bahwa Vito dan Hana itu berteman.
"Hah?"
"Serius?"
Hana mengangguk. "Iya. Dan gue baru tahu belakangan kalau Ardian itu pacaran sama gue karena disuruh Vito itu. Bahkan gak tanggung- tanggung, Ardian nembak Dini juga."
"Dan Dini nerima Ardian juga?" Argan mengerut dahi.
Dini mengangguk. "Gue sama Hana beda departemen, makanya kita jarang ketemu, cuma lewat chat aja. Dan kalian tahu chat sering bikin salah paham." Ia mengenang. "Gue gak tahu kalau orang yang pacaran sama Hana itu ternyata juga pacar gue."
Argan dan Nino sontak bersitatap. "Wah!"
"Lagian siapa sih yang gak naksir Ardian itu?!" Dini menyeringai dan menatap Hana. Kedua wanita sontak terkikik bersamaan.
"Iya, bener. Ardian memang seganteng itu." Hana mengiyakan.
Hal itu membuat Argan dan Nino bersitatap seketika. Mereka mengedik bahu masing- masing seolah bertelepati. Mereka makin bertanya- tanya seperti apa sih tampang Ardian itu.
Baru saja Argan dan Nino selesai dengan pemikiran mereka itu, MC di depan sana telah menyelesaikan sambutan pembuka acara. Kemudian MC itu mulai memanggil kedua pengantin untuk memasuki pelaminan.
Sepasang insan berjalan memasuki pelaminan setelahnya. Mempelai pria yang mengenakan setelan tuksedo rapi bersanding dengan mempelai wanita yang mengenakan dress putih lebar. Keduanya dituntun untuk menduduki kursi pelaminan.
Argan dan Nino sampai berdiri untuk memastikan pandangan mereka. Pasalnya kursi yang mereka duduki ini jaraknya lebih jauh dari pelaminan. Sehingga sampai membuat mereka berdiri.
Begitu Argan dan Nino dapat melihat wajah si mempelai pria, keduanya tercengang. Memang benar yang dikatakan oleh Dini dan Hana.
Ardian memang seganteng itu.
***