Argan dan Nino pulang kembali kos- kosan mereka dengan wajah cukup lebam. Meskipun cewek bernama Qonita itu berbadan mungil, namun pukulan tangannya sangat kuat. Buktinya selang beberapa jam, namun bekas pukulannya masih terasa, panas dan perih. Lebay memang bagi dua orang pemuda berbadan tinggi itu, namun memang kenyataannya seperti itu.
Argan memandang Nino dengan sebal. "Gue kayaknya tahu alasan Sandy berani bayar sejuta demi untuk mutusin hubungan sama cewek itu."
Pemuda itu berjalan memasuki kamar kosnya yang terlihat berantakan itu. Bahkan tadi mereka terburu- buru untuk datang ke kafe, dan tidak sempat membereskan kamar. Dan ternyata hanya pukulan yang mereka dapat. Benar- benar buah tangan yang bagus.
Nino mencopot sepatunya dengan tatapan sebal pada Argan. Bukannya ia sebal pada Argan sekarang, namun ia sebal karena mengakui bahwa perkataan pemuda itu adalah benar. Memang ternyata Sandy membayar mereka hanya untuk mendapat pukulan seperti ini.
"Iya, gue juga baru tahu," jawabnya dengan sebal.
Argan mencium bajunya yang sudah bercampur bau dengan jus tomat tadi. Ia menatap dirinya lewat pantulan cermin yang tampak mengenaskan, dan sedari tadi ternyata hal itu lah yang membuat pandangan orang aneh padanya.
"Gue mau rendam baju ini dulu." Dengan cepat ia lepas bajunya dan segera berlari menuju kamar mandi.
Nino hanya memandang Argan dengan embusan napas kasar. Pemuda itu memandang wajahnya lewat cermin. Lalu meraba pipinya yang sudah berubah warna menjadi keunguan itu.
"Aw!"
Ketika merabanya, ia merasakan sedikit perih dan kebas. Nino putuskan untuk tidak meraba atau memegang bekas pukulan itu lagi.
"Si Qonita kecil- kecil tenaganya tapi gede banget, dah." Nino mencibir kesal.
Ia kini beralih menatap kamar mandi tempat bunyi gemericik air terdengar. Ia jadi kasihan pada Argan yang harus mendapatkan hal ganda, sudah disiram jus tomat, lalu mendapatkan pukulan pula.
Nino menghentak kaki kesal. Lalu ia berjalan mendekati kamar mandi untuk berteriak, "Gue aja yang cuci baju lo gimana?"
Ia menunggu jawaban dari Argan, namun pemuda itu masih diam. Sepertinya tengah mandi.
"Gan!" teriaknya lagi.
Argan terdengar mematikan keran air kemudian membalas teriakan dari Nino. "Apaan?!"
Nino menggeleng. Ia sepertinya tidak perlu sejauh itu untuk membalas Argan. Bahkan ia pun mendapatkan bogeman di pipinya. Jadi ia pun meralat kalimatnya.
"Hemat air! Mahal!"
Argan menyahut cepat. "Yo!"
Nino terkekeh dan melangkah kembali menuju ranjangnya. Ia mendudukkan dirinya di atas kasurnya itu. Kemudian mendesah panjang. "Cari duit susah amat."
Kling
Sebuah pesan notifikasi muncul di layar ponselnya. Dengan cepat Nino mengambil ponselnya dan melihat notifikasi apa itu. Ternyata notifikasi itu adalah sebuah pemberitahuan yang menyatakan bahwa seseorang telah mengirimkan uangnya ke rekening miliknya. Dengan segera ia mengklik notifikasi itu.
Di sana tertulis bahwa Sandy telah mengirimkan satu juta rupiah ke rekening miliknya. Ia melihat nominal itu dengan gusar. Sepertinya jika dibagi dua, mereka hanya akan mendapat lima ratus ribu, dan tidak setimpal dengan apa yang mereka dapatkan seharian ini.
Nino mendengar pintu kamar mandi terbuka, dan Argan muncul dengan rambut basahnya yang ia keringkan dengan handuk. Argan sudah berganti kaos oblong dan celana boxer-nya. Pemuda itu menatap Argan dengan gusar.
Membuat Argan bingung di tempatnya. Ia mengerut dahi. "Kenapa?"
"Menurut lo ... sejuta itu cukup gak buat apa yang udah kita terima hari ini?" tanya Nino dengan menunjukkan notifikasi dari Sandy itu.
Argan merebut ponsel Nino, dengan cepat membacanya. Lalu ia mengembalikan pada Nino sembari berkata, "Menurut lo setimpal gak?" tanyanya santai sembari berjalan kembali menuju kasur dan mengambil ponselnya.
Argan sepertinya menyerahkan semua keputusan itu pada Nino. Yang membuat Nino makin bingung.
"Enggak. Kita harus minta lebih. Toh Sandy anak orang kaya yang tinggal minta duit sama orangtuanya." Nino berujar mantap. Argan hanya melirik dengan seringaian.
Akhirnya Nino memutuskan untuk kembali menelepon Sandy. Butuh beberapa detik hingga Sandy mengangkat sambungan teleponnya.
"Iya! Halo, Bang!" Nino berseru.
"Iya, No. Gimana? Udah gue kirim, udah masuk 'kan duitnya?" Sandy di sebrang sana bertanya dengan bingung.
Nino menjauhkan ponselnya dan menekan tombol speaker agar Argan ikut mendengarkan percakapannya dengan Sandy.
"Gimana tadi? Sukses gak?" Sandy kembali bertanya padanya.
Nino membalas, "Sukses dengan mengenaskan. Gue dipukul sama dia, dan Argan harus kena siram jus tomat karena cewek lo, eh, mantan lo itu." Ia mengakhiri kalimatnya dengan sebal sembari menatap Argan yang mengangguk.
Sandy hanya terkekeh di sebrang sana. Kemudian beberapa detik kemudian ia meredakan tawanya. "Iya, dia tuh pernah jadi atlit boxing pas masih SMA," ucapnya santai.
Sandy tidak tahu saja kalau Argan dan Nino langsung melebarkan matanya seketika.
"Tinju?" Argan berbisik dengan kesal.
Nino mengangguk dan mengiyakan dalam diam. Pantas saja pukulan tangan cewek itu sangat keras dan bekasnya masih terasa sampai sekarang.
"Anjir! Lo gak bilang cewek lo, eh, mantan lo itu ahli tinju. Gue sama Argan kena tinjunya, masih sakit banget nih!"
Lewat sambungan telepon Nino memprotes Sandy di sebrang sana yang justru cekikikan.
"Iya, maaf, No. Nah, itu makanya gue mau bayar lo untuk mutusin dia." Sandy di sebrang berucap.
"Pokoknya gue mau lo lebihin biayanya, Bang. Buat berobat." Nino masih mencoba bernegosiasi. Ia sedari tadi mengelus pipi kanannya yang terkena tinju itu.
Sandy terkekeh kemudian berkata, "Gue transfer lagi nanti. Satu juta lagi cukup gak?"
Argan yang sedari tadi mendengarkan percakapan yang di-loud speaker itu kini mulai menggelengkan kepalanya. Ia mengacungkan jemarinya dan membentuk angka dua. Nino mengangguk paham.
"Genapin jadi dua deh, Bang. Jadi biar satu setengah-an sama Argan." Nino kembali berujar. Masih mencoba untuk bernegosiasi.
Sandy cukup lama terdiam. Kemudian mulai membuka suaranya. "Oke, deh. Gue transfer dua juta lagi sekarang."
Mata Nino dan Argan langsung melebar begitu mendengar kalimat dari Sandy itu. Namun belum bersuara.
"Iya, Bang. Gue tunggu."
Klik
Panggilan terputus. Mereka bertos-ria sekarang. Kemudian berujar dengan keras bersamaan.
"Yes!"
Namun mereka makin bersorak keras begitu mendengar nada notifikasi pesan masuk ke dalam ponsel Nino lagi. Dengan terburu Nino membukanya, dan benar saja, ada sejumlah uang yang masuk ke dalam rekeningnya. Dua juta lagi telah ditransfer ke rekeningnya.
Tiga juta rupiah totalnya sekarang yang berada di rekening Nino.
Argan yang juga melihat hal itu kini tersenyum girang. "Dia beneran kirim duitnya!"
Dengan cepat kedua pemuda itu bersitatap dan berteriak bersamaan, "Wohooo!"
Mereka bertos- ria kembali dan tersenyum lebar.
Mereka merayakan hal itu bersama-sama. Sekarang mereka tidak merasakan sakit lagi mendera di pipi masing-masing. Rasa sakit itu sudah terbayar. Setidaknya mereka tidak perlu pusing memikirkan biaya kos bulan depan.
"Gue punya ide!" seru Argan tiba-tiba.
Di sela perayaan itu, Argan mendadak mendapatkan sebuah ide.
"Gimana kalau kita dirikan jasa permintaan seperti ini? Jadi mereka bisa request apapun ke kita, dengan membayar biaya yang sesuai." Argan menjelaskan.
Nino mengangguk. Sebagai anak Fakultas Bisnis ia tidak ingin kehilangan peluang mendapatkan uang ini. Benar yang dikatakan oleh Argan. Mereka harus memanfaatkan peluang ini.
Nino tersenyum lebar. Ia menganggukkan kepalanya berulang kali. Mendengar ide segar dari Argan membuatnya senang.
"Boleh, tuh. Kita bisa pajang iklan atau suruh Sandy promosiin jasa kita."
"Gimana kalau kita buat blog, jadi mereka bisa ketik sendiri permintaan apa dan biaya berapa." Argan menambahkan. Ia menyeringai lebar.
Seringaian itu menular. Kini Nino menyeringai juga. "Bisa! Gue yang nanti bikin blog!"
Setelah itu, mereka kembali bertos-ria dan mulai merancang gambaran jasa permintaan mereka itu.
***