Hana masih tercengang mendengar perkataan dari Ardian itu. Bahkan hingga sepuluh menit setelah ia turun dari panggung pelaminan itu. Di samping Hana, Dini tampak mengelus- elus lengan Hana itu. Dini berusaha membuat Hana tenang dan tak terkejut lagi.
Namun Hana tetaplah terkejut. Ia masih saja terdiam ketika Dini membawanya untuk menuju prasmanan bersama Argan dan Nino. Perkataan dari Ardian benar- benar mengusik pikirannya.
"Jadi ... kalian berdua juga udah tahu kalau Vito itu suka sama Hana?"
"Apa?!"
Ardian kini bingung di tempatnya. Ia seperti baru saja membongkar rahasia besar. Mendadak pria itu merasa bersalah.
"Jadi beneran Vito suka sama Hana?" Dini mengulang pertanyaan itu di depan Ardian, memastikan pendengarannya tidak salah.
Detik berikutnya ia melirik ke arah Hana yang mendadak menjadi diam.
Ardian menggeleng. "Jadi kalian belum tahu? Aduh, kukira kalian sudah tahu akan hal itu," ucapnya dengan raut bingung. "Aku ngerasa baru aja bocorin rahasia besar."
Ardian menatap Hana dengan raut menyesal. Ia tahu pasti sekarang Hana benar- benar shock mendengar hal itu. Ardian sungguh merasa bersalah sekarang.
"Kamu gak apa- apa, Han?" tanya pria itu memastikan keadaan Hana sekali lagi.
Hana yang tadi terdiam, kini ia mulai melangkah maju dan tampak menantang Ardian. Tatapannya gusar. Lalu dengan satu kalimat dari bibirnya, Hana membuat Ardian tak berdaya.
"Ceritakan semuanya setelah ini!"
Hana tak terima begitu saja ketika mendengar bahwa pemuda yang selama ini mengganggunya sampai ia resign itu menyukainya. Hana tak terima.
Ardian menjanjikan Hana untuk menceritakan semuanya selepas acara pernikahannya itu selesai. Yang tentu saja membuat Hana merasa menunggu dengan tak sabar.
Bahkan dalam sepuluh menit ini tak lagi di pelaminan, Hana masih saja menanti.
Ketika berada di prasmanan, akhirnya Hana terpaksa harus dipaksa mengambil makanan oleh Dini. Karena Hana tak menyentuh makanan itu sama sekali. Ia tak berselera makan.
"Ssstt.."
"Ssstt ..."
Merasa mendapat isyarat panggilan seperti itu, Argan menoleh pada Nino.
Selanjutnya Nino berbisik pada Argan. "Hana gak apa- apa?" tanyanya dengan bisikan.
Argan yang mendapat pertanyaan itu hanya bisa mengedik bahunya. "Gue gak tahu," balasnya cepat. Detik berikutnya ia turut memandang ke arah Hana. "Pasti dia shock banget," sambungnya lagi.
Nino mengangguk. Ia memakan dagingnya sebelum akhirnya ikut menatap ke arah Hana.
"Gue 'kan udah bilang kalau Vito emang suka sama Hana, dan terbukti, 'kan?" Nino membisikkan kalimatnya itu lagi pada Argan.
"Iya." Argan mengangguk. Namun ia langsung menggeplak lengan Nino setelahnya sembari berucap, "Bisa gak sih lo gak bisik- bisik aneh kayak gitu?"
Mendadak ia merasa risih karena Nino terus saja mengucapkan kalimatnya dengan bisikan. Padahal orang di sekitar mereka pun jarang.
"Gue takut Hana dengar." Nino kembali berbisik.
Argan memutar bola matanya. "Tapi Hana dan Dini itu jaraknya jauh dari kita. Jadi lo gak perlu bisik- bisik lagi toh mereka gak akan dengar," sergahnya menatap Nino dengan geram.
Nino menyengir. Memang benar yang dikatakan oleh Argan itu. Jarak tempat duduk mereka dengan tempat duduk Hana dan Dini sangat jauh.
Tadi setelah mengambil makanan, Argan dan Nino terpaksa harus berpisah dengan dua wanita itu karena kursi di deretan prasmanan benar- benar terisi penuh. Deret kursi di bagian depan hanya menyisakan dua kursi kosong, sehingga Hana dan Dini langsung menempatinya begitu saja. Bahkan Hana dan Dini mungkin melupakan fakta bahwa mereka datang ke pesta pernikahan itu bersama Argan dan Nino. Akhirnya setelah merasa dilupakan, Argan dan Nino terpaksa mencari kursi kosong lainnya yang berada di bangku belakang. Ya begitulah kisahnya bagaimana mereka berdua yang tak sederet lagi dengan Hana dan Dini.
Kembali pada Hana dan Dini. Kedua wanita itu masih terdiam pada apa yang mereka lakukan masing- masing. Dini dengan khitmad menyantap makanannya, sedangkan Hana juga tengah khitmad berkutat dengan pikirannya.
Saat Dini tengah menyendok baksonya, tiba- tiba Hana berujar yang membuatnya terkejut.
"Gue harus dengar semuanya dari mulut Vito langsung. Bukan dari Ardian." Hana berucap dengan menggebu- gebu. Ia menatap Dini di sampingnya. "Jadi gue gak perlu nunggu Ardian sekian lamanya padahal dia juga masih sibuk dengan pesta pernikahannya."
Dini hampir memuncratkan kembali bakso di dalam mulutnya dan hampir tersedak. Ia mendelik mendengar perkataan dari Hana itu. Wanita itu mengunyah dan menelan kunyahan baksonya itu sebelum menatap Hana dengan nyalang.
"Apa?! Lo mau minta penjelasan dari Vito?!" Dini mengulang perkataan Hana dan memastikan pendengarannya.
Hana mengangguk. "Iya, soalnya gue penasaran banget, Din. Gue harus minta penjelasan-"
"Lo gila!"
Dini memotong ucapan dari Hana itu. Ia meletakkan mangkuk baksonya dan kembali berucap, "Lo terlalu gila, Han."
Mendengar Hana akan mendatangi Vito secara langsung membuat Dini khawatir. Tentu saja Vito itu masih berbahaya.
Hana terdiam mendengar perkataan Dini.
"Lo mau tanya ke Vito sendiri terus tanyain langsung ke dia tentang perasaannya?" Dini menatap Hana dengan geram. "Pasti dia gak akan ngaku, lah, Han. Terus yang ada nantinya lo yang bakal disangka kepedean sama dia."
Hana terkesiap mendengar perkataan dari Dini itu. Memang benar yang dikatakan oleh temannya itu. Vito pasti akan mengarang cerita lain dan bahkan tak mengakuinya. Mendadak Hana menjadi bingung sendiri.
"Benar juga yang lo bilang," sahut Hana. "Terus gue harus nunggu Ardian selesai acara, gitu?" Hana menunjuk ke arah panggung pelaminan di mana Ardian dan istrinya itu masih sibuk menyalami orang- orang.
Dini mendecak lidah. "Udah, Han. Lo gak perlu penasaran lagi atau apapun. Udah lupain aja tentang Vito." Dini berujar sembari menatap serius pada Hana. "Sekarang ibarat angin lalu, lo dengar kabar Vito suka sama lo tapi lo gak perlu mikirin terlalu keras. Yang harus lo ingat itu adalah semua perlakuan Vito sama lo yang udah terjadi."
Hana terdiam. Ia mendengarkan perkataan dari Dini itu dengan seksama. Sekelebat ingatan di masa lalu terlintas di pikiran Hana. Tentang semua yang telah terjadi antara dirinya dan juga Vito. Memang benar yang diucapkan Dini. Masuk akal kalau Dini saja sampai membenci Vito seperti itu.
Jadi tentu saja Hana harus diam, dan menganggap angin lalu semuanya. Toh tidak ada yang akan ia lakukan jika Vito memang mengakui perasaannya pada Hana itu.
"Lo benar, Din." Hana berucap tiba- tiba.
Yang bahkan membuat Dini terkejut. "Apa?"
Hana tersenyum. "Iya, yang lo bilang itu semuanya benar." Ia menjeda untuk melanjutkan. "Kalau memang Vito suka sama gue, terus apa? Toh gue juga gak sama dia, dan gak akan mau kalau pacaran sama dia setelah apa yang udah dia lakuin ke gue."
Dini mengangguk. "Benar. Iya, benar begitu, Han." Ia tersenyum balik menatap Hana.
Kedua wanita itu masih berbincang banyak hal lain hingga akhirnya pesta pernikahan itu hampir berakhir. Kursi di belakang mereka juga perlahan kosong karena orang- orang telah beranjak pulang ke rumah masing- masing.
Argan dan Nino yang telah bosan dengan lamanya acara itu pada akhirnya maju ke barisan depan. Kedua pemuda itu menuju kursi yang tepat di belakang Hana dan Dini itu.
"Sstt ... ssstt ..." Argan dan Nino memanggil Hana dan Dini yang masih sibuk mengobrol itu.
Yang membuat kedua wanita itu sontak menghentikan obrolan mereka dan membalik badan.
"Pulang yuk." Argan mencebik bibirnya.
Hana dan Dini terkekeh melihat raut wajah Argan dan Nino yang tampak sudah sangat bosan itu.
Hana yang terlebih dahulu mengangguk, disusul Dini yang juga mengangguk. Benar juga, sudah waktunya mereka pulang ke rumah. Pesta pernikahan telah berakhir dan hanya menyisakan beberapa orang saja di kursi tamu. MC juga telah menutup acara beberapa menit yang lalu.
"Yuk." Hana tersenyum tipis. Ia membersihkan tempat duduknya dan merapikan gaun yang dikenakannya itu sebelum bangkit berdiri.
Dini mengangguk. Ia melakukan hal yang sama dan bangkit berdiri.
Argan dan Nino yang melihat itu kemudian bersorak. Kedua pemuda itu tersenyum senang dan ikut beranjak dari tempat duduk mereka.
Berikutnya, keempat orang itu akhirnya melangkah meninggalkan tempat duduk mereka itu. Mereka berjalan beriringan menuju pintu ke luar.
Nino yang pertama kali membuka topik pembicaraan seiring langkah mereka berjalan.
"Lo gak apa- apa, Hana?" Ia menatap Hana dengan raut khawatir.
Hana mengangguk santai. "Gak kok. Gak apa- apa." Ia tersenyum. Ditatapnya Argan, Dini, dan Nino itu yang juga tengah menatapnya. "Gue gak masalah sama hal itu. Bahkan anggep angin lalu aja semuanya. Kalau Vito suka sama gue, gue-"
"Lo kenapa?"
Pertanyaan itu bukan berasal dari Argan, Nino ataupun Dini. Mereka menoleh dan mencari sumber suara itu. Dan alangkah terkejutnya mereka ketika menyadari bahwa Vito semenjak awal berjalan di belakang mereka.
Namun Vito hanya seorang diri, tidak bersama gerombolannya yang tadi ia bawa ketika pertama kali memasuki aula.
Hana masih terkesiap menatap Vito. Ia mengerjap. Tak mampu melanjutkan ucapannya itu ataupun berkata apapun lagi. Bahkan kini ia telah menghentikan langkah sepenuhnya membuat semua orang berhenti melangkah.
Argan dan Nino langsung memasang tameng penghalang untuk menjaga Hana.
"Mau ngapain lagi, lo?" Argan bertanya dengan dingin.
Nino juga melakukan hal yang sama, ia berdiri seolah menjadi batas penghalang untuk Vito. "Jangan ganggu Hana lagi."
Vito terkekeh dengan sedikit meledek. "Gue gak ada urusan sama anak kecil ya. Gue mau bicara sama Hana." Ia berucap meremehkan.
Tak terima dengan perkataan Vito itu, Argan makin maju mendekat ke arah Vito dan menatapnya nyalang. Tinggi badan mereka sama sehingga membuat mata keduanya langsung bertemu ketika bersitatap.
"Gue udah bilang jangan gangguin Hana lagi. Dan itu artinya lo gak boleh ganggu Hana untuk selamanya." Argan berucap dingin.
Mereka sekarang menjadi perhatian orang- orang di sekitar mereka. Bahkan ada yang sampai harus berhenti untuk menatap dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Dini dan Hana mengerjap dan kini mengerti apa yang sedang terjadi. Dini lebih dulu menarik lengan Argan untuk menjauh dari Vito. Tentu saja ia tak ingin menjadi tontonan.
"Gan, udah ayok!" Dini menarik lengan pemuda itu namun dikibaskan oleh pemuda itu begitu saja.
"Gue gak akan biarin lo gangguin Hana lagi."
***