Argan berjalan kaki menuju kos- kosannya. Kakinya melangkah dengan pelan, tatapannya menuju ke depan, namun pikirannya menyebar entah ke mana- mana. Ia masih memikirkan banyak hal, tentang penguntit itu dan juga Bella.
Tadi setelah ia akhirnya kembali menuju minimarket dan menemui Fiko, bahkan ia terus terpikirkan akan penguntit itu. Dan ketika ditanyai oleh Fiko, Argan hanya terdiam saja. Ia bahkan menjawab asal- asalan pertanyaan Fiko itu agar Fiko tak bertanya apa- apa lagi. Menyebalkan memang karena harus berurusan dengan penguntit itu.
Argan masih melangkah dengan pelan. Ia memandangi aspal di gang kos- kosannya itu. Namun ketika Argan tengah menatap ke arah aspal, tiba- tiba sebuah suara mengejutkannya.
"Gan!"
Langkah kaki Argan sontak terhenti dan detik berikutnya pemuda itu sudah mendongakkan kepalanya. Dari kejauhan ia melihat seseorang melambaikan tangan padanya.
Ia menyipitkan matanya melihat siapa orang yang tengah berdiri di depan kos- kosannya itu. Argan kemudian tersenyum lebar mengetahui siapa sosok yang berada di teras kos- kosannya itu.
"Dini?" Ia bermonolog.
Argan bertanya dengan tak yakin. Pasalnya ia hanya melihat ada seorang wanita yang berpakaian rapi saja. Wajah wanita terpantul oleh cahaya lampu sehingga membuatnya sedikit tak jelas.
Wanita itu memanglah benar adalah Dini. Dini segera beranjak dari duduknya dan berjalan menuju Argan.
"Woy, baru balik?" tanya Dini dengan nada supelnya seperti yang hari itu Argan ingat.
Dini tersenyum lebar sembari menggeplak lengan Argan.
Pemuda di depan Dini itu sontak mengaduh merasakan geplakan tangan Dini itu namun ia tak marah sama sekali. Ia justru tersenyum lebar.
"Eh, ngapain lo di sini?" tanya Argan dengan tawa lebar. Ia menyipitkan matanya kemudian menunjuk- nunjuk Dini itu. "Lo mau apelin Nino, ya?" Ia meledek Dini.
Dini sempat memerah namun berikutnya ia menggeplak lengan Argan kembali. Pasalnya mendadak ia menjadi malu dan tersipu sendiri.
"Apaan!"
"Iya, dong Dini mau apelin gue, bukan lo!"
Nino yang berasal dari dalam kosnya kini tiba- tiba saja ke luar. Ia berujar dengan santai kemudian sembari menggoyang- goyangkan dua buah kantung kresek ia menyambung lagi, "Dia bahkan bawain gue martabak, dong!" Nino terkekeh di akhir kalimatnya.
Dini menggelengkan kepalanya sembari tersipu. "Enggak, ih!" Ia mengibaskan tangannya itu di hadapan kedua pemuda itu.
"Ih si Nino dibawain martabak, gue mana, Din?" Argan makin meledeki Dini hingga wanita itu makin tersipu. Ia terkekeh bersama dengan Nino.
"Itu martabak buat kalian berdua!"
Karena terus diledek, Dini akhirnya berucap dengan seruan yang membuat tawa kedua pemuda itu berhenti.
Ia menjentik jarinya itu dan melanjutnkan kalimatnya. "Gue tadi kebetulan banget lewat depan gang, dan inget kalau kalian berdua tinggal di sini. Makanya gue ke sini aja sekalian."
Ia berkata jujur. Matanya kemudian menatap ke arah Argan. "Jangan sok tahu, Gan!"
Argan dan Nino terkekeh bersamaan. Tentang klien mereka, Mereka senang pada akhirnya mereka masih terus berkomunikasi dengan Dini maupun Hana itu. Oh iya, omong- omong Hana ... Argan belum mendengar kabar wanita itu lagi belakangan ini.
"Oh iya ... Hana ... dia gimana kabarnya?" Pertanyaan Argan pada Dini itu membuat tawa Nino menjadi berhenti.
Nino menatap Dini sedangkan Dini menatap Argan. Kini seluruh perhatian tertuju pada Dini.
"Hana ... baik." Dini membuka suaranya. Ia tersenyum menatap Argan juga Nino itu. "Berkat kalian berdua, sekarang hubungan Hana dan Vito jadi baik- baik aja."
Argan mengerjap mendengar jawaban dari Dini itu. Ia mengangguk- anggukkan kepalanya seolah paham akan ucapan Dini. Ia senang mendengar bahwa Hana dan Vito sudah berbaikan. Namun ia juga membutuhkan informasi lain tentang Hana dan Vito itu.
Ia dengan cepat membuka bibirnya. Tentu saja ia makin penasaran.
"Apa ... Hana dan Vito ... sekarang pacaran?" tanya Argan tanpa basa- basi lagi. Ia menatap Dini dengan raut penasaran, kemudian tak disangka, Nino juga melakukan hal yang sama. Kedua pemuda itu penasaran.
Dini mengerutkan dahinya. Namun detik berikutnya wanita itu tergelak. "Hana dan Vito .. pacaran?" Ia terkekeh keras- keras. "Gak mungkin, dong!"
Argan dan Nino sontak membelalakkan mata mereka masing- masing. "Enggak?"
Dini mengangguk. "Hana gak mungkin pacaran sama Vito atas semua yang udah dilakuin Vito dulu." Ia menjelaskan. "Mereka berdua cuma dalam keadaan lebih baik lagi aja gak seperti dulu lagi," sambungnya sembari menggeleng- gelengkan kepalanya.
Kemudian serempak tanpa perlu dipandu Argan dan Nino sontak saling bertatapan dan bernapas lega. Mereka seolah tengah merayakannya di mana Hana dan Vito yang tak menjalin hubungan asmara itu.
Meskipun memang setiap orang perlu diberi kesempatan kedua, namun tetap saja orang itu telah melakukan kesalahan yang sangat fatal.
Argan dan Nino kemudian berseru dengan antusias menatap Dini.
"Alhamdulillah!"
***
Percakapan dengan Dini berlangsung lama, dan wanita itu pulang pada pukul sembilan malam. Dini untungnya dijemput oleh supir pribadinya, sehingga ia tak perlu susah payah menaiki motornya malam- malam begini.
Argan dan Nino kini berada di kamar kos mereka sembari menyantap martabak yang tersisa dari percakapan dengan Dini tadi. Argan melahap martabak telurnya sedangkan Nino melahap martabak manisnya. Keduanya terdiam sembari terhanyut pada pikirannya masing- masing.
Nino yang terlebih dahulu mengangkat kepalanya itu. Pemuda itu mengunyah martabaknya sembari memandangi Argan itu. Ia bingung melihat Argan yang hanya diam dalam posisi aneh. Tangan kanan memegang martabak sedangkan tangan kirinya memegang tisu. Tatapannya seolah menuju tisu itu.
"Lo kenapa, Gan?" tanyanya bingung.
Argan terkesiap pelan mendengar namanya dipanggil. Ia mendongak menatap balik Nino. "Hah?" Ia belum sepenuhnya sadar. "Enggak apa- apa."
Nino kembali memakan potongan martabaknya yang lain. Ia hanya terdiam karena tahu Argan akan segera menyambung kalimatnya.
"Gue masih kepikiran sama orang aneh itu." Argan menatap kotak martabak yang kini sudah tak selera lagi ia santap.
"Maksud lo, si penguntit itu?" Nino bertanya dengan nada penasaran.
Argan mengangguk. "Iya." Detik berikutnya ucapannya mengejutkan Nino.
"Tadi gue lihat orang yang ngikutin Bella malam itu."
Benar saja Nino langsung membelalakkan matanya. Ia tak jadi menyantap potongan martabaknya yang lain.
"Lo ketemu dia?!" Ia meletakkan kembali martabaknya ke dalam kotak. "Ketemu di mana?" tanyanya.
Argan mencebik bibirnya. "Di minimarket," ucapnya. Ia kemudian menggeleng. "Gue yakin itu si penguntit itu."
Nino memejamkan matanya. "Tunggu! Lo ... em ... si penguntit itu ... em ... maksud gue gimana bisa lo ketemu dia ... dan gimana caranya lo tahu itu penguntit?" Pemuda itu bertanya dengan terbata- bata saking tercengangnya.
Argan mendongak. Pemuda itu menerawang lagi. "Iya. Jadi tadi ada pembeli di minimarket gue yang perawakannya sama persis dengan penguntit hari itu yang ngikutin Bella." Ia menatap Nino dengan sorot mata penuh keyakinan. "Gue yakin itu dia. Karena gue hapal wangi parfum yang dia pakai malam itu, dan sama persis dengan yang dipakai oleh pembeli di minimarket gue tadi pagi."