Setelah foto-foto mesranya beredar di internet sikap Turangga berubah drastis. Dia kembali menjadi suami yang baik, manis dan lemah lembut seperti saat awal-awal kenal sampai awal menikah dengan Sembagi. Memang sikap Turangga berubah. Akan tetapi jam kerja Turangga menjadi kacau semenjak itu. Turangga lebih sering menghabiskan waktunya di kantor dengan alasan lembur karena harus menyelesaikan hukuman yang diberikan oleh perusahaan sebagai sanksi atas tindakan tidak senonohnya di tempat publik, selain sanksi turun jabatan.
Namun lama kelamaan jam kerja Turangga malah membuat intensitas pertemuan Sembagi dengan suaminya itu berkurang drastis. Kalau biasanya Turangga selalu berada di rumah sebelum jam makan malam atau semalam-malamnya tidak sampai membuat Sembagi harus makan malam lebih dulu karena sudah kelaparan menunggu Turangga. Kini pria itu baru pulang ketika Sembagi sudah terlelap dalam tidurnya. Kondisi itu diperparah dengan komunikasi di antara mereka kian renggang. Mereka hanya bisa saling bercakap lewat telepon dan chat. Itu pun jarang.
Seperti yang terjadi malam ini. Jam di dinding ruang keluarga rumahnya sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun Turangga belum menunjukkan tanda-tanda akan pulang. Ponselnya sudah tidak aktif sejak satu jam yang lalu. Ibu dan saudara-saudara Turangga sedang berkunjung ke kota asal mereka untuk memperingati hari kematian kakek Turangga. Mereka sama sekali tidak melibatkan Sembagi dalam mempersiapkan acara tersebut. Hanya Turangga yang akan datang tapi tidak menginap dengan alasan harus kembali ke kantor setelah acara. Sementara ibu dan saudara-saudaranya akan tinggal di kota asal mereka selama satu minggu.
Namun Turangga tidak pulang tepat waktu tanpa memberi kabar apa pun pada Sembagi. Tentu saja Sembagi merasa khawatir suaminya itu kenapa-kenapa. Akhirnya sekitar pukul delapan Sembagi mengirimi Turangga chat, menanyakan keberadaan suaminya itu.
Sembagi Arutala: “Di mana, Mas? Kok belum pulang jam segini?”
Ketika sedang menunggu balasan chat dari Turangga, ibu mertuanya menghubungi Sembagi yang sedang mondar mandir di ruang keluarga sambil bolak balik melihat ke layar ponsel di tangannya.
“Tutur belum pulang?” tanya Dahayu di seberang telepon.
“Iya, Ma. Mungkin lembur,” jawab Sembagi.
“Kasihan Tutur. Sampai harus lembur gitu. Kamu itu terlalu nuntut dia macam-macam ya? Pasti kamu yang mengajukan sanksi hukuman pekerjaan ke pimpinan Tutur?”
“Nuntut macem-macem gimana, Ma?” tanya Sembagi tidak terima. “Aku juga nggak ada ngomong apa-apa ke pimpinan Mas Tutur. Mereka tahu sendiri, Ma. Dan setiap tindakan itu pasti ada resikonya. Dan sanksi yang diterima oleh Mas Tutur ada resiko dari perbuatannya sendiri.”
“Dari semua ucapan itu, Mama jadi curiga. Jangan-jangan kamu nyuruh orang buntutin Tutur lalu mengedarkan foto-foto itu itu di internet,” ujar Dahayu kemudian mengakhiri sambungan telepon begitu saja.
Sebenarnya Sembagi masih ingin melanjutkan perdebatan menyebalkan dengan mertuanya. Namun balasan Turangga datang lima belas menit kemudian. Waktu yang sangat lama bagi seseorang yang sedang menunggu balasan chat dengan perasaan cemas dan khawatir seperti yang dialami oleh Sembagi. Sebenarnya Sembagi ingin menelepon, akan tetapi dia mengurungkan niatnya itu mengingat terakhir dia menelpon suaminya itu sebagai wujud mengungkapkan rasa khawatirnya, pria itu justru marah besar dan menganggap bahwa Sembagi mengganggunya. Kemudian Turangga langsung menonaktifkan ponselnya saat itu juga. Sembagi tidak mau kejadian itu terulang lagi dan menyakitinya lebih dalam lagi.
Sembagi Arutala: “Kenapa lagi kali ini? Lembur? Kayaknya nggak. Aku tahu divisi kamu lagi nggak banyak kerjaan yang bikin kamu dan tim kamu lembur. Atau Geby? Kenapa dia? Sakit? Sekarat? Masuk rumah sakit? Kosannya kebanjiran?”
Turangga Bumantara: “Kamu kenapa, sih, Gi? Aku ngomong salah. Nggak ngomong tambah salah. Trus aku mesti gimana?”
Sembagi Arutala: “Ya, nggak gimana-gimana, Mas. Tapi kamu udah baca pesan aku nggak? Aku khawatir kamu kenapa-kenapa di tengah jalan karena hujannya kayaknya rata. Aku ketakutan setengah mati di rumah nggak ada kamu. Kamu tahu sendiri kalau aku takut petir dan gelap. Sekarang aja untung belum mati lampu.”
Turangga Bumantara: “Ya, udah masih belum mati lampu, kan? Sebelum mati lampu buruan kamu siapin lampu senter. Terakhir itu aku taro di laci penyimpanan dekat dapur. Coba cari sekarang.”
Sembagi Arutala: “Kamu beneran nggak pulang malam ini? Ada apa, Mas? Jujur aja sama aku. Are you oke?”
Turangga Bumantara: “Aku baik-baik aja, Gi. Oke aku mau jujur sama kamu. Aku lagi nemenin Geby di kosannya. Tadi aku nganterin dia balik karena di kantor hujan deras. Aku nggak tega biarin dia pulang ke kosnya sendirian hujan-hujan seperti itu.”
Turangga ternyata tidak benar-benar berubah. Padahal laki-laki itu sampai sujud di kakinya ketika mohon ampunan saat kasus foto mesumnya beredar di internet. Turangga berjanji tidak akan mengulang kesalahannya itu lagi dan akan mengubah sikap buruknya selama ini pada Sembagi. Namun nyatanya semua janji yang diucapkan laki-laki itu hanyalah omong kosong. Terbukti dari pesan misterius yang masuk ke ponsel Sembagi yang tidak sinkron dengan yang dikatakan Turangga dalam chatnya. Kali ini bukan berupa foto-foto, melainkan informasi bahwa Turangga tidak ada acara tugas keluar kota apalagi sampai lembur. Dalam pesan tersebut pengirim misterius meminta Sembagi untuk mencari informasi lebih jauh dari teman kantor Turangga.
Sembagi Arutala: “Temen-temen cowok yang lain ke mana? Harus banget kamu ya, Mas?”
Turangga Bumantara: “Ada kerjaan dia yang belum kelar. Sebagai atasan yang baik nggak mungkin aku pulang duluan sementara anak buahku masih kerja. Aku nggak setega itu, Gi.”
Sembagi Arutala: “Tapi kamu setega itu biarin aku di rumah sendirian nungguin kamu. Mana hujan angin plus petir.”
Turangga Bumantara: “Ngertiian posisi aku, Gi.”
Sembagi Arutala: “Kapan aku nggak pernah ngertiin kamu, Mas?”
Turangga Bumantara: “Oke, makasih. Kamu hati-hati ya. Sekarang cepat ambil lampu senternya buat jaga-jaga. Trus kunci kamar lalu istirahat. Besok pagi-pagi aku pulang. Sekarang aku mau tidur dulu. Besok kamu mau dibawain apa buat sarapan?”
Sembagi Arutala: “Aku nggak butuh apa-apa. Aku butuh kamu ada di rumah sekarang juga, Mas Tutur!”
Turangga Bumantara: “Kamu kenapa, sih? Marah sama aku?”
Sembagi Arutala: “Menurut kamu aja, sih, Mas. Kamu tidur di kamar perempuan single yang statusnya bukan siapa-siapa kamu loh, Mas? Nggak salah kamu nanya aku marah sama kamu?”
Turangga Bumantara: “Geby tidur di kamarnya. Aku di ruang tamu. Kosnya ini kayak kos keluarga gitu. Jadi ada kamar lain di dalam kosan gitu. Jadi aman kok. Aku nggak macem-macem. Seperti yang kamu bilang aku nggak ada apa-apa. Aku bantu dia murni karena bentuk empati aku aja, kok, Sayang.”
Sembagi Arutala: “Ya, udahlah. Mau marah apalagi ngerengek juga percuma. Kamu akan tetap lebih memilih nemenin perempuan itu daripada istri kamu, Mas.”
Turangga Bumantara: “Gi! Aku udah usaha buat jujur, loh, sama kamu. Kamu masih curiga sama aku? Mesti berapa kali aku bilang kalau aku nggak ada hubungan apa-apa dan nggak ngapa-ngapain sama Geby. Nggak percayaan banget, sih, jadi orang. Terserah kamu ajalah. Repot sama orang yang bawaannya curigaan mulu sama suami sendiri.”
Penasaran oleh kebenaran pesan yang diterimanya Sembagi menghubungi seseorang yang merupakan teman kantornya dulu tetapi masih aktif bekerja hingga saat ini. Orang itu kenal juga dengan Turangga dan Sembagi yakin orang itu bisa dipercaya tidak akan membocorkan pada Turangga kalau dia mencari tahu soal pekerjaan suaminya di kantor lewat orang lain.
Dan informasi yang terus didapatkan oleh Sembagi dari temannya itu cukup membuat Sembagi tercengan dan tidak habis pikir pada alasan Turangga tega membohonginya. Temannya itu mengatakan bahwa divisi yang dipegang oleh Turangga sudah satu bulan terakhir tidak pernah mendapat tugas dinas luar kota lagi. Bahkan divisi Turangga bisa dibilang merupakan divisi paling santai sejak satu bulan lalu. Timnya jarang lembur dan selalu pulang kantor tepat waktu. Sehingga membuat karyawan dari divisi lain merasa iri dan bahkan ingin pindah ke divisi Turangga yang lebih banyak santainya akhir-akhir ini.
Belum sempat Sembagi merespon pesan yang dikirim oleh Turangga, tiba-tiba lampu rumahnya padam dan seketika itu juga seluruh kamar menjadi gelap gulita. Lampu kompleks perumahan yang biasanya akan tetap menyala sekalipun lampu rumah Sembagi mati seluruhnya masih bisa dimanfaatkan untuk menerangi bagian depan rumah Sembagi termasuk kamar utama yang menghadap ke depan. Namun kali ini seluruh aliran listrik di kompleks perumahan yang ditinggali oleh Sembagi mengalami pemadaman. Sialnya saluran wifi di rumah juga ikut mati dan ponsel Sembagi kehabisan kuota internet. Membuat dia tidak bisa menghubungi Turangga untuk mengabarkan kondisi rumah mereka. Sembagi masih berusaha menghubungi Turangga lewat panggilan seluler, tapi hasilnya nihil karena ponsel Turangga sedang dalam kondisi tidak aktif saat ini.
Sembagi ketakutan di atas ranjang. Dia menarik selimut hingga menutupi seluruh badannya. Dia berusaha untuk memejamkan mata, akan tetapi kesadarannya sulit dihilangkan. Sampai akhirnya ia tertidur karena kelelahan.
Keesokan paginya Sembagi terbangun oleh pantulan silau cahaya mentari yang menerpa wajahnya lewat celah kaca jendela kamarnya. Sembagi membuka mata secara perlahan sambil meraba sekitar bantal untuk mencari keberadaan ponselnya. Jam digital di ponselnya menunjukkan pukul 05.30 AM. Tidak terasa hari sudah pagi saja, pikir Sembagi.
Sembagi buru-buru bangkit dan duduk di pinggiran ranjang. Dilihatnya lampu kamar dalam keadaan menyala dan begitu juga jaringan WIFI yang sudah tersambung ke ponselnya. “Kapan yang nyala?” pikir Sembagi. Setelah itu Sembagi masuk ke ruang obrolan dengan Turangga di ponselnya. Pesan soal mati lampu yang ia kirim ke Turangga semalam belum terkirim. Sembagi lalu mencoba peruntungannya lewat telepon selular. Terdengar nada sambung yang artinya ponsel Turangga sudah aktif kembali. Namun tidak ada respon dari Turangga hingga panggilan telepon berakhir secara otomatis. Sembagi mencoba menghubungi ponsel Turangga sekali lagi. Panggilan kali ini dijawab oleh Turangga. Namun suara yang terdengar di speaker ponsel Sembagi bukanlah suara suaminya. Melainkan suara seorang perempuan yang sangat asing di telinga Sembagi.
“Bisa berhenti telpon nggak? Pak Turangga masih tidur,” ujar suara perempuan yang Sembagi tebak adalah suara Geby.
“Kamu siapa? Kenapa handphone suami saya ada pada kamu?” tanya Sembagi penuh curiga.
“Oh, istrinya Pak Turangga yang nggak bisa kasih beliau keturunan itu ya? Sorry ya, gue nggak baca nama kontak lo, sih. Lagian notif lo itu ganggu banget.”
“Tutup mulut kamu perempuan jalang! Cepat berikan handphone suami saya pada pemiliknya!” hardik Sembagi mulai terkikis kesabarannya.
“Dibilang Pak Turangga masih tidur. Lagi nyenyak doi. Kelelahan banget pasti gara-gara semalam,” ujar perempuan sambil tertawa terkekeh seolah baru saja membicarakan sesuatu hal yang lucu menurut dirinya sendiri.
Kali ini kesabaran Sembagi benar-benar telah terkikis habis. Dia menyentak perempuan itu tanpa gentar sedikitpun. “Heh, dengar ya! Siapapun kamu cepat berikan handphone suami saya!”
“Iya, nanti kalau doi udah bangun. Udah dulu ya. Gue mau siapin sarapan buat suami lo. Biar dia punya alasan untuk tinggal di sini lebih lama lagi. Bye…”
Sembagi menyumpah serapah setelah perempuan itu mematikan sambungan telepon. Ketika Sembagi mencoba menghubungi ponsel suaminya sekali lagi, ponsel tersebut sudah kembali dalam posisi tidak aktif lagi.
Sekitar pukul sepuluh pagi Turangga sudah sampai rumah. Sangat jauh dari jam yang dijanjikannya semalam pada Sembagi. Bahkan Turangga tidak membawa apa pun padahal dia sudah berjanji akan pulang dengan membawakan Sembagi sarapan. Namun bukannya minta maaf dan menunjukkan rasa bersalahnya Turangga naik ke kamarnya setelah memberi salam saat masuk rumah.
“Inget jalan pulang juga kamu, Mas?” tegur Sembagi yang dilewati begitu saja oleh Turangga.
“Aku capek. Jangan ngajak debat dulu.”
“Siapa yang ngajak debat? Aku cuma nanya. Lagian capek apa, sih? Orang cuma nemenin perempuan itu? Atau jangan-jangan kamu habis ngapa-ngapain sama cewek itu?”
“Habis ngapa-ngapain gimana, sih? Ngomong yang jelas,” balas Turangga sambil menaiki tangga menuju kamar.
“Yakali harus aku jelasin detailnya kamu ngapain semalaman sampai capek gitu? Yang tahu kan kamu.”
Turangga hanya berdecak sambil terus melangkah ke kamarnya. Langkahnya lebih lebar kali ini agar segera sampai untuk menghindari perdebatan lebih panjang dengan istrinya. Namun Sembagi tidak diam saja. Dia meninggalkan ruang keluarga lalu menyusul Turangga ke kamar.
“Handphone kamu dipegang siapa semalam?” tanya Sembagi setelah membuka pintu kamar secara kasar.
“Maksud kamu apa, Gi? Suami pulang bukannya disambut dengan hangat malah diomelin,” gerutu Turangga.
“Aku nggak akan ngomel kalau kamu jujur dan nggak bawa-bawa cewek dalam kebohongan kamu.”
“Aku sudah jelasin sama kamu semalam. Aku udah jujur. Dan aku nggak seperti yang kamu tuduhkan.”
“Aku telpon kamu tadi jam setengah enam pagi. Dan cewek itu yang terima telpon aku. Selain kurang ajar karena dia sudah mainin handphone kamu, dia juga ngata-ngatain aku, Mas. Dia bilang aku istri yang nggak bisa ngasih kamu keturunan. Dia siapa kamu, Mas Tutur? Sampai ngerasa punya hak ngatain aku kayak gitu? Dia kok bisa tahu kalau aku belum bisa ngasih keturunan buat kamu?” geram Sembagi dengan menatap nanar ke arah Turangga. Matanya kini mulai merasa panas dan berair. Namun sebisa mungkin Sembagi menahan diri agar air matanya tidak sampai tumpah di depan Turangga.
“Sudah sedekat apa hubungan kamu sama cewek itu sampai kamu mengungkap masalah privasi dalam rumah tanggamu sama dia? Jawab aku, Turangga?!”
Wajah Turangga tampak kesal mendengar penuturan Sembagi yang semakin membuatnya tersudut. “Dibilangin nggak ada hubungan apa-apa. Ngotot banget. Dia ngomong gitu mungkin asal tebak aja, atau kalau nggak, ya, denger dari omongan orang-orang kantor yang udah tahu kalau sampai sekarang kita belum punya anak,” jelas Turangga dengan nada bicara tenang seolah hal yang sedang mereka bahas ini hanyalah sebuah masalah sepele yang tidak perlu diributkan. Sementara yang dirasakan oleh Sembagi justru sebaliknya.
Turangga lalu mengeluarkan ponsel dari dalam kantong celananya untuk memeriksa log panggilan. Namun di dalam log panggilan tidak ada panggilan telepon masuk dari nomor Sembagi di jam yang disebutkan oleh Sembagi. Panggilan telepon dari Sembagi terakhir adalah semalam.
“Di log panggilan handphone aku nggak ada telpon dari kamu di jam segitu, Gi,” ujar Turangga ragu.
Sembagi semakin murka. Dia balik menunjukkan ponsel-nya dan jelas-jelas di log panggilan itu ada panggilan diterima oleh kontak ponsel Turangga. “Cewek murahan itu pasti yang sudah menghapus jejak panggilan telepon aku,” cibir Sembagi.
“Ya, sudah. Nanti aku tegur dia kalau ketemu. Sekarang aku mau mandi dulu trus mau pergi lagi.”
“Pergi ke mana, Mas? Ini weekend loh.”
“Atasan aku ngajakin golf siang ini. Nggak enak aja kalau nggak hadir. Mana ada direksi juga yang bakal ikutan gabung,” jelas Turangga sambil membuka seluruh pakaiannya, menyisakan kaus dalam dan boxer briefs.
“Ada cewek itu juga?”
“Kamu kenapa jadi curigaan gini, sih?”
“Jujur aja, Mas! Kamu masih ada hubungan sama cewek itu? Kamu sudah bosan sama aku? Sudah lost feeling sama aku? Jelasin aja kamu mau aku kayak gimana? Tapi aku mohon jangan selingkuh, Turangga! Aku nggak mau kalau sampai jadi benci dan nggak bisa maafin kamu kalau kamu benar-benar melakukan hal terkutuk itu. Kalau ada yang nggak kamu suka dari aku itu ngomong, jangan tiba-tiba nusuk aku dari belakang. Aku sama sekali nggak ikhlas kalau kamu sampai beneran selingkuh!” ancam Sembagi dengan nada bicara tegas dan tatapan tajam.
“Demi Tuhan, Agi Sayang. Aku nggak ada hubungan apa pun selain sebatas mentor dan anak magang dengan Geby. Harus dengan cara gimana lagi aku menjelaskan supaya kamu percaya sama aku?”
“Buktikan kalau kamu memang nggak ada hubungan apa-apa sama cewek itu.”
“Iya, iya. Aku minta maaf gara-gara sikapku sampai bikin kamu curiga bahkan mikir yang aneh-aneh tentang aku. Oh, iya… Cewek itu yang kamu maksud punya nama, Sayang. Namanya Geby.”
Sembagi berdecak kesal. “Aku nggak akan pernah sudi nyebut namanya!” cibirnya sambil melipat kedua tangan di depan d**a, lalu melengos.
“Ya, sudah. Kamu jangan marah-marah lagi, ya. Aku itu kalau pulang kerja pengennya disambut dengan senyum dan pelukan hangat dari istri aku. Bukan omelan-omelan kayak gini,” ujar Turangga sambil mengulurkan tangan dan mengusap lembut pipi istrinya.
Sembagi enggan memalingkan wajahnya menghadap Turangga. Hal itu membuat Turangga murka. “Sayang… Aku udah minta maaf, loh. Kamu nggak ada niatan untuk kasih sedikit perhatian ke aku gitu? Aku capek banget. Kerjaanku hectic gara-gara hukuman itu dan aku nggak punya anak buah lagi yang bisa bantu aku ngerjain kerjaanku sekarang.”
“Ya, terus hubungannya sama aku apa?”
“Minimal tuh, suaminya disayang-sayang, kek. Ditanyain udah makan belum? Mau dipijitin nggak, Mas? Gitu. Biasanya juga kamu kayak gitu.”
Sembagi tersenyum sinis. “Oh, masih butuh aku rupanya? Bukannya tadi cewek itu bilang kalau mau bikinin kamu sarapan supaya bisa nahan kamu lebih lama di sana?” cibirnya.
“Agi Sayang…Please, jangan mulai lagi,” ujar Turangga sambil menatap malas pada Sembagi. “Daripada ngeributin hal yang nggak jelas, mending temenin aku mandi aja, yuk!” katanya sambil menaik turunkan alisnya.
Sembagi memutar bola mata lalu membuang muka sambil berbalik badan. Ketika dia hendak melangkah menuju pintu kamar tangan Turangga sudah lebih dulu menggapai pinggangnya. Perbuatan Turangga itu membuat Sembagi refleks menjerit. Dia masih berusaha menolak kecupan-kecupan yang diberikan oleh Turangga di lehernya. Namun akhirnya Sembagi tak berdaya ketika Turangga menggendongnya ala bridal style ke arah kamar mandi.
“Kamu mau ngapain, Mas?” tanya Sembagi ketika mereka sudah berada di dalam kamar mandi.
“Tadi aku bilang minta ditemenin mandi, kan?” jawab Turangga setelah menurunkan tubuh Sembagi di bawah shower.
“Tapi aku udah mandi,” cicit Sembagi sambil menunduk menyembunyikan wajahnya karena tatapan menggoda yang ditunjukkan oleh Turangga. Sebenarnya dia sudah tahu keinginan suaminya ini. Namun dia bersikap pura-pura tidak tahu untuk memancing usaha Turangga.
“Mandi lagi nggak bikin kecantikan kamu luntur, Sayang,” ucap Turangga dengan suara berat khasnya ketika hasratnya mulai muncul ke permukaan. Turangga menyurukkan wajahnya di cekungan leher Sembagi. Laki-laki itu mulai merayu tubuh Sembagi dengan sentuhan-sentuhan mesra. Dia menghujani leher Sembagi dengan kecupan-kecupan mesra. Kecupannya turun dari leher ke bahu yang tanpa Sembagi sadari sudah dalam posisi terbuka. Homewear yang Sembagi kenakan sudah lepas entah sejak kapan. Ketika bibir Turangga sudah menggapai bagian dadanya, tiba-tiba Sembagi menahan kepala Turangga dan mendorong lembut kepala suaminya itu.
“Ada apa, Sayang?” tanya Turangga dengan suara berat khas pria dewasa sedang menahan hasrat, tatapannya terlihat sayu karena dia sudah mulai turn on.
“Aku nggak bisa.”
“Kenapa?” tanya Turangga sambil menyusuri perut Sembagi, mengusapnya penuh kelembutan dengan punggung tangannya.
Namun detik berikutnya Turangga mengumpat penuh kekesalan ketika tangannya sudah menggapai bagian kewanitaan istrinya. Tanpa perlu Sembagi mengungkapkan alasan penolakannya, Turangga sudah tahu saat merasakan bagian bawah celana dalam istrinya yang lebih tebal dari biasanya.
Sembagi memungut atasan homewear yang tadi sudah dilepaskan oleh Turangga. Sambil mengenakannya kembali Sembagi melewati tubuh Turangga hendak keluar dari bilik shower. Tangan Turangga lebih dulu menahan langkahnya.
“Kenapa lagi, Mas?”
“Aku udah turn on, Gi. Nggak kasihan kamu lihat aku tersiksa kayak gini?” tanya Turangga dengan wajah memelas.
“So?”
“Serius kamu nanya kayak gitu, Gi?”
“Ya, mau gimana lagi?” jawab Sembagi malas lalu mengempaskan tangan Turangga. Dia segera berlalu dari kamar mandi sebelum Turangga benar-benar memaksakan kehendaknya untuk meminta melakukan apa pun hal yang sedang diinginkan oleh suaminya, sebagai upaya untuk menuntaskan hasrat yang kini sudah mencapai ubun-ubun.
~~~
^vee^