Beberapa hari kemudian…
Dengan langkah lemas Jenggala mengikuti arus orang-orang yang baru turun dari pesawat di terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. Meski tubuhnya masih bisa berjalan tegak tapi tak bisa dipungkiri kalau saat ini kepalanya terasa berat dan matanya begitu panas karena sepanjang penerbangan dari Chicago menuju Indonesia dia tidak bisa mendapatkan tidur yang berkualitas. Minimal satu sampai dua jam. Entah kenapa hampir setiap lima belas menit dia terlelap, tidurnya tiba-tiba terganggu padahal tidak ada sesuatu yang membuatnya sampai terbangun, mengingat penumpang-penumpang lain masih bisa tidur nyenyak lebih lama dari dirinya.
Tak hanya sampai di situ penyiksaan yang dialami Jenggala selama penerbangannya itu. Lidahnya juga sama sekali tidak bisa diajak kompromi menikmati makanan yang disajikan selama perjalanan. Bahkan hanya untuk sekadar menggugurkan asal mengisi perut saja tak bisa ia lakukan. Bukan karena makanannya tidak enak. Sekali lagi penumpang lain di dalam pesawat taraf kelas bisnis yang ditumpanginya, sepertinya tidak mengalami masalah yang sama dengannya soal makanan. Akhirnya dia berpikir mungkin sedang kurang sehat sehingga tubuhnya sedikit rewel diajak bepergian jauh seperti ini. Kemudian dia berpikir tubuhnya membutuhkan sesuatu yang dapat membuatnya sedikit nyaman, akan tetapi asumsinya salah. Karena bukannya terasa nyaman, tubuhnya malah menderita setelah menenggak sebutir aspirin dengan posisi perut kosong. Alhasil dia harus mengeluarkan makan yang dia konsumsi terakhir sebelum penerbangan dari Chicago beberapa jam yang lalu. Dia pun harus menerima keadaan selama perjalanan hanya terkapar tak berdaya di kursinya tapi tetap tidak bisa terlelap. Entah pikiran apa yang membuatnya sampai merasa cemas dan panik melewati penerbangan yang akan mengantarkan dirinya ke tanah airnya sendiri setelah lima tahun berlalu. Bukan ke negara lain, apalagi ke planet lain.
Kini Jenggala tampak fokus menatap layar Ipad-nya. Tadi dia memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya terlebih dulu sebelum minta jemputan. Saat ini dia sedang berada di lounge Bandara Soekarno Hatta, menanti kedatangan seseorang yang akan menjemputnya di sini. Mengisi waktu menunggunya ia memilih membuka Ipad lalu mencari saluran berita online. Fokusnya tertarik untuk membuka sebuah video berita yang diunggah lima menit yang lalu. Di dalam video tersebut menayangkan sebuah berita tentang hilangnya sosok perempuan yang bernama Arunika Jayadi, seorang akuntan senior dan ahli pajak dari sebuah perusahaan akuntan publik ternama. Diduga hilangnya akuntan senior itu erat kaitannya dengan kasus pencucian uang dan penggelapan dana yang sedang marak diberitakan akhir-akhir ini. Namun Jenggala tidak melanjutkan menonton video berita tersebut karena ada sebuah panggilan masuk dari kontak ponsel dengan nama Raka sedang berusaha melakukan panggilan telepon. Jenggala segera menerima panggilan telepon tersebut.
“Gue di luar. Gue tunggu di pintu gate ya,” ujar Raka sembari menyebutkan posisi tepatnya saat ini sedang menunggu Jenggala.
“Oke, gue jalan ke sana sekarang,” jawab Jenggala kemudian bangkit dari kursi dan mulai mendorong travel bag ukuran maksimal kabin miliknya. Dia memang tidak lama di Indonesia. Rencananya hanya satu bulan sebelum nanti mengambil keputusan akan kembali ke Chicago lagi atau bertahan seterusnya di Indonesia.
Di sana Raka menyambut Jenggala dengan senyum tulus. Begitu juga Jenggala yang menyambutnya dengan senyum menyenangkan. “Raka! Gue seneng banget waktu lo nawarin jemputan. Siapa yang bisa nolak dijemput oleh salah satu notaris hebat di kota Jakarta,” puji Jenggala sambil menyodorkan tangan lebih dulu untuk bersalaman dengan Raka.
“Halah si kampret. Paling bisa disuruh jilat menjilat,” balas Raka sambil menahan senyum geli.
“Asal jangan menjilat ludah sendiri aja,” balas Jenggala.
“Wow! Sejak kapan lo berubah bijak?”
“Manusia itu sejujurnya adalah makhluk yang paling fleksibel. Alias mudah berubah.”
“Kalau perasaan lo ke cewek yang lo suka pas kuliah di Duke University sudah berubah atau masih tetap sama kayak dulu?”
“Konteksnya sedikit melenceng ya, Pak.”
“Gue udah tahu jawabannya sih, tanpa perlu lo repot-repot mikir buat ngasih jawaban bijak kayak sebelumnya.”
“Kalau lo ada niatan buat ngelanjutin obrolan kita di sini, gue nyerah. Tapi kalau di mobil atau di tempat lain yang lebih nyaman, bisa gue pertimbangkan,” ujar Jenggala.
Keduanya lalu berjalan beriringan menuju tempat Raka memarkir mobilnya. Masih tetap sambil mengobrol sambil membahas topik pembicaraan sebelum melenceng ke pembicaraan soal perasaan Jenggala pada seorang perempuan yang dia kenal di Duke University ketika menempuh pendidikan S2-nya.
“Apa cuma gue aja yang ngerasa kalau lo sekarang udah banyak berubah?” komentar Raka.
“Perasaan lo aja kali. Tapi ada satu hal yang bikin gue penasaran,” ujar Jenggala tanpa melanjutkan ucapan bernada menggantung yang baru saja ia ucapkan.
“Apa itu?”
Jenggala hanya merespon lewat senyum penuh arti. Sementara Raka hanya tertawa melihat tingkah sahabatnya itu. Meski sebenarnya dia juga penasaran. Namun rasanya tidak etis menanyakan sesuatu hal pada seseorang yang sebenarnya kita tahu orang tersebut enggan menjawab rasa penasaran kita tadi. Akhirnya Raka memilih tak melanjutkan pembahasan soal ini lagi dengan Jenggala. Memilih melanjutkan langkah menuju posisi mobilnya sedang diparkir.
~
Setelah tidak sadarkan diri selama berhari-hari akhirnya Sembagi sadar. Ketika dia membuka mata untuk pertama kali ruangan di sekitarnya didominasi warna putih dan coklat muda. Semua benda tampak berbayang-bayang di matanya. Dia melihat beberapa orang sedang berada di ruangan yang sama dengannya. Wajah mereka masih buram awalnya. Hanya terdengar suara gelak tawa orang-orang dari orang-orang itu. Sembagi kembali memejamkan mata karena merasa pusing. Beberapa detik kemudian dia mencoba membuka mata lagi. Barulah setelah kedua matanya terbuka sepenuhnya dia sadar ada seseorang yang datang mendekat padanya. Seorang wanita berusia menjelang 60 tahun mengenakan pakaian serba hitam dengan senyum mengerikan. Membuat Sembagi spontan bangkit dari tidurnya.
“Ada apa ini?” tanya Sembagi pada siapa saja yang ada di dalam ruang ini dengan wajah bingung.
Wanita paruh baya tadi terus mendekati ranjang Sembagi dan berhenti tepat di samping pinggiran ranjang. Dengan senyum sinis wanita itu melontarkan pertanyaan yang tidak dimengerti oleh Sembagi maksudnya. “Kenapa kamu berdiri di tengah jalan dan harus tertabrak mobil di depan rumah sendiri?” ujarnya ketus. “Kamu benar-benar telah merepotkan semua orang. Puas kamu sekarang?” hardik wanita itu.
Sembagi menatap wanita paruh baya itu dengan tajam dan sedikit mencemooh. Tentu saja wanita paruh baya itu tidak diterima ditatap seperti itu oleh Sembagi. “Kenapa kamu melihat saya seperti itu? Berani kamu pada saya?” bentak wanita itu lalu melayangkan tangan hendak menampar Sembagi.
Tangan Sembagi lebih sigap menangkap tangan wanita itu, mencengkramnya lalu mencekalnya hingga wanita itu mengaduh kesakitan. Kedua mata wanita itu melotot sempurna, menatap Sembagi dengan penuh amarah di tengah-tengah rasa sakit tangannya.
“Siapa kamu?” tanya Sembagi masih dengan tangan mencekal tangan wanita itu lalu terus memelintirnya hingga terdengar bunyi seperti ranting retak.
“Dasar perempuan gila! Apa yang kamu lakukan padaku?” pekik wanita itu yang tak lain adalah Dahayu, ibu mertuanya.
Sembagi mengempaskan tangan ibu mertuanya hingga wanita itu terhuyung ke belakang. Tangannya patah dan sekarang posisinya tiba-tiba lemas lunglai. Tangan wanita itu akhirnya mengalami cedera serius akibat perbuatan Sembagi.
“Siapa aku? Aku di mana? Aku kenapa? Apa yang aku lakukan di tempat ini?” tanya Sembagi dengan wajah bingung pada semua orang yang ada di dalam kamar rawat inapnya.
~~~
^vee^