Bima tersenyum lebar ketika melihat sosok itu begitu cantik dengan dress batik sambil membawa buket mawar dan sebuah sebuah boneka panda. Hari ini hari bahagianya, akhirnya setelah berjuang dengan segala drama dan t***k-bengek lainnya, ia lulus juga dari kepaniteraan klinik. Lulus UKMPPD one shoot sehingga pada hari ini ia sudah sah menyandang gelar dokter di depan namanya.
Ya ... hari ini adalah hari dimana akhirnya ia diambil sumpah dokternya, sebuah prosesi wajib setelah semua proses pendidikannya selesai. Proses yang men-sahkan dirinya menjadi seorang dokter.
"Congratulation dokter Bima Dirgantara Soebroto, akhirnya sah jadi dokter juga, Sayangku!" teriak sosok itu riang lalu memeluk Bima erat-erat.
Bima balas memeluk sosok itu, mendekap erat tubuh wanita yang sangat ia cintai itu. Rasanya lengkap sudah semuanya hari ini. Ia tersenyum sambil mencium puncak kepala Melinda.
"Terima kasih banyak ya Sayang, terima kasih sudah sangat sabar dan pengertian menemani perjalanan aku selama ini," bisik Bima lirih, matanya berkaca-kaca. Ia sangat bahagia.
"Aku akan selalu setia mendampingi kamu, Sayang. Demi masa depan kita juga." balas sosok itu tersenyum.
Bima meraih tangan Melinda, mengecupnya penuh kasih, "Will you marry me?"
Astaga, Melinda tertegun matanya berkaca-kaca, ia sampai tidak bisa lagi berkata apapun, sangat teramat speechless dengan apa yang barusan ia dengar itu. Akhirnya Bima melamarnya juga! Ini saat yang jujur sangat ia tunggu-tunggu selama ini.
"Ka-kamu serius?" tanya Melinda terbata, air matanya menitik, mulutnya masih mengangga karena syok luar biasa.
"Sangat teramat serius Sayang, gimana? Mau kan? Kita nikah ya? Mau ya? Please?" mohon Bima sambil menggenggam erat tangan Melinda.
"Yes, off course aku mau! Aku mau jadi isterimu!"
Bima tersenyum lebar, ia kemudian mendekap erat sosok yang ada di hadapannya, ia bahagia, kebahagiaannya benar-benar luar biasa hari ini. Rasanya perjuangannya selama ini sudah terbayar lunas. Perjuangan keringat dan darahnya tidak sia-sia.
"Bilang papa, sabtu malam aku kerumah, sama mama-papa buat lamar kamu!"
***
"Sudah benar-benar serius?" tanya Anita ketika malam itu mereka sedang makan malam bersama.
"Tentu sudah dong, Ma. Masa iya sih Bima mau main-main?" Bima mengaduk nasi di piringnya, ia sudah sangat serius dengan Melinda.
"Yaudah kalau begitu, sudah beneran yakin mau nikah sekarang? Habis ini kamu masih harus internship kan?" Andi melirik putra tunggalnya itu, ia juga seorang dokter, tentu paham kewajiban apa lagi yang harus putranya itu lakukan selepas diambil sumpah dokternya.
"Siap Pah, makanya mau Bima lamar dulu sebelum kemudian Bima harus internship."
Andi mengangguk, tampaknya Bima sudah sangat-sangat serius. Ia hanya mengangguk sambil terus melanjutkan aktivitas makannya.
"Jangan lupa nabung buat lanjut spesialis, Bim. Sudah menentukan mau ambil spesialis apa?" Andi kembali melirik Bima ia sendiri memutuskan ambil spesialisasi penyakit dalam dulu, entah dengan putranya ini.
"Pediatric, Pa. Bima mau ambil pediatric." jawab Bima mantab.
Andi kembali mengangguk, ia sependapat dengan putranya itu. Apapun itu, Andi akan mendukung sepenuhnya keputusan putranya itu. Terlebih soal spesialisasi apa yang hendak anaknya ambil, semua keputusan berada penuh di tangan Bima.
"Nggak kepengen jadi ahli bedah?" Anita kini buka suara, ia satu-satunya yang tidak berprofesi dokter di rumah ini, dulu ia petugas administrasi di rumah sakit sebelum kemudian dinikahi oleh sosok Andi.
"Ah, ogah Ma, nanti aja jadi pediatric kalau ada sectio caesarea pasti juga bakal disuruh gabung sama obsgyn-nya kok," guman Bima menolak, ia tidak tertarik dengan bedah.
"Nanti papa bantu cari rekomendasi untuk daftar PPDS mu, Bim."
Sontak Bima tertawa, "Pa, masih lama ih, Bima aja belum dapat wahana internship, kenapa malah bahas PPDS sih? Lagian STR turun nanti Bima mau praktek dulu beberapa tahun, nabung buat biaya PPDS, Pa."
"Soal biaya PPDS, biar papa yang tangung, gajimu untuk menafkahi keluarga mu saja, Bim. Kamu anak papa satu-satunya!" desis Andi sambil tersenyum.
Bima meletakkan sendoknya, menatap sang ayah lekat-lekat, matanya memanas, ia begitu terharu dengan apa yang barusan papanya itu katakan.
"Terima kasih banyak, Pa. Harus dengan apa Bima membalas semua perjuangan dan pengorbanan papa untuk Bima?" tanya Bima dengan mata berkaca-kaca.
"Cukup jadilah dokter yang mementingkan sesamamu, Bim. Jadilah dokter yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan berpegang teguh pada sumpah yang tadi kau lafalkan."
Bima tersenyum, ia mengangguk mantab, sontak ia bangkit dan memeluk erat-erat sang papa, role model-nya untuk meraih gelar dokter selama ini.
"Pasti, Pa! Pasti akan Bima lakukan dan ingat-ingat betul semua pesan papa!"
***
Sementara itu gadis dengan perut membukit itu tengah terisak di dalam dekapan sang mama. Ia bahkan harus rela cuti kuliah karena kehamilannya ini. Hamil tanpa suami, dan parahnya ia sama sekali tidak tahu laki-laki mana yang sudah menanamkan benih di rahimnya ini.
"Maafkan Levina ya, Ma. Harusnya Levina mendengar semua perkataan Mama dulu itu, harusnya Levina tidak pergi," desisnya dengan linangan air mata.
Ani hanya mengangguk sambil ikut terisak, ia sudah berfirasat dulu itu. Ia mati-matian melarang Levina, anak gadis satu-satunya itu pergi berangkat ke acara pesta ulang tahun seorang temannya, namun Levina bersikeras untuk berangkat!
Ia pulang esok paginya, dengan wajah pucat dan bau alkohol. Sebulan kemudian ia muntah-muntah hebat hingga pingsan. Betapa terkejutnya Ani ketika kemudian dokter yang memeriksa putrinya itu mengatakan bahwa putrinya itu positif hamil empat minggu!
Ia hancur sehancur-hancurnya mendengar vonis dokter itu. Sebagai ibu, ia gagal! Ia gagal menjaga peninggalan satu-satunya dari almarhum suaminya itu.
"Siapa yang melakukannya, Vin?" tanya Ani murka.
"Ma, Levina nggak tau, Ma. Levine mabuk berat dan begitu bangun Levina sudah dikamar hotel dan ...," Levina tidak melanjutkan kalimatnya, pikirannya kembali memutar peristiwa beberapa saat yang lalu, ketika ia sadar dan terjaga di sebuah kamar hotel dengan kondisi tanpa busana dan bercak darah itu sprei hotel itu.
Ia tidak tahu siapa laki-laki yang melakukan itu semua, ia sama sekali tidak sadar malam kemarin. Dan perbuatan itu membuahkan janin di rahimnya, janin tanpa ayah, janin yang ia tidak tahu siapa pemilik bibit yang bersarang di rahimnya ini.
"Maafkan Levina, Ma." sia-sia sudah sebenarnya semua permintaan maaf yang keluar dari mulut Levina, semua sudah terjadi bukan? Dan ia sudah tidak bisa menghindari semua ini lagi, janin itu hidup di dalam rahimnya!
Ani hanya mengangguk pelan, mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi dan ia tidak bisa melakukan apa-apa lagi kecuali membesarkan dan merawat cucunya itu bukan?
"Ma, gugurkan saja, Ma!" mohon Levina dengan mata berkaca-kaca.
"Setelah dosa yang sudah kamu lakukan, kamu mau melakukan dosa lagi, Vin?" desis Ani tidak percaya dengan aalpa yang tadi Vina mohon kepadanya.
"Tapi Levina nggak mau anak ini, Vina nggak mau hamil, Ma!" tangis Levina kembali meledak, dadanya terasa begitu sesak.
"Semua sudah terjadi, jadi tolong pertanggung jawabkan semua yang sudah kamu lakukan, Sayang!"