Di rumahnya

1352 Words
Setelah sampai di rumah sakit. Pihak rumah sakit sudah memeriksa kedua orang tua. Dia hanya diam duduk tanpa bisa berbicara apa-apa. Aron merasa dirinya sangat bersalah. Tetapi, Brian sudah mengurus semuanya. Dia sudah mengatur apa yang harus dilakukan. Bahkan memberitahu pihak rumah sakit untuk tetap diam tanpa memberi tahu rumah sakit. Brian mencoba melakukan pemeriksaaan sendiri di bantu oleh sang dokter. Lelaki badan intelijen itu terlihat begitu serius tubuh kedua orang tua Aron. Dia merasa membulatkan kedua matanya. Dan, terheran-heran saat melihat tidak ada luka serius sama sekali di tubuhnya. Membuat Brian semakin berpikir jika Anak itu adalah anak yang berbeda dari yang lainya. Setelah semuanya selesai. Brian sudah mengurusi semua kemana-mana. Bahkan dia juga tidak melaporkan kejadian ini pada polisi. Jika polisi tau maka mereka akan menyelidikinya. Dia sangat khawatir dengan anak itu. Dan, tidak hanya orang tuanya. Jika para ilmuwan tahu. Maka anak itu akan jadi korbannya. Dia akan dibawa dan di teliti khusus dijadikan kelinci percobaan orang-orang yang tak bertanggung jawab. Pulang dari pemakaman. Brian membawa Aron pergi ke rumahnya. Hanya itu satu-satunya tempat tinggal untuknya. Meski sedikit ragu jika laki-kaki itu Nanti mengeluarkan kekuatannya. Jika kekuatan itu tak bisa terkontrol. Maka dirinya juga yang akan kena imbasnya. Tapi, entah kenapa dia masih ingin menggali lebih jauh tentang dia. Sebelum dia benar-benar punya tugas baru untuk menyelamatkan dirinya. Sampai di rumah sederhana milik Brian. Laki-laki itu membuka pintunya yang semula terkunci. Sudah hampir seminggu dia tidak pulang ke rumahnya. Mungkin rumahnya sudah jadi sarang debu dimana-mana. Brian melangkahkan kakinya masuk. Dia mengerutkan keningnya. Melihat sekelilingnya. Ya, yang benar saja. Rumahnya benar-benar berantakan. Dia mengibaskan tangannya tepat di depan wajahnya. Bau debu dimana-mana. Sementara Aron. Dia melihat sekelilingnya. Dia belum pernah melihat rumah seperti ini sebelumnya. Bahkan rumah yang dia tempati hampir lebih sepuluh tahu itu hanya seketika. Tidak ada hiasan apapun, yang ada hanyalah rak-rak buku. "Ini rumahku, kamu bisa tinggal disini lebih dulu." kata Brian. Sembari melepaskan jaket tebal hitam miliknya. Menggantungnya di kayu gantungan tepat samping pintu. Lalu, beranjak duduk melepaskan satu persatu sepatu yang sudah beberapa hari menempel di kakinya. Mungkin abu busuk keluar dari kakinya. Wajahnya bahkan terlihat sangat lelah. Beberapa hari belum merasakan istirahat sama sekali. "Ini rumah kamu?" tanya Aron. Kedua matanya berkeliling melihat sekitarnya. Rumah yang tampak sederhana tidak begitu besar. Bisa dibilang rumah sangat luas. Tetapi, sekitar sedikit berantakan di dalamnya. "Kenapa rumah kamu sangat berantakan?" tanya Aron." "Aku tidak pernah sama sekali.membersihkan rumah. Karena memang aku jarang sekali berada di rumah. Aku selalu keluar kota. Tinggal di luar. Atau, bahkan tinggal di basecamp." jelas Brian, dia bangkit dari duduknya. Berjalan perlahan menuju ke dapur. "Apa kamu lapar?" tanya Brian. "Lumayan." jawab Aron. Dia terus melihat setiap sudut rumah itu. Wajahnya terlihat kagum dengan apa yang di lihat nya. Meski sedikit ada yang dia tidak mengerti. Barang-barang yang terlihat tidak pernah sama sekali ada di rumahnya. "Kamu duduk saja dulu. Aku akan buatkan kamu makanan. Setelah itu, aku siapkan kamar untuk kamu." kata Brian. Dia segera membuatkan spaghetti seperti biasa. Makanan yang sering dia makan. Dan, banyak stok di lacinya. "Baiklah! Tapi, aku ingin cerita satu hal nanti denganmu. Aku tidak mau jika kamu menyesal nantinya. Aku tidak, mau melukai orang lagi." kata Aron. Dia menatap ke arah Brian yang masih sibuk di dapur. "Memangnya kenapa?" tanya Brian. "Apa yang terjadi tadi pada orang tuaku. Semuanya karena aku. Dan, mereka terbunuh juga karena. Apa kamu tidak takut denganku?" "Tidak!" "Tapi, kenapa kamu begitu baik padaku. Semenatara kita tidak pernah saling mengenal." tanya Aron. Dia beranjak duduk di sofa. Mengambil salah satu buah di atas meja. Menggigitnya tanpa rasa canggung lagi. "Kamu jika kamu tidur. Tidur saja di sofa dulu. Kau akan beres kan kamar buat kamu setelah ini." "Iya, makasih. Aku kamu sudah banyak membantu." Aron berbaring di atas sofa. Dia merasa sangat kesal "Apa kamu pernah sekolah?" tanya Brian. "Apa itu sekolah?" Aron beranjak duduk. "Apa sekolah itu tempat untuk bermain. Atau, aku bisa mendapatkan teman di sana." Setelah selesai makan dua piring spageti. Brian membawa dua piring itu. Berjalan mendekati aron. Meletakkan satu piring spaghetti di atas meja, tepat di depan Aron. "Makanlah dulu." pinta Brian. "Jelaskan dulu apa itu sekolah?" "Oke, aku bisa jelaskan. Sekolah itu, bisa dibilang tempat dimana kita belajar semua hal. Dan, bisa di bilang kita juga dapat teman banyak di sana. Ada teman baik bahkan ada yang hanya memanfaatkan kita. Tergantung pergaulan kamu nantinya. Tapi, yang paling penting. Sekolah untuk menambah wawasan ilmu. Agar kamu punya bekal mengasah pola pikir kamu disana." jelas Brian. Dia mulai memakan spageti yang sudah berada di telapak tangannya. "Oo.. Jadi, aku bisa belajar disana." Aron memastikan. Dan, hanya di balas gangguan kepala oleh Brian. "Trus, ini makanan apa?" Aron mengerutkan keningnya dalam-dalam saat melihat makanan yang belum pernah dia makan sebelumnya." "Ini mie? Atau, apa?" "Iya, mie. Sudah makan saja. Di rumah ini hanya ada itu buat ganjal perut. Udah, makan saja. Jangan banyak tanya." Brian berbicara dengan mulut masih penuh makanan. "Oke, tapi tidak ada racun atau apapun kan?" Aron melirik tajam ke arah Brian. "Uhuk....Uhuk.." Brian meletakkan piring miliknya di atas meja. Dia segera mengambil dua gelas air putih. Membawanya kembali duduk di samping Aron. Tak mau berbicara lebih dulu. Brian meneguk minumannya hingga habis setengah gelas putih yang terlihat lebih panjang beberapa senti. ** Setelah menikmati makanan. Brian membersihkan kamar yang akan ditempati oleh Aron nantinya. Dia begitu gigihnya reka membantu Aron meski dirinya baru kenal. Rasa penasarannya dengan Aron membuat dia ingin melihat sejauh apa kekuatan yang dimiliki. Apa yang dugaan dalam pikirannya itu beneran nyata. Atau, hanya pikiranku saja. Sesekali Brian melirik setiap gerak-gerik Aron. Dia mencoba ada hal yang mencurigakan atau tidak dengan apa yang dilakukan olehnya. "Kenapa kamu mau membentuk. Kamu bukan saudaraku?" tanya Aron. "Memang kita bukan saudara. Tapi, sesama manusia harus saling menolong." Jawab Brian penuh percaya diri. "Iya, apa kamu yakin menolongku. Apa kamu yakin juga jika kamu tidak takut denganku. Aku adalah orang yang mengerikan. Harusnya kamu takut denganku. Kenapa kamu sama sekali tidak takut?" tanya Aron. Setelah semuanya beres. Brian merasa sangat lelah. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang berwarna coklat tua itu. Dia merentangkan kedua tangannya. "Memangnya apa yang harus aku takutkan. Apa aku harus melihat kamu melakukan apa yang kamu lakukan pada orang tuamu?" Brian memiringkan tubuhnya ke kanan. Dia menyangga kepalanya, dengan pandangan mata lurus menatap Aron yang masih berdiri. Dia terlihat ragu dengan Brian. Apalagi laki-laki itu baru saja dia kenal. Dia belum genap 2 hari mengenalnya. Tetapi, dia sangat baik padanya. Memberikan makan, tempat tinggal, dan tanpa menerima imbalan apapun. "Apa kamu pikir aku ada niat buruk denganmu?" tanya Brian. Dia berdesir pelan. Menggelengkan kepalanya. Sembari terkekeh kecil. Membayangkan pikiran Aron yang terlalu jauh tentangnya. "Aku memang penasaran denganmu. Apa yang kamu lakukan hingga membunuh kedua orang tua kamu. Itu hal yang jarang aku lihat. Kamu melakukannya sedikitpun tidak melukainya. Atau, bahkan mereka hanya terkenal goresan reruntuhan dari bangunan." Brian membaringkan tubuhnya lagu. Kedua matanya menatap ke atap langit kamarnya. "Apa yang kamu lakukan, membuat aku terkagum denganmu. Aku ingin tahu siapa kamu sebenarnya. Dan, kenapa tadi aku tidak panggil polisi untuk menyelidiki semuanya." "Apa polisi akan yang bisa memenjarakan orang, yang bersalah. Apa aku juga akan masuk penjara?" tanya Aron. "Kamu tahu?" tanya Brian heran. "Ibu aku yang menceritakan semuanya. Dia menceritakan semua yang harus aku lakukan. Kebaikan apa yang harus aku lakukan. Jika aku berada di luar rumah. Dan, semua resiko di luar kejahatan di luar. Orang tuaku selalu menceritakan padaku." jelas Aron. Duduk di samping Brian tang masih berbaring di ranjangnya. Brian tersenyum tipis. Dia beranjak berdiri. Menepuk pundak Aron dua kali. "Tidurlah, besok. Aku akan ajak kamu ke tempat dimana kamu harus menyesuaikan diri dengan teman seusia kamu." jelas Brian. "Baiklah!" Aron menganggukan kepalanya. "Dan, nasalah tadi. Jangan terlalu dipikirkan. Aku tahu, kamu pasti sedih kehilangan orang tua kamu. Tapi, mereka melakukan semis juga untuk menyelamatkan kamu. Sayangnya mereka terkena kekuatan yang ada dalam diri kamu." jelas Brian. Dia tersenyum ramah kalau melangkahkan kakinya pergi. Tanpa menunggu balesan dari Aron.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD