CHAPTER 8. KETANGGUHAN HATI

2648 Words
    Anastasius tak pernah mengerti apa yang mendasari kebencian Cenora kepada para Dewa, hingga ia bisa selalu mencaci ataupun tak pernah menyembah Dewa. Baginya Dewa hanyalah sosok arogan yang bisa dengan mudahnya mengatur takdir manusia yang pada dasarnya mungkin tak diinginkan oleh mereka.     Namun, meskipun Anastasius masih menyembah Dewi Ophelia, sang dewi kebijakan. Ia juga terkadang memiliki pikiran yang sama dengan Cenora, Anastasius merasa bahwa manusia hanyalah sebuah boneka kayu yang dimainkan oleh para dewa untuk menebus kebosanan mereka.     Jalanan didalam Hutan Egda kian lama menyempit, akar pepohonan tumbuh semakin besar di bagian hutan yang lebih dalam, banyak akar yang menelisik keluar dari tanah. Membuat pergerakan mereka sedikit terhambat.     Hanya berjarak beberapa mil dari tempat mereka berpijak, terlihat sebuah tanjakan dengan seratus anak tangga. Tangga batu tersebut diciptakan oleh para siluman untuk menuju ke Danau Perak yang terdapat dipuncak tangga tersebut.     “Ketika kamu melangkah di atas anak tangga itu, kuatkan hatimu. Jangan berfikir untuk menyerah.” Ujar Cenora memperingati.     Karena, setiap menaiki satu anak tangga. Maka hati dari orang itu akan di uji seberapa besarnya tekad mereka untuk mendapatkan senjata suci. Bila mereka memiliki keraguan di hati, maka langkah mereka akan menjadi seberat batu atau seakan sedang memikul beban yang begitu berat di pundang mereka.     Namun, jika seandainya mereka memiliki tekad yang sangat kuat, maka langkah mereka akan menjadi seringan kapas. Tangga ini jugalah yang biasanya membuat banyak orang menyerah untuk ke danau perak.     Anastasius menarik nafasnya dalam, berusaha meyakinkan diri bahwa ia mampu untuk mendapatkan senjata suci dan membuat Cenora bangga akan pencapaiannya. Langkah demi langkah anak tangga telah Anastasius lewati dengan mudah, tidak terasa ada kesulitan apapun.     Namun, tatkala kakinya menginjak anak tangga ke lima puluh. Ia bisa mendengar suara bisikan seorang wanita di telinganya.     “Apa kamu mampu?”     “Apa kamu sudah cukup kuat?”     Anastasius menghentikan langkahnya, menoleh ke segala arah untuk mencari sumber suara tersebut. Ia tahu dengan pasti kalau suara itu bukanlah milik Cenora, dan Cenora bahkan sudah berada begitu jauh dari hadapannya.     Keraguan mulai menghinggapi hati Anastasius, menggerogoti tekad yang telah ia bangun sebelumnya. Keyakinan perlahan mulai runtuh, pikirannya kalut akan pemikiran buruk yang ia takuti. Bagaimana bila dia tidak bisa? Bagaimana bila Cenora kecewa pada akhirnya?     Suara bisikan itu kembali hadir, kini bagaikan hipnotis yang semakin meruntuhkan semua keyakinannya. Kakinya mulai seberat batu, ingin mengangkat kakipun terasa begitu sulit.     Nafas Anastasius mulai memburu, merasa bingung dengan hal yang tengah terjadi. Ia berusaha sekuat tenaga untuk melangkah, namun tubuhnya seakan sedang menggendong banyak batu. Membuat tubuhnya merunduk hingga tangan menyentuh anak tangga didepan Anastasius.     Manik perak Anastasius melihat ke sosok Cenora yang kembali menoleh ke Anastasius. Melihat pemuda itu sedang kesusahan untuk menaiki tangga. Namun di mata Anastasius, ekspresi Cenora seakan tengah mencemohnya yang tak sanggup untuk terus maju.     Cenora tidak membantunya, tidak juga kembali menuruni tangga untuk menarik Anastasius. Cenora hanya menatapnya, namun manik emasnya seakan tengah membakar tubuh Anastasius.     “Jika tak sanggup meyakinkan hati. Kenapa berusaha keras meyakinkanku untuk melatihmu?” Ujar Cenora, intonasi suaranya sedingin es di musim dingin.     Anastasius menggertakan gigi, merasa marah dengan dirinya yang mampu di goyahkan dengan mudah. Dia yang meminta Cenora untuk membantunya menjadi lebih kuat, namun ia juga yang mematahkan semangatnya sendiri.     “Nora. Apa aku mampu?” Tutur Anastasius, seakan ingin meminta pengakuan.     Cenora tidak menjawab pertanyaan Anastasius, melainkan memberikan pertanyaan lain, “Apa alasanmu ingin mendapatkan kekuatan lebih? Apa untuk melampauiku?”     “Aku tak butuh melampauimu.” Lirih Anastasius.     “Namun, aku pun ingin menjadi lebih kuat. Agar aku bisa melindungimu, menjadi tempatmu untuk beristirahat. Karena, Kamu selalu menjadi tameng untuk orang lain.     Dan aku ingin menjadi tameng untukmu.”     Desiran angin dingin menjumpai tubuh mereka, gaun Cenora nampak melayang mengikuti arah angin. Cenora terpaku sejenak, tak mengira bahwa Anastasius akan melontarkan jawaban seperti itu.     Awalnya, Cenora hanya yakin perkataan Anastasius hanyalah bualan belaka ketika pemuda itu berkata ingin melindunginya. Namun, tatapan kedua manik perak itu bersinar bagaikan cahaya rembulan, memancarkan keyakinan diri yang begitu kuat. Hingga membuat tubuh Cenora merasa gemetar sesaat.     Karena untuk pertama kalinya, ada seseorang yang tidak menjadikan Cenora sebagai senjata.     Cenora mengulurkan tangan kanannya, “Raih tanganku. Dengan begitu aku akan yakin dengan jawabanmu.”     Anastasius mengepalkan kedua tangannya. Berusaha keras untuk dapat berdiri kembali, menanamkan keyakinan yang kuat di dalam hatinya. Ia harus bisa menggapai tangan Cenora, dengan begitu Cenora bisa mempercayainya.     Ia memutar alasan itu tanpa henti di dalam otaknya. Menjadi bahan bakar untuk membakar tekad yang mulai redup. Anastasius mengangkat tubuhnya perlahan, walaupun beban di tubub masih terasa berat, sama sekali ia tidak menyerah.     Kaki kanannya mulai menaiki tangga berikutnya, di susul dengan kaki yang lain. Ia membidik sosok Cenora sebagai tujuan akhirnya, menjadikan wanita itu sebagai sumber untuk terus maju.     Perlahan namun pasti, langkah Anastasius semakin lama semakin terasa ringan. Beban di tubuhnya pun mulai terangkat, ia sekarang mampu menegakkan kepalanya dan melihat Cenora dengan lebih jelas. Cenora berdiri di puncak tangga, begitu dekat dengan letak Danau Perak berada.     Jarak diantara mereka berdua semakin menipis. Disaat Anastasius tinggal menaiki tiga anak tangga lagi, Cenora tersenyum tipis. Wanita itu menuruni tangga dan meraih tangan Anastasius.     Anastasius membulatkan matanya, “Nora, harusnya aku yang meraihmu.”     “Kamu ataupun aku, tidak masalah. Selama keinginanmu begitu kuat, aku mempercayaimu.”     Anastasius tersenyum hangat, “Aku tidak akan mengecewakanmu, Nora.”     Cenora menuntun Anastasius mencapai puncak tangga. Kedua mata Anastasius langsung berbinar tatkala melihat pemandangan yang ada di depan matanya.     Danau Perak bukanlah hanya sebuah nama belaka. Namun, airnya memang berwarna keperakan. Memancarkan gemerlap cahaya diantara kegelapan, di sekitar danau udaranya terasa sejuk dengan banyak kunang – kunang yang seakan menari di udara.     Perasaan kalut yang sebelumnya menyelubungi diri Anastasius mulai menghilang, tergantikan dengan rasa kekaguman yang luar biasa. Sedangkan Cenora memandang Danau Perak seperti merasakan nostalgia di masa lampau.     Ini bukanlah kali pertama Cenora pergi ke Danau Perak, kunjungan pertamanya adalah ketika ia masih seusia Anastasius. Dan hal itu juga bukanlah merupakan kenangan yang baik untuknya.     Cenora memandang ke arah Anastasius, “Jika kamu siap, kita bisa memulainya.”     Anastasius menoleh ke arah Cenora, dengan wajah yang dipenuhi keyakinan, ia berkata, “Aku siap.”     “Kalau begitu, kita lakukan sekarang.”     Cenora berjalan ke tepian Danau, diikuti oleh Anastasius di belakangnya, “Masukan tangan kananmu ke dalam air.”     Anastasius mengangguk patuh, ia duduk bersimpuh di pinggir Danau, kemudian mencelupkan tangan kanannya ke dalam air yang berwarna keperakan itu. Ketika Anastasius baru memasukkan tangannya, seperti ada sengatan – sengatan kecil di sekitar tangannya.     “Tutuplah matamu, dan yakinkan hatimu untuk mendapatkan senjata suci. Bila beruntung, akan ada sesuatu yang akan muncul ke permukaan.” Kata Cenora.     Anastasius menarik nafasnya. Kemudian menutup mata. Berusaha untuk berkonsentrasi terhadap pikirannya.     Aku harus menjadi lebih kuat.     Ia mengucapkan kalimat itu berulang kali di kepalanya, berada di sini adalah bukti bahwa Anastasius serius untuk mendapatkan kekuatan lebih. Hembusan angin di sekitar Danau Perak berhembus semakin kencang, bahkan menerbangkan dedaunan yang berserakan diatas tanah.     Kunang – kunang yang sebelumnya berterbangan langsung berpencar pergi menjauh dari Danau Perak. Seakan takut dengan apa yang tengah terjadi di sini. Cenora membuat perisai di sekitar tubuhnya dan Anastasius agar tidak terganggu dengan angin kencang.     Umumnya, bila Danau Perak mengeluarkan reaksi yang besar seperti ini ada dua kemungkinan, Danau Perak menolak mutlak kehadiran orang tersebut atau malah sangat mendambakannya.     Detik waktu perlahan mulai berganti menjadi menit. Cuaca di sekitar Danau Perak semakin memburuk dengan angin yang berhembus lebih kencang dari sebelumnya. Suara sambaran petir saling menyahut di atas langit, seperti akan kembali turun badai.     Cenora memandang ke arah langit, cuaca ini sangat mirip dengan badai di hari kemarin. Atau mungkin persis seperti hari – hari sebelumnya yang pernah di ceritakan oleh penduduk Kerajaan Cassiopeia. Apakah memang badai di Kerajaan Cassiopeia disebabkan oleh orang yang ingin mengambil senjata suci?     Namun, satu hal pasti yang Cenora tahu. Tidak mungkin ada banyak manusia yang ingin pergi ke Danau Perak setiap harinya. Kebanyakan manusia pastilah sudah termakan dengan rumor betapa kuatnya siluman di Danau Perak, sehingga yang datang ke Danau hanyalah para ksatria atau penyihir yang memiliki kekuatan tinggi. Keberadaan mereka pun masih bisa terhitung dengan jari.     Tangan kanan Anastasius mulai gemetaran, merasa mengigil karena telah terendam di dalam air begitu lama. Karena, air di Danau Perak memiliki suhu yang begitu dingin, seperti suhu pada salju di musim dingin. Bila saja ada manusia biasa yang menceburkan dirinya kedalam Danau Perak, manusia itu akan langsung membeku dalam hitungan detik.     Meskipun rasa beku mulai menjalari tangannya hingga ke lengan, Anastasius belum mau menyerah. Ia ingin mendapatkan senjata suci, berapa lama pun harus menunggu. Anastasius tak perduli.     “Seorang pendosa telah datang. Dewa Xenos akan memberikan berkah. Mundurlah bila kau ketakutan.”     Anastasius langsung membuka matanya tatkala mendengarkan suara bisikan seorang wanita di kedua telinganya. Bisikan itu terus bersuara berulang kali tanpa henti, menjadi satu – satunya melodi yang bisa Anastasius dengar. Pemuda itu bahkan tak bisa mendengar suara lain di sekitarnya selain bisikan tersebut.     “Seorang pendosa telah datang. Dewa Xenos akan memberikan berkah. Mundurlah bila kau ketakutan.”     Yang awalnya hanya berupa bisikan kini berubah semakin kencang. Intonasi bicaranya semakin cepat hingga bagai di ucapkan oleh banyak orang. Membuat kepala Anastasius sangat pusing, membuat pemuda itu memegangi kepalanya.     “Seorang pendosa telah datang! Dewa Xenos akan memberikan berkah! Mundurlah bila kau ketakutan!”     “Aku tidak akan mundur!” Teriak Anastasius dengan lantang.     Suara – suara itu langsung berhenti, tergantikan dengan keheningan panjang. Angin berhenti bertiup secara mendadak, bahkan guntur tidak lagi saling menyambar. Semua kembali ke keadaan seperti semula, seakan tidak terjadi apapun.     Anastasius kebingungan, “Apa aku ditolak?”     Cenora tidak menjawab, matanya terkunci ke tengah Danau Perak.     DUARR..     Cenora menguatkan perisai sihirnya bertepatan dengan suara ledakan yang begitu besar dari tengah Danau Perak. Ledakan itu membuat air danau langsung terbuang ke segala arah, bahkan menyebabkan pepohonan di sekitarnya ada yang tumbang. Suara ledakannya mampu terdengar begitu besar hingga mungkin dapat di dengar sampai ke seluruh Hutan Egda.     Anastasius membulatkan matanya, merasa tidak mengerti dengan kejadian yang baru saja terjadi didepan mata. Ia menoleh ke arah Cenora, wanita itu sepertinya sudah tahu apa yang tengah terjadi. Meskipun wajah Cenora nampak tenang, Anastasius mampu melihat ada sedikit kegusaran yang terlihat di Air muka Cenora.     “Nora, Apa yang terjadi?”     Cenora menggigit bibir bawahnya, “Axelia.”     Sebelum sempat membuka mulutnya kembali, Anastasius kembali dikejutkan dengan air danau mulai membentuk sebuah pusaran besar yang mengelilingi pusat danau. Air di tengah Danau Perak melipir ke arah pinggir, mengikuti arus pusaran hingga menyisakkan sebuah lingkaran besar tak berair di tengah danau.     Sebuah pedang berwarna keperakan muncul dari dasar danau, terbang melesat dengan cepat hingga menembus awan di atas Hutan Egda. Beberapa saat kemudian, ada batu besar yang ikut muncul ke permukaan danau dengan seorang Wanita bergaun merah yang berdiri diatasnya.     Wanita itu tersenyum begitu lebar seraya menatap tepat ke arah mata Anastasius. Manik mata wanita itu memiliki warna hijau terang dengan pupil kecil seperti reptil. Pupil mata yang biasanya dimiliki oleh para siluman. Dibelakang punggung wanita tersebut, terdapat sembilan ekor rubah berwarna kemerahan.     Pedang perak yang sebelumnya terbang begitu tinggi ke atas langit, kini kembali turun dengan kecepatan tinggi. Menghunuskan bilahnya yang tajam ke bumi. Pedang tersebut tertancap tepat dihadapan siluman rubah itu, melekat dengan kuat kedalam batu yang ia pijak.     Siluman rubah menginjakkan kaki ke atas Danau Perak, setiap pijakan kakinya akan membuat air danau menjadi beku. Sehingga ia bisa berjalan dengan leluasa di atas air. Anastasius tak melepaskan pandangannya dari mata siluman yang juga tak mengalihkan pandangan.     Di lain sisi, Cenora mengepalkan kedua tangan disamping tubuhnya. Ia hendak menarik tangan Anastasius untuk mundur, tapi Anastasius tak bergerak sedikitpun. Seakan tengah menunggu siluman rubah untuk datang menghampirinya.     “Asta, Jika kamu ingin menyerah. Aku bisa membawamu pergi.” Bisik Cenora.     Anastasius menoleh ke arah Cenora, tidak mengerti dengan jalan pikiran di kepala Cenora. Mereka sudah berada sejauh ini, senjata suci sudah berada di pelupuk mata. Untuk apa mereka mundur sekarang. Anastasius tidak ingin menyerah ketika hal yang ia inginkan sudah berdiri dihadapannya.     “Ada apa denganmu, Nora?” Tanya Anastasius, wajah Cenora nampak tak baik.     Cenora mengalihkan pandangannya ke arah siluman rubah yang sudah semakin dekat dengan tempat mereka berdiri.     “Dia Axelia. Siluman tertinggi di Danau Perak.” Ujar Cenora. Cenora tidak ingin memandang Anastasius sebelah mata. Namun, ia harus mengakui bahwa kemampuan Axelia sangat jauh di atas Anastasius. Ia merupakan siluman tertinggi yang menjaga Danau Perak, tak pernah ada satu pun yang bisa mengambil senjata dari tangannya atau bisa dibilang mungkin belum ada yang pantas untuk bisa menarik keluar senjata suci yang ia jaga.     Dan Cenora tidak menyangka bahwa Anastasius akan menarik keluar senjata suci yang dijaga oleh Axelia. Ini diluar perhitungannya.     Begitupun dengan Anastasius yang tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Bagaimana bisa dia sampai menarik keluar senjata suci tertinggi di Danau Perak. Itu merupakan hal yang mustahil baginya.     Axelia telah berada di hadapan mereka berdua, tersenyum lebar hingga memperlihatkan sederetan gigi putih. Siluman itu sendiripun tidak pernah menyangka bahwa akan ada seseorang yang bisa menariknya keluar dari dalam Danau setelah bersemayam selama ribuan tahun. Namun, manik hijaunya nampak menyorotkan kekecewaan karena melihat Anastasius yang seperti seorang bocah yang tak bisa diandalkan.     Pandangan Axelia beralih ke arah Cenora, baginya Cenora nampak lebih menarik dibandingkan Anastasius.     “Bila kamu ingin membawa pergi anak ini, kamu tidak bisa.” Tutur Axelia, suaranya selembut sutra.     Cenora menggertakkan giginya, “Kenapa harus kamu? Diantara ribuan senjata suci, kenapa kamu yang tertarik keluar?”     Axelia tertawa kecil, matanya menatap Anastasius dari kepala hingga kaki, “Bukankah anak ini yang memanggilku. Aku pun bertanya kenapa?”     Tangan kanan Axelia terulur dan menyentuh pipi Anastasius, mengangkat dagu Anastasius agar bisa melihat wajah Anastasius lebih jelas.     “Bisakah aku menggantikannya?” Tanya Cenora.     Anastasius langsung terbelalak, “Nora! Kamu tidak bisa!”     Cenora mendecih, “Bocah, kamu pikir siapa yang akan kamu lawan?”     Axelia langsung tertawa keras, membuat burung yang bertengger diatas pohon langsung terbang menjauh.     “Sayangku, kamu tidak bisa menggantikannya, dia yang memanggil maka dia yang melawan.”     “Oh? Bukankah kamu Cenora?” Lanjut Axelia, tangannya menunjuk ke arah Cenora dengan wajah yang dipenuhi keterkejutan sekaligus rasa senang yang luar biasa.     Cenora tidak menjawab ataupun menyangkalnya. Dan hal itu sudah cukup membuktikan bahwa ia memang Cenora.     Axelia mengitari tubuh Cenora, “Ternyata kamu, penyihir b******n yang melawan Eireen hingga hampir menewaskannya. Berani sekali kamu menginjakkan kaki di Danau Perak kembali dan bahkan berusaha untuk menantangku.”     Anastasius tidak terkejut mengetahui fakta tersebut. Ia sudah tahu bahwa Cenora memiliki senjata suci yang diambil dari Danau Perak. Meskipun Cenora jarang memakainya, atau bisa terbilang hampir tidak pernah digunakan. Anastasius pernah melihat senjata suci itu dikeluarkan oleh Cenora.     Eireen merupakan seorang siluman harimau yang kekuatannya hampir setara dengan Axelia. Dan senjata yang dia jaga adalah—     —Fotia, Cambuk api.     “Biarkan aku melawanmu. Anastasius tidak aka—”     Kalimat Cenora berhenti tatkala ia merasakan tangan Anastasius menggenggam tangannya begitu erat. Emas dan perak bertemu, Anastasius tersenyum begitu hangat hingga membuat Cenora merasa sedikit lebih nyaman.     “Aku sudah bilang. Aku tidak akan mengecewakanmu.”     Anastasius tahu pasti bahwa ia memang tidak akan mampu melawan Axelia. Kekuatan mereka terlampau jauh, namun meskipun begitu. Bila senjata suci terkuat itu bisa tertarik keluar atas panggilannya, bukankah senjata itu merasa yakin bahwa Anastasius adalah orang yang tepat.     Ia juga ingin membuktikan kepada Cenora bahwa dia mampu untuk bertarung, dan bisa melindungi dirinya sendiri tanpa bantuan Cenora.     Dan Anastasius tidak ingin perjalanan mereka menjadi sia – sia dengan menyerah begitu saja.     “Kuat juga tekadmu. Bocah ini menarik.”     Cenora mendecih, “Jangan sampai kau membunuhnya.”     Axelia tersenyum, “Tidak bisa janji.”     “Dan sebaiknya, kamu jangan ikut campur. Karena, kamu pasti tahu betul konsekuensi apa yang akan dihadapi oleh orang yang menganggu pertarungan antara siluman penjaga dengan penantangnya.” Lanjut Axelia.     Anastasius, “Apa yang akan terjadi?”     “Tentu dia akan mati. Ini adalab peraturan Dewa Xenos, tidak boleh ada yang melanggarnya.”     Genggaman Anastasius pada tangan Cenora semakin mengerat, “Berjanjilah padaku, Nora. Apapun yang terjadi, jangan menyelamatkanku.”     “Asta, ka—”     Manik perak Anastasius bersinar, “Aku mohon, percayalah padaku.”     Anastasius kemudian menatap Axelia, “Aku sudah siap.”     Axelia tersenyum senang, “Melangkahlah masuk ke Danau ini. Maka kita bisa memulainya.”     Anastasius hendak mengambil langkah untuk menginjak danau yang telah membeku, namun tangannya di tarik oleh Cenora, “Asta, kamu tidak perlu melakukan ini.”     Anastasius tersenyum sehangat mentari, ia mengalirkan listrik ke antara tangannya dengan Cenora, membuat Cenora melepaskan tangan Anastasius karena terkejut. Pada kesempatan itulah Anastasius langsung melangkah masuk ke dalam Danau.     “Aku akan baik – baik saja.”     Wajah tersenyum Anastasius langsung menghilang dari pandangan Cenora tatkala ada tembok es besar yang langsung naik dari atas tanah dan kemudian mengelilingi danau bagaikan sebuah kurungan. Perisai es tersebut berbentuk seperti iglo, sehingga tidak memberikan akses untuk masuk kedalam danau ataupun melarikan diri.     Dan orang yang ada di luar tidak akan bisa melihat ataupun mendengar pertarungan yang terjadi di dalam. Perisai es ini dibuat dengan kekuatan Axelia, tidak akan mudah untuk dipecahkan bahkan dengan kekuatan Cenora sekalipun.     Cenora langsung berlari ke hadapan perisai tersebut, memukulkan kedua tangannya ke atas permukaan es yang dingin.     “Asta! Bocah sialan!” **** To Be Continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD