Berbeda dengan Kota Kalla yang hanya diisi oleh sedikit penduduk, Kota Thiva yang merupakan pusat dari wilayah Kerajaan Oretha nampak begitu ramai. Jalan – jalan perkotaan terisi dengan banyak manusia yang berlalu lalang ataupun kereta kuda para bangsawan yang tengah membelah keramaian.
Kota Thiva terkenal akan kerajinan perhiasan manik – maniknya, ada begitu banyak putri bangsawan dari Kerajaan Oretha atau kerajaan lainnya yang berkunjung ke Kota Thiva hanya untuk membeli perhiasan. Karena itulah kota Thiva juga disebut sebagai kota ‘Sejuta Informasi’, akibat banyaknya orang yang berdatangan dari segala wilayah kemudian berbincang – bincang disini.
Setiap kali Cenora dan Anastasius melewati kerumunan orang – orang. Akan selalu ada perbincangan mengenai mereka berdua, meskipun terdapat begitu banyak bangsawan di Kota Thiva, tidak pernah mereka melihat ada seseorang yang bisa serupawan Cenora ataupun Anastasius. Keduanya bersinar bagaikan berlian diantara bebatuan kotor.
“Lihatlah wanita itu, wajahnya seperti bisa mengalahkan kecantikan para dewi.” Bisik seorang pejalan kaki kepada temannya.
Teman pria itu menyikut lengan temannya, “Jangan hanya melihat wajahnya, lihatlah tubuhnya. Apa kita bisa menyewa dia?” Suara tawa dari segerombolan pria terdengar.
Anastasius bisa mendengar semua perkataan mereka dengan jelas, genggaman tangan Anastasius pada tali kekang kuda mulai mengeras. Ia paling benci ketika ada pria yang membicarakan hal kotor tentang Cenora. Baginya, Cenora bukanlah sebuah tontonan yang bisa digunakan para pria untuk memuaskan mereka.
Cenora memegang lengan Anastasius berusaha untuk menenangkan emosi pemuda itu, “Biarkanlah. Tidak perlu ribut.”
Anastasius mengangguk kecil, tidak ada gunanya juga untuk meributkan hal tersebut. Namun, baru saja Anastasius berfikir seperti itu ia mendengar seorang pria kembali berbicara.
“Haha, dengan wajah seperti itu pasti dia telah di tiduri oleh banyak pria untuk mendapatkan uang.”
Emosi Anastasius yang biasanya selalu stabil langsung memuncak ketika mendengar hal tersebut. Ia mengambil sebuah apel dari keranjang dan melemparkannya ke kepala pria yang berbicara buruk tentang Cenora tadi.
“Hei! Apa yang bocah ini lakukan! Tidak tahu sopan santun.” Teriak pria yang terkena lemparan apel tersebut.
Anastasius turun dari kudanya, kemudian menatap tajam segerombolan pria dihadapannya, “Tidak sopan? Bukankah kalian yang tidak sopan dengan menghina seorang wanita dengan mulut kotor kalian.”
“Bocah sialan! Beraninya kamu menghina kami!”
Pria itu hendak melayangkan pukulan ke wajah Anastasius, namun sebelum tangan itu bisa menghantam wajah Anastasius. Cenora menahan kepalan tangan tersebut, mencengkramnya begitu kuat seakan ingin mematahkan setiap tulang yang terdapat di tangan itu.
Cenora tersenyum namun matanya memicing seakan ingin menguliti sekawanan domba, “Tuan – Tuan, saya pikir apa yang diucapkan oleh adik saya adalah sebuah kebenaran. Kalian para sampah yang dengan beraninya menghina saya dan hendak melukai adik saya. Apa kalian sudah siap untuk mati?”
Manik emas bersinar bagaikan bara api, setiap pria yang sebelumnya begitu berani untuk melawan Anastasius kini kehilangan kepercayaan diri untuk melanjutkan pertengkaran mereka. Tatapan milik Cenora seakan membakar tubuh mereka dari dalam, menyebabkan rasa panas seakan menggerogoti setiap organ dari tubuh mereka.
Cengkraman pada kepalan tangan pria sebelumnya semakin menguat, membuat pria itu berteriak kesakitan, “Maafkan saya. Ampuni saya, Nona.”
Cenora melepaskan tangannya lalu berbalik membelakangi mereka seraya berkata dengan nada rendah, “Sekali lagi kalian berbicara buruk tentangku. Bersiaplah untuk berjumpa dengan kematian.”
Para pria itu membungkuk sedalam mungkin, mereka tidak mengerti alasan dibalik rasa takut yang sangat besar ketika menatap Cenora. Wanita itu seakan memancarkan aura membunuh yang sangat kental hingga membuat para pria tersebut merasa terancam.
Orang – orang di sekitar tidak memperdulikan keributan yang telah terjadi, mereka hanya sibuk dengan kesibukannya masing – masing. Hal yang sangat lumrah untuk menyaksikan hal seperti ini di pusat kota yang diisi begitu banyak bangsawan, kaum bangsawan hanya memikirkan diri mereka sendiri hingga tidak akan memperdulikan keadaan di sekitar mereka. Meski seandainya ada seorang anak kecil yang dibunuh di tengah kota pun, para bangsawan hanya akan memalingkan wajah dan pergi.
Anastasius menarik tali kuda, mereka berdua memutuskan untuk berjalan kaki hingga ke pintu gerbang kerajaan. Karena terlalu banyak kereta kuda dan pejalan kaki yang berlalu lalang di jalanan membuat perjalanab mereka mungkin akan terhambat bila menaiki kuda. Lagipula, letak gerbang kerajaan sudah tidak terlalu jauh.
“Sekarang aku adikmu?” Anastasius tertawa kecil.
“Lalu aku harus bilang apa? Kamu anak asuhku.” Balas Cenora acuh.
Seulas senyum tipis tercetak di wajah Anastasius, “Tapi aku memang anak asuhmu. Ibu.”
Cenora mengambil sebuah apel merah dari keranjang lalu menggigitnya, “Panggil aku ibu, kubunuh kau.”
Anastasius tertawa lepas, ia sangat senang menggoda Cenora yang hidupnya selalu kurang dengan lelucon. “Baiklah, kaka.”
Cenora mendecih lalu menatap Anastasius tajam, “Anastasius, kau benar – benar ingin mati ya?”
Anastasius memundurkan tubuhnya beberapa langkah dari Cenora, “Baiklah. Baiklah. Aku akan diam.”
Pintu gerbang keluar dari wilayah Kerajaan Oretha mulai terlihat. Pintu gerbang tersebut terbuat dari perak yang akan memancarkan sinar dibawah naungan cahaya matahari. Nampak ada dua prajurit kerajaan yang menjaga pintu gerbang kerajaan.
Ketika Cenora dan Anastasius sampai di depan gerbang, kedua penjaga itu menahan mereka, “Tanda pengenal dan tujuan kalian pergi.”
Cenora menyerahkan dua tanda pengenal miliknya dan Anastasius lalu berkata, “Kami akan pergi ke Wilayah Utara.”
Mendengar tujuan mereka, salah satu prajurit terlihat heran, “Kerajaan Cassiopeia? Nona, apa anda belum mendengar rumor mengerikan dari wilayah utara?”
Anastasius langsung menatap prajurit itu, “Kami belum mendengarnya. Bisakah Tuan memberi tahu isi rumor itu?”
Prajurit itu mendekatkan bibirnya ke telinga Anastasius agar tidak terdengar oleh orang lain, “Sebelumnya, ada bangsawan dari Kerajaan Cassiopeia datang dan memberi tahu kalau di wilayah utara cuacanya sedang tidak menentu, terkadang ada hujan badai, namun beberapa hari kemudian cuaca bisa sangat panas. Rumor berkata, mungkin itu adalah ulah dari siluman yang berada di danau perak.”
“Apa alasannya sampai rumor mengaitkan ke danau perak?” Tanya Cenora.
“Entahlah, tapi mungkin saja para siluman berbuat seperti itu agar tidak ada orang asing yang datang ke wilayah utara untuk mengambil senjata suci di danau perak.” Kata prajurit tersebut.
“Yah, kalian hati – hatilah. Kalau perlu jangan mendekati danau perak. Terutama anda Nona, anda bisa terluka bila benar ada siluman yang membuat kekacauan.”
Cenora tersenyum kecil, “Akan saya pikirkan pesan anda.”
Prajurit yang lainnya telah selesai mengecek tanda pengenal mereka, ia kembali menyerahkan tanda pengenal itu kepada Cenora. Nama keluarga milik Cenora pun telah berganti mengikuti nama keluarga milik Anastasius, ia tidak mungkin membubuhkan nama Evanthe dibelakang namanya. Karena, semua orang tahu bahwa Evanthe adalah sebuah ras penyihir yang telah musnah.
“Cenora Cirilo dan Anastasius Cirilo. Silahkan lanjutkan perjalanan kalian.”
Pintu gerbang Kerajaan Oretha perlahan mulai terbuka lebar, menampakkan pepohonan tinggi yang menghiasi jalan di luar wilayah kerajaan. Wilayah yang tidak masuk kedalam satupun kerajaan itu dinamakan ‘Wilayah Putih’ dimana setiap kerajaan tidak memiliki hak untuk mengatur atau mengklaim jalan tersebut.
Biasanya, orang – orang yang hidup dengan bebas tanpa ingin terikat dengan peraturan kerajaan akan tinggal di Wilayah Putih. Karena tak adanya peraturan itulah yang mengakibatkan maraknya terjadi pencurian ataupun kasus pelanggaran lain di wilayah bebas ini.
Jalanan di wilayah bebas itu begitu lenggang, sehingga kuda hitam mereka bisa berlari dengan cepat tanpa khawatir akan menabrak orang lain. Hanya ada satu atau dua kereta kuda yang mengangkut barang berlalu lalang.
Pembicaraan mereka dengan prajurit penjaga gerbang masih meninggalkan kekhawatiran di hati Anastasius, ia merasa ada hal janggal dengan rumor tersebut.
“Apa kamu percaya dengan rumor itu?” Tanya Anastasius sedikit ragu.
Cenora membalas cepat, “Tidak.”
Bila Cenora tidak mempercayai hal itu, pasti ia sudah membuat spekulasi sendiri didalam pikirannya.
“Siluman di danau perak. Apa kau yakin mereka tidak akan melakukan hal itu? Maksudku, mereka adalah siluman. Kebanyakan siluman selalu memiliki sifat jahat dalam diri mereka.”
Cenora menghela nafasnya, mengangkat kepalanya ke atas untuk menatap mata wajah milik Anastasius yang berfokus melihat kearah depan.
“Asta, teori seperti itu hanyalah hasil dari doktrin yang diturunkan oleh masyarakat. Sejak kecil, anak – anak akan diajarkan betapa bengisnya siluman dalam membunuh atau membantai ribuan manusia. Tapi, apa kamu tahu bahwa mereka jugalah makhluk yang memiliki akal pikiran seperti manusia?”
Anastasius, “Itu karena sejak kecil, kami hanya disuguhkan tentang keburukan mereka. Tak pernah aku temukan ada orang yang membicarakan kebaikan siluman.”
“Karena manusia pada dasarnya membenci suatu hal yang berbeda dengan mereka.”
Kedua kelopak mata milik Cenora perlahan menutup, membiarkan tiupan angin menerpa wajahnya. Pikirannya menerawang jauh ke memori masa lalu yang terus terpatri didalam otaknya. Kenangan tentang betapa bencinya manusia kepada ras Evanthe, ras penyihir terkuat yang pernah ada di muka bumi.
Ia bisa mendengar seluruh manusia bersorak sorai mendengar kabar bahwa seluruh penduduk Desa Evanthe telah mati, bahkan tubuh mereka semua terbakar oleh api. Mereka telah mengutuk Evanthe seumur hidup mereka, dan bergembira di atas kematian seseorang. Betapa baiknya hati para manusia itu.
Anastasius bisa merasakan perubahan suasana hati Cenora. Ia merasa agak menyesal karena membahas hal tersebut, Anastasius sangat tahu sejarah Evanthe. Dan mungkin hal itu masih menjadi luka yang tak bisa dilupakan oleh Cenora.
“Namun, karena kita berbeda dari para manusia. Kita begitu berharga.” Bisik Anastasius.
Cenora tertawa kecil, “Anak kecil ini sudah pandai menghibur sepertinya.”
Rona merah menjalari wajah Anastasius, “Tidak. Bukan begitu Maksudku.”
Mendengar nada suara yang gemetar itu membuat Cenora tertawa, “Dipuji seperti itu saja sudah malu. Bagaimana bisa mendapatkan wanita.”
“Nora!”
“Baiklah, kita berbicara serius kali ini. Asta, kamu memang benar. Siluman selalu memiliki kecendrungan berbuat jahat, karena itu adalah sifat dasar mereka. Namun, siluman di danau perak berbeda.” Jelas Cenora dengan wajah yang mulai serius.
Anastasius mengerutkan keningnya, “Berbeda?”
“Siluman di danau perak memiliki tugas untuk menjaga senjata suci sampai menemukan pemilik yang tepat. Mereka diciptakan hanya untuk menjadi penjaga, tidak memiliki nafsu untuk berbuat jahat. Karena mereka hanyalah roh yang diciptakan oleh Dewa Xenos, sang dewa perang.
Bila mereka sudah menemukan tuan untuk senjata suci, maka jiwa mereka akan diangkat ke surga untuk melalui reinkarnasi menjadi manusia, itu merupakan hal yang paling diinginkan para siluman. Karena itulah, mereka tidak akan pernah menghalangi seseorang untuk mengambil senjata suci.”
“Jika begitu, bukankah mereka bisa tidak serius bertarung dengan lawan mereka. Agar bisa cepat bereinkarnasi?” Ujar Anastasius sedikit tak paham.
“Tidak bisa, jiwa mereka akan langsung dihancurkan oleh Xenos bila tidak menjalankan tugas mereka dengan benar.”
“Bukankah itu terlalu kejam?”
Cenora tersenyum mengejek, “Dewa memang kejam.”
Cenora memanglah bukan seseorang yang menyerahkan diri dan menyembah para dewa. Ia memang tidak pernah memiliki alasan untuk menyembah para penguasa dunia yang selalu dengan mudahnya mempermainkan takdir manusia itu.
Tanpa terasa waktu telah bergulir begitu cepat, suhu di sekitar mereka mulai terasa dingin tatkala semakin mendekati wilayah utara. Dibandingkan dengan wilayah lain, wilayah utara merupakan wilayah yang memiliki suhu paling dingin karena letak geografi wilayah utara yang berada di dataran tinggi.
Waktu siang hari di wilayah utara pun juga cenderung lebih pendek, sehingga langit sudab mulai menampakkan cahaya kemerahan yang menandakan malam akan segera tiba. Akan tetapi, semakin dekat mereka ke wilayah utara awan dilangit nampak hitam dan bunyi petir yang menyambar kecil terdengar menghiasi langit.
“Nora, apa kita tetap pergi ke danau perak hari ini? Sepertinya sudah mulai malam dan sepertinya akan ada badai.” Saran Anastasius.
Cenora menatap ke arah langit, “Sepertinya akan ada badai besar. Bangsawan dari Cassiopeia itu ternyata tak berbohong.”
“Kita menginap di penginapan hari ini. Tak perlu masuk ke Kerajaan Cassiopeia. Cari saja penginapan di dekat wilayah kerajaan.”
Sejak awal memang mereka tidak berniat untuk masuk ke Kerajaan Cassiopeia. Karena, Danau Perak terletak didalam Hutan Egda yang masih berada di luar kerajaan. Hal itu disebabkan oleh keberadaan Danau Perak yang di sepakati tidak akan dimiliki oleh pihak kerajaan manapun.
“Tapi bukankah penginapan di Wilayah Putih sering memiliki tarif yang tak masuk akal? Terlebih bila kita merupakan penduduk dari suatu kerajaan.”
Memiliki bisnis diluar wilayah kerajaan memanglah sangat menguntungkan. Karena, bisnis tidak akan terikat oleh pajak atau aturan dari kerajaan. Harga pun juga akan dipatok setinggi – tingginya, apalagi bila konsumen merupakan penduduk kerajaan. Mereka bisa memeras uang hingga kering.
Cenora melambaikan tangannya, “Tenanglah, uangku masih banyak. Lagipula bila kurangpun, aku bisa menggunakan cara lain.”
••••
Mereka berhenti di depan sebuah penginapan yang nampak tak terlalu mewah. Namun, terlihat nyaman untuk ditinggali. Terdapat banyak ornamen kayu yang menjadi daya tarik tersendiri dari penginapan ini.
Anastasius mengikatkan tali kuda di tempat teduh yang biasa di gunakan untuk meletakkan kuda atau kereta kuda milik pengunjung, kuda – kuda itu juga bisa mengkonsumsi rumput segar dibawah kaki mereka.
Ketika Cenora memasuki penginapan tersebut, bau kayu mahoni yang kental langsung tercium ke dalam hidungnya. Dibalik meja ia melihat seorang pria setengah baya yang tengah meminum kopinya. Pria itu nampak tidak seperti seorang berandalan yang akan memeras uang orang lain.
“Aku pesan dua kamar.” Pinta Cenora.
Pria itu tersenyum, “Maaf Nona, hanya tersisa satu kamar disini. Harganya lima koin emas.”
Cenora menaikkan alisnya heran, “Oh. Kupikir kau akan memerasku.”
Suara tertawa terdengar dari pria itu, “Tidak. Tidak. Saya sudah terlalu tua, tidak melakukan hal seperti itu lagi.”
Dentuman keras dari langit terdengar saling beradu, cahaya kilat pun terlihat dari balik kaca jendela. Beruntung, Mereka sudah ada didalam penginapan ketika badai akan terjadi.
“Tuan, apa kamu tahu kenapa cuaca begitu buruk akhir – akhir ini.” Tanya Cenora seraya mengeluarkan koin emas dari kantung uangnya.
“Ah, saya juga tidak terlalu paham. Tapi para penduduk Kerajaan Cassiopeia selalu mengatakan ada hubungannya dengan para siluman di Danau Perak.”
“Kudengar ada begitu banyak prajurit muda yang terbunuh di Danau Perak.” Lanjutnya.
“Terbunuh? Bukankah siluman disana tidak akan pernah membunuh.” Kali ini Anastasius yang mengeluarkan suara.
Pria itu melambaikan tangannya, “Saya juga tidak tahu. Lagipula, mereka ini kan siluman, mana bisa dipercaya.”
Arah pembicaraan ini sudah semakin jelas hanya akan memberatkan sebelah pihak. Cenora tidak butuh mendengarkan hal itu lagi, ia kemudian tersenyum kepada pria itu dan mengambil kunci kamarnya.
“Terima kasih atas penjelasan anda, Tuan. Selamat malam.”
Cenora berjalan menuju lantai tiga dari penginapan tersebut diikuti oleh Anastasius dibelakangnya. Mereka tidak punya pilihan lain selain membagi kamar berdua, pergi mencari penginapan lain pun juga tidak mungkin karena badai sepertinya akan turun.
Kamar penginapan ini tidak terlalu buruk, aroma kayu masih menguar bahkan semakin kuat didalam ruangan. Cenora menyalakan lampu kamar lalu duduk diatas sofa.
Rintikan air hujan mengetuk kaca jendela, dari hanya gerimis kecil perlahan menjadi hujan deras. Suara petir saling menyambar, angin bertiup dengan kencangnya hingga membuat pepohonan diluar mulai terbawa angin.
“Ternyata cuaca di utara memang buruk.” Anastasius melihat dari balik jendela.
“Nora, bila rumor tentang siluman di danau perak sudah menyebar begitu luas. Bukankah bisa jadi itu adalah suatu kebenaran?”
Cenora menepuk permukaan sofa di sebelahnya, tanda bahwa ia meminta Anastasius duduk disana, “Bisa iya. Bisa tidak.”
“Mungkinkah ada yang sengaja menyebarkan rumor seperti itu?” Tanya Anastasius seraya duduk di sebelah Cenora.
“Mungkin. Bila kerajaan ingin menyebarkan rumor. Sebuah rumor bisa menjadi fakta. Beberapa tahun yang lalu, Kerajaan Annora yang ada di wilayah selatan pernah membuat sebuah rumor besar, dan rumor itu dipercayai oleh seluruh penduduk kota hingga ke wilayah kerajaan lain.”
Anastasius, “Apa rumor di Kerajaan Annora juga berhubungan dengan siluman?”
Ada jeda beberapa detik sebelum Cenora menjawab pertanyaan Anastasius, “Bukan. Kerajaan Annora menyebarkan rumor bahwa pangeran ketujuh telah meninggal.”
“Kenyataannya ia masih hidup.” Lanjut Cenora dengan lirih.
“Bagaimana kamu tahu?” Tanya Anastasius.
Cenora tersenyum, “Karena aku pernah bertemu dengan pangeran ketujuh dari Kerajaan Annora.”
Setelah berkata demikian, ia bangkit dari sofa, melangkah menuju ke arah jendela yang memperlihatkan keadaan badai diluar sana. Sosok rembulan tertutupi oleh awan hitam, sehingga langit malam kali ini terlihat begitu gelap. Tidak mungkin ada manusia biasa yang bisa bertahan di luar sana dalam waktu yang lama.
Cenora menatap Anastasius, kemudian memberikan perintah, “Geser sofa dan meja ini ke pojok ruangan.”
Anastasius tampak bingung, “Apa yang ingin kamu lakukan?”
“Aku mengajakmu ke Danau Perak untuk mendapatkan senjata suci. Kamu pikir dengan kemampuanmu yang sekarang kamu bisa melawan siluman penjaga?”
“Aku tidak yakin.”
Cenora, “Aku akan mengajarkanmu cara untuk mengontrol kekuatan sihirmu.”
Rasa antusias langsung meletup dalam diri Anastasius, inilah hal yang selalu ia tunggu. Mengontrol kekuatan sihir bagi para pemula bukanlah hal yang mudah, terlebih sejak ia tinggal dengan Cenora. Anastasius lebih sering mengasah kemampuan pedangnya dibandingkan sihir miliknya, karena sihir yang ia miliki sangat sulit untuk di kontrol. Terkadang sihir Anastasius bisa meledak begitu kuat, namun terkadang juga bisa sangat lemah.
Anastasius segera melaksanakan perintah dari Cenora. Ia mendorong kursi dan meja yang sebelumnya berada di tengah ruangan ke pojok ruangan. Membuat bagian tengah kamar ini menjadi lebih lenggang.
Setelah itu, Cenora membuat perisai sihir di sekeliling kamar, menyelubungi setiap bagian dinding agar tidak ada kekuatan sihir yang bisa tembus keluar dari ruangan.
“Duduklah disini.”
Cenora duduk bersila diatas lantai dengan Anastasius dihadapannya, “Kamu tahu magis edelsteine?”
Anastasius mengangguk, “Bagi para penyihir, magis edelsteine adalah jantung yang memompa energi sihir ke seluruh tubuh. Mengontrol penggunaan sihir. Bila magis edelsteine terlalu lemah, penyihir akan kesulitan mengontrol sihir mereka. Bila sampai hancur, maka penyihir tidak akan bisa menggunakan sihir lagi.”
“Aku selalu berfikir magis edelsteine milikku terlalu lemah, hingga kesulitan mengontrol sihir.” Lanjut Anastasius.
Cenora meletakkan telapak tangan kanannya ke atas d**a Anastasius. Ia mengalirkan energi berwarna keemasan kedalam tubuh Anastasius, menghantarkan rasa hangat yang menyelubungi tubuh pemuda itu.
“Kamu salah, Asta. Magis Edelsteine mu tidak lemah. Namun, magis edelsteine mu terlalu kuat hingga sulit kamu kontrol.” Jelas Cenora.
****
To Be Continued