1. Dipulangkan ke rumah orang tua
Part 1
"Udah siap, Dek?" tanya Mas Bambang seraya memperhatikan penampilanku.
Aku mengangguk lalu tersenyum manis ke arahnya. Tumben sekali hari ini Mas Bambang mengajakku pergi berlibur bahkan menginap selama beberapa hari ke depan. Biasanya dia akan sibuk dengan pekerjaannya.
"Baju-bajumu udah siap?"
"Udah, Mas, itu di koper."
Mas Bambang mengangguk lagi. Entah kenapa sedari tadi dia kehilangan senyum. Wajahnya tampak tegang, bahkan pikirannya tak fokus.
"Mas, emangnya kita mau liburan kemana sih? Kok bawa baju banyak banget?"
"Kejutan, Dek, nanti juga kamu tahu," ujarnya lagi.
Tiap ditanya pasti jawabannya begitu saja, ya sudah, aku takkan bertanya lagi. Aku percaya pada suamiku yang paling tampan dan juga baik hati, dia pasti memilihkan tempat terbaik untuk kami liburan.
Mobil mulai melaju meninggalkan rumah yang sudah tiga tahun aku huni bersama Mas Bambang. Rumah minimalis bergaya eropa, tampak mewah dan elegan. Rumah yang menjadi saksi bisu, kulewati malam-malam manis bersamanya.
Tiga tahun bagiku terasa begitu singkat, apalagi sikap Mas Bambang yang lembut dan juga baik akhirnya mengalahkan keraguanku. Pernikahan kami tanpa restu orang tua Mas Bambang, hanya paman dan bibinya saja yang datang dan menjadi saksi pernikahan kami dari pihak keluarganya. Tapi tak apa, asalkan bersama suami, kami saling menguatkan satu sama lain.
Selama tiga tahun ini juga, kami belum diberi amanah untuk mendapatkan keturunan. Padahal semuanya normal, baik aku juga Mas Bambang. Ya memang belum dikasih aja.
Tanpa terasa aku tertidur di mobil, entah berapa lama. Aku terkesiap kaget mendapat usapan lembut di pipi.
"Kita udah sampai, Dek!" ujar Mas Bambang.
Aku mengedarkan pandangan, seketika memicingkan mata melihat samping kiri jalan adalah rumah orang tuaku.
"Mas, jadi liburan kita ke rumah orang tuaku? Kok kamu gak ngomong dari awal?" tanyaku.
Mas Bambang tak menanggapi ucapanku.
"Ayo turun, Dek!" ajaknya. Ia langsung keluar dari mobilnya lalu membuka bagasi dan mengambil koperku.
Dengan hati dan pikiran yang bertanya-tanya, akupun turun dari mobil. Sekali lagi memandang wajah rupawan Mas Bambang dengan tatapan menyelidik.
"Mas, ada apa sih sebenarnya?"
"Nanti juga kamu tahu, Dek," sahutnya singkat.
"Eh, anak dan menantu ibu rupanya dateng!" sambut suara dari dalam rumah.
Aku menoleh, melihat ibuku datang tergopoh-gopoh.
"Ibu?" Aku langsung memeluknya dan menciumi punggung tangannya dengan takdzim. Mas Bambang pun segera menyalami tangan ibu.
"Dari sana jam berapa, Nak?" tanya ibu.
"Jam delapan, Bu," sahut Mas Bambang.
Perjalanan dari rumah ke rumah orang tuaku menghabiskan waktu dua jam perjalanan.
Aku menatap bangunan rumah sangat sederhana di hadapanku. Dinding tembok sepotong dan ke atasnya terbuat dari anyaman bambu. Ya, memang semiskin itu hidup oranh tuaku di desa, bapakku hanyalah seorang petani kecil dan ibu hanya ibu rumah tangga, mengasuh adik-adik yang masih kecil.
"Ayo masuk, Nak. Ayo Nak Bambang!" ajak ibu lagi.
Kami masuk ke dalam rumah dan duduj di kursi kayu di ruang tamu. Alhamdulillahnya sekarang, lantai sudah berganti ubin, bukan lantai tanah lagi.
"Bapak mana, Bu?" tanya Mas Bambang.
"Bapak ada di sawah, Nak. Nanti ya, ibu panggilkan dulu," ujar ibu. Raut wajahnya tampak begitu antusias melihat kedatangan kami.
Ibu masuk ke dalam, aku mengikutinya.
"Neng, kamu kok gak bilang-bilang mau kesini? Jadi ibu gak ada persiapan apa-apa ini. Belum masak belum apa, ini suamimu mau dimasakin apa? Ibu sekalian mau belanja lagi ke warung, kali masih ada lauk pauk."
Aku tersenyum mendengar ucapan ibu. "Tidak usah repot-repot, Bu. Seadanya aja. Kami kesini juga tanpa persiapan apapun."
Ibu tersenyum lagi, tangannya sibuk membuatkan teh manis untuk kami. "Tapi ibu senang banget dengan kedatangan kalian, terakhir kan enam bulan yang lalu. Gimana Neng, udah isi?" tanya ibu
Aku tersenyum miris, bahkan orang tuaku pun merindukan seorang cucu. "Belum, Bu. Doain aja ya."
"Iya, Neng, pasti. Ya sudah nih tehnya antar ke suami kamu, biar ibu ke sawah nyusulin bapak, lalu langsung mampir ke warung Yu Darmi."
"Iya, Bu."
Aku membawa dua gelas berisi teh manis itu ke depan.
"Mas, minum dulu tehnya."
"Iya makasih, Dek."
"Atau mau istirahat dulu di kamar, Mas? Sebentar aku beresin dulu."
Diam, tak ada jawaban apapun dari Mas Bambang.
Aku beranjak seraya membawa koper menuju deretan kamar paling belakang, kamar yang aku tempati selagi gadis. Pintunya tak dikunci, kondisinya pun masih sama seperti dulu. Rapi dan bersih sudah otomatis ibu membersihkannya tiap hari. Mungkin ibu juga melarang adik-adik main di kamarku.
Aku tersenyum sejenak membayangkan masa-masa sebelum menikah dulu. Seru. Semua terlintas bagaikan potongan film.
"Assalamu'alaikum ..." Terdengar suara berat dari luar. Suara yang teramat kurindukan.
"Bapak!" Aku langsung berjalan keluar dan menghampirinya. Bapak yang paling kuhormati.
Aku menyalami tangan bapak yang hitam dan keriput karena kebanyakan kerja di sawah. Panas terik mentari tak ia hiraukan demi anak-anaknya tak kelaparan.
Tak lama, ibupun kembali pulang menjinjing kantung kresek berisi belanjaan.
Bapak berlalu ke dalam untuk bebersih diri, begitu juga dengan ibu.
Aku masih menemani Mas Bambang yang kini tampak sibuk dengan ponselnya.
"Mas, kita nginep berapa hari di sini?" tanyaku.
"Sesukamu."
"Hah? Maksudnya? Emang kamu libur berapa hari?" Keningku mengernyit mendengar jawabannya. Sesukaku? Apa maksudnya coba?
"Dua hari."
"Jadi kita di sini cuma dua hari? Kenapa pake bawa baju-baju banyak banget?" tanyaku lagi.
Ehem! Terdengar suara bapak berdehem, ia sudah kembali dan duduk di hadapan Mas Bambang.
"Gimana kabar kalian, Nak?" tanya bapak.
"Alhamdulillah baik, Pak."
"Kerjaanmu lancar, Nak?"
"Alhamdulillah semua lancar, Pak."
Mereka mengobrol ngalor ngidul sedangkan aku berlalu ke dapur membantu ibu agar cepat selesai.
Sayur bening, tempe plus tahu goreng, ikan asin, sambal terasi dan lalapan menemani makan siang kami hari ini. Menu yang sangat sederhana jauh dari kata mewah.
"Ayo, ayo, kita makan dulu Nak Bambang."
Ibu dan bapak benar-benar menyambut suamiku dengan hangat. Kami makan siang bersama kebetulan adik-adik juga sudah pulang dari sekolahnya.
***
"Maaf Pak, Bu, kedatangan saya kesinu karena ingin memulangkan Hana pada kalian," ujar Mas Bambang dengab nada bergetar.
"Tunggu, tunggu, apa maksudnya, Mas?" tanyaku bingung. Jantung mulai berpacu dengan cepat menerka apa yang terjadi. Ibu dan bapak pun ikut terkejut.
"Ada apa ini, Nak?"
"Pak, Bu, dulu saya menikahi Hana dengan baik-baik, jadi sekarang saya juga ingin memulangkan Hana secara baik-baik. Kami akan bercerai, Pak."
Bagaikan disambar petir di siang bolong mendengar ucapan Mas Bambang.
"Selagi bapak dan ibu ada di sini, akan menjadi saksi ucapanku. Sebelumnya mohon maafkan saya ya, Pak, Bu, saya harus mengambil keputusan ini."
"Bismillah, Hana Aisyah binti Rusman, mulai hari ini juga, detik ini, saya ceraikan kamu. Kamu bukan istriku lagi. Dengan ini saya lepas tanggung jawab terhadapmu, kupulangkan lagi kamu ke orang tuamu, Hana."
Kata-kata yang terucap dari mulut lelaki tercintaku sudah layaknya sembilu yang menyayat hati. Sakit dan perih sekali. Tanpa terasa butiran bening menitik dari sudut mata, tak tertahankan lagi.
"Mas, apa salahku? Kenapa bisa? Bukankah selama ini hubungan kita baik-baik saja?" Aku bertanya dengan nada bergetar.
"Maafkan aku, Hana. Kamu tidak bersalah, tapi kita harus berpisah. Ini uang sepuluh juta untuk bekalmu. Aku pamit pulang ya, jaga dirimu baik-baik."
Mas Bambang bangkit, lalu mengecup keningku dengan lembut. Lelaki itu pergi tanpa menoleh lagi.
Sakit sekali rasanya. Sakiiiiit.