TPS, 11

3304 Words
Tempat selanjutnya yang dituju Candra adalah tempat itu, rumah mewah yang sudah tak asing baginya karena sudah sering dia datangi jika sedang membutuhkan uang untuk biaya kuliahnya sehingga dengan terpaksa dia mendatangi rumah itu untuk menemui sang ayah yang kejam serta keluarga barunya yang begitu kikir. Selalu mengejeknya dengan sebutan pengemis, Candra tak mungkin melupakan rasa sakit hati yang dia rasakan karena ulah orang-orang penghuni rumah itu.  Begitu berdiri di depan gerbang yang menjulang tinggi, seorang security tiba-tiba menghampiri Candra, dia adalah Anton, sang security baru di rumah mewah itu yang dulu sempat memperlakukan Candra dengan kasar tapi sekarang seharusnya dia tak berani mengasari Candra lagi setelah mengetahui identitasnya sebagai putra sulung Brama Dewangga, sang tuan rumah.  “T-Tuan Muda Candra.”  Candra mengulas senyum, tetap bersikap seramah mungkin pada sang security karena dia tak merasa memiliki dendam pribadi padanya. “Tolong bukakan pintunya, Pak. Saya ingin bertemu dengan majikan Bapak,” jawab Candra.  “Ta-Tapi …”  Candra tahu alasan security itu ragu membukakan gerbang untuknya tidak lain pasti karena Sinta atau istri muda ayahnya yang melarang dan mewanti-wanti agar dia tak diizinkan masuk ke dalam rumah.  “Istri muda ayah saya yang malarang saya masuk ke dalam, bukan?” Candra menebak, dan melihat Anton hanya menundukan kepala tanpa merespons, dia tahu tebakannya tepat.  “Tidak masalah, Pak. Bukakan saja gerbangnya.” “Tapi kalau saya nekat membukakan gerbang, saya pasti dimarahi nyonya.”  Candra mendengus, merasa security itu begitu pengecut, membuatnya teringat pada dirinya yang dulu. Dia lantas mengeluarkan beberapa lembar uang dan dia ulurkan pada Anton.  “A-Apa ini, Tuan Muda?” tanya Anton, bingung karena Candra tiba-tiba mengulurkan uang dalam jumlah tidak sedikit padanya.  “Saya tidak meminta Pak Anton untuk membukakan gerbang, cukup buka gemboknya, saya akan membuka gerbangnya sendiri nanti. Sebagai gantinya terima uang ini sebagai ucapan terima kasih dari saya.”  “Tuan Muda Candra sedang menyuap saya?” “Bagus jika Pak Anton menyadarinya. Saya tahu Bapak pasti membutuhkan uang karena itu sampai bertahan kerja di rumah yang majikannya orang-orang kejam seperti penghuni rumah itu. Ambil uang ini dan saya berjanji tidak akan mengatakan pada siapa pun bahwa yang membantu saya masuk ke dalam adalah Pak Anton.”  Anton tidak mengatakan apa pun seolah dia sedang menimbang-nimbang keputusan yang harus diambilnya.  “Saya tidak memiliki waktu luang sebanyak itu, Pak. Jadi, cepatlah ambil uangnya. Percayalah saya tidak akan membahayakan pekerjaaan Bapak. Kedatangan saya ke sini karena ada urusan dengan penghuni rumah itu dan ini sangat penting. Lagi pula, saya tidak akan lama. Mungkin hanya 10 menit bicara dengan mereka.”  Anton akhirnya mengembuskan napas pelan, menyerah bersikeras menahan Candra untuk masuk ke dalam, dia pun mengikuti permintaan Candra. Dengan sengaja membuka gembok pada gerbang, setelah menerima uang yang diulurkan Candra, dia pun melenggang pergi, berpura-pura tak mengetahui apa pun tentang kedatangan Candra ke rumah itu.  “Ternyata semua orang memang mudah tergoda jika sudah berurusan dengan uang,” gumam Candra seraya menatap punggung Anton yang mulai menjauh.  Begitu punggung sang security tak terlihat lagi olehnya, Candra pun nekat membuka gerbang itu dan masuk ke dalam. Dia menekan bel pada pintu setibanya dia di depan pintu masuk rumah utama.  Seorang pelayan yang tak tahu siapa yang bertamu, membukakan pintu itu, berusaha menghentikan Candra masuk ke dalam rumah begitu menyadari Candra yang datang, sang pelayan tak berhenti berusaha menghentikan Candra karena dia kini berteriak bagai orang gila di rumah itu.  “Brama! Sinta! Satria! Rara!”  Candra berteriak memanggil satu demi satu nama penghuni rumah mewah itu.  “Tuan Muda, tolong jangan membuat keributan di rumah ini. Saya mohon pergilah dari sini sebelum Nyonya dan Tuan tahu kedatangan anda.”  Alih-alih menuruti permintaan sang pelayan yang merupakan seorang wanita paruh baya berhati baik karena selalu iba setiap melihat Candra diperlakukan buruk oleh keluarganya sendiri, Candra justru melakukan keonaran di rumah itu.  Begitu melihat banyak hiasan mahal yang mudah pecah di rumah itu seperti guci-guci berharga fantastis maupun sebuah patung berbentuk wanita memegang bunga yang sepertinya cukup mahal jika dilihat dari tubuhnya yang berkilauan, Candra tanpa takut menghancurkan benda-benda itu. Belum puas sampai di sana dia juga menghancurkan beberapa pigura besar yang dipajang di dinding, pigura yang menampilkan foto bahagia sang ayah bersama keluarga barunya.  Semua kekacauan yang dilakukan Candra sukses membuat sang ayah beserta istri dan kedua anaknya yang ternyata sedang bersantai di taman belakang, akhirnya menghampiri Candra.  “Candra! Apa yang kamu lakukan?!” bentak Brama, murka bukan main melihat putra sulung yang tak dia akui lagi itu baru saja membuat kekacauan di rumahnya. Dia menghampiri Candra yang sedang berdiri di tengah-tengah pecahan guci yang hancur berserakan di lantai, berniat memberikan hukuman berat dengan menamparnya. Namun, belum sempat tangannya yang terayun itu mendarat di pipi Candra, dengan sigap Candra menahan tangannya.  “Ayah macam apa kamu ini yang hanya bisa memukul anaknya. Padahal sebagai seorang ayah harusnya kamu membesarkanku dengan baik dengan penuh kasih sayang. Kamu tahu Brama Dewangga … kamu tidak pantas dipanggil seorang ayah. Kamu lebih cocok dipanggil pria berhati dingin dan tidak punya hati karena tega menelantarkan anak dan istrimu.”  Brama marah bukan main hingga wajahnya memerah sempurna karena mendengar Candra yang biasanya penakut itu kini dengan berani berkata sekasar itu padanya.  “Candra! Jaga bicaramu. Kasar sekali kamu pada ayahmu sendiri.”  Candra mendelik tajam pada si pemilik suara yang tidak lain merupakan Sinta, istri muda ayahnya. “Diam, jalang. Kamu tidak punya hak menasihatiku. Wanita perusak rumah tangga orang lain sepertimu tidak punya hak bicara di sini. Cih, menjijikkan … aku tidak mengerti kenapa pria bodoh ini mau-maunya menjadikan wanita berhati busuk seperti kamu menjadi istrinya,” ujar Candra sambil melirik ayahnya yang kentara tak kuasa lagi menahan amarah karena ucapan Candra yang sudah keterlaluan.  “Kamu menyebutku jalang? Apa kamu tidak berkaca? Yang jalang itu ibumu, bukan aku!” Sinta balas berteriak, tak terima karena dia dihina oleh anak yang biasa dia tindas entah sejak kapan berubah menjadi seberani ini.  Candra tertawa bagai orang kesetanan mendengar balasan Sinta. “Ibuku memang wanita panggilan, ya, sama rendahannya denganmu, Sinta. Tapi ibuku jadi seperti itu karena ulah kalian berdua.”  “Candra!!” bentak Brama luar biasa kencang. Candra menyeringai, melihat ayahnya begitu murka, bukannya takut, dia justru semakin bersemangat memprovokasi mereka. “Kenapa? Marah aku mengatakan yang sebenarnya? Memang seperti itu, kan? Ibu jadi wanita panggilan karena kamu yang menelantarkannya. Memilih w************n itu dibandingkan ibuku yang selalu menemanimu di saat kamu belum jadi siapa-siapa. Di saat kamu belum memiliki apa-apa. Tapi di saat kamu sukses, wanita itu yang menikmatinya. Sedangkan ibuku …” Candra tak melanjutkan ucapannya, walau dia membenci ibunya yang sekarang karena kelakuan buruknya, tapi Candra tak memungkiri perasaan iba yang dia rasakan pada ibunya yang malang karena mendapatkan ketidakadilan dari suaminya yang memilih wanita lain dibanding dirinya.  “Di saat kamu bahagia dan bersenang-senang dengan keluarga barumu di sini … apa kamu tahu istri dan anakmu yang lain di luar sana sedang kelaparan? Atau kami sedang menangis karena merindukanmu yang tak kunjung pulang ke rumah untuk mengunjungi kami?”  Brama tak mengatakan apa pun, entah karena dia menyesali perbuatannya atau kehabisan kata-kata untuk membalas karena yang diucapkan Candra merupakan sebuah kebenaran. Perbuatannya memang telah menyakiti istri dan anaknya yang lain.  “Ayahmu memilih pergi karena kecewa dengan kelakuan ibumu yang menjadi wanita panggilan. Padahal ayahmu sudah bicara secara baik-baik saat dia meminta izin untuk menikahiku!” Yang membalas justru Sinta dengan begitu lantang, seolah dia tak merasa bersalah padahal dialah yang menyebabkan keluarga Candra menjadi berantakan.  “Papa juga selalu memberimu uang. Dia masih peduli karena itu selalu memberimu uang setiap kamu datang ke sini!” Kali ini Rara ikut menyahut, membela ayahnya.  Candra mendecih, “Tidak ada satu pun wanita yang rela suaminya dibagi dengan wanita lain. Aku tanya padamu, Sinta. Kalau kamu yang ada di posisi ibuku … apa kamu akan mengizinkan suamimu untuk menikah lagi?”  Candra menggelengkan kepala begitu mendapati Sinta hanya diam membisu, tak membalas lagi. Tatapannya lalu tertuju pada Rara. “Benar yang kamu katakan, pria ini selalu memberiku uang tapi sebagai seorang ayah seharusnya dia memberiku uang tanpa perlu aku memintanya. Seharusnya dia mengirimkan uang secara rutin jika benar dia seorang ayah yang bertanggung jawab pada anak dan istrinya. Tapi nyatanya … dia bahkan baru memberiku uang setelah aku ... anaknya ini dihina terlebih dahulu di rumah ini oleh kalian. Apa pernah Brama Dewangga yang terhormat ini membela anak laki-lakinya yang dihina keluarga barunya? Jawabannya adalah tidak. Tidak pernah sekali pun dia membelaku.”  Brama menghela napas panjang, dia tak ingin melanjutkan perdebatan ini. Sungguh dia akan melakukan apa pun agar Candra diam dan pergi dari rumahnya detik ini juga. “Candra, apa kamu ingin meminta uang lagi karena itu kamu membuat kekacauan di rumah ini?” tanyanya.  “Itu sudah pasti, Pa. Tidak perlu ditanya lagi,” celetuk Satria yang sejak tadi hanya menjadi pendengar yang baik, kini ikut berkomentar.  Suara tawa Candra kembali mengalun keras di rumah itu, membuat semua orang heran melihatnya.  “Aku sama sekali tidak butuh uangmu. Mau tahu kenapa, Pak Brama?” Tanpa menunggu respons dari ayahnya, Candra melepaskan tas ransel yang dia gendong di punggung. Dia lalu membuka resleting tas tersebut dan membukanya yang ternyata berisi begitu banyak lembaran uang. Candra memang pergi ke bank untuk mengambil uang sebelum datang ke rumah itu.  “Aku tidak membutuhkan uangmu lagi karena kalian lihat ini …” Candra lalu melemparkan uang dari dalam tas itu sehingga beterbangan di udara dan kini berserakan di lantai. “… aku bisa mendapatkan penghasilan sendiri tanpa perlu mengemis meminta uang lagi padamu.”  Tentu saja semua orang terbelalak melihat perbuatan Candra yang di luar dugaan ini.  “Alasanku datang ke rumah ini karena aku ingin mengakhiri semuanya.” “Apa maksudmu?” tanya Brama, tak paham. “Aku dan ibu tidak membutuhkanmu lagi karena itu bisa kamu lepaskan ibuku? Ceraikan saja dia. Karena mulai sekarang aku yang akan menjaga dan membiayai ibuku. Lagi pula, kamu memang sudah tidak menganggap kami sebagai keluargamu, bukan? Jadi aku minta lepaskan kami dan mulai sekarang bagi kami … Brama Dewangga sudah mati.”  Brama tak mengatakan apa pun lagi, terlihat begitu syok mendengar ucapan Candra yang terlampau berani seolah memang sudah tak membutuhkan sosok ayahnya lagi.  Ketika Candra melihat Satria sedang menghubungi seseorang dengan ponselnya, Candra cepat-cepat menyambar karena dia sudah tahu siapa gerangan yang dipanggil oleh adiknya itu. “Kamu tidak perlu memanggil bodyguard kalian ke sini, Satria. Karena aku sudah selesai. Aku datang ke sini hanya ingin memberitahu kalian bahwa aku sudah memiliki banyak uang sekarang. Jangan pernah kalian menganggapku sebagai pengemis lagi karena aku bersumpah inilah terakhir kalinya aku menginjakkan kaki di rumah ini.”  Sebelum melangkah pergi, Candra kembali melayangkan tatapan tajam pada pria yang sudah tak dia anggap lagi sebagai sosok seorang ayah yang harus dia hormati. “Dan kamu … aku tunggu surat perceraianmu dengan ibuku. Mulai sekarang antara kita bertiga sudah tidak ada ikatan apa pun lagi. Bagiku … kamu bukan lagi ayahku, melainkan hanya orang asing yang tak penting untuk dikenal apalagi ditemui.”  Candra berniat melangkahkan kaki ketika dia mengingat sesuatu yang nyaris terlupakan. “Oh, ya, satu lagi. Uang di dalam tas itu anggap saja uang pemberianmu yang pernah kamu berikan padaku untuk biaya kuliah, sekarang aku kembalikan semuanya. Ya, walau jika dihitung jumlahnya, uang di dalam tas itu jauh lebih banyak dibandingkan jumlah uang yang pernah kamu berikan padaku. Untuk kelebihan uangnya anggap saja pengemis ini sedang beramal untuk keluarga kaya raya yang sangat kikir ini.”  Candra pun benar-benar melenggang pergi setelah itu, meninggalkan mereka yang seharusnya merupakan anggota keluarganya juga. Mereka terheran-heran melihat Candra yang entah bagaimana bisa memiliki uang sebanyak itu. Sikap pemuda itu juga sangat aneh menurut mereka karena sangat jauh berbeda dengan Candra yang mereka kenal.  “Si Candra itu sebenarnya kenapa jadi seberani itu pada kita?” tanya Satria, yang tak pernah mendapatkan jawaban karena tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui apa yang telah terjadi pada Candra sampai bisa berubah sedrastis itu.   ***   Mengikuti saran Nasafi untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya memang keputusan yang tepat karena setelah melakukan tindakan begitu berani pada orang-orang itu, sekarang Candra merasa sangat lega dan puas. Beban yang dia tanggung selama ini serta rasa sakit yang membuatnya menderita juga seolah terangkat karena kini dia merasa begitu bebas.  Awalnya, Candra ingin log in ke TPS, sepertinya mengikuti event berburu NPC akan sangat menyenangkan dibandingkan dia harus merenung sendirian di kamarnya.  Namun, ada masalah lain yang belum selesai sehingga dia pikir harus menyelesaikan masalah ini dulu agar dia tenang dan fokus saat menghadapi misi di TPS.  Candra yang tengah fokus menatap televisi itu pun seketika menoleh ke arah pintu begitu mendengar suara pintu kamarnya yang dibuka seseorang dari luar. Tentu saja pelakunya adalah sang ibu karena di rumah sempit nan sederhana itu mereka hanya tinggal berdua.  “Candra, ibu pikir kamu sedang bermain game seperti akhir-akhir ini ibu lihat kamu bermain game terus.”  Candra menggelengkan kepala, “Tidak. Sebenarnya aku berniat bermain game tapi aku ingat ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan ibu.” “Jika yang ingin kamu bicarakan masalah kekacauan yang kamu buat di rumah Brama tadi, ibu sudah tahu.”  Candra melebarkan mata, terkejut bukan main karena entah bagaimana ceritanya sampai sang ibu mengetahui kejadian di rumah ayahnya tadi padahal Candra belum sempat menceritakan apa pun.  “Ibu tahu dari Bi Darmi.”  Oh, Bi Darmi … dia adalah wanita paruh baya yang merupakan pelayan di rumah mewah ayah Candra yang tadi berusaha menghentikan Candra masuk ke dalam rumah itu.  “Apa benar kamu meminta Brama untuk menceraikan ibu?” tanya ibu Candra, Ratna namanya. Wanita yang tetap terlihat cantik meski usianya sudah menginjak kepala empat. Mungkin karena kecantikannya juga sehingga banyak p****************g di luar sana yang rela mengeluarkan uang banyak demi bisa menikmati tubuhnya. Terkadang Candra ingin pergi meninggalkan ibunya karena malu dengan kelakuan ibunya itu, jika dia tak ingat awal mula sang ibu bisa sampai nekat melakukan itu. Serta jika dia tak ingat wanita itulah yang telah melahirkannya ke dunia dan merawatnya sejak bayi sampai tumbuh sebesar ini.  “Iya, Bu. Aku meminta ayah untuk menceraikan ibu. Lagi pula, dia juga sudah tidak menganggap ibu sebagai istrinya tapi lucunya status kalian masih sebagai suami istri di mata hukum. Karena itu aku menyuruhnya untuk melepaskan ibu. Jika status ibu bukan lagi istrinya, ibu jadi bisa menikah lagi dengan pria lain dan berhenti menjadi wanita panggilan yang melayani pria-p****************g di luar sana.”  Candra tak mendengar ibunya menyahut karena itu dia menoleh. Rupanya Ratna sedang menundukan kepala dengan kesepuluh jemarinya yang saling meremas di atas pangkuan. Baru sekarang Candra melihat ibunya serapuh itu.  Seolah bisa merasakan kesedihan yang dirasakan ibunya, Candra menggenggam tangan sang ibu erat. “Bu, boleh aku meminta sesuatu pada Ibu?”  Ratna mendongak, memakukan tatapannya pada sang putra yang memiliki wajah bagai reflika suaminya yang dulu dia cintai tapi sekarang menjadi orang yang paling dia benci. Mungkin karena kemiripan Candra dengan suaminya juga yang membuat Ratna tanpa sadar ikut memarahi Candra, padahal jika dipikir-pikir dia tahu Candra tak memiliki kesalahan apa pun, tak sepantasnya dia memperlakukan putranya dengan kasar.  Ratna menganggukan kepala, “Apa? Kamu mau minta apa pada Ibu? Katakan saja, Can.” Candra menatap wajah ibunya serius. “Aku minta ibu berhenti menjadi wanita panggilan. Aku tahu dulu ibu melakukan itu agar kita bisa memiliki uang untuk makan dan hidup di Jakarta yang semua hal serba mahal apalagi di dunia modern seperti sekarang.”  “Ibu tahu profesi Ibu membuatmu malu dan terluka, Candra. Tapi mau bagaimana lagi, ibu hanya bisa mendapatkan uang dengan cara itu. Ibu …” “Mulai sekarang ibu tidak perlu mencari uang lagi.” Dengan cepat Candra menyela. “Karena sekarang aku yang akan menggantikan ibu mencari uang.”  Candra tahu ibunya tidak akan percaya jika dia sudah bisa mendapatkan penghasilan karena itu dia mengambil buku tabungan miliknya, dia lalu memperlihatkan nominal uang yang sudah masuk ke rekeningnya.  “Candra, dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak ini?” tanya Ratna dengan mata terbelalak karena terkejut bukan main melihat tabungan putranya sebanyak itu. Saat melihat Candra menyengir lebar, Ratna semakin curiga.  “Jawab ibu, Candra. Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak ini?”  Setelah itu, Ratna hanya tertegun saat Candra menceritakan semuanya. Tentang dirinya yang memainkan game bernama The Psychopath system dan mendapatkan uang dari sana. Tentu saja untuk misi perburuan NPC tidak dia ceritakan secara detail karena dia takut sang ibu melarangnya untuk log in ke TPS lagi jika tahu setiap harinya Candra harus berburu NPC menyerupai manusia jika ingin mendapatkan bonus uang itu. Sedikit banyak Candra membohongi sang ibu untuk urusan misi yang dia ikuti di dalam TPS.  “Begitu ya. Ternyata ada juga game virtual yang bisa menghasilkan uang.” Candra berdecak, “Tentu saja ada, Bu. Maka dari itu, ibu berhenti bekerja, ya. Jika ibu sebegitu inginnya memiliki pasangan, aku tidak keberatan jika ibu menikah lagi. Tapi tunggu sampai perceraian ibu dan ayah diresmikan dulu.”  “Memangnya masih ada pria yang mau sama ibu yang kotor ini?” Untuk kedua kalinya Candra berdecak, “Tentu saja pasti ada. Ibu ini sangat cantik pasti banyak diperebutkan pria-pria di luar sana.”  Ratna memukul pelan paha Candra karena menurutnya sang putra berlebihan memujinya. “Untuk masalah berhenti bekerja, ibu setuju. Tapi untuk menikah lagi, entahlah … kita lihat saja nanti.”  Candra memasang pose memberi hormat pada ibunya. “Siap, Bu. Aku mendukung apa pun keputusan ibu,” balasnya. “Kamu bisa saja, Can. Tapi terima kasih, ya. Dan maaf atas semua kesalahan ibu padamu selama ini. Ibu tahu sikap ibu salah dan sudah keterlaluan padahal kamu tidak punya salah. Maaf, ya, Can.”  Candra refleks memeluk ibunya, lalu mengusap-usap punggung sang ibu yang dia sadari nyaris menangis jika dilihat dari kedua matanya yang berkaca-kaca. “Sudahlah, Bu. Lupakan kejadian di masa lalu, apalagi semua hal yang menyakitkan. Kita mulai lagi semuanya dari awal. Mulai sekarang kita hanya perlu mengingat hal-hal yang menyenangkan.”  Ratna mengangguk-anggukan kepala dalam pelukan Candra, menyetujui ucapannya.  “Oh, ya. Bu, aku berencana akan fokus mencari uang di TPS, jadi aku memutuskan untuk berhenti kuliah.”  Seketika Ratna melepaskan pelukan mereka dan menatap Candra lekat. “Berhenti kuliah? Kamu yakin, Can? Pendidikan itu penting lho, Can.” “Serius, Bu. Lagi pula, tanpa perlu kuliah pun aku sudah bisa mendapatkan uang yang besar. Aku juga harus fokus di TPS, Bu. Aku tidak bisa kuliah jika sedang menjalankan misi di TPS.”  Ratna tertegun, tengah menimbang-nimbang haruskah dia menuruti keinginan putranya ini.  “Aku mohon, Bu. Aku butuh dukungan Ibu.”  Sampai kata-kata Candra itu membuat keraguan di benaknya hilang dalam sekejap. “Baiklah, mau bagaimana lagi. Ibu hanya bisa mendukungmu, kan?”  Candra memekik riang detik itu juga, senang luar biasa karena mendapatkan dukungan dari ibunya.  “Berarti kalau Ibu melihatmu sedang memakai alat aneh di kepalamu dan kamu seperti sedang tidur, artinya kamu sedang memainkan game TPS itu, kan?” “Tepat sekali. Ibu harus mulai membiasakan diri, ya, karena setelah ini sepertinya aku akan lebih sering menghabiskan waktu di TPS daripada di dunia nyata.” Ratna menipiskan bibir tampak tak rela mendengar sang putra memutuskan untuk fokus terjun di dunia game alih-alih menjalani hidupnya dengan normal di dunia nyata.  “Ini demi kebaikan kita berdua, Bu. Percayalah padaku.” “Asalkan kamu janji … hati-hati di sana dan jaga kesehatanmu, Can. Ibu tidak mau terjadi hal buruk padamu hanya karena memainkan game itu.”  Candra mengangguk mantap, tentu saja dia akan selalu mengingat nasihat ibunya ini. Lagi pula, memangnya hal mengerikan apa yang akan menimpanya di TPS? Candra yakin menghabiskan waktunya lebih banyak di TPS merupakan keputusan tepat karena di dunia itu mustahil ada bahaya yang mengintai. Ya, itulah yang dipercaya Candra hingga detik ini.  Yang jadi pertanyaannya … benarkah game virtual bernama The Psychopath System memang seaman yang dipikirkan Candra?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD