1. Semua Tentang Riga

2671 Words
Riga, Riga, dan Riga ... di mana kamu, Mas Rigaaaa?! Sudah setengah tahun berlalu, aku masih saja mencari di mana sosok ‘Mas Riga’ yang kutemui di Seoul. Laki-laki yang sudah dengan berani mencium pipiku, bahkan di pertemuan pertama kami. Meski dia menghalanginya dengan stiker, tetapi tetap saja perbuatannya itu sama sekali tidak bisa dibenarkan. Kenapa dia seberani itu? Aku ingin menyebut apa yang sudah dia lakukan padaku adalah sebuah pelecehan. Aku tidak berlebihan, kan? Coba sekarang kutanya, siapa perempuan di dunia ini yang baik-baik saja ketika tiba-tiba dicium orang asing yang baru ditemui beberapa jam yang lalu? Apa aku harus memaafkannya karena dia tampan? Jelas tidak! Mau dia tampan atau tidak, pelecehan tetap pelecehan. Orang bilang, pelecehan hanya berlaku untuk kaum non good looking, tetapi menurutku tidak begitu. Enak saja! Aku tidak munafik, aku memang berdebar saat itu. Namun, debar itu hanya berlangsung sementara dan segera digantikan dengan rasa kesal yang berkepanjangan. Aku ingin sekali menganggap apa yang aku lalui malam itu hanya angin lalu semata, tetapi entah kenapa sampai detik ini aku tidak bisa melupakannya. Meski saat itu aku berharap kami tidak usah bertemu lagi, tetapi setelah dia menciumku di pipi, harapanku jadi berubah. Aku ingin bertemu dengannya lagi, segera dan secepatnya! Ah, satu lagi. Aku ingin tahu alasan kenapa aku merasa tidak asing dengannya. Kenapa aku merasa dekat dengannya, sedangkan aku yakin kalau pertemuan kami malam itu adalah kali pertama? Ini sunggu aneh! “Riga Angkasa? Riga Bagus Aditama? Riga Budiono? Lah! Kenapa banyak banget orang namanya Riga, sih?” Ini sudah kesekian kalinya aku mencari nama Riga di sosial media. Entah itu f*******:, i********:, Twitter, bahkan Tik tok. Dan dari semua aplikasi itu, hasilnya nihil. Riga yang kucari tidak ketemu. “Mbak Gunung, makan siang datang!” Seketika kepalaku menyembul di balik komputer begitu mendengar suara cempreng milik Mega. Benar saja, Mega dan Syarif baru saja datang dari luar membawa kresek putih berisi kotak styrofoam. “Gunung, gunung! Panggil yang bener!” ketusku sambil berdiri, lalu setengah berlari menghampiri meja Syarif. “Rinjani kan nama gunung, Rin. Aku bener, dong. Tanya Bapakmu, coba, kenapa dulu kamu dinamain Rinjani? Apa jangan-jangan karena kamu adalah mahakarya beliau setelah puas bermain-main di ‘Rinjani’ Ibumu?” “Mulutmu, Ga!” Mega malah terbahak ketika aku menatap kesal padanya. “Makanya dibales, kek, Rin? Jangan mau dihina mulu sama si Mega!” Kiki yang sedari tadi sibuk dengan bekalnya, akhirnya ikut nimbrung. “Capek aku, Ki, ngadepin Si Manusia Purba satu ini.” Kini gantian Mega yang menatapku kesal. “Kenapa harus manusia purba sih, Rin?” “Ya kan namamu Mega, alias?” “Mega—nthropus Paleojavanicus.” Syarif dan Kiki menjawab kompak, lalu tawa keras mereka seketika membahana di seluruh ruangan. “Puas, kalian? Hina aja, terus!” “Dih, lo kalau ngehina aja nomor satu, Ga. Giliran dihina balik, nangeees!” Syarif mencibir. “Ya tapi ngehinanya jangan disamain dengan Mega yang itu, dong. Masa iya, cewek secantik aku disamain dengan Manusia Purba tertua di Indonesia?” “Udah, udah. Ayo makan! Berantemnya lanjut nanti setelah kenyang.” Akhirnya aku melerai daripada semakin panjang. Lagi dan lagi, makan siang kali ini aku kembali teringat dengan Mas Riga. Jujur saja, tiap kali ada kesempatan, aku selalu ingat dengannya. Aku baru benar-benar lupa ketika sedang sibuk atau sedang fokus pada hal lain yang lebih menyita perhatianku. Dia pakai pelet apa, sih, sampai aku jadi sebegininya? “Masih ingat terus sama Mas Riga, apa, Rin?” tanya Mega di sela-sela makan siang kami. “Iya, Ga. Asem banget! Harus cari ke mana lagi, aku?” Sebelumnya, hina-hinaan antara aku dan Mega tadi murni hanya bercanda. Kami ini aslinya sangat dekat, bahkan lebih dekat dari yang orang lain kira. Kami dekat karena beberapa faktor. Dua di antaranya adalah karena selain obrolan kami nyambung, daerah asal kami juga berdekatan. Aku dari Jogja, sementara Mega dari Magelang. Mega sering memanggilku ‘gunung’, itu karena nama belakangku sama persis dengan nama salah satu gunung yang terletak di Nusa Tenggara Barat, yakni Gunung Rinjani. Nama lengkapku sendiri adalah Karin Shayena Rinjani. Aku sering bertanya pada kedua orang tuaku perihal nama ini, tetapi mereka selalu menjawabnya dengan jawaban yang super diplomatis. Mereka selalu bilang kalau nama Rinjani itu cantik. Sudah, itu saja. Tak peduli berapa kali pun aku bertanya, jawabannya selalu sama. “Memang orangnya seganteng apa, Rin, sampai kamu kebayang-bayang terus?” “Poin di sini bukan kegantengannya, Ga, tapi kelakuannya!” “Iya, aku tahu. Tapi aku penasaran dia seganteng apa?” “Kan aku udah sering bilang, pokoknya ganteeeng!” lama-lama kesal juga kalau Mega terus bertanya dengan pertanyaan yang hampir sama. “Ganteng mana sama Pak Dilan?” Aku menoleh. “Dih! Kenapa dibandingin sama Pak Dilan? Pak Dilan udah tua!” “Yeee, tua-tua gitu, aku masih bisa merasakan betapa ganteng beliau waktu muda. Pak Dilan ... saya mau dijadikan istri kedua Bapak. Yuk, bisa, yuk!” Mega memang sinting! “Mau, kamu, disantet sama Bu Dean?” Mega langsung nyengir. “Bu Dean, maaf, Bu. Saya cuma bercanda aja.” Kini Mega mulai bermonolog seolah-olah Bu Dean ada di depannya. Ngomong-ngomong Pak Dilan dan Bu Dean, mereka adalah Tuan dan Nyonya besar perusahaan tempat kami bekerja saat ini. Maksudku, Pak Dilan adalah pimpinan tertinggi, sementara Bu Dean adalah istri beliau. “Rin, yang barusan belum dijawab. Ganteng siapa antara Mas Riga dan Pak Dilan?” “Enggak bisa dibandingin, Ga. Mas Riga itu cocoknya jadi anak Pak Dilan. Kalau mau bandingin yang seumuran, kek!” Mega baru akan menyahut lagi ketika Kiki yang tadi sempat pamit ke kamar mandi, tiba-tiba masuk ruangan dengan langkah terburu-buru. “Kenapa lo, Ki, udah kaya dikejar jin tomang aja?” tanya Syarif dengan alis yang bertaut heran. “Gue habis denger kabar penting!” “Tumben, Ki? Biasanya Si Mega juaranya gosip.” “Yeee, kaya kamu enggak aja, Rin!” Mega menoyor lenganku kuat sampai aku hampir terjungkal andai tidak pegangan pada meja. “Gue kan habis dari kamar mandi, terus denger slentingan dari Mbak Mimi si Ketua Divisi sebelah. Apa coba katanya?” “Apa, cepet?” tanya Mega tak sabaran. “Pak Dilan otw pensiun!” Seketika itu, aku dan Mega kompak saling pandang, sementara Syarif yang tadi masih makan tiba-tiba mendekat ke arah Kiki. “Bohong, lo, Ki?” “Nagapain gue bohong? Gue barusan dengernya gitu. Valid enggaknya coba kita lihat nanti.” “Tapi bisa aja, sih. Meski masih seger gitu, umur beliau udah setengah abad lebih. Eh, apa malah udah enam puluh tahun? Kalau PNS, umur segitu memang udah saatnya pensiun. Iya, kan?” tanyaku yang langsung mendapat anggukan setuju dari mereka bertiga. “Mana katanya, Pak Dilan itu punya anak laki-laki kembar. Bisa jadi, salah satu atau malah keduanya disuruh nerusin.” Kiki menyahut. “Tapi setahu gue, salah satunya itu ada yang jadi dosen di kampus bergengsi Jogja. Kapan hari, gue pernah dikasih tahu sama Mas Emran.” Mas Emran yang disebut Syarif adalah ketua divisi kami. “Kalau Mas Emran yang bilang, biasanya bener. Dia enggak sembarang ngomong orangnya.” “Ya udah, berarti fix satunya. Kalau dua-duanya enggak mungkin.” Mega berujar dengan tangan yang mulai bersedekap. “Ngomong-ngomong, gue tahu nama semua anak Pak Dilan.” “Siapa, Rif?” “Davka, Dipta, Desya. Kalau enggak salah, yang jadi dosen yang namanya Davka.” “Jadi yang Dipta ini yang bakal nerusin Pak Dilan? Soalnya yang bontot itu katanya masih kuliah.” Syarif mengangguk. “Harusnya iya.” Jujur, aku malah tahu info lengkap tentang anak Pak Dilan baru hari ini. Aku hanya sebatas tahu kalau Pak Dilan memiliki tiga anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Selebihnya, aku tidak tahu menahu siapa nama mereka, atau seperti apa orangnya. Akhir-akhir ini aku lebih peduli dengan Mas Riga, orang yang harus kutemui setidaknya sekali lagi dalam hidupku. Kalaupun menyebut ‘pelecehan’ dianggap berlebihan, setidaknya aku harus mendengar penjelasan tentang kenapa dia menciumku malam itu. Setelah itu, aku baru bisa memikirkan hukuman seperti apa yang pantas dia dapatkan. *** Malam ini aku memutuskan untuk makan di luar. Hanya sendiri, karena bagiku itu sudah biasa. Aku bukan tipe orang yang kalau ke mana-mana harus ditemani. Tak peduli temanku banyak, aku hanya merasa terkadang sendiri lebih baik dan tidak kebanyakan drama. Hidup merantau di kota orang membuatku belajar banyak hal. Salah satu yang paling terasa adalah, aku jadi sangat mandiri dan tidak mudah ketergantungan dengan orang lain. Ya ... meski untuk sampai pada titik ini, dulu aku harus berdebat dengan orang tua. Mereka melarang keras kalau aku hidup jauh sendirian. Saat itu aku berontak, dan pada akhirnya mereka sadar kalau anak sepertiku tidak baik jika terlalu dikekang. Dan sekarang, setelah aku mendapat support dari mereka, aku ingin membuktikan secara lebih kalau aku tidak salah memilih jalan hidup. Aku ingin membuktikan kalau pilihanku sudah tepat dan aku bahagia menjalaninya. Ngomong-ngomong, selama di Jakarta aku tinggal di kos perempuan yang secara fasilitas sangat lumayan. Memang harganya juga cukup lumayan, tetapi tetap lebih miring daripada tinggal di apartemen. Aku sebenarnya bisa saja tinggal di apartemen, tetapi itu namanya buang-buang uang. Aku lebih peduli bebas makan enak daripada hanya menuruti gengsi. “Hmh! Kenyangnya!” aku mengusap perutku pelan sambil terus berjalan. Malam ini aku sengaja keluar jalan kaki karena aku sedang ingin makan nasi bebek bakar yang lokasinya tidak begitu jauh dari kos. Naik motor rasanya hanya buang-buang bensin. Selain itu, jalan kaki juga ada manfaatnya. Itung-itung olahraga ringan di saat siangnya aku hanya duduk sambil berkutat dengan banyak pekerjaan. Aku baru saja akan belok menuju gang arah kos, ketika tiba-tiba aku menangkap sosok laki-laki yang berdiri di samping mobil hitam sedang tersenyum menatap hotel yang berada di seberang jalan. Mataku langsung menyipit ketika menangkap wajah itu terlihat sangat familiar. “Mas Riga?!” Aku segera mendekat untuk memastikannya. Namun, tak lupa lebih dulu aku menaikkan masker sampai menutup separuh lebih wajahku. Selama di Jakarta, aku sudah terbiasa memakai masker. Awalnya untuk menghindari polusi, tetapi lama-lama jadi lebih multifungsi. “Mas Riga?” panggilku pelan dengan tangan terulur meraih lengannya. Laki-laki itu menoleh, lalu segera menepis tanganku. “Riga siapa?” “Masnya ini Mas Riga, bukan?” “Siapa itu Riga?” Kini aku segera mundur, dan laki-laki itu tampak menatapku tak suka. Kuperhatikan wajahnya selama beberapa detik, dan aku berani bersumpah kalau laki-laki ini benar-benar mirip dengan Mas Riga yang kutemui di Seoul. Wajah dan perawakannya sangat mirip, tapi sebentar ... tatapan matanya kenapa jauh berbeda? Tatapan mata Mas Riga waktu itu cukup hangat dan bersahabat, sementara yang ini sangat tajam dan menusuk. “Siapa kamu?” tanyanya dengan anda tegas dan mata yang memicing. “Masnya betulan bukan Mas Riga?” “Riga siapa? Saya tidak kenal Riga.” “Ah ... maaf, Mas, maaf. Saya salah orang!” Aku segera menunduk dalam-dalam untuk minta maaf, lalu buru-buru pergi meninggalkannya. Meski begitu, sebenarnya aku tidak benar-benar pergi dari sana. Aku memilih untuk mengamati laki-laki itu dari kejauhan. “Pak!” Tiba-tiba kulihat seorang perempuan datang dari arah hotel dan menghampiri laki-laki itu. Ah, tadi dia senyum-senyum karena sedang menunggu pacarnya? Tapi kalau memang pacarnya, kenapa perempuan itu memanggil dengan sebutan ‘Pak’? “Cepat, Ra! Nanti keburu restonya penuh!” “Iya, Pak.” Awalnya aku ingin melihat wajah perempuan itu, tetapi gagal karena pencahayaan di area mereka agak kurang. Belum lagi, jarakku saat ini juga cukup jauh. Akhirnya, aku memutuskan untuk segera pulang ke kos. Barangkali barusan aku yang terlalu kebayang wajah Mas Riga sampai mudah sekali menganggap wajah orang lain jadi mirip dengannya. “Tapi beneran mirip banget!” aku menggeram pelan sambil terus melangkah masuk gang. Aku tidak bohong, laki-laki tadi benar-benar mirip dengan Mas Riga. Aku jadi mulai bertanya-tanya. Masa iya Mas Riga punya kembaran? Kalau iya, kenapa laki-laki itu tida tahu siapa Riga yang notabene kembarannya sendiri? Tapi kalau tidak kembar, kenapa ada dua orang asing yang sangat mirip hampir dalam segala hal? Selain sorot mata, aku hampir tidak bisa menemukan perbedaannya. Entah wajahnya, tingginya, postur tubuhnya, semuanya terlihat sama. Isssh! Sejujurnya, aku ini benar-benar aneh. Kenapa aku tidak bisa melupakan Mas Riga sama sekali? Bagi banyak orang di luar sana, dicium di pipi mungkin sudah biasa, bahkan tidak berarti apa-apa. Namun bagiku, ciuman itu adalah hal yang besar karena belum pernah ada yang berani melakukan itu padaku kecuali kedua orang tua dan saudara. Silahkan katakan aku kolot, tetapi selama ini aku selalu berusaha menjaga diri dari lawan jenis. Kalau kita terlalu membuka diri pada mereka, besar kemungkinan mereka akan kurang ajar. Kalau sudah kejadian yang tidak diinginkan, maka yang tersisa hanyalah penyesalan. Kasus seperti ini sudah sering terjadi, terutama di kota-kota besar. Aku memang punya banyak teman laki-laki, tetapi kontak fisik kami jelas ada batasan. Waktu aku pacaran dengan Saga, pacaran kami sangat minim kontak fisik. Alasan kami pacaran juga sangat sederhana, yakni kami tertarik satu sama lain setelah lama berteman. Dia baik dan sopan padaku, jadi aku menerimanya. Makanya, dulu aku kira Saga adalah cowok baik-baik. Tidak tahunya, ternyata dia sama saja dengan laki-laki b***t di luar sana. “Kariiin!” tiba-tiba terdengar seseorang memanggilku, dan ternyata dia adalah Mega. Saat ini, anak itu sedang berdiri di depan pintu gerbang kosku. Dia tampak baru pergi dari suatu tempat karena helm-nya masih dipakai. Ah, mungkin dia jadi keluar makan malam bersama Kiki. Ngomong-ngomong kami tidak satu kos, tetapi lokasi kos kami cukup dekat. Mungkin hanya jarak satu sampai dua kiloan. “Ngapain kamu di situ, Ga?” “Barusan aku jadi makan di luar sama Kiki. Tadi kamu diajakin enggak mau.” “Iya, terus kenapa?” “Aku ke sini mau ngasih tahu kamu sesuatu, Rin.” Mega meringis, menunjukkan deretan giginya yang berbaris rapi. “Ngasih tahu apa? Kaya penting banget aja, sampai bela-belain ke sini. Mana enggak lepas helm, itu artinya habis ini kamu mau langsung pulang.” “Memang iya, hehe. Barusan aku telepon kamu, tapi enggak diangkat-angkat!” “Hapenya aku silent, jadi aku enggak tahu kalau kamu telepon. Cepet, mau ngasih tahu apa?” “Aku sama Kiki habis ketemu anaknya Pak Dilaaan! Yang namanya Dipta harusnya, ya? Kan kalau yang namanya Davka tinggal di Jogja.” “Ya terus? Memangnya kamu tahu orangnya?” Kini Mega mendekat ke arahku, lalu sekali lagi menunjukkan ringisan andalannya. “Awalnya, aku sama Kiki emang enggak tahu orangnya, tapi kami tahu karena dia keluar sama Pak Dilan dan Bu Dean. Dan kamu tahu, orangnya ganteng banget, Kariiin! Demi Allah!” Aduh, Si Mega kok ketemu cowok ganteng, jelas matanya langsung hijau! Dia pernah bilang kalau cowok ganteng dan duit yang banyak memiliki kedudukan yang sama. Memang ada-ada saja! “Dan kamu bela-belain ke kosku cuma buat ngomong itu?” “Enggak sabar nunggu besok buat ghibah.” Mega terkekeh pelan. “Males banget gibahin orang yang aku aja enggak tahu.” “Aku udah foto, tapi kayaknya agak blur soalnya foto dari jauh. Mau lihat?” Aku buru-buru menggeleng. “Enggak, makasih.” “Atau aku kirim fotonya ke w******p-mu?” “Enggak usah, nanti menuh-menuhin galery.” Mega mencibir. “ Dih! Awas aja kalau lain kali kamu naksir Ayang Dipta! Ayang Dipta milikku.” “Ayang? Bangun, Ga, tidurmu terlalu miring!” Kini Mega malah tertawa keras, lalu akhirnya dia berjalan menuju motornya. “Ya udah, karena kamu kayaknya enggak minat, aku pulang aja. Mau mimpiin Ayang Dipta.” “Najong!” Tawa Mega semakin teras, dan dia buru-buru membekap mulutnya ketika sadar suasana di sekitar kami agak sepi. “Duluan, ya, Rin!” “Ya.” “Pokoknya Ayang Dipta milikku!” “Bodo amat! Enggak peduli! Cepet pulang, sana!” Akhirnya, Mega benar-benar pulang. Anak itu memang niat sekali. Bisa-bisanya dia rela datang ke kosku hanya karena ingin memberi tahu tentang anak Pak Dilan. Memangnya aku peduli? Daripada memikirkan anak Pak Dilan yang namanya Davka atau Dipta itu, aku lebih peduli pada Mas Riga. Iya, hanya Mas Riga. Akhir-akhir ini aku hanya memikirkan laki-laki itu, laki-laki yang sudah membuatku jadi se-aneh dan se-lebay ini. Dia masih hidup, kan? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD