Aku tidak bisa konsentrasi bekerja sampai sore. Aku terbayang-bayang kalimat Pak Dipta yang menggantung. Tadi, dia mendadak mendapat telfon dan langsung pergi buru-buru setelah sebelumnya sempat menepuk pelan kepalaku.
Aku tidak bohong. Dia menepuk pelan kepalaku!
Apa yang sebenarnya dia mau? Dan apa katanya tadi? Dia lebih baik tidak kumaafkan daripada harus pura-pura tak mengenaliku? Apa maksudnya?
“Rin—“
“Jangan tanya!” potongku yang membuat Mega berjengit.
“Galak betul, Mbak Gunung!”
Aku memilih untuk tidak menanggapi lagi. Sejak turun dan kembali ke ruangan, aku sudah tidak memedulikan Mega dan Kiki. Tak kuhiraukan cecaran pertanyaan mereka. Untung saja, mereka tidak lama mencecarku karena tadi Mas Emran sempat datang meminta laporan.
“Nanti makan bareng yuk, Rin?” itu ajakan Kiki.
“Enggak!”
“Kamu kenapa, sih?”
Aku menggeleng pelan. “Enggak papa.”
Sampai jam pulang tiba, Mega dan Kiki tidak bertanya apa pun lagi. Sepertinya mereka paham kalau kali ini aku benar-benar sedang tidak ingin diganggu.
“Pak Dipta menyakitimu, Rin?” tanya Mega tepat ketika aku sudah siap pulang.
Menyakiti apanya? Dia justru membuatku bingung!
“Enggak, Ga. Cuma bingung aja, aku.”
“Memangnya Pak Dipta bilang apa, Rin? Gue kepo.” Kiki akhirnya mendekat. Dia mungkin tak tahan kalau terus diam saja. “Mumpung udah jam pulang, ini.”
“Aku beneran enggak bisa bilang apa pun ke kalian. Jangan tanya dulu!”
Kiki diam, lalu menoleh ke arah Mega. “Pulang, yuk, Ga. Karin lagi sensi!”
“Ya sana!”
Benar saja, Mega dan Kiki langsung keluar meninggalkanku sendirian. Hari ini Syarif tidak datang karena dia sedang sakit.
Sesampainya di parkiran, aku lihat kendaraan masih ramai. Aku memarkirkan motorku di dekat parkiran mobil. Alasannya, kalau parkir di sana selalu ada space untuk gerak lebih longgar tak peduli aku pulang cepat atau lambat.
“Karin ...”
“Iya— Pak Dipta?” aku mendelik kaget, lalu reflek menariknya untuk sembunyi karena di saat bersamaan aku melihat ada beberapa karyawan keluar lift.
“Kamu apa-apaan—“
“Pak Dipta diam dulu! Nanti ada yang lihat!”
Saat ini, jantungku benar-benar seperti mau lepas karena takut akan ada yang salah paham. Aku baru bisa bernapas lega ketika segerombolan karyawan itu pergi.
“Ah, lega ... mereka enggak lihat.”
“Tanganmu hangat. Kamu sakit?” Mendengar pertanyaan itu, aku langsung menunduk dan segera melepaskan tangan kami yang sempat bertaut.
“E-enggak, saya enggak sakit. Selamat sore, Pak!”
Aku segera berlari menuju motor, tetapi tanganku sudah lebih dulu ditahan. “Kamu ikut saya, tadi siang belum selesai.”
“Enggak bisa—“
“Kalau enggak bisa, saya akan terus menahanmu seperti ini.”
“Pak!”
“Saya tidak peduli.”
Orang ini, benar-benar!
“Iya, saya ikut, tapi saya naik motor sendiri. Saya akan mengekor di belakang Bapak.”
“Janji?”
“Janji. Saya pantang ingkar janji!”
“Oke.”
Aku mengembuskan napas lega ketika Pak Dipta melepaskan tanganku dan berjalan menuju mobil hitamnya. Sebentar ... kenapa aku tidak asing dengan mobil itu? Aku pernah melihatnya di mana?
“Karin, jangan bengong! Cepat!”
Aku mendengus kesal karena aku benar-benar tidak punya pilihan lain. Awas saja orang itu!
***
Sepertinya Pak Dipta tahu kalau aku sedang lapar. Dia memesan banyak makanan setelah berhenti di sebuah restoran mewah yang aku yakini Mega dan Kiki pasti belum pernah mencobanya.
Aku tidak tahu tujuan dia mengajakku ke restoran ini karena ingin memamerkan kekayaannya atau supaya tidak ada orang kantor yang melihat kami. Yang jelas, apa apun itu, aku ingin segera pulang dari sini.
“Kamu tahu alasan kenapa saya mengajak kamu makan di sini?” tanyanya dengan senyum yang sedikit tersungging.
“Saya tidak mau tahu—“
“Harusnya kamu penasaran.”
“Saya tidak tertarik.”
Kali ini senyum Pak Dipta mengembang semakin lebar. “Coba lihat buku menu.”
“Saya sudah lihat.”
Dia mau pamer, kah?
Aku memang sempat melihat buku menu, dan sesuai dugaan, harga dari masing-masing makanan di restoran ini benar-benar membuat kantongku menjerit. Bayangkan saja, tumis kangkung satu piring kecil harganya dua puluh lima ribu. Itu hanya kangkung! Sedangkan, Pak Dipta memesan berbagai macam jenis masakan seperti cumi asam manis, ikan gurame, udang krispi, steak sapi, dan masih banyak lagi.
Coba total saja, kira-kira berapa?
“Jadi, bisa menebak?”
“Saya sedang tidak ingin menebak-nebak.”
“Begitu?”
Demi apa pun, ingin rasanya aku meraup wajah Pak Dipta. Sepertinya aku harus mengalah kalau ingin cepat selesai. “Ya sudah, memangnya kenapa?”
“Supaya kamu tidak asal kabur lagi dengan dalih membayar makanan. Atau kamu mau membayar semua ini?”
DASAR CURANG!
Aku benar-benar tidak terbayang sampai sana! Sialan!
“Ah ... ekspresi kamu saat ini sudah menunjukkan betapa kamu sayang dengan uang-uang yang ada di saldo ATM-mu. Oke, saya paham.”
“Pak Dipta sok tahu!”
“Apa saya salah? Kalau begitu, mau saya panggilkan pelayan untuk menotal semua ini dan kamu saja yang membayar—“
“Pak! Y-ya jangan ...” aku melirih di ujung kalimat.
Kali ini, akan kuturunkan sedikit gengsiku. Aku tidak mau menghambur-hamburkan uang demi membayar semua makanan ini sekalipun aku mampu. Kurasa, total makanan ini setara dengan uang makanku selama dua minggu atau mungkin lebih.
“Ya sudah. Sekarang, kita makan dulu.”
Aku tidak punya pilihan lain selain mengangguk. Detik berikutnya, aku mulai menyuap nasi dan lauk-pauk di depanku. Pak Dipta melakukan hal yang sama tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi.
Jujur, aku cukup speechless dengan rasa masakan di restoran ini. Semuanya benar-benar enak dan memanjakan lidah. Andai harganya tidak selangit, aku pasti ke sini lagi lain kali.
“Apa yang paling kamu suka, Rin?”
“Cumi asam manis.” Aku menjawab reflek, dan itu membuat Pak Dipta lagi-lagi tersenyum. Aku meringis, lalu menunduk sambil menyelesaikan kunyahan di mulut.
Makan berdua kali ini rasanya tidak secanggung ketika di restoran ramen. Saat itu aku terlalu kikuk dan merasa serba salah. Kali ini sedikit lebih santai meski aku tidak bisa memungkiri kalau sedari tadi jantungku berdetak cukup cepat.
“Rin ...” Pak Dipta memanggilku setelah kulihat dia meletakkan sendok dan garpunya.
“Iya, Pak?”
“Kenapa kamu segitunya ingin menghindar dari saya?”
Mendengar pertanyaan itu, aku buru-buru menyelesaikan acara makanku. Aku menegakkan badan, lalu kuberanikan menatap Pak Dipta. Sejujurnya, wajah tampannya itu membuatku grogi, tetapi aku berusaha untuk tetap biasa-biasa saja.
“Sebelumnya, saya pernah bilang ke Pak Dipta. Saya tidak ingin terkena gosip. Kenapa saya bilang begitu? Bapak itu sedang jadi pusat perhatian karyawan perempuan—“
“Termasuk kamu?”
“Apa saya kelihatan begitu?”
“Kamu sudah berani menjawab pertanyaan saya dengan pertanyaan baru?”
Aku menghela napas pelan. “Bukan begitu, Pak.”
“Jadi kenapa? Saya ini hanya menyapa ulang ‘Si Arin’ yang saya temui di Seoul. Kenapa reaksimu begitu?”
“Begini, Pak ... mungkin saya akan biasa saja kalau Mas Riga yang saya temui di Seoul itu bukan Pak Dipta, anak Pak Dilan. Pak Dipta ini kan baru bergabung di perusahaan, dan selama ini karyawan biasa seperti saya sangat jarang bisa bertemu dengan orang-orang yang berada di jajaran atas. Kalau tiba-tiba banyak karyawan yang melihat kita pergi berdua, apa itu akan baik-baik saja? Jelas tidak. Gosip pasti akan muncul, Pak. Dan kalau sampai muncul, yang kena imbas buruk hanya saya. Pak Dipta pasti paham ke mana arah kalimat saya.” Aku menjeda kalimatku, dan kulihat Pak Dipta menatapku dengan ekspresi serius. “Saya hanya ingin bekerja dengan tenang di perusahaan. Mengerahkan kemampuan saya, juga sembari mencari penghasilan. Semua itu akan sulit kalau Pak Dipta begini ke saya.”
“Jadi, saya tidak boleh dekat-dekat denganmu?”
Aku mengangguk.
“Kalau begitu, kenapa kamu tidak mencoba resign saja?”
Aku melongo, karena sama sekali tidak menduga dengan balasan yang Pak Dipta lontarkan. “P-pak Dipta m-mau pecat saya?”
“Konsepnya tidak begitu. Ini hanya tawaran kalau kamu memang tidak ingin dekat-dekat dengan saya. Kalau kamu resign, kamu bebas dari saya.”
“Pak ...”
Tiba-tiba saja, aku merasa takut kalau mendadak jadi pengangguran. Zaman sekarang ini, mencari pekerjaan benar-benar sulit. Selain karena banyak saingan, kekuatan orang dalam lebih mengerikan.
“Gimana?”
“Pak, saya mohon ... saya butuh pekerjaan ini. Saya tahu, saya lancang bicara seperti tadi, tapi saya benar-benar tidak ada pilihan lain. Kalau Pak Dipta memang menghubungi saya karena pekerjaan, itu tidak masalah. Tapi kalau tiba-tiba sering memanggil saya tanpa alasan yang jelas, itu yang saya permasalahkan. Tidak ada Riga dan Arin lagi, Pak, jadi saya tidak bisa sesantai seperti ketika di Seoul.”
Mendadak saja, ekspresi Pak Dipta yang sempat serius, kini melunak. “Jadi kamu baik-baik saja kalau saya menghubungimu karena pekerjaan?”
“Jelas! Saya berusaha professional tentang yang satu ini. Saya bukannya cari muka, tapi Pak Dipta bisa tanyakan pada Mas Emran tentang kinerja saya. Mas Emran itu ketua Divisi.”
“Oke.”
Entah kenapa, jawaban ‘oke’ dari Pak Dipta kali ini membuatku lega karena dia setuju untuk tidak menggangguku dan hanya akan menghubungiku ketika berhubungan dengan pekerjaan saja. Itu artinya, aku akan jarang bertemu dengannya karena jelas-jelas karyawan biasa sepertiku cukup bertanggungjawab pada Ketua Divisi masing-masing.
“Kalau begitu, ini sudah selesai, kan, Pak?”
“Iya, sudah.”
“Itu artinya, saya boleh pulang sekarang?”
Pak Dipta mengangguk. “Iya, boleh.”
Seketika itu, aku langsung bersiap-siap untuk Pulang. Pak Dipta masih diam saja dan begitu aku berdiri, dia juga ikut berdiri.
“Apa perlu saya bantu panggil pelayan, Pak?” tanyaku begitu sudah berdiri di dekatnya.
“Makanannya sudah saya bayar sejak tadi, bahkan sejak kamu belum duduk di kursi itu.”
“Hah? Jadi, Pak Dipta tadi cuma ngerjain saya?”
Senyumnya mengembang. “Karena saya suka lihat kamu panik.”
“Jangan-jangan, Pak Dipta mengajak saya kemari karena iseng?”
Kali ini Pak Dipta menggeleng, dan aku merasa seperti tersengat sesuatu ketika tangannya kembali bertengger di kepalaku. “Tidak, tapi karena saya memang ingin makan berdua denganmu.”
***