10. Kentut Buaya

1591 Words
Aku merasa kepalaku agak pegal ketika pertama kali membuka mata. Tidak hanya kepala, tetapi tanganku juga terasa agak kebas. Aku mengerjap beberapa kali, dan pandanganku langsung fokus pada layar ponsel yang kini sedang dipegang seseorang laki-laki. “Standar Deviasi untuk data kelompok rumusnya enggak begini, Mas. Ini untuk data tunggal.” Aku seperti reflek tergerak meraih ponsel itu dan membetulkan rumus yang salah. “Begini yang bener, jadi ada perbedaan di frekuensinya.” “Tapi betul diakarkan?” “Betul, Mas— EH ... PAK DIPTA?” Aku hampir saja menjatuhkan ponsel yang sedang kupegang, tetapi untung saja reflek tanganku cukup bagus. Nyawaku seketika seperti terkumpul dan sadar penuh dengan keadaan sekitar. Aku celingukan, dan ternyata saat ini aku masih berada di ruang bioskop. Oh, ya ampun! Aku ketiduran! “Ilermu bersihkan dulu, Rin ...” Aku reflek menutup mulut, lalu balik badan mencari kaca kecil di dalam tas. Ternyata bersih. Tidak ada noda sedikit pun di sekitar bibir. “Saya enggak ngiler, ya, Pak!” protesku setelah kembali balik badan. “Oh ... tidak, ya?” Pak Dipta mengulum senyum dan itu benar-benar membuatku ingin menghilang dari muka bumi. “Ngomong-ngomong, saya suka panggilan kamu yang barusan. Mas? Mas Dipta?” “P-panggilan itu ada karena nyawa saya belum kumpul.” Aku menepuk pelan bibirku. Pak Dipta tak menanggapi lagi, tetapi senyum geli masih tersungging jelas di bibirnya. Detik berikutnya, aku kembali mengedarkan pandangan. Aku merasa lega karena melihat ada beberapa pengunjung lain yang baru akan keluar ruangan. Kurasa, tidurku benar-benar nyenyak karena aku tidak bermimpi sama sekali. Padahal, tadi aku sempat sangat ketakutan. “Ini pertama kalinya saya tahu ada orang nonton film horor malah ketiduran,” ucap Pak Dipta setelah beberapa saat lamanya di antara kami tidak ada yang bersuara. “Saya enggak begitu suka film horor, Pak, jadi sejak awal saya enggak begitu menikmati.” Aku menjawab jujur. “Atau mau menonton film lagi yang genre lain?” Aku buru-buru menggeleng. “Enggak, Pak, enggak. Pulang saja. Lagipula ini sudah malam.” “Oke.” Pak Dipta menunduk, meraih jaketnya yang jatuh di kursi bioskop, lalu maju satu langkah dan memakaikannya di badanku. Aku ingin menolak, tapi sudah telat. Gerakan cepatnya membuatku hanya mampu mematung di tempat. “Pak Dipta ...” “Hm?” Pak Dipta menyahut setengah menggumam karena dia masih sibuk merapikan letak jaketnya di badanku. “Tolong jangan melewati batas.” Mendengar itu, gerakan tangan Pak Dipta berhenti. Dia menatapku dengan alis sedikit menekuk. “Melewati batas katamu? Di bagian mana?” aku reflek mundur ketika Pak Dipta semakin mendekat. “Tentang perasaanmu, itu bukan tanggung jawab saya. Tapi saya punya tanggung jawab mengusahakan kamu baik-baik saja setelah keluar bersama saya. Ini sudah malam, dan kamu lupa bawa jaket karena tadi buru-buru. Apa memakaikan jaket seperti barusan kamu anggap melewati batas? Kamu sedang berdebar saat ini?” Sial! Tebakan Pak Dipta memang hampir selalu benar! “E-enggak! Pak Dipta sok tahu!” “Sepertinya, kalau sedang bersama saya, malaikat pencatat amal buruk akan sering bertugas.” “Maksudnya?” “Hobi kamu akhir-akhir ini berbohong.” Aku mencebik pelan karena bingung harus membalas apa lagi. Apa yang Pak Dipta katakan itu memang benar adanya. Namun, aku sudah bertekad untuk tidak mudah menjatuhkan perasaan. Laki-laki model Pak Dipta biasanya hanya manis di awal. Aku tidak bermaksud jual mahal, tetapi aku hanya berhati-hati. Lagipula, tidak ada salahnya perempuan jual mahal. Itu sangat jauh lebih bagus daripada perempuan jual obral. Jual mahal bukan berarti munafik, tetapi bisa diartikan dia sedang menguji seberapa serius usaha laki-laki yang sedang mendekatinya. “Hei, kalian! Cepat keluar, ruangan ini mau dibersihkan. Jangan pacaran terus!” tiba-tiba saja, terdengar teriakan yang cukup nyaring. Aku dan Pak Dipta langsung menoleh, dan ternyata ada dua cleaning service yang berdiri di ambang pintu lengkap dengan alat tempur mereka. “Iya, Pak. Ini kami mau keluar.” Pak Dipta menyahut lebih cepat, tak menampik sama sekali dengan istilah ‘pacaran’ yang dilontarkan salah satu dari mereka. “Padahal film-nya sudah selesai dari tadi, Mas.” “Pacar saya ngambek, Pak. Jadi saya perlu merayunya supaya luluh.” HEH? APA KATANYA? “Pak Dipta—“ “Protesnya nanti saja. Ayo, kita keluar dulu.” Manusia ini benar-benar! *** Selama perjalanan pulang, aku banyak diamnya. Pak Dipta pun sama. Dia hanya bertanya beberapa kali dan aku cukup menjawab sekedarnya. Setelah dari bioskop, dia langsung mengajakku pulang dan tak membiarkanku bicara sedikit pun, bahkan tentang protes yang akan kulayangkan. “Setelah ini langsung tidur. Jangan banyak memikirkan saya,” ujar Pak Dipta santai ketika mobilnya berhenti di dekat pintu gerbang. “Kalau ada tes tingkat kepercayaan diri seseorang, saya berani jamin Pak Dipta pasti nomor satu.” Pak Dipta tertawa pelan, lalu dia menoleh. “Jas saya masih di kamu, kan? Bisa saya minta hari ini?” “J-jas?” tiba-tiba saja, jantungku berdetak begitu cepat. Ini bukan jenis detak yang menjurus ke sisi romantis, tetapi detak penuh kecemasan. Pasalnya, jas milik Pak Dipta masih ada di antara baju-bajuku dan kancingnya belum berhasil kubetulkan. “Kenapa ekspresimu begitu? Sudah kamu cuci, kan?” “S-sudah, Pak, tapi itu ...” “Itu?” Pak Dipta membeo. Aduh! Apa yang harus kukatakan padanya? Apa lebih baik aku jujur saja? Tapi bagaimana kalau dia meminta ganti rugi? “Rin ...” Aku memejamkan mata sejenak. “ Pak Dipta, saya minta maaf. Jasnya memang sudah saya cuci, tapi belum bisa saya kembalikan. Kancingnya tak sengaja saya rusak. Saya benar-benar minta maaf!” Aku mengatakan itu dengan satu tarikan napas, juga kedua tangan yang menangkup di depan wajah. Ada perasaan takut sekaligus lega karena akhirnya aku bisa jujur. Selama ini aku diam bukan karena tidak peduli dengan jas itu, tetapi lebih karena aku belum menemukan solusi. “Kamu tahu harga jas itu berapa?” “Saya tahu kisarannya. Yang jelas, lebih dari harga dua motor saya ketika baru.” Aku menyahut cepat. “Pak Dipta mau minta ganti rugi, kah? Saya beneran enggak sengaja.” “Jasnya buat kamu saja.” “Eh?” Kali ini kuberanikan menatap balik Pak Dipta setelah sebelumnya aku terus menunduk takut-takut. “Sebenarnya jas itu masih baru, bahkan baru saya pakai hari itu juga. Mama yang beliin khusus untuk acara perkenalan waktu itu.” “Terus kenapa dikasihkan ke saya? Kalau Bu Dean nanyain bagaimana?” “Tinggal saya jawab, jasnya sudah saya kasihkan ke calon mantu Mama. Beliau pasti langsung cari kamu.” Aku mendelik. “Pak Dipta yang benar saja! Tolong, jangan libatkan Bu Dean. Lebih baik saya ganti yang baru meski tabungan saya harus terkuras habis.” “Tapi setahu saya, jas itu sudah lama sold out karena stok sangat terbatas.” Kepalaku mendadak pening bukan main. Aku masih bisa mengatasi hal ini kalau hanya berhubungan dengan Pak Dipta. Tapi kalau sudah dengan Bu Dean? Aku menyerah! Apa pun yang berhubungan dengan Pak Dilan ataupun Bu Dean, aku akan memilih untuk mundur teratur. Dari jauh saja, nyaliku sudah ciut ketika melihat mereka berdua. “Bagaimana kalau saya kembalikan jasnya dalam keadaan apa adanya sekarang? Sebagai gantinya, Pak Dipta bisa minta ganti rugi dengan bentuk lain. Entah dengan apa pun.” “Yakin apa pun?” “Maksud saya, apa pun di sini tetap ada ketentuan. Pertama, tidak merugikan saya dalam segala aspek. Kedua, masih bisa dicerna akal. Ketiga, senilai.” Detik itu juga Pak Dipta langsung mengangguk setuju. “Oke, deal!” Aku tersenyum lega. “Jadi saya ambilkan jasnya sekarang, Pak?” “Iya.” “Tunggu sebentar ...” Aku buru-buru keluar mobil, lalu segera masuk gerbang dan naik menuju lantai dua tempat kamarku berada. Setelah masuk kamar, aku meraih salah satu paper bag dan memasukkan jas milik Pak Dipta ke dalam sana. Begitu selesai, aku kembali turun. “Ini, Pak ...” aku mengulurkan paper bag dan Pak Dipta segera menerimanya. Dia sudah keluar dari mobil dan bersandar pada sisi kiri. “Sekali lagi saya minta maaf.” “Iya. Jaketnya kamu bawa dulu. Jangan dirusak lagi kalau kamu tidak ingin ganti rugi untuk yang kedua kali.” “Padahal saya enggak pernah minta dipinjami jaket,” sahutku pelan. “Tapi kamu merasa nyaman dengan jaket itu—“ “Enggak semua asumsi Pak Dipta selalu bernilai benar.” “Tapi kali ini saya benar.” “Salah—“ “Kamu berbohong lagi!’ Aku mengembuskan napas pasrah karena sepertinya tidak ada gunanya aku meladeni perdebatan ini. Aku segera membuka pintu mobil bagian belakang untuk mengambil barang belanjaan. “Terimakasih untuk tumpangan dan traktirannya, Pak. Permisi ...” Aku menunduk sejenak, lalu buru-buru membuka pintu gerbang. Aku hanya sempat melihat Pak Dipta mengangguk, tak peduli dia mau membalas ucapanku atau tidak. Sesampainya di lantai dua, kulihat mobil Pak Dipta belum juga pergi. Awalnya aku tidak ingin tahu dengan apa yang dia lalukan kenapa berlama-lama di sana. Namun, aku reflek berhenti setelah melihat ada dua perempuan berdiri di depannya. Kalau tidak salah lihat, dua perempuan itu adalah tetangga kos lantai bawah. Aku terdiam cukup lama, dan kulihat mereka asik bicara. Hal ini dibuktikan dengan tawa renyah dari salah satu tetangga kosku. Melihat itu, aku mencibir pelan dan segera masuk kamar sambil membanting pintu. Tak berselang lama kemudian, tiba-tiba ponselku bergetar dua kali. Ternyata ada pesan masuk dari Pak Dipta. 0857xxxxxxxx Jangan lupa save nomor saya, Rin. Kalau tidak, kamu akan menyesal. Aku menggeram tertahan membaca pesan itu. Agar tak panjang urusan, aku segera membalas ‘Iya, Pak’. Aku menimbang-nimbang beberapa saat sebelum akhirnya aku menamai nomor Pak Dipta dengan julukan yang sangat pantas dengannya. ‘Kentut Buaya’. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD