Pagi ini timku tiba-tiba kedatangan karyawan baru. Aku cukup terkejut karena sebelumnya tidak ada pemberitahuan apa pun dari Mas Emran. Karyawan baru itu bernama Mira, dan dia masih fresh graduate. Aku dengar dia lulusan terbaik di universitasnya.
“Salam kenal, Kak Karin. Nama saya Mira. Mohon bantuannya.” Dia memperkenalkan diri dengan sopan, jadi aku juga menyambutnya dengan baik.
Berbeda denganku, Mega dan Kiki justru terlihat tidak suka dengan Mira. Aku sudah menegur mereka, tetapi mereka malah mengabaikanku.
Mira ini cantik dan memiliki badan mungil. Mungkin tingginya hanya se-telingaku. Tidak ada kesan buruk pada wajahnya, jadi aku heran kenapa Mega dan Kiki tampak tak menyukainya.
“Sok imut banget, anjir!” Kiki berseru kesal ketika melihat Mira keluar ruangan hendak menuju toilet.
“Emang dia imut kali, Ki.”
“Enggak!” Kiki menyahut ketus sambil berjalan ke arah mesin fotokopian.
“Kamu kenapa, sih, Ki?”
“Jujur, gue enggak suka aja.”
“Lah, aneh. Kalian kenal aja baru hari ini.”
Kiki mengedikkan bahu tak peduli.
“Saranku, kita jangan ikut-ikutan sama senior kita dulu yang sok-sokan. Bukannya di awal kita udah janji buat enggak macem-macem sama orang satu tim? Ingat, kita sama-sama anggota yang terbuang.”
“Sebenarnya kita ini dipilih, Rin, tapi kesannya kaya dibuang. Asem banget emang!” Mega berdecak kesal.
Aku tersenyum. Apa yang diucapkan Mega memang benar. Aku pernah bilang, kan? Tim kami ini sebenarnya orang-orang terpilih. Namun Sayangnya, kepergian kami dari tim lama seolah disambut meriah, jadi kesannya kami ini seperti anggota yang tak diharapkan.
Sejak saat itu, kami berempat berjanji akan saling menguatkan satu sama lain. Aku berani jamin, tim kami pasti menjadi salah satu tim yang paling harmonis dalam sejarah perusahaan ini berdiri.
“Ya udah, intinya jangan terlalu nunjukin kalau enggak suka. Yang biasa-biasa aja.”
“Hm!”
Tepat setelah itu, Syarif masuk ruangan. Dia baru saja dari ruangan Mas Emran untuk menyerahkan laporan harian.
“Rin, disuruh ke ruangan Mas Emran,” ucap Syarif setelah duduk dan menegak air mineralnya.
“Loh? Kan aku udah nitip kamu, Rif.”
“Bukan tentang laporan kayaknya. Entah, gue cuma disuruh manggil lo.”
“Ya udah. Thanks, ya!”
“Ya!”
Aku segera berdiri dan bergegas menuju ruangan Mas Emran. Tepat ketika aku baru saja keluar, Mira terlihat sudah selesai dari toilet. Dia tersenyum ramah, jadi aku langsung membalasnya. Anak ramah begini kok bisa-bisanya Mega dan Kiki tidak menyukainya.
Tok tok tok!
“Mas Emran ... panggil aku, kah?” tanyaku pelan setelah melongokkan kepala.
“Iya, Rin. Masuk!”
“Oke, Mas.”
Tampaknya, Mas Emran sedang tidak banyak kerjaan. Itu bisa dilihat dengan dia yang tampak santai, seolah memang sedang menungguku datang ke ruangannya.
“Ada apa, ya, Mas?”
“Duduk dulu. Santai aja, jangan tegang.”
Aku meringis. “Laporanku udah dikumpul bareng Syarif tadi, Mas.”
“Siapa pula yang mau bahas laporan?”
“Jadi?”
Kini Mas Emran menegakkan badannya, lalu tatapannya mendadak jadi serius. “Rin,”
“Iya, Mas?”
“Apa pendapatmu tentang dipromosikan?”
“Eh?” mataku melebar karena kaget. “D-di promosikan? Terus Mas Emran?”
Mas Emran tersenyum. “Jawab dulu. Apa pendapatmu tentang dipromosikan?”
“Ya bagus, to, Mas. Siapa yang enggak mau dipromosikan? Memangnya kenapa kok tiba-tiba bahas ini?”
“Aku mau pindah ke cabang Surabaya.”
“Hah? Kok mendadak?”
“Gini, gini ... ini sebenarnya enggak mendadak. Udah dari beberapa bulan lalu, aku sama istri memang udah berencana menetap di Jawa Timur. Kebetulan istriku hamil—“
“Hamil? Wahhh! Selamat Mas Emran!” saking senangnya mendapat kabar itu, aku sampai tidak sadar sudah memotong kalimat Mas Emran. Aku tahu, dia sudah menunggu kehamilan istrinya cukup lama, jadi kabar ini jelas sangat membahagiakan untuknya. “Maaf, Mas. Malah heboh.”
“Enggak papa. Makasih, ya. Nah ... ngomong-ngomong hamil, aku enggak tega biarin istriku sendirian di kontrakan. Dia kan sempat resign, jadi sekarang enggak kerja. Kebetulan juga, di rumahnya yang jawa Timur cuma ada Ibu sama adik perempuannya yang masih SMP. Bapak mertuaku sudah meninggal. Jadi, kami sudah sepakat untuk pindah ke sana.”
“Rumahnya itu mana to, Mas?”
“Sidoarjo.”
Aku meringis. “Aku enggak asing sama nama kabupaten di Jawa Timur, tapi enggak tahu pasti letaknya.”
“Intinya, rumah istriku itu Sidoarjo-nya udah dekat sama Surabaya.”
“Ah ... jadi Mas Emran mau resign, kah?”
Mas Emran mengangguk. “Iya, tapi enggak dibolehin sama Pak Dilan.”
“Loh, terus?”
“Aku disuruh megang kantor cabang Surabaya. Kebetulan pihak atasan sana ada yang mau resign juga, jadi istilahnya aku gantiin.”
“Malah bagus itu, Mas.”
“Iya, betul. Aku kan ngajuin resign-nya sama Pak Dilan langsung karena Pak Dipta saat itu lagi sibuk bolak-balik Singapura. Nunggu jawaban aja butuh hampir tiga minggu.”
Aku tidak heran dengan ini. Aku memang sering dengar kalau mau resign dari kantor ini butuh waktu sedikitnya satu bulan dari awal mengajukan sampai benar-benar diperbolehkan keluar. Kebanyakan malah lebih dari itu.
“Dan setelah tiga minggu, malah enggak dibolehin?”
“Iya, Rin. Sama sekali enggak dibolehin awalnya. Aku jelasin semuanya, dan akhirnya alternatifnya dipindah ke sana.”
Aku diam, karena bingung harus menanggapi apa lagi. Mas Emran pasti sudah dikenal baik oleh Pak Dilan sampai sebegitunya dia ditahan.
“Kembali ke yang tadi, Rin. Itu pun, aku dibolehin pindah setelah aku merekomendasikan pengganti. Pak Dilan minta dari anak buahku aja, karena ibaratnya kita berlima kan paling paham sama seluk beluk produk baru yang dari awal kita kelola. Nah, aku pilih kamu. Aku merekomendasikan kamu buat dipromosiin.”
Tiba-tiba aku merasa campur aduk. Ada perasaan senang, sedih, takut, dan lain-lain.
“Apa aku pantas, Mas?”
“Sangat pantas, Rin. Aku pilih kamu karena track record-mu paling bagus di antara yang lain. Mau, ya?”
“Terus yang lain gimana? Aku enggak enak.”
“Itu biar jadi urusanku yang ngasih tahu mereka. Kamu diam saja. Lagipula, aku yakin mereka pasti paham kenapa aku pilih kamu. Enggak ada yang bisa ngalahin rajinnya seorang Karin Shayena.”
Aku tertawa pelan. “Makasih banyak, Mas.”
“Sama-sama. Itulah kenapa hari ini Mira datang. Dia gantiin kamu, sementara kamu gantiin aku.”
Entah kenapa, tiba-tiba mataku agak memanas. Aku tidak menyangka kalau aku akan dipromosikan secepat ini. “Mas Emran ...”
“Kamu pantas, Rin. Tenang aja, nanti aku baru benar-benar pergi setelah kamu resmi naik jabatan. Dari awal aku udah janji kalau aku akan bertanggungjawab sama anak buahku sampai akhir.”
Aku mengangguk. “Sekali lagi terimakasih banyak, Mas.”
“Iya, sama-sama.”
***
Mas Emran benar-benar menyuruhku untuk merahasiakan tentang rencana aku yang akan dipromosikan sampai dia sendiri yang mengatakan pada Mega, Kiki, dan Syarif. Aku setujui saja, karena aku sendiri juga tidak enak dengan mereka.
Jujur, meski aku sempat merasa nano-nano, tetapi perasaan senang adalah yang paling mendominasi. Aku bangga dengan diriku sendiri. Aku tahu, salah satu kelebihan aku dipromosikan lebih cepat karena timku adalah tim baru. Jadi, sangat masuk akal ketika Pak Dilan meminta Mas Emran mecari pengganti dari anak buah saja.
“Rin, Rin! Pak Dipta sama cewek, Rin!” aku langsung tersadar dari lamunan ketika Mega tiba-tiba menyenggol lenganku cukup kuat. Aku segera menoleh ke arah mana tatapan Mega, dan ternyata benar, saat ini kulihat Pak Dipta sedang berjalan bersama perempuan yang berpakaian sangat rapi.
Mereka berhenti di samping mobil merah yang terparkir di halaman. Aku langung tersenyum getir ketika melihat Pak Dipta membukakan pintu mobil untuk perempuan itu, bahkan tangannya terulur seolah ingin melindungi kepala si perempuan barangkali terjedot.
“Dasar Kentut Buaya!” makiku pelan.
“Apa, Rin?”
“Hah? Apa? Aku enggak ngomong apa-apa!” aku menggeleng, lalu kembali berjalan menuju lift.
“Lah? Kok malah ninggalin?” Mega berlari mengejar, lalu kami naik lift bersama. Ngomong-ngomong, kami baru saja dari fotocopy-an untuk membeli materai karena persediaan materai di ruangan kami sedang habis.
Selama naik lift, aku terus teringat cara Pak Dipta membukakan mobil dan bagaimana dia terlihat melindungi bagian atas menggunakan tangannya. Itu persis sama dengan apa yang dia lakukan padaku ketika di Seoul.
Dih! Pantas saja dia mulus sekali menggodaku. Ternyata memang ahlinya!
Dan apa katanya malam itu? Dia akan membuatku tidak bisa lepas darinya barang sedetik pun? Mimpi saja, sana! Tidur Pak Dipta tidak hanya terlalu miring, tetapi sudah sampai taraf menggelundung dan jatuh ke lantai.
“Rin? Kok materainya malah kamu remas?”
“Apa—eeeh!”
“Kariiin! Masa iya kita harus balik ke fotocopy-an lagiiii?”
Aku langsung berlari keluar begitu pintu lift terbuka. Saat ini, Mega Si Manusia Purba terlihat sudah siap hendak menelanku hidup-hidup.
***
“Kariiin!”
Aku berjengit kaget ketika tiba-tiba ada seseorang berteriak dari luar kamar. Saking kagetnya, liptint yang sedang aku pakai sampai kebablasan. Aku buru-buru mengambil tisu dan segera keluar kamar.
“Ada apa, Mbak La?” tanyaku begitu melihat Mbak Laila, tetangga kos yang baru saja memanggilku. Aku sudah hafal betul dengan suaranya.
“Ada yang nyariin kamu.”
“Siapa?”
Mbak Laila menunjuk bawah, tepatnya ke arah luar gerbang. “Tuh! Dia siapa, Rin? Kok ganteng?”
Mataku seketika menyipit, dan begitu orang itu melambaikan tangan, bola mataku rasanya hampir keluar. “P-pak Dipta?”
“Pacarmu, Rin?”
“B-bukan, bukan! Aku pakai baju dulu!”
Aku buru-buru masuk kos dan menutup pintu kuat-kuat. Pasalnya, aku baru saja keluar kamar hanya mengenakan kimono mandi. Kupikir panggilan Mbak Laila hanya sekedar iseng karena dia biasanya suka begitu. Terkadang secara random tiba-tiba membelikanku makanan, terkadang pula dia hanya manggil-manggil tidak jelas. Aku kenal dekat dengan Mbak Laila karena kami sudah menjadi tetangga kos selama satu tahun lebih.
“Barusan Pak Dipta lihat enggak, ya?!” Di depan kamarku memang ada pembatas, tetapi bentuknya seperti jeruji. Aku harap itu sudah cukup untuk menutupi penampilanku.
Drrrrt!
Tiba-tiba saja, ponselku berdering. Aku buru-buru meraihnya, dan ternyata ada pesan dari nomor baru.
0857xxxxxxxx:
Rin, cepat turun!
Kita kencan malam ini.
Aku menganga membaca pesan itu. Ini jelas Pak Dipta. Orang ini gila, ya? Salain gila, apakah dia juga penguntit?
Aku memang berencana keluar setelah ini, tetapi aku sedang ingin sendiri. Rencananya aku ingin belanja banyak hal, makanya aku rela sedikit dandan barangkali bertemu banyak orang.
Aku berganti pakaian cepat-cepat, lalu menyambar tas dan segera keluar. Aku bahkan sampai berlari menuruni tangga. Aku begini bukannya tidak sabar ingin ‘berkencan’ dengan Pak Dipta, tetapi aku justru ingin segera melayangkan protes padanya.
“Pak Dipta! Wah ... Bapak ini penguntit, ya?” tanyaku dengan suara keras, bahkan sebelum aku benar-benar keluar dari gerbang.
“Saya bukan penguntit. Ini pertama kalinya saya ke sini. Kosmu ternyata lumayan. Saya jadi ada rencana mau buat kos-kosan. Kayaknya bagus untuk passive income masa tua kita.”
“K-kita? ... ... ” Aku benar-benar kehabisan kata-kata. “Pak Dipta tahu kos saya dari siapa?”
“Rahasia. Dan itu mudah buat saya tahu tempat tinggalmu.”
“Pak Dipta tahu? Ini menakutkan!”
“Kenapa menakutkan? Saya hanya ingin tahu di mana kamu tinggal, bukan ingin macam-macam. Macam-macamnya lain kali saja. Kalau kita sudah menikah.”
Oh, ya ampun! Aku benar-benar tidak tahu harus membalas apa lagi.
“Terserah Pak Dipta aja kalau gitu. Bapak lebih baik pulang karena habis ini saya mau keluar—“
“Biar saya antar.”
Aku menggeleng keras. “Saya tidak mau.”
Aku sudah bertekad untuk tidak mudah termakan rayuan Pak Dipta. Dia benar-benar terlihat seperti playboy yang sudah terbiasa mempermainkan hati perempuan. Memangnya dia kira aku cewek gampangan?
Dia salah besar!
“Bapak pulang saja. Saya benar-bena ada keperluan di luar—“
“Rin, yang barusan saya hanya bercanda. Saya ke sini karena ingin mengajak kamu makan.” Kali ini suara Pak Dipta terdengar lebih rendah dan serius. “Dan sebelum itu ... ayo kita berteman!”
Tanganku yang sudah memegangi pintu gerbang hendak masuk mengambil motor, seketika berhenti. Aku balik badan dan kembali menatap Pak Dipta.
“Berteman?”
Pak Dipta mengangguk pasti. “Iya. Ayo berteman!”
“Mana bisa begitu, Pak—“
“Kenapa tidak bisa begitu?”
“Mana bisa karyawan berteman sama atasan—“
“Asal kamu tahu saja, Gilang sekretaris Papa itu teman SMA saya. Di kantor dia bicara formal dengan saya, tapi di luar ya tidak. ”
Aku terdiam.
Sebenarnya, poin utamanya bukan itu. Bagaimana mungkin aku berteman dengan Pak Dipta? Kalau Mas Gilang memang teman lamanya, itu beda cerita. Mereka berteman dulu baru jadi atasan dan bawahan. Sedangkan aku?
“Rin—”
“Pak, saya beneran enggak bisa.”
Mata Pak Dipta setengah memicing. “Berteman pun tidak bisa? Baru kali ini saya tahu ada orang yang terang-terangan menolak diajak berteman. Kamu betulan tidak mau jadi teman saya? Atau kamu maunya jadi teman hidup saja?”
“Pak!”
“Apa?”
Sepertinya, aku tidak punya pilihan lain selain mengiyakan. Kalau tidak, aku takut Pak Dipta akan lebih nekat lagi. Belum-belum saja, dia sudah berani mendatangi kosku!
“Ya sudah, tapi dengan satu syarat.”
Pak Dipta tersenyum. “Apa itu?”
“Saya minta, kalau di kantor Pak Dipta harus professional. Jangan ada lagi ngajak saya ke atap tiba-tiba, jangan ada lagi nyamperin saya di parkiran, jangan ada pula menunjukkan hal-hal yang membuat saya jadi tidak nyaman dengan karyawan lain. Bisa, kan, Pak?”
Pak Dipta masih tersenyum, lalu dia mengangguk. “Saya usahakan.”
“Saya maunya Pak Dipta janji.”
“Saya tidak bisa berjanji kalau saya sendiri tidak yakin, tapi saya akan berusaha mengabulkan syarat dari kamu. Saya akan berusaha mengingat itu.”
Entah kenapa, kalimat Pak Dipta yang ini membuatku berdebar, bahkan lebih mendebarkan daripada ketika dia terang-terangan mengajakku berkencan.
“Hanya berteman, ya, Pak?”
Tiba-tiba saja, Pak Dipta berjalan ke samping kiri mobil dan membuka pintu bagian depan. “Iya, hanya berteman. Ayo, masuk! Saya ajak kamu makan ke tempat yang enak.”
“Tapi, malam ini saya maunya makan makanan yang berkuah.”
Pak Dipta tertawa pelan. “Iya. Kebetulan, restoran yang ingin saya tunjukkan ke kamu memang kebanyakan menunya berkuah.”
“Tapi bayar sendiri-sendiri.”
“Iya.”
Rasanya aku tidak tega membiarkan Pak Dipta terus berdiri di sisi kiri mobil dengan pintu yang sudah terbuka. Aku menghela napas pelan, lalu akhirnya berjalan mendekat.
“Hanya di luar kantor.” Aku mencoba menekankan sekali lagi.
“Iya, Karin ...”
Aku mengangguk pelan, lalu akhirnya masuk ke dalam mobil. Baru saja aku hendak menarik sabuk pengaman, tiba-tiba Pak Dipta sudah lebih dulu meraih benda itu. Aku reflek menahan napas karena posisi kami jadi sangat dekat.
Napasku semakin tercekat saja ketika Pak Dipta menoleh dan hidung kami nyaris bersentuhan. “Selama keluar, anggap saja saya adalah ‘Mas Riga’ yang kamu temui di Seoul. Jadi, kamu bisa lebih santai. Oke?”
***