***
Wellington, New Zealand...
Mansion Blaxton...
"Aku mencintai Caroline, Dad. Sangat!"
Gabriel menatap lekat wajah datar dan dingin pria paruh baya yang berdiri di depannya saat ini. Pria yang barusan ia panggil 'Dad', ini adalah Ayah dari gadis yang ia cintai. Pria ini juga adalah sosok yang sangat Gabriel sayangi dan hormati. Dia adalah Morgan Grey Blaxton.
"Tolong urungkan niatmu. Aku mohon, batalkan pernikahan Caroline." mohonnya kepada Morgan.
"Kita sudah pernah membahas hal ini berulang kali, Gabriel. Dan Dad sangat yakin kamu tahu bahwa keputusan Dad sudah bulat. Dad tidak akan membatalkan apapun termasuk pernikahan Caroline." timpal Morgan keras kepala.
"Kami bukan saudara kandung, lalu apa alasanmu tidak membiarkan Caroline bersamaku, Dad? Apa ini semua tentang semua musuh-musuh kita?"
"Biarkan Caroline hidup dengan pria lain." putus Morgan.
"Kau yakin, lelaki pilihanmu bisa menjaga Caroline?" tanya Gabriel.
"Alex bukan dari keluarga yang biasa. Aku percaya dia menjaga Caroline." ucap Morgan yakin.
Gabriel mengangguk pelan beberapa kali. Kembali mendapatkan penolakan dari Morgan, lantas membuatnya semakin kecewa.
"Baiklah. Kalau begitu, aku permisi." pamit Gabriel. Ia mundur beberapa langkah, kemudian memutar tubuhnya dan melenggang pergi.
"Gabriel…," panggil Morgan.
Lelaki itu sontak menghentikan langkah. Gabriel tetap di posisinya berdiri membelakangi Morgan.
"Dad harap kau tidak akan mengecewakan kami semua." ucap Morgan.
Sebelum menjawab, Gabriel memutar tubuhnya, kembali menghadap ke arah Morgan. "Maaf, aku tidak bisa berjanji." balasnya.
Jawabannya tersebut lantas membuat Morgan mengerasakan kedua rahang sembari menatap tajam pada Gabriel.
Sementara Gabriel, lelaki itu kembali melanjutkan langkah keluar dari ruang kerja Morgan.
Gabriel Emerson William's, pria dewasa berusia 31 tahun merupakan putra sulung dari pasangan Gamal William's dan Megan Eazlyn Blaxton.
Di usianya yang sudah kepala tiga, Gabriel tidak pernah membawa atau memperkenalkan satu orang gadis pun kepada orangtua dan keluarganya.
Selama ini, Gabriel bukannya tidak pernah dekat dengan seorang wanita. Hanya saja, ia tak berniat membawa dan memperkenalkan mereka kepada orangtua dan keluarga, sebab Gabriel tidak pernah yakin dengan perasaannya terhadap wanita lain.
Karena satu-satunya gadis yang menguasai hati dan pikirannya hanyalah Caroline Leanna Blaxton, putri bungsu dari pasangan Morgan Grey Blaxton dan Celine Catherine Brich. Itu artinya, Caroline adalah adik sepupunya Gabriel.
Dan barusan, untuk yang kesekian kalinya, Gabriel kembali memohon kepada Morgan supaya mau merestui dirinya bersama gadis itu. Gabriel memohon supaya Morgan mau membatalkan pernikahan Caroline dengan pria bernama Axel Beatrice Addison.
Sementara tinggal beberapa hari lagi, Caroline akan resmi dipersunting oleh Axel. Hal itu semakin membuat Gabriel frustasi karena akan kehilangan gadis-nya. Gadis yang sangat ia cintai.
Sedangkan Morgan, alasan pria itu tidak menyetujui putrinya bersama Gabriel, karena ingin menghindari sang putri dari mara bahaya dan incaran musuh.
Sebab mau bagaimana pun, selain menjabat sebagai Direktur Utama di perusahaannya sendiri, William's Corporation, Gabriel juga bagian penting TDB-13 yang saat ini telah dipimpin oleh putra sulung Morgan.
TDB-13 adalah sebuah klan Mafia yang sangat disegani dan ditakuti di kota ini dan berbagai negara semenjak di pimpin oleh Morgan.
Morgan sebagai seorang Ayah hanya menginginkan yang terbaik untuk putrinya. Dan pria yang menjadi pilihannya saat ini adalah pria yang terbaik menurut Morgan untuk mendampingi putrinya.
Caroline Leanna Blaxton, gadis yang kini masih berusia 21 tahun, adalah sosok yang sedikit pendiam, lemah lembut persis seperti Ibunya. Namun karena ia lahir sebagai seorang Blaxton, tentunya Caroline tidak sepolos wajahnya.
Gadis itu juga memiliki kelebihan lain dan menguasai ilmu bela diri, bahkan sangat mahir dalam memainkan senjata api. Dan selama ini yang melatih Caroline tidak hanya Ayahnya dan kakak sulungnya, Lucas.
Tetapi juga Gabriel. Bahkan ia lebih sering dan banyak menghabiskan waktu berlatih bersama pria itu. Sehingga Caroline sendiri mulai merasakan perasaan-perasaan aneh dalam hatinya.
Entah, apakah ia mencintai Gabriel atau tidak, Caroline sendiri belum cukup memahami bagaimana perasaannya. Ia belum bisa menyakinkan hatinya dan oleh sebab itu, Caroline menerima perjodohan dari Ayahnya.
Bukan itu saja alasan Caroline menerima perjodohan itu. Tetapi karena ia tidak ingin mengecewakan pria yang sangat disayanginya itu.
_¤_
Usai makan malam bersama, Caroline bergegas naik ke lantai dua, tempat kamarnya berada.
"Cla…," gumam Caroline saat melihat kakak kembarnya keluar dari dalam lift.
Gadis bar-bar itu, Clarissa, terus melangkah dan berhenti tepat di depan adik kembarnya.
"Kamu dari mana saja?" tanya Caroline.
"Dari taman." jawab Clarissa.
Caroline tampak mengerutkan kening. "Apa yang kamu lakukan di taman? Sampai-sampai tidak ikut makan malam bersama dengan kami semua."
Sejenak Clarissa mendesah pelan. "Aku sudah makan."
"Kapan? Dimana? Di taman?" tanya Caroline beruntun sambil menatap tak percaya pada kakaknya.
"Hem. Aku ditemani kak Gabriel." jawab Clarissa.
Deg!
Caroline tertegun. Sementara Clarissa kembali melangkah hendak menuju kamarnya.
"Cla…! Clarissa, tunggu!" Caroline menarik lengan kakaknya sehingga tak ayal membuat gadis itu kembali menghentikan langkah.
"Kamu suka sama kak Gabriel?"
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh adik kembarnya ini, lantas membuat Clarissa terkekeh pelan.
"Kalau iya, memangnya kenapa? Penting buat kamu?" tanya Clarissa terdengar sinis.
Caroline terdiam.
"Atau kamu cemburu? Kalau iya, sebaiknya katakan pada Dad supaya pernikahanmu segera dibatalkan. Waktumu tinggal besok, Carol." ujar Clarissa.
Caroline mundur perlahan sambil bergumam pelan. "Aku tidak bisa." ia menggeleng pelan. "Aku tidak mau Dad kecewa."
Clarissa memutar malas bola matanya. "Terserah!"
Clarissa lanjut melangkah menuju kamarnya, begitupun dengan Caroline. Kedua gadis itu masuk kedalam kamar masing-masing dan tidak lupa mengunci pintu.
_¤_
"Kamu sedang apa sekarang, Xel?" tanya Caroline pada calon suaminya lewat panggilan telepon.
Caroline berbaring di atas ranjangnya dengan posisi tengkurap. Sedangkan tangan kirinya memegang ponsel yang menempel di telinga.
"Tidak ada. Kebetulan aku baru saja masuk kamar." jawab pria berusia 28 tahun itu. Axel.
"Memangnya habis dari mana?" tanya Caroline lagi.
"Dari ruang kerja Dad, sayang." jawab Axel.
Mendengar panggilan 'sayang' dari calon suaminya itu, lantas membuat Caroline tersenyum, namun tidak dengan perasaannya. Tidak ada getaran atau rasa apapun disana.
"Dua malam lagi, kita akan tinggal bersama. Kamu sudah siap?" tanya Axel.
"Siap untuk apa?" Caroline balik bertanya sehingga tak ayal membuat Axel tertawa pelan.
"Ya, apa saja. Mungkin tinggal bersama denganku. Kita serumah, sekamar, setiap hari bertemu, lalu kita berkencan, berpacaran dan ada banyak keseruan lainnya lagi." terang Axel.
"Yeah, mau tidak mau aku memang harus siap, Xel." balas Caroline.
"Jawabanmu seperti orang yang sangat tertekan sekali." gumam Axel.
"Tidak juga. Setidaknya kamu adalah pria yang baik dan yang terpenting mau mengerti. Kamu bukan pria yang suka memaksa, makanya aku nyaman bersamamu." ujar Caroline.
Ditengah obrolan menyenangkan dengan calon suaminya itu, tiba-tiba Caroline melarikan pandangan ke arah pintu kamarnya. Ia mengerutkan kening saat melihat handle pintu terus bergerak.
Sepertinya ada orang yang menekannya dari luar. Dan tak berselang lama, Caroline lantas membelalak kedua mata saat melihat pintu terbuka lebar.
Disana Gabriel berdiri menjulang.
"Xel, aku tutup dulu. Perutku sakit sekali" dustanya pada Axel karena melihat Gabriel masuk kedalam kamarnya. Caroline langsung memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Axel.
Caroline menggulingkan tubuhnya, kemudian bangkit dari atas panjang dan berdiri disamping ranjang. Sementara Gabriel, pria itu mulai melangkah menghampirinya. Tidak lupa pintu kamar sudah dikunci kembali oleh pria itu.
"Kak Gabriel? Apa yang kamu lakukan disini?" gumam Caroline dengan suara tercekat. Tentu saja ia terkejut saat tiba-tiba pintu kamarnya berhasil dibuka oleh Gabriel, padahal sebelumnya ia sudah menguncinya.
"Kau sudah makan?" tanya Gabriel. Suaranya pelan terdengar serak. Jujur saja, Caroline sangat menyukainya.
"Sudah." jawab Caroline pelan.
Gabriel mengangguk pelan beberapa kali. Ia membawa sebelah tangan kearah wajah Caroline dan mengusap lembut garis wajah cantik itu.
"Tinggal satu hari lagi. Kau yakin dengan perasaanmu? Sudah yakin dengan keputusan yang kau ambil?" tanya Gabriel.
Caroline tidak menjawab, gadis itu hanya mengangguk pelan beberapa kali.
"Kau mencintai Axel?"
"Aku akan belajar mencintainya." jawab Caroline pelan.
"Itu artinya, belum." gumam Gabriel.
Gabriel menatap lekat wajah cantik adik sepupunya itu. Wajah yang sangat amat ia kagumi selama ini. Wajah yang selalu memenuhi hati dan pikirannya.
"Ya sudah. Istirahatlah. Ini sudah malam. Calon pengantin tidak baik tidur terlalu malam." ucap Gabriel.
Caroline sontak tertegun bersamaan dengan kedua mata terpejam saat Gabriel mendekat dan mengecup keningnya.
'Hanya jawaban itu yang ingin aku dengar, Carol. Kau belum mencintai Axel!' monolog Gabriel dalam hati.
"Kak…," Caroline menahan lengan kekar Gabriel. "Apa yang akan kau lakukan? Apa rencanamu sebenarnya?"
Sejenak, Gabriel melirik jari-jari lentik itu mencengkram lengannya. Kemudian ia membuka suara.
"Aku tidak akan melakukan apapun, dan tidak ada rencana apapun." jawab Gabriel. "Kenapa? Apakah kau berharap akan ada rencana manis dariku?" ia mengangkat sebelah alisnya menatap wajah cantik Caroline.
Gadis itu refleks melepas cengkramannya dari lengan Gabriel.
"Keluar. Aku mau istirahat." usirnya pada pria itu.
Sial! Ia mendadak salah tingkah saat mendengar kalimat terakhir Gabriel barusan.
Sedangkan Gabriel, ia terkekeh pelan, kemudian bergegas keluar dari kamar gadis itu, khawatir jika sampai ada yang melihatnya. Apalagi kalau sampai di pergoki oleh Morgan.
Pria paruh baya itu sudah pasti akan menembaknya langsung.
"Good night, Princess!" Gabriel menoleh sebelum menutup pintu kamar dan mengedipkan sebelah mata genit pada Caroline.
***