SEBUAH BERITA BAG. 2

1041 Words
"Aisha!" Orang itu menepukku, akupun balik menepuknya dengan spontan. Tanpa kusengaja. Sejak dulu aku suka kagetan. Karena sikapku itu, aku selalu coba untuk siaga dengan banyak berzikir ataupun hapalan. Tapi, terkadang 'latah' ini sering tak terkontrol. "Allahu Akbar!" Berkat banyak menghapal, latahku itu terkadang bisa kuredam. Dan bahkan sudah jarang sekali tak terjadi ucapan reflek saat aku terkejut. Mungkin..hari ini tidak bisa terelakkan. Karena sejak tadi pun aku merasa kurang hati-hati dan konsentrasi. Hingga latah ini muncul kembali. "Allahu Akbar! TAKBIR! Allahu Akbar!" Yang kutepuk juga ikut reflek sepertiku. Jadilah kami saling menertawakan diri sendiri setelahnya. Hingga menjadi tontonan yang lain karena sama-sama latah. Ya Allah.. "Astaghfirulahaladzim! ukhti Farida?" Ukhti Farida tersenyum manis tanpa merasa bersalah sedikitpun. Dia memelukku erat seolah sudah lama sekali kami tidak bersua. "Maaf..maaf. Kebiasaan lama. Susah diatur." Aku hanya bisa menurunkan pundak sebagai bentuk rileksasi. "Ukhti bisa aja." Tiba-tiba aku merasa penasaran dengan satu hal. "Ukhti kenapa tahu kalau ini saya? Apa cadar saya kurang tertutup?" Entahlah. Belakangan ini Adam juga demikian. Walau jarang bertemu, tapi entah bagaimana dia selalu bisa mengetahuiku. Apakah aku punya sesuatu yang bisa mereka ketahui — bahwa aku adalah seorang Aisha? Seperti bau? Suara? Atau sesuatu? Aku pikir hanya Adam saja yang demikian. Tapi ternyata ukhti Farida pun bisa menebak siapa aku padahal aku tengah mengenakan niqob lengkap. Ukhti Farida mengeryit, "Nggak kok." Aku masih penasaran, "Terus? Apa saya punya bau khusus? Atau badan saya bau yah?" Ukhti Farida bahkan menghidu. Kami tertawa lagi karena tindakannya itu, "Nggak kok." "Jadi kenapa yah?" "Aku nebak aja. Kebetulan banget benar," kekehnya. Yah..bisa jadi itu benar. Cuma kebetulan. Karena aku takut, kalau orang lain dengan mudah menerkaku, itu artinya aku punya kekurangan dalam menutup diri. "Kok tumben di sini malam-malam?" Aku kembali teringat dengan tujuanku ke sini. Hampir saja aku terbuai dengan obrolan yang semu. Mataku berpendar mencari buku pengunjung. "Ukhti ngeliat Hafsah nggak?" tanyaku yang sambil lalu mengecek daftar hadir. "Hafsah? Hafsah yang mana?" "Hafsah Faqihatun. Teman sekamar Aisha." Sudah kuperiksa. Dan hasilnya nihil. Hafsah tak ada di daftar tersebut. Ukhti Farida pun memastikannya. Karena beliau penjaga perpustakaan ini. "Oh. Nggak lihat. Biasanya dia memang suka datang kemari. Tapi hari ini nggak ada." "Oh gitu," jawabku lesu. Dan sepertinya ukhti Farida menyadarinya. "Kenapa? Apa terjadi sesuatu?" Aku menggeleng samar. Karena aku juga tak tahu apa yang membuat Hafsah seolah menggindariku. Iya. Dia seperti menghindari semua orang. Lalu.. "Ah...mungkin dia ada di sana!" gumamku. "Ukhti, maaf Aisha buru-buru. Lain kali kita ngobrol yah." Untungnya ukhti Farida tak keberatan. Beliau kembali memelukku lalu mengantarku keluar dari perpustakaan. Obrolan singkat dan itu menyenangkan. Ukhti Farida selalu membuatku nyaman untuk tertawa. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku pikir tempat itu sudah lah tutup. Ternyata tidak. Yah..tempat yang aku pikir adalah tempat ternyaman untuk mengasingkan diri dan mencurahkan hati yang gelisah. Kamar konseling. Dan begitu aku sampai di sana, Hafsah baru saja keluar dari ruangan tersebut bersama ustadzah Khairi. Aku memilih bersembunyi di sebalik dinding. Entah karena apa. Setelah Hafsah benar-benar sendiri, aku mengikutinya dari belakang. Keadaan masih ramai para santriwati melakukan aktifitas rutin mereka. Sehingga Hafsah tak akan menyadari keberadaanku sejak tadi. Begitu sampai di depan asrama melati, Hafsah menghentikan langkahnya lalu memandang jauh lantai tiga, kamar kami. Dengan perlahan, aku mendekati Hafsah lalu menepuk pundaknya. Hafsah tak terkejut dengan keberadaanku dan dia langsung berhambur memelukku. "Haf—sah?" "Maafin Hafsah. Maafin Hafsah." Aku menepuk punggungnya pelan. Mencoba menenangkannya. Aku tak tahu seberapa dalam kesedihan yang Hafsah rasakan, tapi kenapa dia harus minta maaf kepadaku? "Maaf untuk apa sahabat fillahku? Kamu yang terbaik. Kamu nggak pernah buat aku kecewa apalagi marah," ujarku jujur. Hafsah menggeleng. Tapi tetap tak mengatakan apapun. Aku hanya bisa mengusap tangisnya lalu mengukir senyuman di bibirnya. (Kilas balik beberapa waktu lalu) "Dari pengagummu, Hafsah Faqihatun —" Aku melihat kertas itu sudah remuk. Lalu aku terusik dengan amplop yang tertulis nama seseorang di sana. Saat aku membacanya dengan seksama, mataku berair begitu saja. Hatiku bergejolak tak tahu ingin kutumpahkan ke mana. Di dalam mencintai, pasti ada luka yang akan menggores. Entah itu di hati kita sendiri, atau di hati orang lain. Sama seperti saat aku menolak perasaan Calvin yang seharusnya aku tahu, aku telah menanamkan luka kepadanya. Aku ingin anggap dia adalah masa lalu. Tapi ternyata perasaan itu tetap menghantuiku. Aku masih merasa bersalah. Dan sekarang, apakah cintaku ini membuat luka pada orang lain? Terlebih pada sahabatku. "Untuk...Adam." ( kilas balik selesai ) Hafsah..diam-diam juga menyukai Adam. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Selalunya, dia yang akan begitu semangat mengganggu atau menceritakan keseharian Adam. Setiap harinya..selalu tentang Adam. Tak sepertiku yang hanya menyimpan dalam-dalam rasa sukaku. Meski pada akhirnya gaung itu tersambut. "Sudah. Jangan menangis. Semua akan seperti semula. Semua akan baik-baik saja." "Assalamualaikum —" "Waalaikum salam warahma. Ustadzah Fatimah?" seruku. Ustadzah Fatimah mengeryit bingung melihat kami. Beliau juga menanyakan tentang kami yang masih berkeliaran di jam sekarang. "Maaf, ustadzah. Kami baru kembali dari perpustakaan," ujarku terpaksa berbohong. Hafsah melirikku bingung. "Hoo. Ustadzah cuma ingin menyampaikan sesuatu yang penting buat kamu Aisha." Giliranku yang mengeryit bingung. Berita penting apa lagi? Terakhir kali ada berita penting, ayah malah membuat prank tentang kematiannya sendiri. Apakah kali ini ada prank lainnya? "Berita penting apa, ustadzah?" tanya Hafsah yang juga ikut penasaran. Dan kulihat dia tak lagi menangis. "Ayah kamu. Masuk rumah sakit. Tadi bunda kamu yang telpon." "Bunda?" "Sakit apa ustadzah?" tanya Hafsah mewakili pertanyaan yang tak bisa kutanyakan. Ustadzah juga tampak khawatir. Sebelumnya dia tahu bahwa terakhir kali aku pulang, semua itu adalah akal-akalan ayah. Dan sekarang sepertinya ini sungguh-sungguh dalam keadaan darurat. Ya Allah. Ada apa ini? "Ayah kamu mengalami musibah tabrak lari di KL. Sekarang dalam keadaan koma. Bunda kamu sudah kirimkan tiket untuk kamu berangkat sebelum subuh." Ya Allah.. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘un. Allâhumma ajirnî fî mushîbatî wa akhlif lî khairan minhâ. “Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sungguh hanya kepada-Nya kami akan kembali. Ya Allah, karuniakanlah padaku pahala dalam musibah yang menimpaku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya." ........................ bersambung Hai..pembaca My destiny is yours. Jangan lupa beri komentar juga star votenya yah. Bagi yang berkenan juga boleh banget buat kasih kritik dan sarannya di ulasan. Segitu aja deh :* Sampai jumpa lagi..emuuacch ! :*:*:*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD