"Kamu bukan Aisha. Iya kan?"
Bukannya menjawab pertanyaanku, gadis berkhimar maroon dengan cadar berwarna senada itu malah kian mundur menjauhiku. Celingak-celinguk ikut mengarahkan pandangannya ke arah Aisha yang berlari kian jauh.
Aku semakin curiga. Tapi apa daya..aku tak bisa mendekatinya. Maka yang bisa kulakukan hanya menggertaknya agar mengaku. Namun tetap saja, orang itu memilih untuk menutup mulut.
"Kamu siapa?"
Akhirnya gadis itu berlari meninggalkanku sendiri yang masih dalam keadaan bingung.
Jika Aisha yang duduk dan berbincang denganku tadi, Lalu siapa orang yang membalas surat tersebut dan menyamar menjadi dirinya?
Itu artinya..
Surat itu tak sampai pada Aisha. Melainkan orang lain!
.
.
Aku belum cerita apapun dengan Andi tentang surat tersebut. Hari ini saat dia bertanya bagaimana petemuanku dengan Aisha pun hanya kutanggapi dengan senyuman saja.
Dan jadilah Andi Chaniago putera Minang ini cemberut sambil menahan rasa penasaran yang menggila.
"Macam mano? Ang ko suka sangat buat den mati berdiri."
"Mana mungkin mati karena penasaran. Orang mati karena kelaparan , penyakit dan kecelakaan," jawabku asal.
Andi memicingkan mata. Mengerucutkan bibirnya kesal. Kelakuan anak ini yang suka ngambek melebihi perempuan, terkadang menjadi hiburan tersendiri buatku. Apalagi logat bahasa daerahnya yang lucu, tingkahnya yang luar biasa petakilan, membuat nyantriku sedikit memiliki warna.
Karena memang benar apa yang digosipkan orang. Aku termasuk orang yang susah sekali bergaul. Abi pun tak mengerti kenapa aku punya kepribadian yang sangat tertutup. Tapi sejak aku kenal Andi dengan dunianya, aku jadi mengenal banyak orang. Mengenal pola pikir orang lain dan sampai pada satu kali, aku pun jatuh hati.
"Entahlah..abis ini ang ko minta tolong, den takkan tolong!"
"Nggak ikhlas nih?" ledekku. Andi mengacak rambutnya gemas. Aku tahu, rasa penasarannya pasti sudah sampai ke ubun-ubun.
Haha!
Perdebatan kecil ini tak terasa membawa kami sampai ke rumah. Malam ini Abi memanggilku pulang. Kami berangkat setelah selesai sholat isya. Tidak perlu naik angkot atau kendaraan untuk pulang.Karena rumahku cuma melewati tiga gang saja dari pondok. Sengaja aku ajak Andi menginap satu malam karena aku tahu, Andi penakut level akut.
Alhamdulillah Abi tak keberatan. Beliau senang-senang saja kedatangan tamu. Sebab ada aku pun, rumah tetap saja sunyi. Cuma kami bertiga yang tinggal di rumah sebesar ini. Lebih tepatnya, aku anak semata wayang dari pasangan Sumayyah dan Hj. Abdullah Sauki.
Begitu sampai di teras rumah, nadhoman syair jawa Pujian Subuh— Syaikunal Mukkhrom Abah Umar menyambut kedatanganku. Aku langsung beranjak ke teras samping ikut nimbrung dengan beliau yang duduk santai sambil memberi makan ikan di kolam.
Aku senang saat Abi melantunkan syair itu. Karena selain enak didengar, syair itu juga tersirat makna yang begitu mendalam.
~ Mugi Allah ngapuro ing doso kulo ( Semoga Allah mengampuni dosa-dosa saya )
~ Lan dosane tiang sepuh kaleh sulo ( Dan dosa kedua orang tua saya)
~ Lan dosane poro santri guru kulo ( Dan dosa santri-santri guru saya )
Abi sepertinya belum menyadari kedatanganku. Hingga kakak datang dengan nampan berisi makanan ringan, berseru melihatku pulang.
"Adam?"
Kakak nomor dua menyambutku begitu ceria seolah sudah lama tak bertemu. Padahal kakak bisa setiap hari ke pondok. Bahkan baru kemarin kakak datang membawa beberapa makanan untuk jatah di kamar.
Andai saja kakak tahu kalau sebenarnya semua makanan itu dihabiskan oleh Andi.
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam. Kok tiba-tiba pulang? Ada apa?"
Aku menoleh pada Abi yang selesai memberi makan ikan. Setelah bergantian salim, Abi mengajak kami duduk lesehan sambil menikmati pisang goreng yang kakakku siapkan. Aku pun tak tahu kenapa Abi menyuruhku pulang. Mungkin ada hal mendesak yang ingin Abi sampaikan padaku.
"Abi yang nyuruh —" sahut Abi atas pertanyaan Kak Fatimah barusan.
"Memangnya ada apa? Tumben?" tanya kak Fatimah yang sepertinya masih penasaran.
Abi menjawab pertanyaannya dengan candaan, "Urusan pria. Kamu ke dapur aja."
Mendengar itu tentu saja kakak gregetan sendiri. Tapi kakak bisa apa, ia langsung nurut tanpa membantah apapun. Kak Fatimah beranjak ke dapur lagi. Mungkin menyiapkan makanan lain lagi.
"Nak Andi boleh pindah dulu ke dalam?" pinta Abi serius.
Sama seperti kakak, Andi pun melesat pergi masuk tanpa di komando. Dia tidak keberatan berada di manapun. Apalagi saat aku memintanya untuk bermain game saja daripada bosan. Begitu gembiranya dia.
"Ada apa, bi?" tanyaku jadi penasaran dengan sikap Abi ini.
"Kamu ikut pelatihan pengajar?"
Aku terdiam sejenak mencari celah apakah hal ini yang membuat Abi resah?
"Iya. Apa Abi nggak setuju?" tanyaku takut-takut.
Tapi ternyata Abi tak keberatan dengan itu. Beliau malah menepuk pundakku seolah bangga dengan pilihan tersebut. Namun..
"Abi setuju saja. Tapi kenapa mendadak? Kamu ada rencana lain?"
"Abi jangan khawatir. Adam akan tetap lanjut ke Kairo. Universitas yang Abi banggakan."
Abi tampak masih belum puas. Beliau kali ini malah lebih banyak mengorek informasi dariku, padahal aku sudah mengatakan semua dengan jujur.
"Ada alasan khusus kenapa kamu menunda satu tahun daftar ke Kairo?"
Aku ragu untuk mengatakannya. Apa harus aku bilang bahwa alasanku ikut pelatihan pengajar karena ada Aisha di sana?
Tidak.
Tidak mungkin. Nanti Abi akan marah besar.
"Nggak ada, bi. Adam memang dari dulu mau coba ikut pengajar terpilih. Mengabdikan diri ke pelosok-pelosok untuk menebar dakwah. Adam berharap bisa lebih banyak menimba ilmu dan mengenal banyak orang lagi."
Abi mengangguk senang. Diseruputnya wedang jahe masih dengan keryitan di dahi yang bisa kuasumsikan bahwa lagi-lagi Abi belum mendapat jawaban dari apa yang ingin dia cari tahu.
"Ya sudah. Abi ijinkan kamu. Tapi —"
"Tapi?"
Abi menatapku serius. Kali ini aku tak bisa untuk tak gugup melihatnya seserius ini.
"— abi punya rencana lain setelah kamu ikut program pengajar. Sebelum daftar ke Kairo, kamu Abi jodohkan dengan seorang gadis."
Aku tercengang. Kenapa Abi tiba-tiba ingin menghancurkan semua mimpi yang Abi inginkan?
Apa Abi tahu sesuatu yang tidak aku ketahui?
"Ma—maksud Abi?"
"Abi dengar kalau kamu diam-diam menaruh hati pada seorang santriwati di pondok. Apa itu benar?"
Mungkin Abi sudah mendapatkan jawabannya dari caraku mendengar penuturannya itu. Aku hanya bisa tergugu dan tertunduk malu. Kemudian lamat-lamat, aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya.
Abi menghela napas panjang. Setelahnya, beliau malah menepuk kepalaku yang terlindungi sorban.
"Apa dia tahu?"
Aku menggeleng. Abi kembali buka suara, "Kalau begitu, tidak baik seperti ini. Kamu tahu tugas lelaki saat ia memantapkan pilihannya?"
"Khitbah ( lamar ) dia. Dengan tetap berada di jalan Allah," jawabku.
Abi mengangguk setuju. Beliau kembali menyeruput tehnya lalu kembali mengatakan sesuatu yang membuatku tercengang lagi.
"Lakukanlah. Jika kamu sudah merasa siap."
Aku bisa lihat bagaimana abi memancarkan sinar hangat di matanya. Aku pikir Abi akan memarahiku tentang hal ini. Tapi ternyata beliau malah mendukungku.
Apakah ini mimpi?
Apakah aku benar-benar siap dan mantap memiliki Aisha sebagai pendampingku?
Pertanyaan itu yang terus menghantuiku hingga kembali ke ponpes. Aku akhirnya menceritakan semua kepada Andi.
Dan kalian tahu, apa yang Andi lakukan? Dia langsung lompat kegirangan seperti habis mendapatkan gelar santri terbaik yang telah khatam hapalan Al-quran 30 juz.
"Tapi —"
"Tapi apo lagi? Ang ko sudah dapat restu dari kyai Sauki. Akak ang ko pun sama jugo. Nikmat Tuhan manalagi yang kamu dustakan?"
"Aku belum pantas. Aku masih harus belajar menjadi pantas agar bisa menjemput Aisha menjadi pendamping hidupku, Andi. Pernikahan bukan sebuah kompromi. Aku harus bisa menjadi sesuatu agar bisa membina rumah tangga dengan baik."
Andi geleng-geleng kepala. Ia seperti sulit menerima alasanku menunda untuk melamar gadis itu. Apalagi alasan itu pula yang aku sampaikan kepada Abi kemarin.
Dan semua terjadi begitu saja. Entah bagaimana gosip tentang perjodohanku dengan seorang santriwati beredar heboh. Semua pertanyaan tertuju kepadaku. Aku mendesak Andi untuk jujur padaku, apakah dia yang membocorkan hal ini. Tapi ternyata tidak. Justru kakak lah pangkal dari gosip ini.
Lalu..aku bisa lihat bagaimana Aisha menjaga jarak. Mungkin dia terganggu sesuatu atau memang segan dengan statusku yang baru.
Sebelum semua terlambat, akupun memberanikan diri hari ini mendekatinya setelah kajian terakhir khusus para pengajar terpilih berlangsung.
Aisha terkejut, namun tak mengelak saat aku mendekatinya. Hatiku kian memburu tak sejalan dengan bibirku yang kelu untuk mengungkapkannya.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, aku mulai menuturkan maksudku.
Untuk menenangkan hatiku.
Untuk menenangkan hatinya juga. Yang sampai kini aku tak tahu, apakah dia menaruh hati kepadaku atau tidak.
"Aku ingin menjadi pantas agar aku siap untuk mengkhitbah ( lamar ) kamu —"
Aisha terdiam. Tapi lagi-lagi dia tak menyangkal apapun. Apakah ini jawaban darinya?
"Jaga diri kamu di sini, aku pamit untuk memantaskan diri. Assalamualaikum, Aisha Sulaiman."
.
.
bersambung