~Aku ingin mencintaimu,dan tinggal lebih lama.
~Tapi, aku hanya punya sebuah koper untuk mengepak diriku jika sewaktu-waktu harus pergi.
~Tidak ada ruang untuk melarikanmu, tidak ada ruang untuk lari darimu.
(Adimas Immanuel)
#
"Dijodohin?"
Kata itu masih terus terngiang bahkan sampai berhari-hari. Pelajaran mushaf dan kajian pagi ini langsung tak ada yang lengket di kepalaku. Bahkan di pelajaran yang lain pun sama.
Aku menelan ludah susah payah saat harus menjelaskan terjemahan surah As-saffat di depan kelas. Berulang kali ustadzah Fatimah menegurku karena tak fokus.
"Kamu kenapa, Aisha? Sakit?" tanya beliau akhirnya.
Aku hanya bisa mengangguk pelan tanpa ingin menjelaskan apapun tentang apa sebenarnya yang membuat konsentrasiku hilang. Syukurlah bel istirahat berbunyi hingga aku lebih luwes lagi bergegas menuju pojok renungan.
Di pondok ini, ada satu tempat di mana para santri bisa melakukan aktifitas tanpa diganggu. Meski ada juga yang memilih mesjid ataupun perpustakaan sebagai tempat untuk menenangkan diri, Ponpes tetap menyediakan ruangan di mana para santri mencurahkan isi hatinya dengan tetap membutuhkan bimbingan.
Aku masuk setelah melihat jadwal siapa pembimbing di bilik renungan ini.Dan dari daftar itu, Ustadzah Khairi yang tengah bertugas. Beliau benar-benar ada di sana dan langsung kusapa beliau dengan salam. Tanpa ragu-ragu, Ustadzah mempersilahkan aku masuk dan duduk berhadapan dengannya yang hanya terpisahkan oleh meja kayu.
Karena hal ini bersifat pribadi, maka ustadzah tidak akan menanyakan nama kliennya. Beliau akan langsung bertanya dengan senyum di matanya.
Bisa dibilang, Ustadzah Khairi adalah seorang psikolog ponpes. Beliau sangat sabar mendengarkan dan memberi nasihat bagi santri yang berkeluh kesah dengannya. Aku sudah dua kali masuk ke bilik ini. Kali pertama aku datang karena stressnya aku dengan segala pelajaran dan kali kedua karena hal ini.
Perasaan gelisah hanya karena mendengar orang yang kusukai akan dijodohkan.
"Apa kita bisa mulai?" tanya beliau, menatapku teduh.
Aku mengangguk pelan.
"Sebenarnya, ada perasaan yang mengganggu saya selama ini, Ustadzah. Perasaan ini seharusnya bisa saya hindari tapi tetap tak bisa."
Beliau menyuruhku melanjutkan.
"Saya...jatuh cinta pada ikhwan yang belum halal untuk saya."
Ustadzah Khairi berdeham pelan. Entah apa yang terpatri di sebalik cadarnya. Yang jelas dari mata beliau, aku bisa melihat beliau melengkungkan senyum di sudut pelipis matanya. Mungkin juga senyuman di bibirnya. Entahlah..
"Lalu? Apa itu mengganggumu?"
"Iya. Saya pura-pura tak ingin berharap lebih padanya. Tapi..karena sebuah kabar burung ia akan dijodohkan, membuat saya ingin menangis."
Dan benar saja, aku benar-benar meneteskan airmata karena terlalu emosional.
Ya Allah.. Apa aku terlalu berlebihan mencintai ciptaanMu? Sungguh, aku benar-benar merasa gagal berhijrah kepadaMu. Aku masih saja memikirkan duniawi hingga melenakan tugas mendekatkan diri kepadaMu.
Ampuni hambaMu yang hina ini, Ya Rabb.
"Ustadzah..apa yang harus saya lakukan agar hati ini kembali tenang? Apa saya harus mulai menghindari dia?"
"Kamu begitu mencintainya, bukan?" tanya Ustadzah menyerahkan beberapa lembar tissue kepadaku.
Aku mengangguk lagi. Ustadzah Khairi melanjutkan, "Apa dia tahu perasaanmu?"
"Tentu saja tidak."
"Bagaimana dia bisa tahu kalau kamu tidak mengutarakannya?"
"Tapi —"
"Kamu ingin diam-diam mencintainya kan? Tapi perasaan ditolak tanpa mengungkapkannya terasa lebih menyakitkan."
"Saya merasa cinta ini tidak seharusnya terjadi. Hanya saja, saya gelisah dengan kabar burung tersebut. Saya ingin kembali mencintainya dalam diam seperti dulu. Walau ini terasa menyakitkan tapi saya tak ingin mengungkapkannya."
Ustadzah itu sedikit mengeryit, "Kenapa?"
Aku menghela napas dalam-dalam sambil teringat bagaimana Calvin dulu juga melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan kini. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana sulitnya ia mengutarakan perasaannya pada orang yang sama sekali tak memiliki perasaan juga dengannya. Dan dari penolakanku itu saja, sekarang aku bisa merasakan bagaimana sakitnya itu.
"Saya takut jatuh terlalu dalam.Tapi..hati ini terus gelisah hingga sulit bagi saya menyerap ilmu. Saya harus bagaimana?"
"Kamu harus mengutarakannya.Dengan mengungkapkan paling tidak kamu bisa tahu bagaimana dirimu di matanya."
Ustadzah lalu bercerita kepadaku.
Ada seorang sahabat yang berdiri di samping Rasulullah shallalahu alaihi wasallam, lalu seorang sahabat lain lewat dihadapan keduanya. Orang yang berada disamping Rasulullah itu tiba-tiba berkata, “Ya Rasulullah, aku mencintai Dia.“
“Apakah engkau telah memberitahukan kepadanya?“, tanya Nabi.
“Belum” jawab orang itu.
Rasulullah shallalahu alaihi wasallam berkata, “Nah, kabarkanlah kepadanya!“.
Kemudian orang itu segera berkata kepada sahabatnya. “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.“
Dengan serta merta orang itu menjawab, Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya“. (HR. Abu dawud).
"Tapi..saya perempuan. Saya tidak memiliki keberanian menyatakannya secara langsung walau lewat suara sekalipun," keluhku lagi.
Ustadzah Khairi memberiku secarik kertas dan pena. Aku menatap matanya yang seakan mengatakan sesuatu padaku. Menyampaikan pesan lewat senyum di matanya yang meneduhkan hati.
Surat?
Apa ini artinya aku harus menulis surat cinta pada Adam?
Bagaimana ini?
Apakah aku terlalu terburu-buru? Bukankah ini masih kabar burung?
Tapi..semua santriwati memang tengah membicarakan hal ini. Yang pasti sudah jelas bahwa memang benar adanya kabar tersebut.
Lantas..apa arti ucapannya saat itu?
"Saya lega..karena kamu berada di sisi saya —"
"Jadi apa sekarang kamu sudah mulai tenang?"
Aku juga belum pasti. Tapi..apa salahnya melakukan apa yang ustadzah Khairi sarankan.
Aku selesai dengan sesi curhatku. Begitu keluar dari ruangan itu, seseorang memanggilku.
"Assalamualaikum! Aisha..Aisha!"
Aku mencari sumber suara yang ternyata datangnya dari Hafsah yang tergopoh-gopoh menghampiriku. Kujawab salamnya tak semangat karena keadaanku belakangan ini memang tak seperti biasanya.
Hafsah mungkin menyadari hal itu. Setelah ia benar-benar bisa menstabilkan napasnya, Hafsah pun mulai menyerbuku dengan banyak sekali informasi.
"Aisha! Kamu udah lihat pengumuman? Kita terpilih! Kita terpilih!"
Hafsah begitu semangat memamerkan secarik kertas pengumuman kelulusan program santri pelajar terpilih. Dalam hati, aku bersorak - sorai karena lolos bersama beberapa santri lain. Kemudian saat aku perhatikan lebih jauh, ada nama Adam di sana.
"Lihat kan? Lihat? Ada 3 santri yang lolos dan 5 santriwati termasuk kita!"
"Huum," jawabku singkat. Yang langsung membuat semangat Hafsah ikut berpendar.
"Cuma huum aja? Kamu nggak senang lihat pengumuman ini?" tanya Hafsah khawatir.
Aku menggeleng cepat, "Aku sudah tahu kalau akan lolos."
"Tahu? Tahu dari siapa?"
"Ada..m. Eh maksudku —"
Hafsah membulatkan matanya. Ia langsung menjentikkan jarinya lalu duduk bersebelahan denganku. Kali ini, apalagi yang ingin dia katakan?
"Ooh..Adam! Aku baru ingat sesuatu!"
"Apa?" tanyaku penasaran. Walau masih kututupi dengan sikapku yang biasa-biasa saja.
Hafsah menyipitkan matanya, "Kamu tahu nggak, karena heboh tentang gosip Adam bertemu dengan santriwati dan tentang dia yang dijodohkan itu, akhirnya ada yang berani mengorek informasi itu sama kyai besar!"
"Kyai Gus Nadir? Ayahnya Adam?"
Hafsah mendelik lagi, "Be..tul. Dan setelah dicari tahu, orang yang kyai jodohkan untuk anaknya itu ada di pondok kita!"
Deg.
Terasa sekali darah ini berdesir deras di dalam tubuhku. Tungkaiku yang terbalut kaus kaki hitam cokelat pun terasa seperti tak menapak. Beginikah rasanya patah hati?
"Dan aku juga tahu inisialnya."
Aku mendengar samar-samar Hafsah yang menyebut inisial calon istri Adam tersebut. Dan setelah mendengarnya, hatiku mencelos.
"Inisialnya itu A! Ihh....buat penasaran aja kan?"
Inisial A ? Siapa?
.
.
bersambung