"Lama tak bertemu, Aisha?"
Calvin mendekat, aku yang mulai tercekat. Di tempat yang sempit ini, bagaimana pun aku menghindar, sekali langkah ia akan mudah menggapaiku.
Sekarang Calvin terlihat lebih nakal. Tak sopan seperti dulu. Bibirnya diberi pelembab hingga tampak berwarna merah muda. Parfum beraroma musk juga kuat sekali menusuk indera penciumanku. Dan lebih-lebih caranya menatapku. Seolah-olah dia akan menerkamku kapan pun dia mau.
Aku membuat blokade dengan tas punggung yang sejak tadi setia bersamaku. Karena perbuatanku itulah, Calvin akhirnya membuat jarak. Mengusap wajahnya kemudian memukul dinding lift kesal.
Aku meneguk ludah susah payah, hingga keadaan kembali kondusif. Kurapikan diriku lalu berusaha tetap tenang. Meyakinkan diriku sendiri bahwa ini akan baik-baik saja.
Meyakinkan diri sendiri juga bahwa Calvin tetaplah Calvin yang dulu.
"Bagaimana kabar awak?" tanyaku yang akhirnya memberanikan diri untuk balas bertanya.
Calvin tak beraksi apapun sampai pintu lift terbuka tepat menurunkan kami di basement rumah sakit.
Aku pikir Calvin akan langsung keluar setelah lift berhenti. Tapi ternyata, dia malah diam tak bergeming. Mungkin memikirkan sesuatu.
"Boleh bicara sebentar?" ucapnya lirih. Aku bahkan hampir tak mendengarnya.
Calvin menoleh, mungkin karena aku masih terdiam. Setelah berpikir matang-matang, apa salahnya bicara dengannya sebentar. Lagi pula, Calvin tetaplah Calvin. Teman masa kecilku dulu.
.
.
Langit mulai mengukir lukisan senja. Lantunan adzan ashar juga telah memanggil. Aku bersiap diri menghadap sang khalik di salah satu cafe yang Calvin pilih.
Entah berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk bermunajat. Rasanya, takkan diri ini ingin beranjak bila tengah berbincang dengan Rabbku. Tapi masalahnya, ada orang lain yang tengah menungguku. Yang dengan sabar sendirian di cafe tanpa makan ataupun minum. Padahal makanan sudah terpampang di atas meja siap untuk disantap.
Minuman dalam gelasnya pun sudah mencair. Hingga saat aku datang menghampirinya, Calvin bergegas minta minuman lain yang lebih segar dan baru.
"Tidak usah. Mubazir —" ucapku. Calvin hanya bereaksi datar saat aku mencegahnya meminta minuman baru.
Karena terlanjur datang, Calvin akhirnya memilih menu lain.
"What is the best ice cream here?"
Pelayan tersebut menjawab semua pertanyaan Calvin dengan menyebutkan menu es krim terbaik yang ada di kafe ini.
Dan pilihan Chen jatuh pada Sangkaya. Es krim kelapa yang disajikan langsung di atas cangkang/batok kelapa. Dua porsi. Lengkap dengan toping kacang dan magnum almond kesukaanku.
Calvin begitu semringah melihat meja makannya penuh dengan makanan. Mungkin apa yang dia pikirkan, sama seperti yang ada dibenakku.
Kita saling mengenang saat masa remaja dulu.
Makan bersama setelah pulang sekolah. Pergi ke bioskop dan menghabiskan malam dengan es krim. Hingga besok paginya, aku akan demam dan tak masuk sekolah.
"Awak tau tak, Ice cream sangkaya ini popular belakangan ini. Awak kena coba Aisha. Mesti sedap punya —"
Tiba-tiba Calvin terdiam. Beberapa kali melihatku tampak ragu-ragu, kemudian senyum bahagianya tadi berubah menjadi buah persik yang masam.
Akhirnya Calvin menyadari kenyataannya.
Kita..sudah tak seperti dulu.
"Awak masih tak suka bercakap dengan saya?" tanya Calvin kembali seperti sedia kala.
Calvin yang dingin dan membenciku.
"Bila saya pernah katakan bahwa saya tak suka dengan awak?" tanyaku balik. Calvin terdiam. Bersandar pada dinding lalu melihatku dengan tatapan yang menusuk.
"Sikap awak yang bilang seperti itu —"
"Awak salah paham, Calvin —"
"Awak selalu merasa paling benar. Apa yang salah dengan tetap berteman baik walau saya bukan mahram awak."
"Itu berbeda Calvin. Tetap akan berubah karena saya nak perbaiki diri."
"Perbaiki diri atau karena saya tak ada arti apapun di kehidupan awak!"
Aku terdiam. Merasa tak tahu bagaimana menyelesaikan kesalahpahaman ini. Aku tahu Calvin kecewa karena aku yang menjauhinya. Tapi apapun alasannya, aku tidak bisa kembali seperti dulu.
"Tahniah. Awak sekarang benar-benar telah berubah. Perbaikan diri yang bagus. I'm proud of you, but —"
Aku masih menunggu kelanjutannya, hingga deringan gawainya menginterupsi pembicaraan kami.
Siapapun itu, aku sangat berterima kasih. Karena aku punya kesempatan terbaik untuk mulai mencari cara untuk menjelaskan semua ini dengan logika yang lebih masuk akal olehnya.
Ternyata, selama empat tahun ini, Calvin masih menyimpan kenangan itu. Dia...seperti bukan dirinya. Calvin, apa luka yang aku berikan padamu terlalu dalam? Hingga kau tak pernah sanggup untuk melupakannya?
"Iya..baik. Aku langsung balik lepas ni," tutupnya.
Calvin menghela napas lalu mengamatiku lagi. Kali ini tidak dengan emosi yang meledak seperti tadi. Calvin justru lebih tenang dengan menyantap ea krimnya yang sudah setengah meleleh. Sama seperti milikku.
"Awak nak harap bisa perbaiki MG?"
Aku meletakkan kembali garpuku. Penasaran dengan pertanyaan Calvin yang terdengar seperti tengah meledekku.
"Kenapa tiba-tiba bicarakan ini?"
"Awak tak tahu apa-apa. Bukan mudah menggantikan pekerjaan ayahmu itu."
Aku mengeryit tak suka. Calvin benar-benar tengah menjatuhkan mentalku. Sebuah panggilan masuk menampilkan nomor om Anwar di sana. Mungkin bunda yang memberikan nomorku padanya, dan karena ajakan Calvin, aku lupa untuk menghubunginya tentang complain yang aku ajukan ke dewan direksi besok.
"Dengar, Aisha. Ini hal yang tak bisa kau kendalikan. Bicara itu mudah, tapi faktanya tak demikian."
"Saya tak paham maksud awak."
Aku mulai terpancing dengan ucapannya. Calvin menyelesaikan makanannya lalu meminta pelayan untuk memberinya catatan p********n. Kami masih saling bertatapan, seolah ada kata yang kami sampaikan masing-masing ke dalam pikira .
Hingga panggilan kedua kembali berdering di gawaiku.
"Saya tak nak berhutang dengan awak. Ini untuk makanan saya," ujarku pamit sambil menekan tombol angkat untuk memulai percakapan.
Tapi belum sempat aku mengucap salam, Calvin lebih dulu merampas gawaiku lalu mematikan panggilan om Anwar itu.
Aku ingin menegurnya namun tertahan. Aku malu dilihat orang banyak yang ada di kafe ini. Bukan karena tingkah kami berdua yang sejak tadi mengacaukan suasana, namun juga bagaimana aku mengenakan niqob yang menutupi hampir seluruh tubuhku. Kecuali mataku.
"Saya belum selesai bicara dengan awak —"
"Ini penting buat saya!"
Calvin terdiam sesaat. Ia kemudian dengan sengaja memainkan gawaiku sebelum akhirnya kupaksa untuk menyerahkannya.
"Kembalikan Calvin!" tukasku. Tapi yang kuajak bicara malah tampak santai saja menghiraukanku. Menganggapku tak ada.
"Ambil lah —"
Calvin malah mulai menjengkelkan. Karena panggilan terus masuk ke gawaiku, akhirnya aku beranikan diri mendekatinya untuk mengambil gawaiku.
Namun belum sempat aku berdiri dengan sempurna, aku tak sadar tengah menginjak bagian bawah gamisku sendiri hingga mau tak mau jatuh nyaris memeluk Calvin setengah badan.
Calvin terkejut, tapi ia tak bereaksi apapun. Ia malah menatapku semakin lekat karena jarak kami yang hanya menyisakan hidung masing-masing sebagai pembatas.
Wangi musknya kian menusuk dan masuk ke dalam ingatanku. Begitu lekat aku melihatnya, bahkan aku bisa berkaca di kedua pupilnya. Dan atensiku dengan tak tahu diri juga mengarah kepada bibirnya yang bak buah buah cherry.
Tunggu! Ini salah!
Aku beranjak secepat kilat setelah berhasil merampas gawaiku yang tengah ia genggam tadi. Merapikan diri lalu pergi meninggalkannya yang masih terpaku.
Astaghfirullah! Apa yang sudah aku perbuat? Kenapa aku begitu mudah terpancing dalam permainannya?
Aku pikir Calvin tak mengikutiku di belakang. Begitu aku tahu dia hendak masuk ke dalam lift, aku menahannya dan memintanya keluar.
"Keluar Calvin!"
"Tunggu. Ada yang harus saya katakan ke awak —"
"Please Calvin! Please. Pahami kondisi saya yang sekarang ini —" ujarku yang entah bagaimana meneteskan airmata.
Calvin terbelalak. Sejurus kemudian, ia menarik diri. Beberapa pengunjung mall datang memenuhi lift. Ia memilih mengalah lalu membiarkanku menutup pintu lift.
Tidak ada lagi yang ia katakan padaku. Namun setelah aku benar-benar turun dari lift dan berlari menuju pintu keluar untuk mengejar bus, aku mendapatkan satu pesan masuk dari nomor asing. Melihat pesan tersebut, aku tahu bahwa itu adalah Calvin.
"I'm so sorry."
Salam pertemuan kembali ini..berakhir dengan buruk.
.
.
bersambung