"Saya cukup terkejut mendengar berita ini. Padahal saya dan Azis kawan baik. Kami baru saja selesai meet up untuk proyek di Sabah. Setelah balik dari sana, saya benar-benar terkejut dapat kabar macam ini. Tak sangka —"
Paman Stewart bercerita panjang lebar mengenai musibah yang ayah derita hari ini. Semua orang yang mendengarkan pun menjadi mengharu biru dibuatnya. Aku pun tak sanggup juga untuk menahan airmata yang memang sejak aku datang, tak berhenti kutujukan untuk ayah.
Sampai beberapa saat lalu, aku berharap ayah memberi kejutan seperti beberapa hari lalu itu. Walau aku kesal setengah mati karena ayah bersenda gurau dengan kabar kematiannya, paling tidak aku masih punya kesempatan untuk bercanda, memeluk, berbincang dan mengomeli ayah.
Aku masih berharap ayah tengah bercanda. Tapi tetap saja..kenyataan ini yang kualami.
Ayah terbaring lemah tanpa tahu kapan ayah akan terbangun.
"Ayahmu selalu membanggakanmu, Aisha. Kau sepatutnya bangga akan hal itu," ucap paman Stewart yang entah sejak kapan sudah berdiri di hadapanku dengan pandangan penuh kasih sayang.
Aku hanya bisa mengangguk sedih saat mendengar hal itu.
Bangga?
Yah..ayah memang selalu bangga dengan prestasi yang aku berikan. Sampai pada ketika aku menolak permintaannya untuk masuk universitas demi cita-citaku yang teringin menjadi pengajar terpilih.
Ya Allah..aku menyesal telah menyakiti hati ayah seperti itu.
Ayah..
Aisha salah. Seharusnya Aisha menuruti kata-kata ayah. Pastinya, ayah tak akan kecewa seperti hari itu. Aisha telah menorehkan luka di hati ayah. Aisha menorehkan kesedihan di hati ayah.
Maafkan Aisha, ayah. Maafkan Aisha —
"Kalau begitu, uncle pamit. Jaga diri baik-baik," pesannya yang beranjak keluar bersama dengan pakcik Ridwan.
Atensiku tak sengaja mengarah pada Calvin. Pemuda itu sejak tadi hanya diam saja mengamati dengan tatapannya yang tajam. Aku tak mengerti apa yang tengah ia pikirkan. Yang pasti, untuk sementara, aku tak bersinggungan dengannya dulu. Dan sepertinya, dia pun tengah berupaya untuk tak mempedulikanku.
"Nenek nak balik. Esok, mari lagi —"
"Nggak usah nek. Nanti nenek capek. Nenek pulang aja yah. Aisha kabari semua keadaan ayah lewat telpon," pintaku pada nenek yang sejak tadi begitu sedih melihat keadaan ayah.
Beliau tak henti memanjatkan doa agar anak sulungnya itu segera bangun dari koma. Nenek juga terus mengatakan hal-hal seperti ingin digantikan dengan dirinya saja daripada melihat anak dan cucunya menderita seperti ini.
Semua menjadi larut dalam kesedihan saat nenek mengatakan hal seperti itu. Apalagi bunda yang tak bisa membendung kesedihannya akan apa yang terjadi sekarang.
Tidak ada manusia yang akan luput dari ajal ataupun musibah. Tidak ada pula manusia yang bisa menanggung atau menggantikan sakit atau musibah yang manusia lain terima.
Yang bisa kita lakukan sebagai manusia yang sehat dan berkecukupan ialah hendaknya manusia terus bersyukur dan tak kufur nikmat. Memanfaatkan waktu yang diberikan sebelum lima perkara ini terjadi pada manusia itu sendiri.
Sehat sebelum sakit.
Muda sebelum tua.
Kaya sebelum miskin.
Lapang sebelum sempit.
Dan hidup sebelum mati.
Banyak bersedekah serta melakukan amal kebaikan. Berdoa kepada Allah agar disegerakan musibah saudaranya. Tidak ada yang sanggup menanggung musibah orang lain. Karena bagaimana pun setiap ujian yang manusia terima masing-masing itu memiliki tingkatannya sendiri.
Allah berfirman dalam surah Al baqarah ayat 286 yang artinya :
••Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.••
Maka jelas..bahwa yang nenek pinta kepada Allah itu salah. Tidak ada manusia yang bisa menanggung beban orang lain apalagi meminta beban itu dia pikul sendiri. Yang benar adalah mendoakan agar disegerakan hilang musibah tersebut hingga kita sebagai manusia masih sempat untuk bertaubat dan meninggalkan kelalaian kita untuk beribadah kepada Allah.
"Aisha..kamu ikut nenek pulang saja. Kamu sejak pagi belum makan dan mengemas pakaian —"
"Nggak bun. Aisha di sini saja. Aisha ingin terus jaga ayah sampai ayah bangun."
Kusapu wajah ayah dengan washlap di atas air hangat. Wajahnya pucat dengan bibir yang kering. Pasti ayah sangat risih karena sudah tak mandi sejak kemarin. Tangan ayah sedikit pucat karena kekurangan darah. Entah sudah berapa kali ayah harus transfusi darah hingga beberapa titik nadi tangannya membengkak karena suntikan yang tiada henti.
Rambut ayah ternyata telah beruban banyak. Bahkan bulu-bulu pada janggutnya. Ayah pasti risih juga dengan hal itu padahal aku sudah beritahu padanya bahwa mencabut uban itu tidak diperkenankan. Tapi ayah selalu saja mengelak, bahwa ia tak mencabutnya, tapi mencukurnya.
Ayah..
Aisha rindu lelucon ayah.
Kapan ayah bangun?
"Kalau begitu kita orang pamit. Esok ada hal yang melelahkan lagi yang mesti kita orang selesaikan," ujar makcik Zaenab yang tumben sekali tak ketus seperti ketika ia datang tadi.
Aku mengeryit bingung dengan apa yang makcik katakan itu. Untunglah ada pakcik Ridwan yang mewakili pertanyaanku.
"Apa hal?"
Makcik Zaenab menyebik kesal, "Tak ingat ke Stewart cakap tadi? Polis nak buat investigasi."
Dan yah..kenapa aku baru menyadari hal ini. Bukankah ayah korban tabrak lari? Di mana pelaku? Kenapa tak tunjukkan batang hidungnya untuk minta maaf pada ayah?
"Pelaku belum ketangkap lagi kah makcik?" tanyaku ketus.
Makcik bertolak pinggang, "Bukan senang nak tangkap. Pasal tuh lah esok dari pihak keluarga kena jadi saksi."
"Aku tak nak lah!"
Pakcik Ridwan menggeliat risih. Entah kenapa dia bersikap seperti itu. Padahal aku pikir dia punya sikap yang lebih dewasa dari penampilannya yang sekarang.
"Kenapa tak nak? Engkau kena jadi saksi sebab kau kan adiknya," seru nenek yang juga tak terima jika pakcik bicara demikian.
"Ridwan kan ada kerja, mam —"
"Heleh! Tukang photo je —"
"Tak apa lah makcik. Biar Aisha saja yang jadi saksi," sahutku setelah selesai mandikan ayah dengan washlap seadanya.
Mendengar ucapanku itu, makcik malah tampak meremehkanku.
"Baguslah. Jadi secepatnya korang claim insurance —"
"Akak!"
"Tentang pekerjaan ayah pun Aisha dah ambil keputusan—"
Semua orang menungguku melanjutkan ucapanku yang menggantung. Terlebih bunda yang terlihat sekali raut kecemasan di wajahnya.
"— Aisha akan lanjutkan pekerjaan ayah."
.
.
bersambung