NANA 2 :Terpilih Jadi Salah Satu

1669 Words
Aku masih menatap tak menduga email yang masuk pagi ini. Sungguh tak pernah kukira kalau aku akan terpilih menjadi salah satu dari beberapa orang terpilih untuk bisa menghadiri jumpa penggemar bersama dengan Yasa Meitreya. Aku bisa menyaksikan ketampanan seorang Yasa secara langsung. Ini bukan mimpi, kan? “Selamat, Miss Tatjana Katja. Anda terpilih sebagai salah satu pemenang untuk menghadiri meet and greet bersama Chef Yasa Maitreya. Dimohon untuk merespons pesan ini dengan segera. Kami akan mengirimkan detail tempat dan acara setelah mendapatkan balasan dari anda. Terima kasih.” Aku sempat merasa kecewa saat mengetahui kalau hanya para penggemar yang hadir di lokasi syuting lah yang bisa hadir di jumpa penggemar itu. Tapi, tak lama pihak agensi yang menaungi Yasa Maitreya pun segera memberikan pengumuman susulan. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas, tanpa pikir panjang aku pun langsung mendaftarkan diri. Tak lupa untuk selalu merapalkan doa saat formulir elektronik kudaftarkan. Aku tak sendiri. Tentu sangat banyak orang-orang di luaran sana yang juga ikut berpartisipasi. Rasa bahagia membuatku semakin semangat menggarap chapter terbaru cerita ‘My Sweetest Cold Man’. Aku yang termasuk sangat jarang memberikan double update, kuputuskan memberikan kejutan untuk para pembaca. Aku juga ingin mereka bahagia. “Mbak, kok kayaknya lagi seneng banget. Ada apa?” ucap Gina yang baru saja masuk ke kamarku. Aku tak bisa menyembunyikan senyuman bahagia yang tercetak dengan sangat jelas di kedua bibirku. “Tuh, kan. Senyum-senyum. Ada apaan, sih?” “Gue menang!” pekikku girang. Gina yang semakin heran justru menautkan kedua alisnya. “Gue kepilih jadi salah satu penggemar untuk dateng ke meet and greetnya Chef Yasa, Gin.” “Ya ampun. Gue kira apaan. Mbak, ngefans tuh sama penyanyi, pemain sinetron atau apa, kek. Yasa terus. Gue bosen banget dengernya.” “Lo ngapain ke kamar gue?” tanyaku. Gina hanya akan ke kamarku saat butuh sesuatu. “Ada apaan?” “Mbak, minta duit. Gue mau jalan sama teman-teman. Boleh nggak?” “Berapa?” “Berapa aja, deh. Yang penting cukup untuk beli makan sama minum.” “Lo kenapa nggak minta Ibu? Takut?” “Ibu nggak ada. Ada pengajian di mesjid.” “Nih.” Kuserahkan dua lembar uang seratus ribuan ke tangannya. “Jangan dihabisin ya, Gin. Sisanya bisa untuk ongkos kuliah beberapa hari ke depan.” “Siap, Mbak.” Setelah kepergian Gina, kulanjutkan pekerjaanku. Double update artinya kerja double. Aku harus segera menyelesaikannya. Para pembaca pasti sudah sangat menunggu. Setelah selesai, segera ku-update dua chapter itu sekaligus. Aku tak sabar menantikan respons dari para pembaca. Biasanya tak akan memakan waktu lama untuk bisa membaca komentar-komentar yang masuk. Sembari menunggu, aku turun ke bawah untuk mengambil makanan. Perutku sudah sangat lapar. Malas makan nasi membuatku berburu makanan di lemari es. Ah, masih ada beberapa potong brownies yang dibeli Ibu beberapa hari yang lalu. Segelas s**u cokelat dan brownies rasanya cukup untuk membuatku kenyang. “Lho, nggak makan nasi, Mbak?” tanya Siti yang baru saja masuk ke dapur sambil membawa piring-piring kotor dari warung. Aku menggeleng sambil mengunyah sepotong brownies yang baru saja kumasukkan ke mulut. “Makan dulu, Mbak. Biar kerjanya ayem.” “Ini kan makan juga. Sit. Ibu belum pulang?” “Tadi Ibu bilang kalo setelah ngaji mau langsung besuk Bu Nia. Baru pulang dari rumah sakit, katanya.” “Bu Nia sakit apa, Sit?” “Usus buntu, Mbak.” “Oh, pantesan jarang kelihatan.” “Bu Nia kualat sama Mbak Nana kayaknya.” “Nggak boleh begitu, Sit.” OoO Aku masih punya waktu beberapa hari lagi untuk bisa hadir ke acara jumpa penggemar. Pihak agensi mengirim email pemberitahuan kalau acara akan berlangsung di private room sebuah restoran di bilangan Kemang. Aku harus tampil dengan ketentuan berpakaian yang sudah diputuskan. Hitam dan putih. Itulah temanya. Acara memang masih beberapa hari lagi, namun aku sudah mulai sibuk mengobrak-abrik isi lemari. Kukeluarkan semua pakaianku yang berwarna hitam dan putih. Selama ini, aku paling malas membeli baju baru. Pakaian yang kenakan di rumah pun yang itu-itu saja. Aku tak mungkin datang ke acara itu dengan kemeja putih dan celana bahan, kan? “Harus beli baju baru, nih.” Percuma sudah kujejer semua pakaianku di atas tempat tidur. Aku memang butuh baju baru. Bahkan, aku lupa kapan terakhir kali membeli baju. Aku sudah tiba di sebuah pusat perbelanjaan tak jauh dari rumah. Pilihanku jatuh ke sebuah off-shoulder dress putih dengan aksen tali pengikat hitam di bagian pinggangnya. Bisa dibilang ini akan jadi momen langka bagiku mengenakan terusan. Tapi, demi seorang Yasa akan kulakukan. Selesai membeli baju, kulanjutkan perjalananku ke sebuah toko buku. Aku tersenyum lebar melihat salah satu novelku yang berhasil dibukukan dan menebus pasar offline. Novelku berjejer di rak best-seller book bersama dengan buku-buku karangan para penulis terkenal di negeri ini. Hasil yang kudapat dari royalti penjualan n****+ itu lumayan besar. Dari laporan pihak penerbit pun novelku sangat laris di pasaran. Bahkan, mereka sedang mempersiapkan kemungkinan untuk cetak ulang jika minat beli para pembaca meningkat. “Wah, masih ada.” Seorang perempuan datang mendekat ke rak buku di hadapanku. Satu tangannya mengambil salah satu novelku yang dipajang. “Mbak mau beli novelnya Mbak Nana juga?” “Eh? Saya, Mbak?” ucapku spontan. Perempuan itu mengangguk. “Coba beli deh, Mbak. n****+ ini bagus banget. Saya beli karena penasaran sama versi cetaknya. Mbak Nana bilang kalo versi cetaknya bakal beda banget sama versi online. Tapi, Mbk Nana bilang nggak akan ngerubah alurnya.” Perempuan itu jelas tidak tahun siapa aku yang sebenarnya. Selama ini, kugunakan nama penaku sebagai identitas penulis. Mbak Nana. Itulah nama penaku. Aku juga tak pernah menampakkan diriku yang sebenarnya. Bahkan, aku sampai harus membuat akun media sosial kepenulisan untuk bisa berkomunikasi dengan para pembaca. “Mbak bisa kasih saya satu alasan kenapa saya harus beli n****+ ini?” tanyaku iseng. Aku sangat ingin mendengar responsnya. Perempuan itu terlihat berpikir. “Tolong yakinin saya, Mbak. Saya memang lagi butuh bacaan baru.” “Mbak Nana pernah bilang ke para readernya di aplikasi. Tokoh Jasmine yang ada di cerita itu penggambaran dirinya sendiri. Semua yang terjadi sama Jasmine itu pure realita kehidupan Mbak Nana, termasuk harus menyaksikan ayahnya meninggal secara langsung dengan kedua matanya. Jasmine juga sama kayak Mbak Nana. Nggak bisa makan soto mi Bogor. Mbak Nana bilang kalo soto mi Bogor itu makanan terakhir yang dimakan bareng mendiang ayahnya.” Perempuan ini benar. Tokoh Jasmine yang ada di cerita ‘Scent of Jasmine’ memang perwujudan dari diriku yang sebenarnya. Jasmine adalah aku. Apa yang dialami Jasmine juga kualami. Apa yang Jasmine benci juga kubenci, termasuk soto mi Bogor. Aku akan merasa sangat mual hanya dengan menghidu aromanya saja. Mengingatkan hari di mana aku menganggap Bapak meninggal karena ulahku, memintanya menraktir kami sekeluarga makan soto mi Bogor di ujung jalan dekat rumah. OoO Saat itu .... “Pak, ayo kita makan soto mi Bogornya Pakde Zul. Udah lama banget kita nggak makan bareng di luar.” Aku terus merengek hingga membuat Bapak yang sedang fokus membaca koran pun menghela napas. “Nanti siang ya, Na. Kamu bilang Ibu nggak usah masak untuk makan siang. Masaknya nanti aja untuk makan malam, ya.” “Siap, Pak. Aku mau extra risol pokoknya.” “Terserah kamu, Na. Kamu mau extra kuah sepancinya juga boleh. Nanti Bapak yang bayar.” Warung soto mi Bogor Pakde Zul memang kerap dijadikan tempat untuk kami sekeluarga berkumpul. Bapak sudah hafal benar selera kami masing-masing. Tambahan tomat untuk Ibu, tambahan mi kuning untuk Gina, tambahan risol untukku dan tambahan perasan jeruk limau untuk Bapak. Sembari menunggu pesanan kami selesai, kami terbiasa menikmati lantunan musik yang diputar di warung. Aku seringkali menggerutu karena lagu-lagu yang diperdengarkan kebanyakan lagu-lagu lawas era 80an, saat di mana kedua orang tuaku bahkan belum bertemu. Aroma segar soto mi Bogor yang sudah diberi air perasan jeruk limau pun segera merangsek ke dalam rongga hidung. Air liur hampir saja menetes saat kucampur semua elemen yang ada di dalam satu mangkok. Potongan kikil, daging dan risol bercampur degan mi kuning basah serta irisan kubis tipis. “Dimakan dulu. Kamu kan yang semangat banget minta makan soto mi,” ucap Bapak. “Ih, Bapak tau aja. Aku makan duluan ya.” Saat tengah asyik menyantap soto mi, Bapak meminta izin untuk membeli es kelapa muda yang ada di seberang warung. Mau minum yang segar, katanya. Aku, Ibu dan Gina pun lanjut menikmati soto sembari menunggu Bapak kembali. “Bapak kok lama banget ya, Na?” tanya Ibu. “Mungkin ngantre, Bu. Es kelapa muda di seberang sana kan laris banget. Yang jualan sampe kadang nggak kelihatan hidungnya,” kekehku. “Kamu ada-ada aja sih, Na. Yaudah lanjut makannya. Kamu mau tambah?” “Kayaknya iya deh. Bu. Tapi nanti aja.” “Kuliahmu gimana?” “Lancar, Bu. Bulan depan ujian akhir semester.” “Yang bener belajarnya, ya.” Suara jeritan dari luar membuat seisi warung terkejut dan memutuskan untuk melihat apa yang sedang terjadi. Meninggalkan mangkok yang masih berisikan soto mie, kami bertiga segera berlari kelaur untuk bergabung dengan yang lainnya. “Ada kecelakaan!” jerit salah seorang pengunjung warung. “Tabrak lari. Bapak-bapak. Kasihan banget.” Jantungku seketika berdegup dengan sangat kencang. Kuamati sekekiling dan juga lapak penjaja es kelapa muda yang ada di seberang warung. Bapak tidak ada. Kuberanikan diri untuk melangkah mendekati kerumunan. Aku membelah semua orang yang berdiri di hadapanku. Kedua lututku terasa sangat lemas. Aku menyesal telah memberikan izin Bapak untuk pergi keluar warung. Aku menyesal karena sudah merengek meminta Bapak makan bersama di luar. Aku menyesal. “Bapak!!” Tubuh Bapak sudah tergeletak di atas aspal. Plastik es kelapa hijau yang dibelinya pun sudah pecah. Ibu dan menyusulku untuk menghampiri tubuh Bapak. “Pak, bangun! Bapak! Jangan bercanda. Aku nggak suka. Bangun, Pak.” “Bapaknya udah nggak ada, Mbak.” “Nggak! Bapak saya masih ada. Tolong bantu bawa Bapak saya ke rumah sakit. Saya minta tolong!” Aku menolak kenyataan bahwa Bapak sudah tak lagi bernyawa. “Pak, tolong. Jangan tinggalin kami. Kami semua butuh Bapak.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD