YASA 4 : Saya Masih Doyan Cewek

1701 Words
Seorang Tatjana Amaryllis Katja berhasil membuatku merasa begitu penasaran akan dirinya. Cara membalas pesannya yang kadang sangat pendek dan terkesan seperlunya membuatku membuat penilaian tersendiri tentang dirinya. Sangat berbeda dibandingkan dengan beberapa wanita yang kukenal. Mereka justru yang begitu bersemangat. Aku masih terpukau memandangi balasan pesan-pesan yang dikirimnya. Apa mungkin dia berusaha menjadi dingin agar tak dinilai gampangan? Aku sangat penasaran bagaimana perasaannya saat mendapatkan pesan dariku. Tak ada satu pun wanita yang tak merasa bahagia saat seorang Yasa Maitreya menghubunginya. [Yasa Maitreya : Tatjana, kamu belum jawab DM saya.] Kukirimkan sederet pesan itu setelah semua pekerjaanku selesai. Ia belum membuka, membaca dan membalas pesan terakhirnya. Aku begitu menggebu menantikan balasannya. Aku penasaran apa responsnya. Begitu lama waktu yang dibutuhkan seorang Tatjana untuk membalas pesanku. Mungkin memang benar apa yang dikatakannya. Ia sangat sibuk. Semuanya berakhir begitu saja. Tatjana tak kunjung membalas pesan terakhir yang kukirimkan untuknya. Bahkan, hari itu adalah hari terakhir ia terlihat aktif di akun i********: miliknya. “Udah beberapa hari dia nggak aktif IG. Kenapa, ya?” gumamku pelan yang masih setia melihat lembar direct messageku dengannya. Last active 4 days ago. “Kenapa gue jadi mikirin dia banget, ya?” Hari ini, aku dan Raditya ditemani Cindy akan kembali bertemu dengan Pak Burhan dari perusahaan minyak goreng yang akan menjadikanku sebagai brand ambassadornya. Cindy sudah menyiapkan segala keperluan yang mungkin akan kubutuhkan nantinya seperti; jus buah, roti lapis isi sayuran dan tuna yang kubuat semalam serta tablet-tablet vitamin yang harus kukonsumsi setiap harinya. “Chef, ini jusnya. Sandwhichnya masih dingin, dimakan nanti aja, ya. Oh, iya. Aku juga bawain beberapa bungkus protein bar yang bisa Chef cemilin selama perjalanan. Lumayan bisa untuk ganjel perut.” “Thanks ya, Cin. Radit mana?” tanyaku. “Mas Radit masih di kamar mandi. Katanya sih lagi ada gangguan pencernaan.” Tak lama, yang dibicarakan pun akhirnya muncul. Raditya terlihat begitu kelelahan dan cukup berkeringat. Aroma minyak angin pun seketika memenuhi ruangan. “Kenapa?” tanyaku khawatir. Tiap kali melihatnya dengan keadaan mengenaskan seperti ini, penyebabnya hanya satu. Asam lambungnya naik. “Mual banget gue. Asam lambung gue naik.” Betul, kan? “Udah minum obatnya?” tanyaku. Raditya mengangguk. “Bisa kerja nggak? Kalo nggak bisa, biar gue sama Cindy yang ketemu Pak Burhan. Lo tunggu di sini aja.” “Nggak, ah. Gue bisa kerja, kok.” “Yaudah. Cin, lo yang nyetir, ya.” “Iya, Chef.” OoO Masalah kontrak kerja dengan perusahaan minyak goreng pun selesai. Aku resmi dikontrak sebagai brand ambassador selama dua tahun ke depan. Selama itu pula, seluruh kebutuhan minyak goreng di rumahku akan dipasok langsung dari pihak mereka. Itu kenapa aku sangat menyukai tiap kali ada perusahaan yang menjadikanku brand ambassador. Tak hanya dibayar dengan uang, mereka juga memberikan produk-produk yang kuiklankan. Di negara ini, semua orang mengenalku sebagai raja brand ambassador. Aku begitu banyak mengiklankan produk-produk. Tak hanya kebutuhan dapur, makin ke sini aku juga mengiklankan baju dalam pria, roll-on, facial wash, sampo dan bahkan iklan properti perumahan yang disponsori salah satu perusahaan pengembang terbesar di Indonesia. “Barusan ada yang telepon gue. Katanya mereka baru kirim stok roll-on” ucap Raditya. “Yang kemaren aja masih banyak,” sahutku. “Ya lo olesin aja ke seluruh badan biar cepet abis, deh. Nanti gue minta sekalian untuk bokap gue, ya.” “Lo mau ambil buat Pak RT, Pak RW sekalian Pak Lurah juga boleh, Dit. Ambil aja.” “Siap!” “Lo ambil juga buat cowok lo, Cin. Cowok lo make roll-on juga, kan?” ucapku pada Cindy yang sedang duduk di kursi pengemudi. Cindy melirik dari spion depan dan mengangguk. “Gue kira pake bedak tabur ketek jadul yang suka dipake sama kakek gue.” “Oh, iya. Gue mau kasih tembusan ke lo. Gue udah share jadwal lo sampe akhir tahun ini ke admin Pepaya. Gue sih bilang sama mereka untuk nggak usah dateng ke lokasi syuting kalo emang pas lo ada jadwal syuting. Gue juga udah bilang ke adminnya kalo nanti setiap member bisa gantian dateng ke acara TV lo, Bang. Lumayan, kan. Itung-itung jadi kayak meet and greet.” “Thanks ya, Dit. Gue boleh nanya sesuatu nggak?” “Mau nanya apaan?” “Di acara kemaren ... tamu-tamu yang dateng kasih data alamat tempat tinggal mereka ke lo nggak?” tanyaku ragu. Raditya terlihat mengerutkan kening dan menatap ke arahku. “Lo kenapa, sih?” “Ada juga lo yang kenapa? Kenapa lo nanyain alamat tamu yang dateng? Mau ngapain?” “Nggak. Nggak kenapa-kenapa.” “Pasti ada yang lo tutupin dari gue, kan?” Aku gegas menggeleng. “Gue emang sengaja nggak nanya data alamat ke mereka. Biar lo nggak usil.” “Kok gue, sih?” sahutku kesal. “Kalo ada apa-apa pasti deh gue yang disalahin.” “Ya emang bener. Lo kan emang paling suka bikin skandal. Gue sampe bosen ngurusin skandal lo karena saking banyaknya.” “Tapi, karena skandal malah gue banyak dipake, kan?” “Iya. Mereka memanfaatkan ke-viral-an lo.” “Iya juga, sih.” “Gue mau nge-gym. Lo mau ikut nggak?” tanyaku. Raditya menggeleng. “Setelah nge-gym, gue mau langsung main, ya.” “Ini nih yang jadi salah satu alasan gue nggak nanya-nanya soal data tamu kemaren. Paham kan, lo?” OoO Biasanya, aku menghabiskan waktu selama dua jam di pusat kebugaran. Aku harus selalu menjaga kesehatan dan kebugaran tubuhku. Aku juga ta pernah lupa untuk selalu memesan segelas minuman protein penambah massa otot dan pembentuk tubuh tiap kali datang ke sini. “Mas, biasa. Satu. Di-mix pake berries, ya.” “Siap, Chef.” “Saya mau threadmill dulu. Panggil aja, ya.” Aku perlu melemaskan otot-otot dengan berlari di atas threadmill. Sambil mendengarkan lagu-lagu yang sudah kususun di daftar playlist ponsel pun menjadi pilihan. Sepuluh menit saja. Cukup. Tiba-tiba, aku merasa risih karena ada seorang pria yang sedari tadi terus menatap ke arahku. Aku berusaha sebisa mungkin untuk mengalihkan pandangan. Tapi, ia tetap gigih. Kuputuskan untuk main beban dan meninggalkan pria itu yang masih sibuk berlari di atas threadmill. Sial! Kenapa dia masih mengikutiku? Astaga! Jangan bilang ... ia tertarik padaku! Entah sudah berapa kali pria-pria dengan orientasi seksual menyimpang berusaha untuk menggodaku. Mereka pikir statusku yang tak kunjung menikah membuatku masuk ke lingkaran yang sama dengan mereka. Oh, tidak bisa! Jelas tidak bisa. aku normal. Bahkan, sangat normal. “Hai.” Aku hampir saja menyemburkan minuman protein yang belum sempat melewati batang tenggorokanku. Pria dengan tato di lengan kiri dan kumis tipis itu akhirnya menyapaku. Pria yang sejak awal mengintaiku di threadmill. “Iya, Mas. Hai juga.” Astaga! Apa yang baru saja kulakukan? Menjawab salamnya? Gilaaa! “Weekend kamu free nggak?” Kamu? Kamuuuuuuuuuuuuuuu? “Sa—saya ada banyak kerjaan, Mas. Kenapa, ya?” “Jangan panggil, Mas. Aku Ibra. Salam kenal, ya.” Pria yang baru saja memperkenalkan dirinya dengan sebagai Ibra pun menjulurkan tangannya ke hadapanku. Aku yang merasa tak enak hati akhirnya menjabat tangannya. “Saya Yasa, Mas.” “Iya. Aku tau. Aku sering lihat kamu di TV. Kamu ganteng banget.” Ucapannya seketika langsung membungkamku. Aku menelan ludah kasar karena saking merasa tak nyamannya. Ditambah, Ibra anu ... menggenggam tanganku dengan ... sangat erat. Tapi, telunjuknya justru sangat usil mengurek-ngurek telapak tanganku. Tuhan, aku memang bukan hamba-Mu yang terbaik. Tapi, tolong bantu aku. “Eh, Ma—mas.” Aku berusaha keras untuk melepaskan genggaman tangannya. "Tolong dilepas dulu ya tangannya.” “Oh, iya. Aku minta maaf, ya. Jadi ....” “Jadi apa ya, Mas?” sahutku bingung. “Weekend kamu bisa mampir ke Apollo setelah semua kerjaan kamu selesai?” Mampus gue! Nama tempat yang baru saja diucapkannnya adalah salah satu tempat di mana kaum pria-pria sepertinya berkumpul. Di tempat itu mereka bisa party sampai lupa waktu. Aku memang tak pernah menginjakkan kaki di sana. Semua informasi ini kudapatkan dari beberapa teman yang memang begitu. Aku memandang ngeri ke arah Ibra, namun dia malah sibuk mencuri pandang sambil tersenyum. Sumpah demi apapun itu sangat mengerikan. Tiba-tiba, aku berjengit kaget kala satu telapak tangannya meremas bokongku. “Eh, Mas!” “Kenapa, Yasa?” “En, jangan begitu.” “Kamu malu akrena di sini ada banyak orang? Kita bisa ke kamar mandi. Kamu mau?” “Wait, kayaknya Mas Ibra dari tadi udah salah paham, deh. Saya minta maaf banget sebelumnya ya, Mas. I’m straight. Sorry.” “Kamu yakin kalo kamu straight?” Aku segera mengangguk mantap. “Jangan bohong, Yasa. Aku bisa lihat dari penampilan kamu.” “Mas, saya normal. Titik. Saya masih doyan cewek. Dan ... waktu Mas Ibra remas p****t saya, saya sama sekali nggak ngerasa gimana-gimana. Justru, saya malah takut. Asli, deh. Anu saya bangunnya cuma sama perempuan. Maaf ya, Mas. Saya permisi.” segera mempercepat langkah menuju ke ruang ganti. Rencana awal yang tadinya akan menghabiskan dua jam pun terpaksa batal. Aku segera membersihkan tubuh dan bergegas untuk bertemu dengan Sofia. Setelah menjemput Sofia di tempat kosnya, kubawa ia ke apartemenku. Apartemen terlihat sangat sepi. Mungkin Raditya ada di kamarnya untuk beristirahat. Kami berdua pun langsung melakukan ritual pemuasan kebutuhan seperti biasanya. Terkadang, aku begitu kewalahan menghadapi tingkah Sofia yang sangat liar di atas ranjang. Ia begitu dominan. Tapi, aku suka. “Minggu depan aku berangkat ke Jayapura, Chef,” ucapnya setelah pertempuran panas kami selesai. Aku yang masih berusaha untuk menormalkan deru napas pun seketika langsung menoleh ke arahnya. “Pacarku mau jemput. Dia lagi ke Semarang. Setelah dari Semarang, kami mau langsung ke Jayapura.” “Kamu resign kerja?” sahutku. Sofia mengangguk. “Minggu depan?” “Iya, Chef. Hari ini terakhir kita main, ya. Aku mau belajar untuk setia cuma ke pacarku.” “Tapi, dia kan belum tentu setia juga sama kamu. Selama di Jayapura apa kamu bisa jamin dia nggak main sama yang lain?” “Dia emang nggak main sama siapa-siapa selain aku, Chef. Makanya aku ngerasa jahat banget udah giniin dia. Chef juga harus belajar. Chef nggak bisa kayak begini terus, kan.” Entahlah. Entah sampai kapan aku akan terus begini. Apakah aku punya kesempatan untuk bisa menjadi baik ke depannya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD