YASA 5 : Masih Mau Menikmati Hidup

1764 Words
Tatjana pergi tanpa mengindahkan panggilanku. Dalam kondisiku saat ini, sangat tidak mungkin untuk mengejarnya. Semua yang hadir pun bertanya-tanya saat ku sebutkan namanya. "Ada teman saya. Teman lama yang kebetulan nggak sengaja saya lihat di antara bapak dan ibu yang hadir." "Kirain pacarnya Chef Yasa," celetuk seorang tamu yang berdiri di barisan tengah. "Oh, bukan," jawabku sekenanya. Lagi-lagi aku kehilangan jejaknya. Sampai hari ini pun ia belum juga merespons pesan terakhir yang kukirimkan padanya. Tatjana tak begitu menyambut dengan baik. Kulihat ia yang semakin ama semakin melangkah menjauh. Aku tak bisa membuat keadaan menjadi gaduh. Sebenarnya, bisa saja aku berhenti sejenak dan mengejarnya. Tapi, aku akan dinilai tidak profesional. “Lo kenapa?” tanya Raditya. “Ada orang yang harus gue cari, sih,” jawabku. “Siapa? Tatjana?” sahutnya. Aku pun segera memicingkan mata dan mengangguk ke arahnya. “Ngapai sih nyari dia? Lo mau apain dia? Mmau lo ajak kenalan, makan malam terus lanjut main di ranjang? Cukup ya, Bang. Cukup.” “Lo ngomong apaa, sih? Ngelantur banget.” “Tunggu. Lo tau dari mana kalo namanya Tatjana?” tong Raditya yang membuatku seketika bingung harus menjawab apa. “Lo tau dari mana? Jangan-jangan lo ngoprek tas gue, ya? Tas gue kan sempet ketinggalan di mobil lo. Dan pas gue balik dari rumah udah ada di apartemen. Ngaku, Bang!” “Iya ... iya gue ngaku. Gue baca daftar nama tamu yang ada di tas lo. Gue penasaran banget sama dia, Dit. Gue minta maaf.” “Terus, gimana caranya lo bisa nemuin dia?” “Gue cek daftar pengikut fanbase satu-satu,” jawabku. Raditya langsung menggleng-gelengkan kepalanya. “Tapi, gue nggak nemuin nama dia di list followers. Kayaknya dia beum follow, deh.” “Gila bener. Gue salut sama lo. Mati-matian gue berusaha untuk nutupin identitas mereka satu per satu. Tapi, tetep aja bocor sama lo sendiri. Kenapa niat banget, sih? Mau ngapain?” “Nggak mau ngapa-ngapain, Dit. Suwerrrr, deh. Lo jangan selalu nge-judge gue yang jelek, dong.” “Gimana gue nggak mau nge-judge jelek kalo lo aja senekat itu sampe ngubek-ubek tas gue. Lo mau nyari mangsa baru?” “Bukan mangsa, Dit. Gue cuma mau kenal aja sama dia. Gue udah coba kirim DM via i********: ke dia. Dan ....” “Dan apa?” selanya. “Dan kayaknya sambutan dia nggak begitu bagus. Mungkin dia cuma suka gue sebatas seorang entertainer dan nggak berambisi kayak cewek-cewek yang lain. Mereka malah sibuk kirim DM ke gue. Lo tau sendiri kan kalo DM gue setiap harinya selalu penuh dari mereka. Tapi, dia beda. DM gue dari beberapa hari yang lalu aja nggak dibales-bales.” “Ya berarti emang bener kalo dia nggak ngebet sama lo, Bang. Mundur aja udah, ya. Dari pada nanti lo malu ditolak sama cewek. Selama ini kan lo nggak pernah ditolak, jadi mental lo udah kebentuk nggak nerima penolakan.” “Nggak bisa begitu. Gue masih mau coba untuk usahain dia.” “Ya ampun. Kenapa susah banget sih ngajak lo tobat?” “Nggak usah sok ngajak gue tobat kalo lo aja masih minum.” “Kan cuma kadang-kadang. Bang, jangan jadi penjahat kelamin, lah.” “Gue bukan penjahat kelamin.” “Lo tidur sama cewek-cewek demi kepuasan lo.” “Gue sama mereka saling memuaskan, Dit. Sama sekali nggak ada paksaan dan perasaan yang terlibat. Kami sama-sama butuh.” “Apa sesuatu yang lo bilang butuh itu harus selalu diselesaikan di atas ranjang?” “Untuk saat ini, iya.” “Nikah, Bang. Lo bebas dan bisa memenuhi kebutuhan lo kapan pun dan di mana pun sama istri lo nantinya.” “Belum kepikiran ke arah sana. Gue masih mau menikmati hidup.” “Nggak tau kenapa gue punya feeling nggak enak aja soal lo. Nggak tau apaan, tapi gue ngerasa sesuatu bakal terjadi. Nggak tau kapan. Gue cuma takut hal yang bakalan terjadi ini berakar dari kebiasaan lo yang satu ini, Bang. Gue takut kalo nanti karier lo harus tamat cuma gara-gara ini.” Apa mungkin itu semua bisa terjadi? OoO Aku sengaja mengajak Amel—salah satu teman bermainku untuk menghadiri pesta pernikahan sepupuku. Susah payah kuminta Amel untuk menamaniku, padahal ia sedang banyak pekerjaan. Aku harus bisa melewati acara hari ini dengan sangat baik. “Yas, kamu kenapa reseh banget, sih? Kan kita udah sepakat untuk nggak muncul di publik layaknya pasangan.” “Aku butuh bantuan kamu, Mel.” “Aku sampe harus minta jadwalku digeser gara-gara kamu. Seenggaknya kalo kamu butuh bantuanku, bilang dari jauh-jauh hari. Sebel banget aku sama kamu. Ternyata kamu nggak cuma ngeselin kalo pas di ranjang aja.” Amel terus saja menggerutu di sepanjang perjalanan menuju ke tempat di mana acara berlangsung. Sebagai kompensasi, aku sudah menyiapkan sebuah hadiah yang pastinya akan membuatnya tak pernah berhenti tersenyum setelahnya. Sepasang anting berlian sudah kusiapkan khusus untuknya. “Buka, deh.” Kutunjuk laci dashboard mobil dengan daguku. “Aku punya sesuatu untuk kamu. Sebagai kompensasi untuk hari ini.” “Kamu lagi ngerayu aku, Yas?” “Menurut kamu? Aku nggak mau kamu ngambek. Nanti aku juga yang bakal kelimpungan pas lagi pengin.” “Kita udah lama lho nggak main. Selama nggak main sama aku, kamu main sama siapa, Yas?” tanyanya. Jangan main sama yang aneh-aneh ya, Yas. Aku nggak mau ketularan penyakit.” “Aku kan sealu pake pengaman, Mel.” “Kamu pernah satu kali nggak pake pengaman waktu kita main. Aku ketar-ketir waktu kamu bilang kalo kamu buang di dalam. Aku kan takut hamil. Posisinya aku masih ada beberapa kontrak kerja yang sama sekali nggak ngizinin aku untuk hamil. Apa lagi hamil di luar nikah. Bisa-bisa aku auto jadi pengangguran.” “Kalo kamu hamil ya kita tinggal nikah, Mel. Nggak usah dibuat ribet, lah.” “Idih. Ogah banget. Aku nggak cinta sama kamu. Aku mau tidur sama kamu aja gara-gara aku galau karena waktu itu baru aja diputusin Aldi. Eh, Aldi malah langsung deket sama Natasha. Aku tambah kesel, dong. Ngebayangin Aldi tidur sama Natasha bikin aku dongkol.” Ah, sebelumnya Amel memang pernah menjalin cinta dengan seorang fotografer ternama, Reynadi Paslah. Namun, entah gara-gara apa hubungan mereka yang sudah terjalin selama beberapa tahun akhirnya kandas. Aldi yang cepat move on pun sudah lebih dulu dekat dengan rekan Amel yang berprofesi sesama model. Amel bilang, ‘Temen makan temen’. Amel menerima ajakkan untuk tidur denganku karena dorongan hasrat yang sama yang juga dirasakannya. Bersama dengan Aldi, Amel merasakan nikmatnya surga dunia untuk pertama kalinya. Jadi, bisa dibilang kalau dia sudah sangat berpengalaman. “Mel, kalo nanti ada yang nanya kamu siapa ... bilang aja kalo kamu temen deketku, ya. Bisa, kan?” “Harus banget begitu, Yas? Kalo sampe mereka bener-bener ngira begitu gimana?” “Tolong, lah. Aku males ditanyain kapan nikah terus.” "Aku dapet apaan nih kalo bantuin kamu?” “Kan aku tadi bilang buka itu. Ada sesuatu untuk kamu.” Amel segera membuka laci dashboard sesuai perintahku. Kedua matanya berbinar terang saat melihat isi dari kotak beludru merah yang tengah terbuka di telapak tangannya. Benar apa kataku, kan? “Nah, kalo begini kan enak. Kamu serahin aja ke aku.” OoO Sesampainya di tempat acara, aku segera mengajak Amel untuk ikut berkumpul dengan kedua orang tua dan keluarga besar yang sudah lebih dulu hadir. Sesuai perkiraan. Inilah saatnya kutonton seberapa apiknya Amel bersandiwara. Kalau soal berlenggak-lenggok di atas catwalk, sudah tak perlu diragukan lagi. “Oh, jadi Amel teman dekatnya Yasa?” tanya Tante Rika. Papa dan Mama sontak segera melirik ke arahku. “Iya, Tante. Kebetulan nggak sengaja ketemu di stasiun TV beberpa tahun yang lalu. Selama ini, kami memang cuma teman. Tapi, lama-lama malah berasa nyaman. Eh, malah lebih dari sekedar teman,” jawab Amel sambil tertawa pelan. “Aku sama Yasa ya cuma ikutin alurnya aja, kok. Masalah ke depannya, kami serahin ke Yang di Atas. Iya nggak, Yas?” Hebat! Bukan main! Aku hanya memintanya menjawab seperlunya. Tapi, improvisasi yang baru saja dilakukannya membuatku sangat kagum. “I—iya. Kalo nanti kami berdua berjodoh, secepatnya aku bakal kasih kabar ke keluarga besar. Siapa tahu tahun depan giliran Papa dan Mama gelar hajatan, kan?” Dan setelahnya, aku dan Amel diperkenalkan pada sebagian tamu yang hadir sebagai sepasang kekasih. Agak miris memang. Aku dan Amel sudah entah berapa kali menghabiskan malam-malam di atas ranjang tanpa adanya status. Jangankan status, keterkaitan perasaan satu sama lain saja tidak pernah ada. Kami hanya sebatas friends with benefit. Aku butuh dia, ia juga membutuhkanku. Dan kami akan berakhir di atas ranjang. “Kamu tuh bener-bener ya, Yas,” bisik Mama saat aku baru saja mengambil buah pencuci mulut. “Kamu pikir Mama nggak tau kalo kamu lagi sandiwara. Jangan aneh-aneh deh, Yas. Kalo tahun depan nggak hajayan kan malu.” “Kan masih ada tahun-tahun setelahnya, Ma,” sahutku enteng yang mendapat satu tepukan keras di bahuku. “Sakit, Mama.” “Kamu kenapa suka banget bikin Mama mikir sih, Yas? Udah sana kamu balik temuin om dan tante kamu.” Selesai acara, aku dan Amel memutuskan untuk pulang ke apartemenku. Sepertinya menghabiskan malam yang dingin karena derasnya hujan di atas tempat tidur bukanlah hal buruk. Terkadang, olah raga memang tak harus selalu dilakukan di pusat kebugaran. Permainan ini justru menguras lebih banyak kalori. “Kamu nggak grogi kan main sama aku setelah lama banget nggak pernah main?” ucap Amel. “Nggak, lah. Aku kan udah pro.” “Pake pengamannya, Yas. Aku nggak mau kebobolan. Aku baru kelar mens soalnya.” Aku merogoh laci nakas di sebelah tempat tidur dan mengambil sebungkus pengaman yang memang kusimpan di sana. Setelah memakainya, aku pun segera melancarkan aksi. Astaga! Ini sangat nikmat. Gemuruh halilintar meredamkan teriakan dan desahan yang tercipta. Amel yang berada di bawah tindihanku pun sudah mengangkat bendera putih tanda menyerah. Dia sudah sangat kelelahan. “Gila! Kamu kuat banget, sih? Kurang-kurangin nge-gymnya, deh. Bahaya banget. Stamina kamu tahan lama. Aku kewalahan,” ucapnya yang membuatku terkekeh. “Kamu dari dulu emang kayak begini ya, Yas?” “Maksud kamu?” “Maksud aku, apa kamu udah kayak gini sejak pertama kali main sama ... siapa itu namanya? Aku lupa, deh. Tunangan kamu yang kabur nggak tau ke mana.” “Claudia?” “Iya. Claudia. Kamu ilang perjaka sama dia, kan?” lanjutnya. Aku mengangguk. “Aku sama dia sama-sama ngelakuin itu untuk yang pertama kali waktu kami masih sekolah kuliner.” “Kalo kalian nikah, mungkin kamu nggak akan tidur sama cewek-cewek, termasuk aku, Yas.” “Udah, lah. Jangan dibahas lagi. Aku ngantuk.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD