Kehidupan manusia memang sejatinya tergolong dalam beberapa kasta, kelas dan status sosial yang seolah membedakan setiap manusia pada umumnya. Status sosial setiap orang akan menentukan bagaimana orang lain akan memandang mereka.
Ada di antara banyak kalangan itu yang paling mendominasi seolah menjadi predator tertinggi dan kadangkala bertindak sebagai penguasa. Mereka yang disebut elit, konglomerat, eksekutif, pesohor. Apa pun sebutan untuk kaum kelas atas itu. Yang jelas, hanya mereka yang punya kekuasaan dan materi yang lebih –di atas rata-rata– dan memang bergelimang harta yang pantas mendapatkan sebutan itu, ‘Miliarder'.
Satu di antara kaum kelas atas kalangan miliarder itu adalah Kim Seo Hyung. Putra mahkota dan kebanggan keluarga Kim. Klan yang terkenal dengan kekayaan, disiplin, dan punya integritas juga reputasi yang begitu baik. Bahkan menuntut kesempurnaan di balik nama KIM itu sendiri.
Baik sikap, tutur kata dan perilakunya, menggambarkan citra yang sempurna hingga orang-orang bisa tahu bagaimana pria itu dibentuk dan seperti apa kehidupannya selama tiga puluh tahun.
Jelas saja Kim Seo Dam ayah Seo Hyung, ia dikenal sebagai sosok yang disiplin dan juga tegas. Terbukti dari keberhasilannya membawa perusahaan miliknya ke kancah internasional. Apa pun yang terjadi dalam keluarganya, semua itu harus sejalan dengan pemikiran sang kepala keluarga, yaitu Kim Seo Dam.
“Selamat pagi, Pak.”
Semua orang kini tengah menyapa dengan begitu sopan sampai membungkukkan badan ketika seorang pria dengan tampilan smart casual tengah berjalan begitu gagah memasuki bangunan tinggi dan megah yang merupakan rumah kedua baginya. Salah satu perusahaan properti terbaik dan terbesar di Korea Selatan.
Ohya, jangan lupa ketampanan itu. Visualisasi yang erat sekali dikaitkan dengan kalimat ‘Good looking’ membuat para wanita terlalu sering meneriakkan namanya di dalam hati, juga tak jarang membuat kaum lelaki merasa terintimidasi.
Pria dengan tinggi 183 cm, paras yang luar biasa tampan dengan lesung pipi yang semakin menambah pesonanya. Ia tak kalah modis dengan para pesohor terkenal dari Negeri Ginseng itu. Pria berkharismatik itu akan tetap terlihat tampan walau hanya berbalut karung sekalipun. Tapi itu tidak mungkin. Kim Seo Hyung seorang miliuner dari keluarga terpandang. Tampilan formal dan kasual harus tetap terlihat modis baginya. Itu sudah menjadi sebuah tuntutan.
“Selamat datang, Pak.”
Sejak tadi pria berpostur tubuh tinggi tegap itu hanya mengangguk ketika para staf menyapa dirinya. Sekedar memberi dua lesung pipi yang sangat mempesona untuk merespon setiap sapaan selamat pagi dari bawahan.
Pintu lift terbuka. Kaki jenjang itu kembali melangkah. Lantai 30 menjadi satu-satunya lantai yang di khususkan menjadi kantor dan ruang pribadi sang CEO berdampingan dengan ruangan dari sang pemilik perusahaan.
Seo Hyung menarik napas panjang ketika tangannya hendak mendorong pintu menuju ruang kerjanya. Disinilah ia, di tempat yang sudah sejak kecil disediakan baginya. Namanya terukir dengan tulisan Hangeul pada sebuah papan persegi panjang setinggi lima belas senti yang terbuat dari pahatan kayu mahal. Berwarna coklat dan dilapisi emas pada setiap tulisannya.
KIM SEO HYUNG – CHIEF EXECUTIVE OFFICER.
Pria dengan sejuta pesona itu mulai menyibukan dirinya. Tidak ada waktu untuk bersantai sebab segala sesuatu yang ia miliki, semua waktu yang ia punya, semua itu sudah memiliki porsi yang paten telah ditentukan. Tidak boleh ada satu detik pun yang terbuang percuma. Karena dalam otak seorang Kim Seo Hyung hanya ada bisnis … bisnis … dan bisnis.
Hanya saja, ada sesuatu yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Sejak ritual minum teh hijau bersama sang ibu yang setiap hari tidak boleh ia lewatkan. Perkataan nyonya Kim benar-benar mengusik putranya.
‘Ahn Lee sudah menyelesaikan pendidikannya di London. Dia sudah di Seoul, dan ayahmu mengundang keluarga Park untuk makan malam bersama. Siapkan dirimu. Kalian sudah dewasa. Sudah saatnya memikirkan masa depan.’
Kalimat sederhana itu nyatanya langsung membuat Seo Hyung merasa terbebani. Walau sejak kecil ia sudah tahu siapa yang akan menjadi istrinya kelak. Park Ahn Lee adalah gadis yang sejak kecil sudah dijodohkan dengannya.
Siapa Park Ahn Lee, dan bagaimana dirinya sekarang pun tak pernah menjadi buah pikiran Kim Seo Hyung. Karena nyatanya, dia dan calon istrinya tak pernah bertemu selama dua puluh tahun lebih.
Pernikahan ini tak lebih dari sekedar hubungan politik. Istilah menikahi tulang suci dari dinasti Joseon nyatanya masih berlaku bahkan di zaman yang semakin modern. Tak terkecuali orang-orang cerdas dari kalangan bertahta di Korea Selatan. Kadangkala pernikahan hanya dijadikan alasan untuk membangun relasi. Menyatukan kedua perusahaan agar makin kuat, kokoh dan tak terkalahkan.
Seolah-olah sumber daya manusia yang telah bekerja keras pada perusahaan mereka, seakan tidak memiliki arti. Belum lengkap jika kedua belah pihak belum menyatu secara darah dalam bentuk keluarga. Hal itu juga berlaku pada keluarga Kim.
Untuk apa mencintai? Apakah Kim Seo Hyung diberikan kesempatan untuk mencintai?
Tidak pernah.
Jangankan untuk mencintai, bahkan untuk menentukan warna baju yang akan ia kenakan, rasa-rasanya semua itu harus melalui persetujuan sang ayah.
Itu sudah berlaku sejak dahulu.
Sejak kecil kehidupan Kim Seo Hyung sudah ditentukan. Gerak-geriknya sudah diawasi. Alasannya sederhana, hanya karena kehidupan keluarga Kim yang sudah terlanjur menjadi bahan yang layak diperbincangkan oleh banyak orang. Menjadi konsumsi publik yang terlalu ramai diberitakan lewat media massa. Walau kenyataannya keluarga Kim bukan dari kalangan selebriti.
Pergaulan Seo Hyung hanya berpusat pada anak-anak para konglongmerat yang setiap kali bertemu hanya berbicara seputar bisnis dan saham. Kadangkala membosankan. Tapi mau bagaimana lagi. Semakin tinggi kasta mereka, semakin berbeda gaya hidup dan pergaulan mereka. Semakin juga mereka terkekang.
Jadi bagi seorang Kim Seo Hyung, ia hanya hidup untuk citra seseorang yaitu Kim Seo Dam, sang Presdir yang merangkap sebagai ayah. Ia terus dituntut untuk mendedikasikan seluruh hidupnya untuk nama baik keluarga. Seperti itulah kehidupan Kim Seo Hyung selama tiga puluh tahun.
Suara ketukan pintu tak mampu mengganggu konsentrasi pria berdarah Kim itu. Ia tetap sibuk memperhatikan grafik di layar monitor.
“Permisi, Pak ....”
Seorang wanita pertengahan tiga puluh, muncul dari balik pintu. Ia langsung membungkukkan badan. Walau sebenarnya sang bos tidak terlalu memperhatikannya. Kim Seo Hyung tidak menggubris.
“Presdir Kim memanggil Anda untuk segera ke ruangannya.”
Jemari yang tadinya begitu lincah di atas keyboard komputer itu, sontak berhenti. Seperti di beri komando. Perlahan-lahan tatapannya pun terangkat, mengintip lewat layar monitor, melirik pada wanita di depannya.
Kim Seo Hyung akhirnya bergeming saat mendengar nama seseorang –Presdir Kim– yah, nama itu langsung membuatnya berhenti dari segala aktivitasnya.
Ia berdiri dan tanpa berkata apa pun, Kim Seo Hyung langsung meninggalkan ruang kerjanya. Lantas raut wajahnya pun ikut berubah. Awalnya datar kini berubah tegang. Seolah tertekan dan memang begitu tertekan.
Terdengar dari hembusan napas panjang yang menggema di depan wajah tegang itu, menandakan betapa besar tekanan yang sedang ia alami. Walau belum bertemu sang Presdir namun, Kim Seo Hyung tahu jika setelah melewati pintu kayu raksasa di depan sana, ia akan menerima perintah. Entah perintah apa itu namun, intuisinya menangkap sesuatu mengerikan di sana.
Kim Seo Hyung berada tepat di depan sebuah pintu kayu berukuran raksasa yang menjulang tinggi. Ia memegang kedua gagang pintu yang terbuat dari perak dan emas. Menunduk dan bertahan di sana beberapa lama. Kembali lagi Kim Seo Hyung menarik napas dalam-dalam lantas tangannya mulai mendorong pintu dengan gerakkan lambat.
“Fyuhhh ….” Desahan napasnya terdengar samar.
“Ya, Pak Presdir.”
Kim Seo Hyung menyapa kemudian membungkuk selama beberapa detik dan kini ia mulai mengangkat wajahnya. Menatap dengan penuh rasa hormat, tapi juga ada ketakutan besar di sana. Ketika Ia menatap sepasang netra berwarna hitam yang tampak begitu tajam bagai mata elang dengan raut wajah tegas tak bersenyum.
Tidak ada kalimat yang keluar dari pria paruh baya di depan Seo Hyung selain dengan gerakan telunjuk dan jari tengah yang memberi kode jika Seo Hyung harus segera mendekat dan duduk di depannya.
“Nona Nam,” panggil pria paruh baya itu. Suaranya berat, serak dan dalam.
“Ya, Pak Presdir,” sahut wanita pertengahan empat puluh yang sejak tadi berdiri di samping kursi kerja milik Kim Seo Dam.
Gerakan jari telunjuk dan jari tengah dari sang Presdir membuat wanita yang merupakan sekretarisnya itu mengeluarkan sesuatu dari balik catatan yang ada di tangannya. Sebuah lembaran kertas yang kemudian diserahkannya kepada Kim Seo Hyung.
Seo Hyung mengerutkan dahi, namun tangannya tetap meraih secarik kertas itu.
‘Halo selamat datang, perkenalkan nama saya Kim Seo Hyung, saya adalah anak tertua dari keluarga Kim. Terima kasih sudah datang memenuhi undangan makan malam kami. Selamat datang nona Park …’
Seo Hyung membaca dalam hati. Setiap kalimat yang tertera, paragraf demi paragraf yang seolah setiap katanya ingin mengatakan jika Seo Hyung adalah pria paling bodoh. Yah, memangnya siapa lagi yang dengan bodohnya menghafalkan sesuatu hanya untuk menyambut tamu. Memangnya tuan Kim Seo Dam lupa jika anaknya seorang CEO dan dia begitu mahir membangun kerja sama dengan banyak perusahaan lewat tutur bahasanya.
Tapi, lagi-lagi ayahnya ingin memperlihatkan kekuasaan tak terbatas yang dimilikinya. Otoritas milik Kim Seo Dam yang kembali mengingatkan Seo Hyung bahwa dia hanya seekor anak itik yang harus terus berjalan di belakang induknya.
“Ayah-,” Seo Hyung menggeleng, mengoreksi ucapannya. “Maksudku … tuan Presdir, aku tidak butuh-“
“Kau membutuhkannya,” hardik sang Presdir.
Kim Seo Hyung membuang napas berat seraya memalingkan wajah.
“Tidak boleh ada satu kalimat pun yang tidak sesuai dengan tulisan itu. Lagi pula, kau harus menghargai usaha nona Nam dalam
menyusun semua kalimat itu,” lanjut Kim Seo Dam.
Seo Hyung hanya bisa menelan ludah. Satu sisi tangan pria itu telah mengepal dengan kuat di atas pahanya sementara ujung lembaran kertas yang ada di tangan kirinya mulai berubah kusut.
“Jangan lupa untuk menggunakan pakaian terbaik. Jas resmi. Karena ini makan malam resmi,” tambah Presdir Kim.
“Ohya satu lagi-,” Presdir Kim kembali memberikan selembar kertas, kali ini tulisannya lebih banyak dari kertas sebelumnya dan kurang lebih isinya sama. Mengenai kalimat yang harus diucapkan oleh Kim Seo Hyung.
“Gunakan itu untuk wawancara dengan wartawan CTBS. Mereka akan mewawancarai kamu di dalam ruangan. Berikan kesan terbaik.”
Seo Hyung tersenyum miring. Astaga, gelar MBA yang didapatkan saat kuliah di AS dulu seolah tidak ada gunanya di mata sang ayah. Seo Hyung merasa jika dia adalah lelaki paling bodoh dengan predikat CEO.
Apa yang selama ini diberitakan di media, tercetak dalam majalah bisnis, semua itu sebenarnya hanya sebuah tulisan yang terlalu di lebih-lebihkan. Pemberitaan yang hanya menampilkan citra tanpa menyelidik lebih banyak.
Karena nyatanya, kecerdasan dan intelektual yang dimiliki oleh seorang Kim Seo Hyung tidak lebih dari sekedar gelar untuk mengangkat derajat keluarga Kim semakin naik dan terpandang.
Namun, jika saja mereka bertanya ‘Seberapa hebat Kim Seo Hyung membangun dirinya sendiri?’ ia pasti akan memilih untuk menundukkan kepala. Karena nyatanya, pria itu tak pernah sekalipun berani mengangkat wajah di depan sang ayah. Membantah kalimat yang bahkan sudah menyela harga dirinya. Tidak.
Dalam sejarah keluarga Kim tak pernah ada seorang anak yang melawan kehendak sang ayah. Terlebih untuk seorang Presdir Kim Seo Dam. Wataknya harus benar-benar melekat hingga pada keturunannya.
Sang Presdir tak pernah peduli jika semua tindakannya malah membuat Kim Seo Hyung semakin tertekan. Perintah Kim Seo Dam adalah titah yang tidak boleh dibantah.
Kim Seo Hyung merasa jika dirinya tak lebih dari seorang pecundang dalam balutan jas mahal. Seorang lelaki yang hanya mampu mempertahankan martabat keluarga namun tak sanggup mengangkat harga dirinya sebagai pria jantan.
“Ayah, bukan-“ Seo Hyung menggeleng lagi. Kali ini sambil tersenyum getir. “Pak Presdir," sebutnya dengan nada penuh penekanan.
"Untuk hal sekecil ini, hanya untuk berbicara dengan wartawan apakah aku harus selalu memakai naskah seperti ini?” Nada suara Seo Hyung hampir meninggi.
Kim Seo Dam memandang putranya dengan pandangan sinis. Dahinya mengerut dengan setengah alis yang melengkung ketengah.
“Sejak kapan kau diberikan hak untuk mempertanyakan keputusanku?” tanya pria itu dengan suara tegas tak bernada.
Seo Hyung memalingkan wajah. Mendadak atmosfer dalam ruangan ini ikut berubah. Atau, hanya Seo Hyung yang merasa terbakar.
Tampak jelas rahang yang mengeras dari balik wajah tampan itu. Kim Seo Hyung makin mengencangkan kepalan tangannya. Pembuluh darahnya serasa membesar menahan amarah yang hebat dalam dirinya.
Kim Seo Hyung menunduk. Matanya mendadak perih hingga ia perlu memalingkan wajah sambil mengatur deru napasnya yang mulai bergemuruh.
“Presdir Kim ….” Seo Hyung kembali memanggil dengan suara pelan, hampir lirih. Namun, melihat raut wajah ayahnya, lagi-lagi Seo Hyung merasa terintimidasi. Keberaniannya lenyap begitu saja ketika menatap sepasang iris gelap penuh aura menakutkan di depannya.
“Selama aku masih bernafas, artinya selama itu aku masih harus terus mengajarimu. Ingat baik-baik Seo Hyung, kau adalah cermin dari diriku. Apa pun yang-“
“Apa pun yang aku lakukan dan apa pun yang aku katakan semuanya harus melambangkan citra seorang Kim Seo Dam benar-benar melekat erat di dalam diriku. Bukan begitu Sajangnim?”
Seo Hyung mengatakan panggilan itu dengan penuh penekanan membuat Kim Seo Dam menggeram dalam hembusan napas yang tertahan. Rahangnya mengencang di ikuti suara kertakan gigi.
“Tenang saja, Pak Presdir, kalimat itu sudah tertulis jelas di dahiku. Anggap saja itu jimat keberuntungan tapi juga sebuah kutukan!”
“Ap- hei ….” Kim Seo Dam berteriak. Ia membanting kepalan tangannya ke atas meja.
"KIM SEO HYUNG!" geram Presdir Kim. Putranya tak menggubris. Ia bergegas meninggalkan ruangan ayahnya.
Kim Seo Hyung bisa menerima apa pun. Kim Seo Hyung bisa menerima jika dirinya tidak boleh berpacaran dengan sembarangan wanita. Tidak boleh berteman dengan sembarangan orang. Tidak boleh berpakaian sembarangan dan tidak boleh makan sembarangan. Yah, apa pun itu. Atur saja sesuka hati. Selama 30 tahun Kim Seo Hyung terus diam. Tak pernah membantah.
Tapi, yang barusan itu. Astaga!
Kalimat itu sederhana sekali. Bahkan seorang berandalan lulusan SD mampu melapalkannya. Bagaimana dengan Kim Seo Hyung yang berpredikat jenius? Lulusan terbaik Biola University dengan predikat akademik tertinggi di angkatannya. Akankah untuk menyambut tamu dan berbicara dengan wartawan, ia harus membaca script? Ini sangat tidak manusiawi bagi seorang Kim Seo Hyung.
Seo Hyung berjalan tergesa-gesa dengan raut wajah kesal dan rahang yang mengencang. Ia meraih gagang pintu dan langsung membanting benda raksasa itu ketika tubuhnya telah berhasil melewati pintu tersebut.
“SIALAN!”
Mengumpat dengan kuat. Hanya itu yang bisa dia lakukan sebagai bentuk pelampiasan rasa frustasinya.
“Wow … calm down my dear,”
Belum habis Seo Hyung melampiaskan rasa kesalnya, kini ia pun kembali di kagetkan dengan sebuah objek berbentuk individu yang kini tengah duduk di atas singgasananya.
“Kau?”
Seo Hyung mengerutkan kening saat matanya kini sedang bertatapan dengan sepasang iris, sebenarnya berwarna hitam namun ia membalutnya dengan lensa berwarna abu-abu. Seorang wanita dengan pakaian modis, rok mini merek terkenal. Ia sedikit tertolong dengan atasan dari rajut sweater bahan terbaik. Lengan panjang dengan sedikit belahan di bagian d**a. Seksi. Seperti itulah kesan yang sedang ditunjukkan oleh sang gadis.
Sambil terus menatap pria berwajah gusar di depannya, gadis itu pun bangkit. Ia berjalan dengan langkah yang begitu pelan seolah ingin memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah berharap mata Seo Hyung akan memandangnya lapar namun, nyatanya untuk memperhatikannya saja terasa tidak mungkin apalagi untuk menikmatinya. Tidak. Kim Seo Hyung bukan tipikal pria yang lapar mata saat melihat lekuk tubuh kaum hawa.
“Lama tak jumpa, Seo Hyung. Ah … bukan-,” Gadis itu mengangkat dagunya tinggi dan kini ia tepat berada di depan tubuh Seo Hyung. Berdiri berhadap-hadapan sambil mencoba memberi tatapan intens yang nyatanya tak berpengaruh bagi Seo Hyung.
Perlahan tangan sang gadis mulai menarik dasi yang menempel di depan d**a Seo Hyung.
“Sa … jang … nim,” ucapnya dengan suara yang sengaja dibuat pelan. Harapannya agar terdengar menggoda.
Seo Hyung langsung menghempaskan tangan gadis itu dari depan dadanya. Tatapannya berubah nyalang membuat gadis yang berdiri di depannya mendecih sinis.
"Cih!" Sudut bibir gadis itu terangkat. Matanya memberi tatapan sinis pada Seo Hyung.
“Maaf, Nona sepertinya aku tidak mengenalmu. Bisa tolong tinggalkan ruanganku?” ucap Seo Hyung. Masih mencoba mempertahankan nada pelan walau sorot mata pria itu cukup mengartikan jika sebenarnya ia ingin menampar gadis di depannya.
Gadis di depan Seo Hyung menggelengkan lambar-lambat. Ia mendecih sambil bersedekap memandang manik berwarna cokelat milik Kim Seo Hyung.
“Sekarang aku mulai mengerti mengapa rumor tentang dirimu yang katanya seorang ‘gay’,” Gadis di depan Seo Hyung menggerakan kedua jari telunjuk dan jari tengahnya saat menyebutkan kalimat gay yang sontak membuat Seo Hyung meradang.
“Hei nona, jaga bicaramu!” geram Seo Hyung. Pagi harinya sudah cukup dibuat kesal oleh sang ayah dan kini di depannya ada seorang gadis yang entah siapa dan datang dari mana. Berani-beraninya ia menuduh Seo Hyung tanpa alasan yang jelas.
Gadis itu tersenyum miring. Dia menatap Seo Hyung dan kini tatapannya berubah. Sinis dengan seringaian yang terbit di ujung bibir.
“Dari sekian banyak artikel yang k****a tentang dirimu, aku tidak menyangka jika kau seorang temperamental. Ah-ah ….” Kembali ia mengangkat wajah, memperlihatkan dagu lancipnya sebelum melanjutkan kalimat, “Kau benar-benar tidak cocok menjadi suamiku.”
Sudut bibir gadis itu makin naik, dengan tatapan yang semakin sinis. Tak ada kalimat lagi darinya. Wanita muda itu langsung melangkahkan kaki jenjangnya. Sengaja menabrakan diri pada pundak Seo Hyung lalu akhirnya ia keluar dari ruangan itu.
Seo Hyung mengerutkan dahi. Otaknya dengan cepat merespon ucapan gadis yang baru saja keluar dari ruang kerjanya.
‘Dia bilang suami?’
“Apakah dia ….” Seo Hyung berbalik. Jika benar dugaannya, maka nasib sial Seo Hyung akan terus berlanjut.
“Sial!” Seo Hyung mengumpat. Lututnya langsung memutar dan seketika kakinya langsung berlari meninggalkan ruang kerjanya.
“Nona …” Seo Hyung berteriak di depan kantornya. “Hei, tunggu!”
Kim Seo Hyung berlari ketika dilihatnya pintu lift sedang terbuka dan seseorang yang tengah berjalan angkuh sambil memeluk tubuhnya sebentar lagi akan melewati pintu lift.
“Nona ….”
Seo Hyung berusaha keras. Memanggil gadis itu sambil berlari berusaha menggapai lift namun, ketika ia mendongakkan kepala, yang dilihatnya hanya senyum iblis dari gadis itu sebelum akhirnya pintu lift menutup sempurna.
“Ah sial!” geram pria itu.
Entah apa yang terjadi pada Seo Hyung hari ini. Sepertinya dari sekian banyak hari sial, hari ini merupakan puncak dari semua kesialannya. Padahal sudah ada script di tangannya untuk menyambut gadis itu. Jika dia benar adalah calon istri dari Kim Seo Hyung, maka kini pria itu sedang dalam masalah besar.