“Maaf, kita sudah mengobrol, tapi kita belum saling kenal. Kenalkan, aku Viola. Panggil saja kak Vio.” Viola mengulurkan tangannya ke arah Amanda.
“Aku Amanda Ramadhani. Biasa dipanggil Amanda atau Manda saja.” Amanda menerima uluran tangan itu seraya tersenyum.
“Umur kamu, berapa?”
“Dua puluh tahun, Kak.”
“Kuliah di mana?”
“Aku kuliah di UNP, Kak. Ambil jurusan Teknik Sipil. Aku punya impian, nanti kalau sudah lulus, mau lanjut S-2 arsitektur.” Amanda menjawab seraya tersenyum. Senyum gadis itu sangat manis, Viola semakin tertarik.
Tidak lama, makanan yang mereka pesan datang. Viola mulai menyeruput minuman yang sudah ia pesan.
“Baguslah ... berarti butuh biaya besar ya?” ucap Viola seraya menyeruput lagi minumannya.
“I—iya, Kak. Aku tahu, itu hanya sebatas mimpi. Seorang gadis miskin tapi punya cita-cita besar, hehehe.”
“Kenapa tidak? Bukankah setiap manusia boleh bermimpi setinggi mungkin?”
“Tapi tidak sedikit yang mengejek dan meremehkan aku, Kak. Terlebih saat ini, aku kuliah hanya mengandalkan beasiswa saja.” Amanda masih belum menyentuh makanannya. Ia masih canggung.
“Amanda, silahkan di makan dan diminum. Itu kita pesan, bukan untuk dilihat saja. Tapi memang untuk dinikmati.” Viola bersikap sangat manis dan ramah.
“I—iya, terima kasih.”
Dengan sedikit gemetar, gadis itu mulai mengambil makanannya menggunakan sendok dan garpu yang ada di atas piring. Baru saja satu sendok nasi masuk kemulutnya, ia langsung tercenung.
“Ada apa, Manda?” Viola heran.
“Kak, ini enak sekali. Amanda tidak pernah makan nasi goreng seenak ini. Pantas saja harganya mahal, hehehe.” Gadis polos itu semakin membuat Viola gemas. Ia sudah tidak sabar ingin membawa gadis manis itu menemui bosnya.
“Kalau begitu, ayo habiskan!”
“Kak, maaf ... apakah bisa Amanda sisakan setengahnya? Manda mau bawa pulang untuk ayah. Ayah pasti belum pernah makan nasi goreng seenak ini. Apalagi ada campuran udang dan cumi seperti ini.” Amanda menatap Viola, netranya penuh harap.
Viola menarik napas sejenak, “Tidak perlu disisakan. Nanti akan aku pesankan satu bungkus untuk ayahmu.”
“Benarkah?” Viola mengangguk.
“Kakak uangnya banyak ya, pasti gaji kakak sangat besar.” Amanda mulai mencair dan kembali bersemangat.
“Tentu saja. Kamu juga bisa seperti kakak, kalau mau bekerja dengan baik.”
“Oiya?”
“Jangankan membeli nasi goreng seperti ini, kamu bahkan bisa membeli sepeda motor untuk ayahmu.”
“Memangnya pekerjaan seperti apa?”
“Setelah kita makan, kakak akan bawa kamu menemui bos kakak, okay.”
“Iya ....”
“Kalau begitu, segera habiskan makananmu.”
Amanda begitu menikmati hidangan yang kini ada di hadapannya.
***
Tiga puluh menit berselang, Amanda dan Viola sudah menyelesaikan makan siang mereka. Amanda yang awalnya gundah, kini tampak mulai bersemangat. Perutnya yang semula lapar, kini sudah kenyang. Tak lupa, Viola menepati janjinya. Ia membelikan sebungkus nasi goreng seafood untuk ayah Amanda.
“Amanda, sudah siap bertemu dengan calon bos kamu?” Viola berkata sesaat setelah membayar semua pesanannya.
“He—eh ... bosnya galak nggak, Kak? laki-laki apa perempuan?” Amanda gugup.
“Bosnya perempuan. Dia orang yang baik, ramah dan juga cantik. Kamu pasti akan menyukainya.”
“Benarkah?” Viola mengangguk.
“Eh, itu taksi online kita sudah datang. Ayo kita segera berangkat.”
Amanda menurut, ia mengikuti Viola.
Lima belas menit berlalu, akhirnya taksi online yang mereka tumpangi berhenti si depan sebuah klinik kecantikan.
Amanda turun dan memperhatikan gedung berlantai dua itu. Gedung itu lebih mirip sebuah rumah tinggal. Pekarangannya luas dengan berbagai tanaman dan pepohonan yang rindang. Pada bagian halaman klinik itu, terdapat sebuah kafe dengan desain outdoor yang begitu memanjakan mata pengunjungnya.
Atap kafe itu terbuat dari fiber bening dan tebal. Bagian atas atap itu, ditumbuhi tanaman rambat yang sangat rimbun. Sisi kanan kafe, ada dinding yang di bentuk sedemikian rupa sehingga mirip bebatuan dan pegunungan. Ada kolam ikan di bawahnya dan pada dinding itu, mengalir air bening yang begitu menenangkan.
Amanda begitu terpesona melihat bangunan yang ada di hadapannya.
“Ada apa, Amanda?”
“Desain arsitekturnya bagus sekali.”
“Owh ... tapi kamu tidak akan bekerja di kafe itu. Ayo kita temui calon bosmu.” Amanda mengangguk. Netranya terus menatap keindahan desain kafe yang ada di sana.
“Siang kak Viola ....” Beberapa resepsionis klinik itu menyapa Viola secara bersamaan. Mereka sepertinya sudah akrab dengan wanita itu.
“Siang ... mami ada’kan?”
“Ada, Kak. Mami sudah menunggu kakak dari tadi.”
“Ya sudah, aku ke atas ya .... Manda , ayo ikut aku.”
“I—iya, Kak.” Gadis polos itu salah tingkah dan mulai gugup.
Sembari melangkah, Amanda terus saja memperhatikan setiap sudut ruangan itu secara detail dan rinci. Ia memang begitu menyukai desain dan bangunan. Sedari kecil, impiannya adalah menjadi seorang arsitek handal. Menggambar adalah salah satu hobi dan keahlian Amanda.
Bugh ...!!
Karena tidak memperhatikan jalan, Amanda tidak tahu jika Viola sudah berhenti di depan sebuah pintu. Ia menabrak wanita itu.
“Amanda? Kamu tidak fokus?”
“Ma—maaf, Kak. Manda terlalu memperhatikan detail bangunan ini.” Gadis itu menunduk.
Viola menggeleng, “Ya sudah, ayo kita temui mami. Dia adalah bos di tempat ini. Termasuk kafe yang begitu kamu kagumi tadi.”
“I—Iya,Kak.”
Tok ...
Tok ...
Viola mengetuk pintu.
“Masuk ....” Terdengar sebuah suara dari dalam.
“Siang Mami, apa kabar?” Viola mendekat dan memeluk serta mencium pipi wanita paruh baya itu.
“Baik ... kamu sendiri?”
“Mobilku masih di tahan sama rentenir sialan itu, Mami ... Tolong dong, Mami. Bantu aku untuk menebus mobilku.” Viola tampak sudah begitu akrab dengan wanita yang ia panggil dengan sebutan mami, itu.
“Salahmu sendiri. Mengapa membuat hutang yang begitu besar kepada rentenir.”
“Mami jangan begitu dong, Mi?” Viola merajuk.
“Mami sudah kasih kamu solusi bukan? Temukan barang yang mami butuhkan, maka kamu akan dapat imbalannya.”
“Tenang mami ... aku sudah temukan barangnya, itu.” Viola berbisik ke telinga Lina—bos pemilik klinik kecantikan sekaligus kenalan seseorang.
Lina bangkit dari duduknya, berjalan dengan anggun ke arah Amanda. Wanita empat puluh lima tahun itu memang terlihat masih sangat cantik dan segar. Tubuhnya langsing dengan tinggi semampai. Rambut lurus sebahu, pakaian yang modis dan gundukan kembar yang besar, membuat wanita paruh baya itu masih terlihat sangat memesona.
Lina terus memperhatikan Amanda dari ujung rambut sampai ujung kaki. Wanita itu juga memegangi rambut Amanda dan menyibak rambut itu sebentar, untuk memastikan apakah gadis itu bersih dari kutu rambut.
Amanda mulai gelisah dan sedikit menggigil. Ia ketakutan. Ia terus memegangi tali tas selempang lusuhnya dengan ke dua telapak tangannya.
“Manis juga ... Siapa namamu, Cantik?” Lina yang sedikit lebih tinggi dari Amanda, bertanya kepada gadis itu.
“Sa—saya Amanda, Tante. Amanda Ramadhani.” Amanda menjawab dengan terbata.
“Umurmu?”
“Du—dua puluh tahun.” Amanda semakin ketakutan. Ia menjawab seraya menggigit bibir bawah.
Lina begitu gemas melihat gadis itu. Apalagi melihat bibir ranum yang dimiliki Amanda. Bibir yang belum tersentuh oleh apa pun. Lina yakin, jangankan berciuman, memakai lipstik saja, gadis itu pasti belum pernah.
“Katanya kamu seorang mahasiswi?”
“I—Iya, Tante. Tapi, semester ini se—sepertinya saya harus istirahat. Sa—saya tidak punya biaya.” Amanda menunduk, netranya mulai berkaca-kaca.
“Ayahmu sedang sakit?”
Amanda mengangguk. Ia semakin gemetar.
Lina mengangkat wajah Amanda dengan telapak tangannya. Wanita itu mulai mengelus lembut wajah kuning langsat milik Amanda. Wajah itu sangat bersih dan mulus.
Tiba-tiba, tetesan bening itu pun keluar dari netra cokelat pekat milik Amanda.
“Kenapa kamu menangis?”
Amanda menggeleng, “Ti—tidak tahu, Tante.”
“Benar kamu mau uang?”
Amanda hanya diam.
“Memangnya kak Viola tidak mengatakan, pekerjaan apa yang akan kamu kerjakan?”
Amanda menggeleng.
“Baiklah, akan aku jelaskan. Silahkan duduk di kursi itu.” Lina mulai melangkah dengan anggun menuju sebuah sofa yang terdapat di ruangan itu. Sofa yang sangat nyaman dengan perpaduan warna peach dan biru muda. Benar-benar indah.