Chapter 5

1417 Words
Mata Aini melotot. "Oh! Shen Mujin kampret!" Pekik Aini dengan menggunakan bahasa Indonesia. "Kembalikan Alquranku!" Aini berusaha meraih Alquran yang dipegang oleh Shen Mujin. "Kamu beli di mana buku ini?" tanya Shen Mujin penasaran. Dia mengabaikan Aini yang berusaha meraih kembali Al-Qur'an. Aini mengambil kembali Al-Qur'an miliknya. "Mau bicara apa? Kamu sungguh mengganggu, ini jam dua belas malam," dengkus Aini. "Aku lelah," sambung Aini. "Besok aku akan kembali ke Beijing, kamu akan di sini hingga batas yang telah ditentukan," ujar Shen Mujin. "Kembali saja ke Beijing, aku tidak ada urusan yang berarti denganmu," tukas Aini, dia sudah sangat mengantuk, namun pria menyebalkan itu mengajaknya untuk bicara. "Selama aku tidak ada, semua kebutuhanmu akan ditanggung oleh Shen, namun ada syarat." "Apa?" rasa hormat Aini untuk presiden itu hampir pudar. "Katakan bahwa pembangunan yang dilakukan di jalan dan bantuan dari segala kebutuhan di sini adalah dominan dari Shen Group." "Ya." Sahut Aini ngaur. Aini terdiam untuk sesaat. "Hum? Kamu bicara apa?" mata Aini melebar. "Kamu ingin agar wibawa perusahaan kamu dikenal baik dan dermawan di mata orang - orang?" "Aku ingin lebih dari itu," ujar Shen Mujin. "Apa?" "Katakan bahwa perusahaan Shen memiliki bos dan pemimpin yang dermawan dan berhati lembut." Mata Aini hampir rontok ke arah Shen Mujin. "Shen Mujin kampret! Kamu ternyata tidak sebaik yang aku kira." "Apa yang kamu katakan?" kening Shen Mujin berkerut. "Aku katakan tadi kamu memang benar-benar pemimpin yang baik." °°° Ketika pagi datang, Aini membuka mata. Hal yang dia lihat pertama di dalam tendanya adalah tumpukan beberapa barang di bawah tempat tidur lipatnya. "Apa ini?" wajah bantal Aini melihat penasaran. Dia meraih tumpukan barang itu. Paper bag semua dan ketika Aini melihat satu persatu isi dari paper bag itu, biji mata Aini hampir terbang. "Apa-apaan ini!" Lu Yang yang berada di jok depan merinding ngeri ketika dia mendengar auman siluman dari Aini yang berada di dalam tenda. Sedangkan Shen Mujin bersandar di kursi mobil dan menutup mata, dia menikmati teriakan kekesalan dari Aini. Barang - barang yang ditumpuk di bawah tempat tidur lipat Aini itu adalah barang - barang keperluan pribadi untuk Aini, berupa bra, celana dalam, jaket, baju, sendal dan segala peralatan mandi. Bukan itu yang membuat Aini mengaum bak siluman serigala, yang membuat rasa membunuh Aini bangkit adalah barang - barang nya bahkan tidak ada satupun di dalam tenda kecuali baju di badan dan hp. Mata Shen Mujin sedikit mengintip dari ekor matanya ke arah jok belakang di sebelah kirinya. Ada tumpukan barang sederhana yaitu berupa tas ransel, sepatu, topi dan lain - lain, dan itu adalah .... Milik Aini. °°° Shen Mujin telah pergi membawa lari barang - barangnya. Di dalam otak cantik Aini, dia ingin menusuk otak Shen Mujin. Memang apa yang dikatakan oleh Shen Mujin tadi malam itu benar bahwa segala macam kebutuhan dia akan di tanggung oleh Shen group, namun dia tidak diberitahu bahwa sebagai ganti dari tanggungan itu, barang - barang nya dibawa pergi. "Sekarang aku merasa menyesal menerima kerja sama sialan ini!" rutuk Aini. "Apanya yang baik hati? Bukan baik hati tapi lebih baik mati." Rutuk Aini ketika dia memakai celana dalam berenda baru yang merupakan fasilitas dari Shen Group. Dia sudah dua hari tak mandi, jadi terpaksa dia harus melepaskan pakaian yang dipakai bau asam kecut dari badannya. Jelas saja dia tak sempat mandi. Setelah mendarat dengan Shen Mujin di kota Zhaotong, dia langsung ke tempat bencana, wawancara dengan reporter yang mereka kira dia adalah kekasih dari Shen Mujin. "Kekasih pantatnya." Aini mencibir. Lalu dia langsung turun lapangan membantu korban, sibuk sana - sini melayani orang hingga malam. Di malam hari yang ada di otaknya adalah naik tempat tidur, tanam kepala di atas bantal lalu tidur. Mana sempat mandi? "Celana dalam apa ini? Talinya yang mana?" bingung Aini dengan desain celana dalam yang merupakan fasilitas dari Shen. "Aku mulai ragu, mungkin orang suruhan Shen Mujin buta memilih barang, dia salah mengambil ikat rambut yang dia kira celana dalam," celetuk gadis itu. Aini melemparkan celana dalam renda merah kembali ke paper bag. Lalu dia mencari celana dalam yang benar-benar celana dalam. °°° Satu hari ini jalan Aini seperti orang pincang dua kaki. Setiap dia berjalan, dia harus berhenti memperbaiki letak celana dalam yang dia pakai. "Kenapa masuk terus di sela p****t?" dongkol Aini. "Kalau begini terus, aku bisa gila. Gila karena talinya bergesek dengan sela pantat." Jelas saja gadis itu marah. Celana dalam yang dia pakai itu satu tali. Itu adalah bikini berjenis pantyliner. Orang suruhan Shen Mujin mungkin benar - benar buta memilih. Aini adalah relawan, dia sibuk membantu dan melayani korban gempa bukan sibuk berjemur di pantai menikmati matahari. Aini tak terbiasa memakai celana dalam jenis itu, dia biasa memakai celana dalam dengan jangkauan yang memuat seluruh p****t bulatnya itu. "Kapan pria berengsek itu datang ke sini lagi?" rutuk Aini. "Akan aku cabut kepala dungunya dari leher lalu aku pasang kepala kuda, biar tahu bahwa kuda itu kerjaannya nyegir." Omelan gadis itu terdengar sepanjang jalan. Tak ada yang mengerti apa yang dibicarakan gadis baik hati yang rajin membantu para korban, sebab Aini berbicara dengan bahasa Indonesia. Orang yang ada di situ semua berbahasa China. °°° "Jinjin, ibu dengar kamu turun langsung ke tempat kejadian untuk membantu para korban bencana alam gempa?" tanya seorang wanita berusia 55 tahun. "Iya, Bu. Kemarin," jawab Shen Mujin ke arah wanita itu. Itu adalah ibu kandung dari Shen Mujin – Xue Liu Niu. Xue Liu Niu tersenyum lembut ke arah sang anak. "Itu yang ibu inginkan, kamu harus berbuat baik pada orang yang sedang susah, Buddha mengajarkan welas asih kepada setiap orang," ujar wanita itu. Shen Mujin tak menanggapi, dia hanya mengangguk. Dia tak tahu apa itu welas asih yang dimaksud Buddha. "Sepupu, kamu datang menjenguk bibi?" Seorang gadis bertanya ke arah Shen Mujin dia berjalan mendekat, senyum manis dia curahkan ke arah pria 30 tahun itu. "Ya, aku datang menjenguk ibu," ujar Shen Mujin. "Kamu tidak datang untuk menjenguk ku? Aku jadi cemburu pada bibi yang mempunyai anak berbakti sepertimu," ujar gadis itu. Dia memeluk bibinya – Xue Liu Niu – Ibu Shen Mujin. Xue Liu Niu tertawa geli, dia mencubit gemas pipi cantik keponakannya. "Apa yang harus dicemburui? Dia kan juga sepupumu," ujar Xue Liu Niu. "Hahaha, ya. Benar. Tidak ada yang perlu dicemburui," ujar gadis itu. Shen Mujin dan ibunya berbicara agak panjang, mengenai aktivitas sehari - hari sang ibu. Dari pergi berdoa ke kuil agar meminta kesehatan untuk sangat putra, dan yang paling penting meminta jodoh pada putranya, namun sayang, sang putra belum mau memiliki istri dalam waktu dekat. Setelah berbicara dengan sang ibu, Shen Mujin pamit. Dia akan pulang ke apartemennya sendiri. Dia tidak tinggal bersama sang ibu di kediaman Shen. Dalam perjalanan pulang ke apartemennya, Shen Mujin melihat tumpukan barang milik Aini. Ketika melihat tumpukan barang itu, dia tersenyum kecil. Dia mengingat lagi raungan marah Aini dari dalam tenda. Pasti sekarang gadis itu sudah menggunakan barang - barang yang di beli Shen. Dua puluh menit perjalanan, mobil berhenti, Lu Yang keluar dari jok depan dan membuka pintu mobil untuk sang bos besar. Shen Mujin berjalan memasuki lobi apartemen, kemudian dia menaiki lift khusus untuk dirinya. Lift berhenti di lantai dua puluh. Kaki jangkung shen Mujin keluar dari dalam lift menuju apartemennya. Lu Yang mengikuti dari belakang. Sudah menjadi kewajiban dari Lu Yang yang merupakan asisten pribadi dari Shen Mujin untuk mengantar bos nya memasuki pintu apartemen. Setelah memastikan bosnya dengan selamat sentosa masuk ke dalam apartemen, Lu Yang akan pulang. "Selamat berjumpa besok Bos," salam Lu Yang sambil menunduk memberi hormat. Shen Mujin mengerutkan keningnya ketika dia melihat Lu Yang sang asisten pribadi yang sudah bekerja mengekorinya selama enam tahun itu berlenggang mengikutinya dengan tangan kosong ceria. "Kamu tidak membawa apapun di tanganmu ketika mengikutiku keluar dari mobil?" tanya Shen Mujin. Lu Yang mengangguk sambil tersenyum manis, "Ya Bos, saya tidak membawa apapun di tangan saya," jawab Lu Yang. Wajah Shen Mujin terlihat serius. "Jika dalam limat menit aku tidak melihat barang barang Aini di sini, aku akan menempatkan mu di Dali. Mata Lu Yang hampir hilang dari rongganya. Pria 32 tahun itu segera memasuki lift. °°° Note : semua percakapan antara Shen Mujin dan Aini dianggap dalam bahasa Mandarin. Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan. Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya. Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD