Tiba tiba Sakit

1304 Words
Zia dan Agam sudah berada di dalam hotel. Meskipun begitu, Agam selalu menjaga jarak dengan Zia. Ia tahu jika Zia takut kepada dirinya.Lihat saja tatapannya, apa Agam terlihat seperti penjahat? Sudahlah, Agam tidak perlu mempermasalahkan hal ini. Masih banyak yang harus Agam pikirkan daripada memikirkan sesuatu yang sama sekali tidak penting. Agam menghela nafas panjang. Ia tidak bisa berlama-lama disini. "Kita bicara besok," ucapnya. "Mau kemana?" tanya Zia yang semakin khawatir. Agam menghentikan langkah. "Lo mau gue tetap disini?" Dia malah jadi kesal sendiri karena tidak mengerti apa yang diinginkan oleh perempuan yang ada di depannya sekarang. "Ha? Gila aja." Zia bergidik membayangkan mereka harus berlama-lama di dalam satu ruangan. Apalagi berada di dalam kamar hotel seperti sekarang. "Nah itu lo tau, nggak usah banyak tanya." "Ta-tapi-" "Lo nggak akan diusir dari sini, jadi nggak usah cerewet," potong Agam langsung. "Tapi-" "Apa lagi?" tanya Agam berusaha untuk tidak meledak. "Aku belum makan," cicit Zia sambil memegang perut yang sejak tadi sudah berbunyi. Agam mengacak rambutnya frustasi. "Terus hubungan sama gue apa?" Ayolah, perempuan di depannya bukan anak kecil lagi yang harus disuapi jika ingin maka. "Aku nggak punya uang," jelas Zia seraya menunduk malu. Bahkan tingkahnya seperti anak kecil yang ingin meminta uang tetapi dalam keadaan takut. Agam mencoba untuk mengalah. Kalau sudah begini ceritanya maka dia tidak mungkin memaksa Zia untuk mencari makan sendiri. "Lo tunggu disini, nanti makanan datang." Agam akan menghubungi pihak hotel untuk minta diantarkan makanan. Ia bersiap untuk keluar dari kamar tetapi Zia kembali menghentikan langkah Agam. "Apa lagi?" Agam sudah sangat kesal. "Aku nggak punya baju." Agam langsung keluar. Apalagi jam sudah hampir menunjukkan pukul lima pagi. Pantas saja ponselnya sejak tadi bergetar tidak jelas. Ternyata banyak panggilan masuk dari Hiro. Meskipun seperti tidak peduli, Agam tetap menyuruh pihak hotel untuk membantu Zia mendapatkan pakaian. Tentu saja dia harus mengeluarkan beberapa nominal uang untuk ini. Agam pulang dengan menggunakan taksi. Sedangkan Zia hanya berdiam diri di dalam kamar hotel. Ia masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Semua terjadi begitu cepat, apalagi baru beberapa waktu yang lalu Zia berdiam diri di depan bangunan yang tidak berpenghuni. Agam memijat pangkal hidung. Taksi sudah berada di depan tempat tinggalnya. Jika dilihat dari luar, tempat tinggalnya cukup sederhana. Namun siapa sangka jika didalamnya ada teknologi canggih dengan harga yang tidak murah. "Lo kemana aja?" Hiro langsung menyerbu Agam dengan pertanyaan. Padahal Agam baru saja membuka pintu. "Telinga gue masih normal," balas Agam karena volume suara Hiro cukup tinggi untuk ukuran normal. Hiro mendekat sembari memeriksa keadaan Agam dari atas sampai bawah. Bahkan Ia menyentuh tubuh Agam untuk memastikan tidak ada yang lecet. "Geli woi," murka Agam sembari menjauh dari jangkauan Hiro. Hiro hanya menyengir polos. "Sorry," ucapnya. "Rokok gue mana?" Hiro tidak melihat apapun di tangan Agam. Lucunya, Agam juga baru sadar jika tidak membawa apa-apa. "Mana?" Hiro kembali menuntut. "Lupa," jawab Agam berusaha menghindari kontak mata dari Hiro. "Terus lo beli apa?" "Nggak ada." Supaya tidak terus-terusan ditodong pertanyaan, maka Agam segera menghindar dari Hiro. Agam masuk ke dalam kamar. Pakaiannya sedikit basah karena air hujan. Kenapa juga Agam mau-maunya repot seperti sekarang. Apalagi sampai memberikan hoodie kesayangannya kepada perempuan yang baru saja ia temui. Benar-benar merepotkan saja. Agam memutuskan untuk membersihkan diri agar tidak terkena flu atau sakit kepala. Saat mandi, ia baru ingat meninggalkan plastik belanjaan di kamar hotel. Padahal ia bukan tipe orang yang mudah lupa. Tapi mau bagaimana lagi, Agam harap tidak ada yang membuka plastik tersebut. Agam sempat tidur beberapa jam, kira-kira 3 jam karena sekarang sudah pukul sembilan lewat. Matanya belum terbuka dengan sempurna. Jika pagi begini, maka keadaan tempat tinggalnya sudah sepi. Apalagi Hiro sudah pulang ke rumahnya sendiri. Agam tidak tahu dimana rumah Hiro dan ia juga tidak peduli. Agam kembali membersihkan diri. Lagi dan lagi, ia malah mengingat tentang perempuan yang sedang berada di dalam kamar hotel. Seharusnya Agam tidak perlu mengingat-ingatnya sehingga mereka tidak akan bertemu lagi. Agam tidak masalah karena sudah membayar tagihan kamar hotel selama satu minggu. Dalam pikiran Agam, keluarga perempuan itu pasti akan datang untuk mencari. Agam mengeringkan rambut dengan handuk. Kadar kegantengannya bertambah berkali-kali lipat. Setelah membersihkan diri, Agam tidak melakukan apa-apa. Dia hanya duduk sambil melihat pohon-pohon dari jendela kamar. Kebetulan di samping tempat tinggal Agam masih ada banyak pohon-pohon yang berdiri tegap. Walaupun dari luar Agam terlihat kuat, tapi siapa sangka di dalam dirinya sudah sangat rapuh sekali. "Ternyata benar ya, Ma." Agam tersenyum dengan penuh kepedihan. "Kalau Mama dan Papa udah nggak ada, rasanya hampa. Kosong Ma, aku bahkan berharap cepat mati," lanjut Agam lagi. Hanya kenangan-kenangan indah yang dimiliki oleh Agam untuk mengingat Mama dan Papanya. Jika pun ia masih bertahan sampai sekarang, maka butuh usaha yang sangat besar. Tidak ada beda siang dan malam bagi Agam. Suasana tempat tinggalnya sekarang tetap saja gelap. Rumah ini seperti tidak terurus sama sekali. Beberapa sisi rumah yang tidak pernah tersentuh oleh Agam dihinggapi banyak debu. Kosong dan hampa. Dua kata yang cukup menggambarkan bagaimana kehidupan Agam sekarang. Agam belum mengisi perut sejak tadi malam. Bahkan mie instan yang ia beli di minimarket tertinggal di kamar hotel. Agam tidak pernah keluar di siang hari kecuali untuk melakukan shalat jum’at. Namun siapa sangka jika siang ini Agam diharuskan keluar rumah. Ada telepon dari pihak hotel sehingga Agam tidak bisa untuk pura-pura sibuk. Seharusnya Agam tidak meninggalkan nomor ponselnya saat melakukan pemesanan kamar hotel. Agam berdecak kesal. Mau tidak mau ia harus ke hotel karena perempuan yang ia tolong tengah jatuh sakit. Seperti biasa, Agam berpenampilan seperti orang-orang misterius. Semuanya berwarna hitam dari atas sampai bawah. Bahkan Agam menggunakan masker untuk menutupi wajah. Agam tidak mau dikenali oleh orang lain sehingga sebisa mungkin menutupi diri. Agam menggunakan taksi untuk sampai ke hotel. Kakinya bahkan langsung melangkah ke kamar hotel yang ada di lantai tiga. Walaupun Agam terlihat tidak peduli, tapi ia mencari hotel yang memiliki kualitas baik. Agam mengetuk pintu dan tidak butuh waktu lama karena pintu terbuka. “Ada apa?” tanya Agam langsung tanpa basa basi. Bahkan ia belum masuk sama sekali. Zia tidak berbicara. Setelah membuka pintu, ia langsung berbaring diatas ranjang. Agam tidak ingin masuk sama sekali. Bagaimanapun mereka tidak memiliki hubungan untuk diperbolehkan berada di dalam satu ruangan. Apalagi berada di dalam satu kamar. Agam cukup tahu diri dan tidak ingin melewati batas. “Ck, ada apa manggil gue ke sini?” tanya Agam lagi. Mereka seperti pasangan yang sedang bertengkar dan tidak ingin bertemu sama sekali. “Kepala aku sakit,” lirih Zia dengan suara pelan. “Terus?” Agam malah berkacak pinggang di depan pintu. Dia seperti orang yang tidak punya empati sama sekali. Beberapa pengunjung hotel melewati Agam. Ia jadi malu sendiri sehingga memilih untuk masuk ke dalam. Kupingnya sudah panas mendengar anggapan-anggapan tidak mendasar yang mereka pikirkan. “Badan aku panas,” tambah Zia lagi. Dia tidak tahu harus mengatakan kepada siapa. “Keluarga lo mana? Biar gue hubungi.” Agam bersandar di pintu sambil mengotak atik ponsel. “Ja-jangan,” ujar Zia langsung. Volume suaranya sedikit lebih tinggi dari sebelumnya. “Kenapa?” “Pokoknya jangan, lebih baik aku mati disini daripada harus kembali ke sana,” jawab Zia sambil mencengkram selimut dengan sisa-sisa tenaga yang ada. “Jangan sampai mati di hadapan gue. Bisa-bisa gue berhadapan sama polisi. Kalau mau mati, ditempat lain sana!” suruh Agam dengan wajah yang tidak menunjukkan apa-apa. Zia tidak sakit hati sedikitpun dengan perkataan Agam. Ia malah mengulurkan tangan seperti meminta sesuatu. “Apaan?” tanya Agam ketus. “Minum.” Meskipun Agam merasa enggan, tetapi dia tetap mengambilkan minum di dalam plastik yang tidak sengaja tertinggal disini. Agam memang membeli beberapa botol minuman. Agam mengulurkan botol minuman setelah selesai membuka tutup botolnya. “Kalau mau minum, duduk,” ucapnya. Zia berusaha untuk duduk. Namun siapa yang bisa menduga jika Zia langsung terjatuh ke lantai karena tidak sadarkan diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD