Insiden

1311 Words
Desember 2020 Satu tahun berlalu sejak kematian sang ayah, Zia merasa hidupnya benar-benar kosong. Ia tidak ingin melakukan apa-apa. Terkadang Zia berpikir untuk mengakhiri hidup, namun pikiran itu terbang karena mengingat pesan-pesan sang ayah semasa hidup. Sesulit apapun kehidupan, maka jangan pernah mencoba untuk mengakhiri hidup. Zia tertawa sejenak di depan kaca. Terlihat beberapa bekas luka di tubuhnya. Bahkan ada luka yang belum mengering sama sekali. Sejak kecil, Zia tidak pernah mendapat pukulan atau perbuatan kasar. Namun setelah kepergian sang ayah, dia mendapatkan perlakuan kasar dari seseorang yang mengaku sebagai adik kandung sang ayah. Orang-orang mengira perempuan itu adalah orang baik. Tapi bagi Zia dia adalah manusia yang bermuka dua. Zia baru mengetahui sifat aslinya ketika dua bulan tinggal bersama. Semua uang asuransi dari tempat kerja sang ayah mengalir ke tangan perempuan itu. Menakutkan, ya memang benar. Sampai sekarang, Zia tidak bisa untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Zia memanggil perempuan itu dengan sebutan Tante Nina. Umur mereka tidak jauh berbeda, kira-kira berjarak dua belas tahun. Sejak awal Tante Nina sudah berusaha mempengaruhi Zia. Tante Nina mengidap Manipulative Disorder adalah usaha seseorang mempengaruhi perilaku, sikap dan pendapat orang lain tanpa orang itu menyadarinya. Seseorang yang menjadi korban manipulatif akan merasa 'takut' dan 'wajib' melakukan apa yang diminta dan merasa bersalah kalau tidak melakukannya. Zia baru sadar setelah memperhatikan dengan teliti setiap tingkah laku Tante Nina. "Zia!!!" Panggilan dengan nada keras terdengar. Zia ingin menutup telinga agar tidak mendengar suara itu tetapi tidak bisa. Jika panggilannya tidak terjawab, maka Zia akan mendapat perlakukan yang tidak baik. Zia bisa saja melawan atau melaporkan perbuatan sang Tante ke kantor polisi tetapi Tante Nina memiliki sesuatu yang menjadi alat untuk mengancamnya. "Apa?" jawab Zia dari dalam kamar. "Keluar!" "Apa lagi Tante?" tanya Zia saat sudah keluar dari kamar. Dia benar-benar muak berhadapan dengan Tante Nina. "Minta uang," ujar Tante Nina sambil mengulurkan tangan. Tampak ia baru bangun tidur, hal itu terlihat jelas dari wajahnya. "Aku nggak punya uang." Dalam hitungan detik, rambut Zia tertarik ke belakang. Siapa lagi yang bisa melakukan itu kecuali Tante Nina. "Tidak usah bohong, kamu kira aku bodoh?" Tante Nina mengeluarkan sifat aslinya. Jika di depan orang lain, maka Tante Nina terlihat menjijikan bagi Zia karena sangat manipulatif. Dia pandai mencari muka sehingga orang-orang tidak mengenal siapa dia sebenarnya. "Aku baru selesai bayar uang semester," jelas Zia sembari menahan sakit. Ia sering merasa sakit kepala akhir-akhir ini, mungkin karena Tante Nina sering menjadikan rambutnya sebagai alat untuk menyakiti dirinya. "Alah, kamu ini." Tarikan pada rambut Zia semakin kuat karena Tante Nina tidak suka dengan apa yang Zia katakan. "Sakit Tante," ringis Zia. Ia yakin beberapa helai rambutnya tercabut. "Tante tau kamu punya uang simpanan, jadi tidak usah banyak cerita." "Uang aku nggak ada lagi Tan, sudah habis." Zia tidak berbohong. Tabungan yang ayahnya beri untuk dirinya sudah habis untuk biaya mereka selama satu tahun. Tentu saja Tante Nina terus-terus meminta uang seakan Zia sebagai pabrik yang memiliki uang tanpa batas. Tante Nina mendorong Zia agar menjauh dari pintu kamar. Dia masuk begitu saja untuk mencari uang yang Zia sembunyikan. Jika biasanya Zia akan panik, tetapi sekarang tidak lagi. Zia memang tidak memiliki uang sehingga tidak ada yang dia coba untuk sembunyikan. Kembali terulang, kamarnya menjadi berantakan dalam hitungan menit. Hal ini sudah sering terjadi. Zia berusaha untuk menahan diri agar tidak meledak. Kedua tangannya terkepal sampai memperlihatkan urat. "Dimana kamu simpan?" Tante Nina tidak mendapatkan apapun. "Aku nggak punya uang, Tan." Zia menjawab dengan wajah memerah. Tante Nina mendorong tubuh Zia sampai terjatuh. Kekuatan Tante Nina lebih kuat daripada Zia. Apalagi semenjak sang ayah meninggal, bobot tubuh Zia banyak berkurang. "Tante mau aku gila?" tanya Zia yang berada diambang kefrustasian menghadapi sang tante. Tante Nina tertawa keras, tapi beberapa detik kemudian ia malah memasang wajah sedih. Kepribadiannya sangat mengerikan dan itu sudah dirasakan oleh Zia selama satu tahun "Jangan gila, nanti orang-orang bilang Tante gagal menjaga kamu," jawab Tante Nina sambil mengelus pucuk kepala Zia. "Jangan sentuh aku!" sentak Zia. Dia benar-benar sudah muak dengan segala macam drama yang dibuat oleh sang tante. "Baiklah... baiklah. Aku tidak akan menyentuh kamu." Tante Nina membersihkan tangannya menggunakan tisu. Padahal rambutnya tidak kotor sama sekali, namun Tante Nina selalu menganggapnya kotor. "Oh ya, nanti teman Tante akan datang ke sini." Pupil mata Zia melebar. "Tante kira ini rumah siapa?" ucapnya marah. Zia tidak suka jika orang-orang yang dikatakan teman oleh Tante Nina datang ke rumah ini. Mereka sangat menakutkan sekali, apalagi setiap mereka datang Zia selalu bersembunyi di dalam kamar. Ia takut jika teman-teman sang tante berbuat yang tidak-tidak. Apalagi mereka berpesta sampai mabuk-mabukan. "Rumah kamu tentu saja rumah aku juga," jawab Tante Nina dengan pedenya. "Jangan harap, Tante hanya menumpang disini!" Zia memberi penekanan. Tante Nina mendekat ke arah Zia. "Kamu mau ngusir aku?" Wajah Zia memerah. Ia seperti menahan sesuatu yang ingin meledak. Bahkan tatapannya sangat tajam sekali. "Silahkan, tapi video kamu akan aku sebarkan. Bagaimana?" Senyum Tante Nina menjadi sangat lebar. Zia tidak bisa berkutik. Ia hanya bisa berteriak penuh kefrustasian. Setelah itu, Zia masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya sehingga Tante Nina tidak bisa masuk ke dalam. Pukul sembilan malam sesuai perkataan Tante Nina, rumah didatangi beberapa orang. Zia tidak tahu berapa jumlahnya. Namun terdengar sangat ramai, apalagi suaranya membuat kepala menjadi sakit. Zia bersembunyi di dalam kamar. Ia tidak pernah menampakkan wujudnya di depan teman-teman yang tante. Ia takut, bagaimana jika mereka melakukan tindakan yang tidak-tidak. Apalagi mereka dalam keadaan mabuk parah. Tidak hanya mengunci pintu, Zia juga mendorong meja belajar ke pintu agar tidak bisa dibuka walaupun didobrak sekalipun. Suara-suara semakin kuat. Zia menutup telinga dengan earphone agar tidak mendengar suara dari luar kamar. Apa tetangga tidak dengar suara keras itu? Jika jarak rumah dekat, maka akan terdengar. Namun jarak rumah Zia dengan rumah yang lain sedikit jauh. Apalagi ada beberapa rumah yang kosong. Jika teman sang tante datang, Zia tidak akan bisa tidur sampai mereka pulang. Ketakutan lebih mendominasi sehingga rasa was-was menjadi semakin besar. Suara-suara mulai hilang. Zia mengintip dari balik jendela kamar. Terlihat beberapa orang dan Tante Nina masuk ke dalam mobil. Mungkin mereka mengganti tempat karena sudah bosan. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Zia bernafas lega, setidaknya teman-teman sang tante sudah pergi. Zia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, namun ia tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Kepalanya terasa sakit. Mungkin efek dari tarikan rambut yang dilakukan oleh Tante Nina. Semakin lama kepalanya semakin terasa sakit dan Zia tidak bisa membiarkan begitu saja. Zia membuka laci untuk mengambil obat sakit kepala. Saat membuka penutup gelas, ternyata kosong. Zia terpaksa keluar kamar. Suasana cukup dingin karena diluar sedang hujan. Zia memakai hoodie dan celana panjang. "Astagfirullah," ucap Zia saat melihat televisi menampilkan sesuatu yang tidak seharusnya. Tante Nina memang menguji kesabaran Zia. Seharusnya sebelum pergi, ia mematikan televisi. Zia mematikan televisi dan melangkah ke arah dapur. Dia mengambil air agar bisa kembali ke dalam kamar. Tiba-tiba ada sebuah tangan melingkar pada perutnya. Zia langsung berteriak karena kaget. "Siapa kamu?" tanya Zia setelah berhasil melepaskan diri dari pelukan pria yang tidak ia kenal. Bisa-bisanya Zia tidak sadar jika masih ada orang aneh yang tinggal. Rasa ketakutan itu langsung muncul dengan sendirinya. Senyum pria yang umurnya kira-kira tiga puluh tahun tercetak jelas. Senyum itu malah menakutkan bagi Zia. "Kamu cantik sekali," puji laki-laki itu. "Jangan mendekat!" Zia langsung memberikan peringatan. "Ayo anak manis, jangan takut. Aku sudah lama menunggu." Zia mencari cara bagaimana bisa melepaskan diri. Apalagi pria itu memberikan ekspresi wajah penuh nafsu. Zia mengobrak ambrik dapur untuk mencari sesuatu. Sebuah pisau sudah berada di tangannya. "Jangan mendekat!" Zia mengulurkan pisau sebagai ancaman agar tidak didekati. Bukannya waspada, pria itu malah tertawa. Apa dia kira Zia tidak berani melakukan sesuatu jika dilecehkan? Tentu saja dia berani untuk melindungi diri. Pria yang tidak Zia kenal kembali mendekat, bahkan pisau yang ada di tangan Zia sudah menghilang. "Lepaskan," ucap Zia berusaha melepaskan diri. Tubuh Zia sudah berada dalam kendalinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD