Pie - 2

1511 Words
"Lo mau kemana?" Glekkk... Arken meneguk ludahnya kasar saat mendengar suara perempuan atau lebih terdengar seperti suara kematian. Ia tahu, asal suara itu dari balik tubuhnya. Suara itu mungkin berasal dari mahluk alus penunggu pohon atau anggota patroli yang menangkapnya. Tapi, Arken lebih memilih opsi pertama.  "Lo mau bolos?"  Arken mendesah. Ternyata tebakannya salah. Laki-laki itu memutar badannya perlahan. Matanya membulat saaat melihat didepannya kini berdiri seorang perempuan yang tengah berkacak pinggang. Matanya menatap tajam Arken. Sedikit keluar asap dari lubang hidungnya. Dua tanduk dikepalanya mencuat membuat Arken bergidik. Ini siswa sekolahnya kan? Bukan setan penunggu sekolah? "Anu... emm... anuu.” "Kenapa anu lo? Kejepit? Kepotong?" Arken menatap horor wanita dihadapannya kini. Enak saja bilang anu Arken kepotong, rusak sudah ekosistem cogan di muka bumi jika milik Arken raib. "Itu tadi gue... Iya, gue tadi lagi nangkap burung, tapi tinggi-tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja, banyak pohon cemara."  "Lo itu anak Sma atau anak Tk?" "Gue anak Mami sama Papi gue lah." "Eh, masa? Gue gak nanya! Sekarang lo ikut gue!" titah perempuan itu. Arken menatap perempuan itu lalu beralih melihat kearah bagian d**a kanannya. "m***m banget lo!" Laras menyilangkan kedua tangannya didepan dadanya. Menatap awas pada seorang laki-laki yang kini tengah mengerutkan jidatnya. Tidak menyangka jika di sekolahnya ada Omes, si otak m***m. "Siapa bilang? Gue cuma lihat nametag lo, kok!" "Udah jangan jadi bajaj deh, ngeles mulu! Ikut gue, sekarang!" "Kemana? KUA boleh?" "Neraka!" Tanpa basa-basi lagi Laras langsung membawa Arken dengan cara menarik kerah bajunya. Laki-laki itu hanya mengikuti langkah Laras dengan pasrah. Arken menimbang-nimbang kali ini ia akan berakhir dimana, ruang osis dan hanya mendapatkan poin atau ruang BK dan dipanggil orang tua? "Nariknya bisa bener dikit gak. Kayak anak kucing gue," sewot Arken dengan wajah manyunnya. "Emang lo anak kucing. Sukanya ngumpet-ngumpet. Banyak tingkah lagi!" "Tapi, kalo ngumpet di hati lo boleh gak?" Arken menghendikan sebelah matanya kepada Laras. Ia sudah tahu nama wanita itu saat Laras lengah. Dan kali ini Arken mulai meluncurkan gombalanya. Siapa tahu ia bisa lolos dari sini dan segera bergabung dengan teman-temannya. "Bodoh! Lo mau ngumpet di hati gue, di ginjal gue. Di paru-paru kek, bukan urusan gue." "Lo gak ada manis-manisnya dikit jadi cewek?" tanya Arken heran. Laras memberhentikan langkahnya lalu menatap tajam laki-laki sombong yang kini berada dihadapannya.  "Gue enggak mempan sama gombalan basi lo," jawab Laras membuat Arken memasang wajah masamnya. Tiba-tiba dari arah utara seorang wanita paruh baya melihat pertengkaran antara Laras dan Arken. Kerutan didahinya muncul saat melihat dua orang siswa berbeda jenis sedang berduaan, sepi pula. Anak jaman sekarang. Dengan langkah yang dianggun-anggunkan wanita itu mendekat kearah dua siswa sekolahnya. "Ada apa ini?" "Diem, Buk!" kompak Arken dan Laras membuat Ibu Tri mengelus dadanya terkejut. Perdebatan Laras dan Arken kembali berlanjut membuat Ibu Tri mengeram marah. "Saya tahu, saya ini cantik. Tapi, pliss. Jangan rebutkan saya." Ibu Tri melebarkan kedua tangannya untuk memisahi Arken dan Laras. Sedangkan mereka kini menatap awas Ibu Tri. Perempuan paruh baya itu berpaling menghadap Arken. "Arken, ada apa lagi?" tanya Ibu Tri dengan mata selediknya. Terlalu bosan dengan siswa yang ia ajar kelasnya ini, tiada hari tanpa masalah. Coba sehari saja tanpa berbuat masalah, tenang hidup wanita berumur 50 tahunan itu. Tiba-tiba muncul sebuah ide yang tentunya jahat di kepala Arken. "Itu tuh, Buk. Masa saya ditarik-tarik kayak anak kucing sama dia, Buk." Arken menunjuk Laras, membuat wanita membulatkan matanya. Apalagi saat Ibu Tri beralih menatap Laras. Rasain lo! Kenyang-kenyang tuh makan omelan Buk Tri  —batin Arken tertawa. Mata Ibu Tri menyipit menatap Laras. Memindai dari atas hingga bawah. Laras yang ditatap begitu intens membuatnya salah tingkah. Apalagi Arken yang kini tengah memeletkan lidahnya. "Saya masih perawan ting-ting kok, Buk." Ibu Tri mengangguk. "Kamu Laras anak IPA 1 kan?" tanya Ibu Tri. Laras mengangguk menjawab pertanyaan Ibu Tri.  "Ohh... Jadi kamu ya. Pantas ayu bangat kayak nama kamu. Kata guru-guru lain kamu itu pinter loh, pengen deh Ibu ngajar kelas kamu." Laras tersenyum penuh kemenangan saat mendengar pujian dari Ibu Tri. Apalagi saat wanita paruh baya itu membangga-banggakan Laras. "Makasih, Buk. Lain kali Ibu ngajar di kelas kami saja," tawar Laras membuat Ibu Tri menghela nafas. Matanya tiba-tiba menyendu seperti menyimpan beban berat.  "Gak mungkin, Ras." Ibu Tri mengalihkan pandangannya kearah Arken. "Jadwal Ibu udah penuh. Apalagi ngajar kelas si curut ini. Luar biasa kacaunya, Ras. Minta di bom atom kelas itu biar diem." "Buk, ada saya loh..." ucap Arken dengan wajah masamnya. Boleh sih nyidir, tapi kalo ada orangnya itu pelan-pelan dikitlah. "Biarin, biar kamu denger! Kamu itu ya, sekarang apa lagi masalah yang kamu buat!?" tanya Ibu Tri menatap tajam Arken. Pria itu hanya meneguk ludahnya kasar mendengar omelan Ibu Tri yang terkenal s***s abis. Kita membuat satu kesalahan dan Ibu Tri akan mengingat-ingat segala kesalahan kita di masa lampau. Sungguh tragis. "Gak ad---" "Arken tadi hampir bolos, Buk," celetuk Laras tanpa bersalah. Sedangkan Arken kini tangah mempersiapkan hatinya untuk menerima hukuman dari Ibu Tri. "Mau ngapain kamu bolos?" Ibu Tri mempertajam tatapannya pada Arken. Sedangkan laki-laki itu tangah menghayal akan keluar laser-laser bewarna merah dari mata Ibu Tri. Tapi, setalah ditunggu-tunggu hanya ada bercak maskara yang tertinggal. Arken menghela nafas, lalu dengan santainya keluarlah ucapan yang membuat Ibu Tri menaiki lengan bajunya. "Jalan-jalan. Makan di kafe. Main funcity, nonton dan lain-lain, Buk," jawab Arken tanpa bersalah sambil menggaruk-garuk kepalanya. Gatal. "Kamu Arken?!" teriak Ibu Tri membahana. "Iya, Buk. Ini saya Arken. Bukan Pak Tomo, suami Ibuk." Ibu Tri mendengus mendengar celotehan tidak bermanfaat dari Arken. Sedangkan Laras kini hanya bisa cekikikan melihat hidup Arken yang tengah menghitung waktu saja. Tamatlah riwayatmu, Bung. "Buk, hukum aja sampai mampus." "Gantung aja di tiang bendera, Buk." "Suruh lari keliling lapagan sampai bell pulang, Buk." "Ayo, Buk. Jangan kasih ampun!" Merasa belum puas, Laras kembali memanas-manasi Ibu Tri yang hampir meledak. Tinggal sedikit saja api kecil dan meledaklah Ibu Tri. "Oi, gorila! Lo diem kenapa? Tega amat lo sama gue,” sahut Arken. "Bodoh! Kadal buntung kayak lo emang butuh pelajaran!" Ibu Tri kembali memandangi wajah Arken dan Laras bergantian. Setelah diteliti-teliti dengan lensa kacamata Ibu Tri. Wajah keduanya lumayan masuk katogori standar. Entah kacamata Ibu Tri yang buram, padahal Arken dan Laras adalah most wanted Sma Pegasus. Hanya saja Laras termasuk katagori yang jarang terjamah. "Kalian tahu 'kan?"  Arken dan Laras kompak menggeleng. "Enggak tahu kami, Buk." Ibu Tri berdecak seraya membenarkan kacamatanya. "Dengerin Ibu ngomong dulu! Jangan ada yang nyela!" ketus Ibu Tri membuat dua anak manusia itu kembali kompak mengangguk. Lah dari tadi siapa yang ngomong, Buk? -batin Laras. Ibu Tri ini emang suka bercanda orangnya. -batin Arken. "Kalian tahu sebentar lagi Sma Pegasus akan mengadakan pemilihan Queen dan King 'kan?" tanya Ibu Tri yang diangguki oleh Laras tapi tidak dengan Arken yang kini menatap bingung Ibu Tri. "Apaan tuh, Buk? Baru denger saya." "Mangkanya jangan sering bolos!" sewot Laras langsung. Laras sangat tahu tentang acara itu. Sebagai anak Osis, mereka bekerja sama dengan anggota MPK untuk menyelenggarakan acara ini. Tapi yang paling tidak membuat Laras suka dengan acara ini adalah, pemilihan Raja dan Ratu sekolah ini diadakan hanya untuk siswa kelas tiga seperti mereka. Padahal seharusnya siswa kelas tiga itu sibuk dengan kegiatan belajarnya atau les-les karena hampir mendekati Ujian. Anak-anak Osis pernah ingin mengajukan perubahan untuk acara ini, namun mereka harus kembali menelan kecewa saat usul mereka di tolak. "Sudah-sudah! Kalian itu bertengkar terus, pusing kepala Ibuk!" seru Ibu Tri. Arken dan Laras sama-sama medengus lalu mengalihkan pandangan mereka kemana saja asalkan tatapan mereka tidak bertemu. "Sebagai hukuman untuk kalian berdua, Ibu minta kalian menjadi kanidat calon Queen dan King Sma Pegasus. Titik, gak pake koma apalagi acar!" "Enggak mau, Buk! Saya gak mau jadi pasangannya kadal buntung." "Saya juga, Buk. Bisa habis badan saya nanti digebukin gorila betina!" Bu Tri yang mendengar bahwa keduanya tidak setuju, mulai mengeluarkan tatapan mematikannya membuat Laras dan Arken menjadi ragu. Selain menjadi guru yang mengajar dikelas, Bu Tri juga merupakan Wakil Kepala Sekolah bidang kesiswaan. Dan keduanya sama-sama tahu bahwa memiliki masalah dengan kesiswaan bukanlah sebuah impian para siswa. “Tapi, Buk....” ujar Laras memelas.  “Ibu tahu Laras, sebenarnya kamu juga ingin ikutkan?” tanya Bu Tri membuat Laras terdiam. Wanita itu menggigit bibir bawahnya. Tatapannya bergantian menatap Bu Tri dan juga Arken. “Iya, Buk. Tapi, kalo sama dia.” Laras melirik Arken yang kini senyum-senyum ke arahnya. “Enggak, deh. Buk.” “Kenapa?” tanya Buk Tri tidak paham. “Karena menurut saya, walaupun priodenya sangat singkat. Namun ini kesempatan saya untuk membuat sekolah bangga. Menjadi contoh untuk teman-teman saya atau adik kelas dan juga saya ingin memberikan kesan yang baik sebelum saya meninggalkan sekolah ini. Dan semua itu bisa terwujud jika pasangan saya sejalan dengan aspirasi saya, Buk..” “COBLOS NOMOR SATUUU!” Bu Tri memelotokan matanya saat mendengar Arken berteriak sambil mengangkat tinggi kepalan tangannya. Laki-laki itu terlihat seperti tim sukses salah satu pasangan calon. Sedangkan Laras menggelengkan kepalanya. Tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. “Heh, Arken!” seru Bu Tri kepada pemuda itu yang dibalas cengiran oleh Arken. “Baru dibilang aja udah berat, Buk. Apalagi dijalanin.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD