BAB 2

4738 Words
Setelahh pengecakan itu, Asha duduk dengan malas di atas kopernya. Ia menyilangkan kakinya sembari mengayun-ayunkannya. Rombongan mereka masih menunggu satu keluarga lagi yaitu pasangan suami istri. Asha mengeluarkan ponselnya lalu membuka sosial medianya. Ia membuka salah satu akun kemudian melihat salah satu foto yang diposting oleh pemiliknya. Ia melirik sebentar ke arah Narendra yang membelakanginya lalu kembali melihat foto itu. Foto itu adalah foto yang menampilkan pemandangan dari terasering dengan sunset yang seakan-akan tenggelam karena terhalangi oleh terasering tersebut dan seorang pria yang sedang menikmati pemandangan itu dengan membelakangi kamera ketika foto tersebut diambil. Perpaduan yang indah. Dilihat dari perawakannya, tubuhnya tinggi, bahu lebar, dan rambut yang hitam, membuat Asha berpikir Narendra adalah orang yang ada di foto itu walaupun ia tidak terlalu yakin karena ciri-ciri tersebut terlalu umum, siapa saja bisa memiliki ciri-ciri tersebut. Dari semua postingan akun tersebut tidak ada foto yang menampilkan wajah pemiliknya, postingan tersebut hanya terisi foto-foto pemandangan alam dan seseorang yang memperlihatkan punggungnya. Sepasang suami istri datang menghampiri rombongan mereka. Narendra segera menghampiri pasangan itu dan menainya bahwa mereka masuk ke dalam rombongan yang benar. “Baik, karena semuanya sudah berkumpul kita akan segera masuk. Mohon cek kembali barang-barang anda,” seru Narendra. Ia berdiri di depan para rombongan. Semua peserta rombongan mengecek lagi barang-barang mereka dengan seksama takut ada barang yang tertinggal. Setelah beberapa menit mengecek, Narendra menggiring semua peserta untuk masuk terlebih dulu dengan satu orang yang ada timnya memimpin masuk dan ia berada di belakang rombongan. Asha berjalan mengikuti sambil mencari-cari tiketnya ada dimana. Sifatnya yang kadang pelupa seperti ini membuat ia sangat kesal sampai tak sadar ia berdecih sebal. Narendra yang di belakang mendengarnya bertanya kepada Asha. “Ada yang saya bisa bantu, Mbak? Kayaknya lagi nyari sesuatu ya?” Asha menoleh ke sisi kanan, ia terkejut melihat Narendra sudah ada di sampingnya. “Oh? Oh iya, saya lagi nyari tiket saya dimana.” “Udah nyari di saku cardigan atau tas, Mbak?” tanya Narendra. “Di saku gak ada, tapi di tas belum saya cari.” Asha segera mencarinya di dalam tas dan setelah mengubek-ubek isinya akhirnya ia menemukan tiketnya. “Iya, ada ternyata. Makasih ya... Pak?” “Pak? Saya masih muda lo, memangnya saya kelihatan udah tua, ya?” tanya Narendra sambil tertawa. “Hehehe... kalau gitu saya harus panggil apa? Mas Rendra? Atau Rendra?” “Mas Rendra,” Narendra kembali tertawa, ia berusaha menghentikan tawanya untuk menjawab pertanyaan Asha. “Rendra aja.” “Oke.” Asha tersenyum kepada Rendra. Sekarang gilirannya untuk memberikan tiket kepada petugas, ia maju mendahului Rendra lalu memberikannya kepada petugas, setelah selesai ia berjalan kembali tanpa menunggu Renda yang masih di belakangnya. “Gila, jantung gue kayak loncat-loncat,” gumam Asha ketika ia berjalan menuju pesawat. Asha mempercepat langkahnya sembari memegang dadanya yang terasa aneh. Ketika di dalam pesawat, ia mencari dimana kursi yang akan ditempatinya dan beberapa menit kemudian ia menemukannya lalu segera duduk di kursi tersebut. Ia memilih duduk di dekat jendela agar bisa melihat pemandangan yang menampilkan alam luar. Ketika Asha sedang melihat ke arah jendela, seseorang duduk di sampingnya dan otomatis ia menoleh ingin tahu siapa orang yang duduk di sampingnya. “Halo,” sapa pria itu. Asha lagi-lagi terkejut, rasanya hari ini ia sering sekali merasa terkejut ketika melihat sesuatu. “Hai, Rendra.” Rendra tersenyum sembari membenarkan posisi duduknya dan memakai sabuk pengamannya. Ia mengambil ponselnya lalu merubah jaringannya menjadi mode pesawat. Asha yang sedikit melirik ke arah ponsel tersebut sempat melihat walpapernya yang menampilkan pemandangan terasering yang sama yang ia lihat tadi, tetapi disini wajahnya terlihat. Lagi-lagi ia terkejut, tebakannya benar bahwa orang itu adalah Rendra. Setelah mengetahui itu, rasa penasarannya semakin membuncah. “Wah, kebetulan ya kita duduk bareng,” ujar Asha. Rendra yang sedang bersandar di kursinya meoleh menatap Asha. Ketika tak ada jawaban dari Rendra, ia kemudian menoleh dan ketika itu Rendra sedang menatapnya lalu menjawab. “Iya.” Asha kembali menatap ke depan, ia merasa gugup ketika ditatap oleh Rendra tadi. Terdengar pengumuman bahwa pesawat akan segera berangkat. Asha segera memejamkan matanya pura-pura tidur, ketika pesawat akan berangkat turbulensi terjadi. Asha menggigit bibir dalamnya takut. Biasanya ketika Asha berlibur Kavi selalu ikut menemaninya kemanapun itu, ketika di dalam pesawat juga pada saat terjadi turbulensi Kavi selalu memegang tangannya erat agar tidak merasa ketakutan lagi. Tapi sekarang Kavi tidak ada di sisinya, jadi ia hanya bisa memejamkan mata dan menggigit bibirnya. Rendra yang melirik ke arah Asha heran melihatnya lalu detik itu ia mengenggam tangan Asha sangat erat. Ketika pikiran Asha berkecamuk, ia merasakan seseorang menggenggam tangannya yang ia kepalkan. Ia merasa sedikit lega karena ada seseorang. Masih memejamkan matanya, perlahan-lahan ia menguraikan tangannya dan tidak menggigit bibirnya lagi seiring dengan pesawat yang sudah terbang dengan stabil. Asha membuka matanya perlahan lalu melihat ke arah tangannya. Tangan itu masih menggenggam tangannya. “Makasih,” ucap Asha tulus. Rendra menjauhkan tangannya. “Sudah tugas saya memastikan para peserta baik-baik aja.” Asha hanya membalas dengan senyuman lalu melihat kembali hamparan awan dengan sunset yang indah di luar jendela. Ia mengeluarkan kamera yang ada di tasnya lalu memotret pemandangan tersebut. Beberapa kali ia memotret dan selalu berakhir dengan dihapus karena kurang bagus akhirnya ia mendapatkan bidikan yang sempurna. Ia melirik rendra yang sedang tertidur pulas lalu memotretnya cepat, setelah itu ia menyimpan kembali kameranya ke dalam tas. Di sebuah kafe di Jakarta, Kavi dan Naya sedang makan sehabis mengantar Asha ke bandara. Mereka mengobrol tentang pameran Asha yang sebentar lagi akan diadakan dan keinginan Asha untuk berlibur. “Gue khawatir banget sama dia, Nay,” ujar Kavi. “Dia udah gede, Kav.” “Biasanya gue selalu ikut dia liburan kemanapun, tapi sekarang gue gak bisa masih banyak kerjaan yang harus gue urus.” “Ya mau gimana lagi, dia bilangnya dadakan.” Kavi terlihat cemas memikirkan Asha dan Naya yang melihatnya seakan-akan itu berlebihan karena Asha sudah besar dan bukan anak kecil lagi. “Emangnya kenapa sih?” tanya Naya penasaran. “Gak kenapa-napa.” Naya meminum minumannya sambil terus melihat Kavi. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyiin Kavi tentang Asha. Asha membenarkan posisinya agar nyaman untuk ia tidur. Hari ini merupakan hari yang sanga lelah baginya karena jantungnya terus-terusan bertalu cepat seperti dikejar-kejar anjing. Seorang pramugari datang menghampirinya sambil membawa hidangan. “Permisi, apakah anda ingin makan atau segelas minuman?” tanya Pramugari tersebut. “Tidak, terima kasih,” jawab Asha. “Untuk orang di sebelah anda?” “Apa harus gue bangunin?” gumam Asha sambil melihat Rendra yang tertidur pulas. “Gak deh, kasihan kayaknya capek banget.” Asha kembali menatap Pramugari. “Kayaknya nggak.” “Baik, jika ada sesuatu yang anda butuhkan, anda bisa memanggil kami. Kalau begitu saya permisi dulu.” Pramugari itu membungkukkan setengah badannya lalu pergi menghampiri penumpang lain. Setelah kepergian Pramugari tersebut, Asha bersiap untuk tidur, ia memakai penutup mata yang ia bawa dari rumahnya agar tidurnya terasa sedikit nyenyak. Butuh waktu kurang dari tiga jam antara Jakarta – Bali, tetapi perjalanan terasa lebih lambat. Selesai mengenakan penutup mata ia langsung tertidur. Tiga jam kemudian Asha merasakan pesawat sudah ada di darat, ia membuka penutup matanya dengan sebelah tangannya dan langsung melihat tangan yang satunya sedang digenggam kembali oleh Rendra. ia refleks menoleh ke arah Rendra. “Maaf, tadi saya lihat kamu lagi-lagi ketakutan, padahal tadi kamu lagi tidur,” jelas Rendra. Asha tersenyum lalu menjawab, “Makasih sekali lagi, Rendra.” “Sama-sama.” Semua penumpang keluar satu-persatu dari pesawat begitu juga dengan Asha dan Rendra. mereka berjalan ke arah terminal kedatangan dan menunggu peserta yang lainnya di tempat itu. Satu-persatu peserta rombongan menghampiri mereka, setelah semuanya ada mereka lanjut berjalan mengikuti petunjuk yaitu kedatangan untuk mengambil bagasi mereka. Rendra memeriksa layar informasi conveyer belt sesuai dengan penerbangan mereka lalu staff yang ada disitu melakukan pemeriksaan sesuai dengan baggage claim tag. Setelah semuanya mendapatkan bagasi mereka, Rendra dan tim membawa mereka ke pick up zone karena akan ada bus yang menjemput mereka. Asha merapatkan cardigannya karena udara dingin yang masuk ke dalam tubuhnya, ia juga sesekali menguap ngantuk. Lima menit menunggu, bus yang akan mengantarkan mereka ke hotel tiba. Mereka naik satu-persatu sedangkan koper mereka simpan di bagasi. Rendra yang terakhir masuk ke dalam bus, ia selalu memastikan kembali tidak ada yang tertinggal. Rendra berdiri di depan denga mic yang ada di tangannya lalu berbicara, “Selamat malam semuanya. Sekarang kita akan menuju hotel untuk beristirahat, kita akan berada di hotel tersebut selama satu minggu. Besok pagi sekitar jam sembilan kita akan mulai perjalanan kita ke tempat-tempat wisata yang ada di Bali. Sekali lagi, selamat beristirahat dan bersenang-senang. Terima kasih.” Asha menatap Rendra yang jauh di depan karena ia berada di kursi paling belaang. Matanya mengikuti gerakan Rendra yang akan duduk di kursi belakang supir. “Ganteng ya, mas-nya,” ucap seorang ibu yang sedang memangku putranya. Asha menyandarkan kepalanya ke kursi, ia ingin cepat-cepat sampai di hotel, mandi, dan tidur. Sekitar tiga puluh menit perjalanan akhirnya mereka sampai di hotel. Asha mengambil koper yang diberikan kepadanya lalu masuk ke dalam hotel mengikuti rombongan. Rendra sudah masuk terlebih dulu dan sekarang ia sedang check in. Para peserta duduk di lobi hotel semabri menunggu Rendra check in. Sebuah bola kecil menubruk sepatu Asha. Seorang anak kecil datang menghampirinya ketika Asha mengambil bola tersebut. “Ini punya kamu?” tanya Asha seraya berjongkok agar sejajar dengan anak itu. “Iya, Kak,” jawab anak itu tersenyum. “Ini.” Asha menyodorkan bolanya kepada anak kecil itu dan segera diterima. “Makasih, Kak.” Asha mengusap kepala anak itu gemas dan mengangguk. Anak itu pergi menuju orang tuanya yang sedang duduk di kursi. Rupanya anak itu adalah anak ibu yang tadi duduk di sebelahnya ketika di bus. Rendra menghampiri mereka lalu memberikan kartu kamar satu-persatu. Asha menjadi urutan terakhir ketika Rendra memberikan kartu tersebut karena ia berdiri paling belakang dari semua peserta. “Ini, kamu satu lantai dengan saya. Mau bareng?” ajak Rendra ketika melihat kartu dirinya dan Asha berada di satu lantai. Asha tersenyum senang lalu menjawab, “Boleh.” Mereka berdua memasuki lift yang berisi dua peserta rombongan yang lain. Lift berhenti di lantai tiga dan kedua orang itu keluar dari lift dan sekarang hanya menyisakan Asha dan Rendra di dalamnya. Suasana di lift sangat sepi, tidak ada yang memulai pembicaraan. Asha yang tadinya antusias sekarang benar-benar tidak ada tenaga untuk mengobrol. Lift berhenti di lantai enam dan mereka berdua keluar dari lift lalu berjalan mencari dimana kamar mereka berada. Asha berhenti di depa kamar begitu juga dengan Rendra. “Oh, ternyata kita tetangga ya,” ucap Asha ketika ia berbalik melihat Rendra yang berhenti tepat di depan salah satu kamar yang berada di depan kamarnya. “Iya,” jawab Rendra sambil tersenyum. “Kalau gitu saya masuk duluan ya.” Asha mengangguk mengiyakan, setelah Rendra masuk Asha juga masuk ke dalam kamarnya. Ketika masuk ke dalam kamar, ia langsung disuguhkan dengan pemandangan laut yang indah dari balik kaca besar. Asha menyeret kopernya lalu membaringkannya dan membukanya. Ia mengeluarkan baju dan perlengkapan mandi dari koper. Ia mendekat ke kaca untuk melihat sebentar pemandangan laut kemudian pergi ke kamar mandi. Setelah berlama-lama membersihkan badannya, akhirnya Asha keluar dari kamar mandi denga rambut yang masih basah. Ia mengeringkan rambutnya menggunakan handuk kering yang berada di tangannya sambil duduk di atas ranjang. Ponsel Asha berdering dan ia segera mengangkatnya. “Halo, Sha.” “Iya, Kav, kenapa?” tanya asha. “Lo udah nyampe?” tanya Kavi cemas. “Udah, barusan aja gue beres mandi.” “Syukur deh. Sekarang lo lagi ngapain?” “Lagi duduk-duduk aja, bentar lagi juga tidur, capek banget.” “Ya udah, lo istirahat ya. Gue tutup teleponnya.” “Iya, Kav. Good night.” “Good night too, Sha.” Asha menyimpan ponselnya di meja lalu melanjutkan kembali aktifitasnya mengeringkan rambut. Selesai mengeringkan rambut, Asha segera menaiki ranjang lalu berbaring di atasnya bersiap untuk tidur lalu mematikan lampunya. Suasana malam yang sunyi, sinar rembulan yang masuk ke dalam kamar, serta angin sepoi-sepoi yang mengayunkan pohon-pohon menambah kesan indah dibarengi dengan laut sebagai objek utama. Rendra membalikkan halaman buku yang sedang dibacanya saat ini. Ia duduk di kursi balkon sambil menikmati pemandangan. Tadi, ketika sampai, ia segera mandi setelah itu membawa buku yang ada di kopernya untuk ia baca sekarang. Rendra merasa tenang membaca buku ditemani dengan pemandangan seperti ini. Rasanya ia seakan baru pertama kali kesini padahal ia sangat sering mengunjungi Bali. Setelah menghabiskan waktu dengan membaca ia merasa angin mulai kencang, jika dia tetap disini bisa-bisa besok ia masuk angin. Oleh karena itu, Rendra memtuskan kembali ke kamar dan bersiap tidur. Pagi harinya Asha bangun lebih awal dari biasanya, ia berniat untuk jalan-jalan di sekitar hotel dan melihat sunrise. Asha memakai sendalnya lalu keluar dari kamar, ia menaiki lift dan menekan tombol satu. Sembari menunggu lift tiba di lantai satu, Asha merapikan kembali penampilannya. Ia masih memakai baju yang dipakai untuk tidur tadi malam, rambut yang digerai serta sandal biasa. Tadi, ia hanya gosok gigi dan cuci muka saja karena ingin cepat-cepat melihat sunrise, tak lupa ia juga membawa kamera untuk memotret setiap momen yang ada. Pintu lift terbuka dan Asha langsung keluar dari lift tersebut. Ia berjalan pelan di sekitar hotel melihat matahari yang malu-malu untk muncul menerangi seakan-akan ia masih nyenyak tertidur di peraduannya. Asha mengarahkan kameranya ke pemandangan tersebut lalu memotretnya. Ia asyik memotret sesuatu yang membuatnya menarik sampai ketika ia ingin memotret pembatas kayu dengan lanskap laut seseorang berjalan ke arahnya dan tak sengaja ia memotretnya. “Kamu udah bangun?” tanya Rendra yang berjalan menghampirinya. “Iya, mau lihat sunrise,” jawab Asha. “Oh iya, kamu belum tahu namaku ya? Eh kita ngomongnya aku kamu kok canggung ya.” “Kalau gitu siapa nama lo?” “Gue Asha.” “Oh...” Rendra membalikkan tubuhnya menghadap laut. “Lo pasti udah sering ya kesini?” tanya Asha yang juga membalikan badannya menghadap laut. “Hm, mungkin sebulan sekali? Gue gak yakin.” Asha hanya mengangguk-anggukan kepalanya. “Mau gue fotoin?” tawar Rendra. “Boleh.” Asha memberikan kameranya kepada Rendra lalu ia bersiap untuk difoto. Rendra mundur ke belakang agar pemandangannya terlihat sempurna di kamera. Ia memotret ketika angin menerbangkan rambut Asha dan Asha yang berusaha membenarkannya dengan Asha yang membelakangi kamera. “Cantik,” gumam Rendra ketika ia melihat hasilnya lalu berjalan menghampiri Asha dan memberikan kameranya. “Udah? Gimana, bagus gak?” tanya Asha antusias. “Bagus.” Asha melihat hasilnya dan tersenyum cerah. “Wah... makasih ya.” “Sama-sama. Gue balik duluan ya.” Asha menganggukan kepalanya lalu Rendra pergi meninggalkan Asha masih dengan senyum yang merekah di wajahnya. Selesai menikmati pagi harinya Asha kembali ke hotel. Ia masuk ke dalam kamar lalu segera pergi ke kamar mandi, setelah mandi ia duduk di depan kaca lalu mulai merias wajahnya. Ia hanya memakai make up tipis dan lip tint berwarna peach serta rambut yang ia kunci kuda dengan helaian-helaian rambut yang keluar. Asha melihat jam di poselnya, pukul delapan lebih tiga puluh menit, masih ada waktu tiga puluh menit untuk dirinya menikmati sarapan. Asha segera pergi ke restoran yang ada di hotel ini untuk mendapatkan sarapan. Setelah memesan sarapannya, ia membuka akun sosial media miliknya dan melihat akun yang sering ia lihat. Tak lama pesanannya datang, Asha pun menikmatinya dengan tenang. Ia memilih tempat duduk yang menghadap langsung ke laut. Setelah menghabiskan sarapannya ia mengeluarkan buku sketsa kecilnya untuk menggambar pemandangan yang ada di depannya. Ia mulai mencoret-coret bukunya dengan fokus sampai seseorang menelepon dirinya dan membuat fokusnya buyar. “Halo, apa ini dengan Asha Hala Xena? Saya Narendra tour leader anda,” ucap Rendra di seberang sana.” “Iya, kenapa?” “Kamu dimana? Kita akan segera berangkat.” Asha melihat jamnya lalu kaget ternyata sudah jam sembilan kurang sepuluh menit. “Oke, gue langsung kesana.” “Kita tunggu di lobi.” Asha segera membereskan barang-barangnya ke dalam tas tak lupa ia juga menyimpan sejumlah uang di atas meja. Ia berjalan cepat menuju lobi dan terlihat peserta rombongan yang sedang duduk-duduk. “Maaf, saya terlambat,” sesal Asha kepada Rendra. “Kamu gak terlambat, masih ada waktu lima menit lagi dan busnya juga belum datang,” ucap Rendra. “Syukur deh.” Setibanya Asha di lobi, bus yang akan mengantar mereka ke destinasi pertama yaitu Pantai Tanjung Benoa datanng. Peserta tour satu-persatu naik ke dalam bus, Asha memilih naik belakangan dan duduk di kursi belakang. Rendra yang melihat isi bus apakah ada kursi yang kosong dan ia mendapati kursi kosong di belakang, ia pun berjalan ke arah kursi tersebut dan duduk disana. “Lo darimana?” tanya Rendra sambil pura-pura tidak penasaran. “Dari resto terus gambar dulu bentar.” “Lo bisa gambar?” “Bisalah, gak percaya? Mau lihat?” “Boleh?” “Sure.” Asha mengeluarkan buku sketsanya lalu memperlihatkan hasil gambarnya tadi. “Bagus nih,” puji Rendra lalu mengembalikan buku sketsa milik Asha. “Thank’s,” jawab Asha. “Lo selama di Bali suka kemana aja?” “Banyak, pokoknya ke tempat yang alam-alam gitu.” “Oh... back to nature ya,” ucap Asha sambil terkekeh. “Ya bisa dibilang gitu.” “Gue juga, penat banget di rumah terus dan kebetulan gue juga lagi nyari inspirasi, jadi gue liburan deh kesini.” “Kenapa milih Bali?” “Pengen aja karena suasananya enak banget healing.” “Bener juga sih.” “Lo udah lama kerja jadi tour leader?” “Yah, lumayan lah ya.” “Kayaknya lo hobi travelling ya, makanya milih jadi tour leader.” Rendra tertawa. “Nice shoot.” “Padahal gue cuma nebak aja,” ujar Asha sambil terkekeh. “Emang kayaknya kelihatan banget deh.” “Iya emang.” Keduanya tertawa dan melanjutkan ngobrol selama di perjalanan. Tidak butuh waktu lama mereka sampai di Pantai Tanjung Benoa, akhirnya mereka sampai di pantai tersebut. Asha keluar dari bus dan langsung disambut oleh angin dan sinar matahari yang terang. Semua peserta tour berkumpul terlebih dulu. “Semuanya, kalian bisa jalan-jalan atau naik watersport dan yang lainnya sampai jam tiga ya, kita kumpul lagi disini, habis itu kita akan lanjut ke destinasi berikutnya. Terima kasih.” Setelah Rendra berbicara para peserta langsung berpencar menikmati liburan mereka masing-masing. Ada yang mencoba watersport, jalan-jalan di pinggir pantai, dan yang lainnya. Asha juga mulai berjalan ke pinggir pantai. Pasirnya yang lembut dan berwarna putih dan pantai yang bersih membuat pikirannya lebih segar. Angin yang menerpa tubuhnya membuatnya tersenyum. Kemudian ia duduk di atas pasir lalu mengeluarkan buku sketsanya. Ia mulai menggambar suasana pantai ini, orang-orang yang sedang melakukan aktifirasnya dengan backdrop sebuah pantai yang indah. Asha sangat fokus menggambar sketsanya sampai ia tidak menyadari seseorang duduk di sampingnya. “Gambar lagi?” tanya Rendra. Asha menoleh lalu menjawab, “Iya.” “Lo sangat berbakat,” ujar Rendra sambil melihat sketsa yang digambar oleh Asha. Mendengar hal itu, Asha hanya tertawa tanpa menanggapi. “Lo gak takut panas?” tanya Rendra. “Ngapain juga gue takut panas, emangnya gue vampir.” “Maksud gue, cewek-cewek lain pasti lebih milih duduk di kursi.” “Gue nggak.” Asha merapikan rambutnya yang terus-terusan mengahalangi matanya karena tiupan angin. “Sini gue bantu.” “Ap—“ Asha terkejut ketika Rendra mendekat dan menyilipkan rambutnya di telinganya agar tidak menganggu. Jarak mereka sangat dekat membuat jantung Asha kembali berdegup kencang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD