Sepanjang hari Fiona mengikuti Tuan Willian pergi meninjau lokasi pembangunan vila bersama tim dari perusahaan mitra. Dia tidak seberapa memahami managemen perusahaan itu. Oleh karena itu, dia hanya mendengarkan perusahaan Leonard saat melakukan negosiasi dengan perusahaan mitra.
Tanpa terasa waktu pun berlalu. Mereka telah bermalam di sini tadi malam dan sore ini mereka kembali ke kota mereka. Ketika Fiona menghentikan mobil di kantor atas permintaan Willian, dia tiba-tiba melihat sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi dari kejauhan. Pada saat yang bersamaan pula, Rafael sedang menyebrang.
Dengan gerakan cepat, Fiona spontan mendorong Rafael hingga membuat dirinya celaka. Suara ‘Thum’. Terdengar hingga menggelegar. Rumi dan Mathew yang melihatnya menjadi tercengang sebelum keduanya bereaksi. “Fiona!!!”
Gadis itu terpental jauh beberapa meter dan motor yang menabraknya menghilang dengan cepat. Darah segar menyembur dari mulut Fiona dan matanya tertutup tanpa sadar. Fiona tidak menyadarkan diri. Willian dan Mathew segera membawanya ke rumah sakit.
Keadaannya kritis saat ini. Para dokter sedang berusaha untuk membuatnya sadar. Tiba-tiba dokter keluar, Willian dengan panik bertanya, “Dokter, bagaimana keadaan Fiona?”
Dokter itu menatapnya dengan serius saat dia memjawabnya, “Pasien harus segera dioperasi, Pak. Dia mengalami patah tulang di tangannya.”
“Kalau begitu, lakukan yang terbaik, Dokter.”
“Iya, apakah Anda adalah keluarganya?”
“Dia, karyawan saya. Jadi saya yang akan bertanggung jawab untuk ini.”
Dokter itu mengangguk dan memberikan intruksi agar Willian menyelesaikan proses administrasinya. Mathew dan Rumi menunggu Fiona di depan ruang operasi ketika Willian pergi.
Ketika suasana panik menyelimuti rumah sakit, Rafael malah mengupat dengan marah karena seseorang telah membuatnya terjatuh. Dia bahkan belum mengetahui keadaan orang yang menolongnya. Dia berdiri dengan bantuan Ruben. Kemudian mengantarnya pulang.
Di sisi lain, Sheryn mencemaskan keadaan suaminya yang tidak kunjung pulang mengingat hari telah malam. Dia bertanya-tanya ada apa? Mengapa suaminya tidak menelponnya? Dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak khawatir.
Dia pergi ke kamar Kevin kemudian, “Kevin, Mama mau minta tolong.”
“Minta tolong?” Kevin menoleh saat dia mengulang perkataan Mamanya. Kerutan di alis Kevin tampak dalam saat dia mengamati ada jejak kegelisahan pada mata ibunya. “Ma, duduk dulu.” Dia bangkit saat berjalan ke arah wanita itu dan menuntunnya untuk tenang.
Setelah mereka duduk, Kevin berkata, “Kenapa Mama terlihat sangat cemas? Ada apa?”
Nyonya Leonard menarik napas dalam-dalam sebelum berkaa dengan gugup, “Papa belum pulang juga dan idak bisa dihubungi. Bagaimana Mama bisa tenang?”
Kevin mengusap wajahnya saat dia berkata dengan tenang, “Ma, Papa mungkin kehabisan baterainya dan mungkin Papa sebentar lagi tiba di rumah. Jangan khawatir, ya.”
“Tapi…” Nyonya Leonard menjadi ragu.
Kevin menggeleng, “Papa, akan baik-baik saja. Apa Mama percaya dengan Kevin?”
Pria itu meraih tangan ibunya ketika dia berbicara dan menepuknya dengan lembut ketika dia menenangkannya. “Papa, baik-baik saja. Jangan khawatir. Aku akan menelpon Fiona untuk tanyain keadaan Papa. Dia yang gantiin Pak Ujang hari ini.”
“Oke,” sahut Sheryn kemudian. Meski enggan tetapi dia tidak punya pilihan saat ini selain membenarkan perkataan Kevin. Setelah itu, Kevin mengeluarkan ponselnya dan menelpon Fiona tetapi dia hanya mendengarkan ‘Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, silahkan hubungi beberapa saat lagi’.
Kevin menelponnya berkali-kali tetapi jawabannya tetap sama. Fiona tidak bisa dihubungi. Kemudian dia menelpon Ruben. Dan tidak lama setelah itu, telponnya tersambung.
“Kevin. Kamu tumben menelponkku. Ada apa?” Suara Ruben terdengar diujung telepon.
Kevin tertawa sebelum dia bertanya, “Kak Ruben, apakah kamu bersama Papaku saat ini?”
Ruben mengernyit saat dia menjawab, “Tidak, mereka bersama Mathew dan Fiona. Kebetulan kita berangkat di mobil yang berbeda. Memangnya ada apa? Apakah ada hal yang penting untuk dibicarakan?”
“Tidak ada tapi Mama mencemaskan Papa. Itu saja.” Kevin menjawab dengan nada yang canggung.
“Oh? Begitukah. Katakan pada Tante Sheryn bahwa Om Willian akan segera pulang. Mungkin mereka terjebak macet.” Ucap Ruben.
“Ok Kak. Maaf mengganggumu.”
“Tidak masalah.” Panggilan telepon berakhir kemudian.
Setelah menyimpan ponselnya, Kevin memandangi ibunya sambil berkata, “Papa akan segera pulang jika urusannya telah selesai. Sekarang, Mama jangan terlalu mengkhawatirkan Papa.”
Sheryn hanya mengangguk. Kevin mengantarkan Mamanya ke kamarnya untuk beristirahat. “Sekarang, tidurlah. Begitu Mama bangun, Mama akan melihat Papa di samping.”
Kevin kemudian terkekeh setelah berada di kamarnya.
Waktu berlalu, operasi telah selesai dan berjalan dengan lancar tetapi Fiona masih berada di dalam ruang operasi. Willian merasa kasihan dengan Fiona. Dia bahkan merasa bersalah karena itu. Semua ini terjadi karena Fiona menolong anaknya.
Rafael harus bertanggung jawab dengan kejadian ini. Tiba-tiba sebuah ide melintas di pikirannya. Dengan peristiwa ini, dia bisa mendesak Rafael untuk menikahi Fiona dengan alasan balas budi. Hah! Ide yang sangat bagus.
Oleh karena itu, Willian segera menelpon Wilson untuk mengabari masalah ini dan membuat rencana bersamanya. Wilson menyetujui tindakan Tuan Besar.
Setelah itu, Willian menelpon Rafael. Tidak lama setelah itu, telpon terhubung ketika suara pria itu terdengar, “Ada apa?”
“Apakah kamu masih berani bertanya ada apa?”
Rafael mengerutkan keningnya karena bingung. Apa maksudnya. Mengapa Papanya menjadi marah padanya? Pria itu bertanya-tanya dalam hatinya.
Mendapati Rafael diam, Willian meninggikan suaranya, “Rafael!”
“Iya, ada apa? Mengapa Papa marah padaku?”
“Kamu harus datang ke rumah sakit sekarang juga!” Panggilan berakhir kemudian. “Tut…Tut…”
Rafael hendak menelpon lagi tetapi dia mengurungkan niatnya. Dia tidak tahu apa yang terjadi. Pria itu membeku sesaat sebelum dia bereaksi untuk menghubungi Ruben tetapi tidak ada jawaban. Dia mendesah sebelum memutuskan untuk mengabai perintah ayahnya.
Willian pulang ke rumah di pagi harinya. Dia merasa sangat lelah setelah menunggu Fiona yang dioperasi. Setelah Wilson datang, dia pun bisa pulang. Pria paruh baya itu berjanji akan membawa Rafael ke rumah sakit untuk bertanggung jawab.
Wilson percaya dan membiarkan bosnya beristirahat di rumah. Keadaan Fiona masih kritis meskipun dia telah melewati operasi ortopedi tetapi tetap saja, pengaruh obat bius itu masih ada di dalam tubuhnya.
Oleh karena itu, tidak ada yang bisa dilakukan Wilson saat ini selain menunggunya terbangun.
Di sisi lain, Rafael hendak berangkat ke kantor tetapi dia tidak mendapati Wilson atau Fiona saat ini. Dia melangkah ke arah Mamanya saat dia bertanya, “Ma, Paman Wilson dan gadis udik itu sudah datang atau belum?”
“Belum, kamu telepon saja.” Sheryn menanggapinya ketika dia memberinya intruksi.
“Oh? Baiklah.” Rafael berbalik dan pergi. Dia mengeluarkan ponselnya dan menelpon tetapi keduanya tidak menjawab. Ekpresinya menjadi gelap dan mengupat dengan marah.
“Itu sopir ke mana sih? Apa sudah bosan bekerja?”
Ketika dia sedang marah, suara Willian mengagetkannya. “Rafael! Ke mana saja kamu tadi malam? Apa kamu ingin dipenjara?”
Rafael berbalik dan tertegun, “Apa maksudnya dipenjara? Apa yang telah aku lakukan?”