Aku menatapnya dengan tajam. Sejenak terdiam, tak tahu harus ngomong apa.
“Em itu ...,” ucapku seolah miskin kata.
“Nggak bisa jawab ‘kan? Fix, Kamu tukang ngarang!” simpulnya sembari beranjak.
“Apa Kamu pernah hilang ingatan?” seruku cepat dan kembali meminta gadis ini duduk dengan tenang dengan gerakan isyarat tangan.
“Kenapa aku harus hilang ingatan? Ini bukan kisah sinetron, tahu!” sanggahnya dengan wajah mengernyit.
“Karena hanya itu alasan yang mungkin,” kilahku dengan tenang. Gadis itu tambah menatap dengan tak mengerti.
Ah! Mungkin kejadian belasan tahun itu tak sedikit pun membekas di ingatannya. Wajar, ketika itu gadis itu masih berumur tujuh tahun.
“Oke, gimana kalau kita bandingkan dengan foto kecilmu ketika seusia Vasaya kecil itu?” celetukku mengambil jalan tengah. Gadis itu mendesah dengan lelah sembari menyandarkan punggung dengan kasar.
“Nggak bisa,” sahutnya cepat, kemudian bersedekap dan kembali menatapku.
“Ya?” sahutku tak mengerti.
“Kata ayahku, ketika aku kecil, banyak yang terjadi, jadi tak ada foto-foto sebelum aku berusia sekitar ... em ... sepuluh-sebelas tahun gitu,” jelas gadis itu sambil mengedikkan bahu. Kini giliran aku yang tak mengerti.
Aku memiringkan posisi duduk hingga makin dekat dengan gadis itu.
“Hannes,” panggilku meminta perhatian.
“Eh, kayak beneran kenal aja Kamu, manggil-manggil, sok akrab!” protes gadis itu tak terima. Aku menunduk sejenak dan tersenyum simpul. Bagaimana harus kuceritakan bahwa kita dulu pernah bertemu? Gadis ini pasti makin tak percaya jika mendengar itu.
“Gimana kalau Kamu ikut ke sana? Kita buktikan ketidakmiripan itu,” cetusku mencoba tetap membuat gadis itu mengikuti keinginanku.
“Heh! Enak aja! Main ikut ke mana-mana aja, eh! Aku nih gadis baik-baik, tahu? Sembarangan!” tolaknya sewot. Aku mengembuskan napas dalam, apa kira-kira yang bisa membuat gadis ini mau datang ke rumah Jendral?
Gadis ini beranjak.
“Udah ah!” serunya sambil berjalan ke arah pintu. Pfuh ... gadis itu nggak tahu, pintu kamar ini nggak akan bisa terbuka untuknya. Aku mengejarnya, menyambar tangannya dan segera berlutut. Mungkin begini cara meminta dengan sopan.
“Heh!” seru gadis itu terperanjak.
“Tolong ... please ...,” pintaku lembut. Gadis itu seketika tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya. Kemudian dia mengibaskan telapak tangan yang kugenggam.
“Eh itu bukan cara minta tolong, itu cara minta nikah, tahu?” serunya disela tawanya.
“Eh ngganteng-ngganteng, aneh Kamu ya, ah udah ah!” pungkasnya seraya melanjutkan langkah. Ah! Itulah yang kulihat di tontonan-tontonan, dengan posisi itu biasanya gadis-gadis langsung luluh.
Aku mengembuskan napas dalam.
“Aku memang tak ingin menyakitimu, tapi pintu itu tak akan terbuka tanpa perintahku, jadi lupakan untuk keluar dari kamar ini tanpa seizinku,” seruku sambil kembali berjalan ke sofa. Telinga ini menangkap desahan napas lelah. Aku kembali duduk dan melihat gadis itu berdiri dengan lelah, bahunya terlihat turun. Dua detik kemudian, gadis itu berbalik sembari menyebil. Dia nggak tahu jika wajahnya itu jadi lucu dan menggemaskan. Aku menepuk sofa di samping sofa yang kududuki untuk memintanya kembali duduk. Gadis itu mengalah dan berjalan mendekat.
Aku kembali mengangsurkan handphone dengan layar menyala ketika gadis itu kembali duduk.
“Ini keluarga anak kecil itu ya?” komentarnya sambil menggeser-nggeser layar. Aku mengiyakan, itu gambar keluarga Jenderal. Berikutnya mata ini benar-benar mengamati setiap inchi perubahan wajah gadis itu. Ah! Tak ada di sana satu ekspresi wajah yang seolah mengenal foto-foto dalam handphone itu. Apa gadis ini benar-benar nggak ingat apapun?
“Nih!” serunya sambil mengembalikan gadget itu. Ah! Aku menahan kecewa.
“Satu-satunya jalan memang harus membawamu ke sana, dengan begitu, semua akan jelas,” tegasku tak menerima penolakan. Gadis itu membalas dengan tatapan sengit.
Aku sedikit memutar otak.
“Aku akan menjamin keselamatanmu dan menyediakan semua yang Kamu perlukan di sana, Hannes,” bujukku lembut.
“Aah ...!” Gadis itu mendesah lelah.
“Kusarankan datang dengan sukarela. Kamu nggak mau ‘kan kubawa dalam keadaan tidur 'kan?” ancamku lembut. Gadis itu membelalakkan mata indahnya.
“Xan!” teriaknya geram.
“Aku butuh pertolonganmu, Hannes,” imbuhku, gadis ini benar-benar nggak tahu betapa pentingnya kehadirannya itu.
“Ah ...!” Gadis itu kembali mendesah lelah dan menjejak-jejakkan kedua kakinya di lantai. Aku menunggu gadis itu yang kemudian diam dalam waktu yang lama. Aku paham, situasi gadis itu saat ini.
Kemudian, gadis itu menatapku tajam.
“Apa yang akan kudapat untuk ikut dengan hal yang nggak ada hubungannya denganku itu?” tanyanya sambil beranjak dan duduk di tangan sofa.
“Aku akan memberikan separo dari apa yang kumiliki,” jawabku tanpa ragu, gadis itu membelalakkan mata.
“Emang Kamu punya apa?” lanjutnya dengan wajah penasaran.
“Apa yang kupunya nggak akan mengecewakanmu, aku janji,” ucapku sambil menunjukkan itu di layar handphone. Sekilas gadis itu menatapku tajam, kemudian tersenyum.
“Oke, kita akan anggap ini kerja ya, jadi, aku akan membantumu dengan jaminan itu, em ... tapi gimana jika aku bukan putri yang dicari itu?” tanyanya sambil mengayunkan badan ke depan, mungkin gadis ini tak sadar jika ia sedang melakukan isyarat penasaran.
Aku terdiam, menatapnya dengan lembut, kemudian tersenyum.
“Aku akan tetap memberikan apa yang kujanjikan,” janjiku tanpa ragu.
“Woah!” jeritnya sambil bertepuk tangan.
“Oke kalo gitu, mari kita urus ini secara resmi, jangan sampai di kemudian hari ada acara ingkar janji,” imbuhnya. Aku mengangguk dan segera melakukan apa yang dia minta. Aku tersenyum ketika gadis itu bahkan meminta rekaman suaraku untuk mengucapkan janji itu dan lain-lain. Kemudian gadis itu meminjam handphone untuk menyimpannya di cloud miliknya. Aku tersenyum, ah ... gadis ini benar-benar nggak tahu apapun.
Aku memperhatikan gerak-geriknya yang menarik pandangan mata.
“Ayah, bukan begitu,” ucapnya sambil membawa handphoneku menjauh, kini gadis itu berdiri di depan jendela.
“Ah, aku belum bilang ke Ayah ya? Kemarin, hari terakhir kerja di kantor itu.” Gadis itu diam sejenak.
“Ya ..., tapi jangan khawatir, hari ini Hannes dapat project lagi,” lanjut gadis itu, kemudian kembali menjelaskan beberapa hal pada ayahnya. Aku yakin, orang tuanya itu hanya orang tua angkat. Dalam beberapa saat ini, aku makin yakin jika Hannes adalah Vasaya. Hem ... bisa jadi delapan belas tahun berlalu begitu saja. Dan kini Vasaya kecil itu telah dewasa. Tapi, sifat dan gerak-geriknya di masa lalu masih melekat kuat.
Dengan riang gadis ini mendekat dan mengangsurkan handphoneku, kemudian mengambil teh hangat yang kini nggak hangat lagi.
“Ini nggak beracun ‘kan?” celetuknya, tapi kemudian menyeruputnya tanpa menunggu jawabanku. Aku menggeleng-gelengkan kepala dan mendekatkan kue-kue dalam nampan itu ke arahnya.
Aku menunggunya selesai menyantap kue-kue itu.
“Oke, kita telah sepakat. Dan sebelum datang ke rumah Jendral ada beberapa hal yang harus Kamu lakukan. Salah satunya ini,” ujarku sambil kembali menunjukkan layar handphone.
“Ini ...,” ucapnya tak selesai ketika aku menunjukkan gambar putri palsu yang sekarang sudah ada di rumah megah Jendral. Gadis ini memicingkan mata. Hem ... sepertinya gadis ini tahu sesuatu.
“Kok kayak nggak asing dia, ya?” komentarnya sambil menoleh ke arahku.