Bab -13-

2017 Words
"Kita akan datang. Kau dan aku." Perkataan Jihoon tidak berimbas banyak. Soora tetap murung dan tidak membalas perkataannya, gadis itu berlalu dengan kepala tertunduk. Jihoon menghela napas, ia lantas mengikuti Soora sembari membawa barangnya yang terakhir. Ia masih mengikuti gadis itu hingga ke taman belakang, Soora duduk di salah satu kursi sambil termenung. Tidak ingin menganggu, Jihoon memutuskan menunggu tidak jauh dari tempat Soora berada. Ia lebih memilih mengawasi gadis itu ketimbang duduk di sebelahnya sembari mengucapkan kata-kata penyemangat. Menurutnya, ada baiknya ia membiarkan Soora sendiri lebih dulu. Ia harus mempunyai waktu untuk menenangkan hati supaya bisa berpikir jernih dan tidak berakhir salah mengambil langkah. Samar-samar Jihoon mendengar suara Taeoh, anak itu terdengar memanggil-manggil "Maa," beberapa kali. Pada akhirnya Jihoon mendatangi Taeoh dan menangkan anak itu, ia juga mengganti popok dan membersihkan badannya. Jihoon membawa Taeoh turun menuju ruang tamu, ia sedikit mengintip ke tempat di mana Soora berada dan gadis itu masih ada di sana dengan posisi yang sama. "Maa," suara Taeoh membuat Soora menoleh. Ia menatap ke arah Jihoon dan Taeoh dengan pandangan sendu kemudian mendekat. "Kau baik?" tanya Jihoon memastikan. Soora mengangguk tanpa berniat mengeluarkan suara. Sejak saat itu Soora lebih banyak diam. Ia bahkan hanya diam mengawasi Taeoh, tidak seperti sebelumnya gadis itu akan mengajak bicara Taeoh berbagai macam hal ataupun mengajarinya sesuatu yang baru. Malam menjelang, saat itu Soora hendak memasak untuk makan malam tapi Jihoon lebih dulu menahannya. "Hari ini aku ingin jjajangmyeon, kita akan memesannya," katanya. Sebenarnya bukannya Jihoon benar-benar menginginkan jjajangmyeon seperti apa yang ia katakan, ia hanya menghindari sesuatu terjadi jika Soora memasak dengan pikiran yang tidak fokus. Tidak lama setelahnya pesanan mereka datang. Ketiganya menikmati jjajangmyeon dengan nyaman, Jihoon sedikit tersenyum tipis saat Soora bisa kembali tersenyum saat melihat noda di sekitar mulut Taeoh yang mencoba memakan jjajangmyeon-nya sendiri. Setelah selesai menikmati jjajangmyeon waktunya beristirahat. Jihoon memberikan satu sachet gingseng merah pada Soora sebelum gadis itu berlalu masuk ke dalam kamar. Pukul sebelas saat Jihoon masih berkutat dengan laptop juga setumpuk dokumen yang sengaja ia bawa pulang, matanya masih fokus pada layar sampai-sampai ia tak menyadari jika Soora datang dengan secangkir kopi dalam nampan. Bunyi benturan cangkir dengan meja membuat Jihoon berjengit, ia melihat Soora dengan tatapan terkejut. "Maaf mengejutkan mu." kata Soora. "Kenapa belum tidur?" Jihoon bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar. Jarinya masih saja sibuk menekan-nekan keyboard guna mengetik beberapa laporan. "Tidak apa-apa." Jihoon menengok ke arah Soora, gadis itu berdiri dengan kepala tertunduk. "Duduklah." Jihoon menepuk-nepuk tempat di sampingnya, mengisyaratkan agar Soora duduk di sana. Ragu-ragu Soora menuruti perintah Jihoon dan duduk di sebelahnya. "Aku hanya akan bertanya sekali, dan ku harap kau mau menjawab jujur," mulai Jihoon menatap Soora lekat. "Apa kau baik-baik saja?" Butuh jeda beberapa saat sampai kemudian Soora mengangguk. Ia tersenyum tipis pada Jihoon, meyakinkan seolah semuanya benar seperti apa katanya. "Mulutmu mungkin bisa berkata jika kau baik, tapi mata juga hatimu tidak. Kau bisa membagi bebanmu pada orang yang kau percaya, itu akan terasa lebih baik dan ringan daripada harus kau tanggung seorang diri," ucap Jihoon. Soora mengangguk mengiyakan, ia juga paham soal apa yang dikatakan Jihoon tapi ada beberapa hal yang membuatnya khawatir. "Kau benar, tapi tidak semua orang yang mau mendengarkan keluh kesah memang benar-benar peduli. Sebagian dari mereka hanya penasaran tanpa mau melibatkan perasaan, bahkan terkadang perkataan mereka kian menambah beban pikiran," sahut Soora dengan menghembuskan napas. "Ya, kau benar juga. Tapi tidak semua yang kau katakan berlaku pada tiap orang yang mendengar ceritamu, beberapa dari mereka memang lebih cenderung hanya bisa menjadi pendengar yang baik. Beberapa lainnya bisa memberikan nasihat juga pendapat, semua itu tergantung bagaimana caramu untuk melihat," "juga mencari tahu apa yang sekiranya diperlukan. Hanya butuh didengar atau diberi nasihat. Jadi, mau bercerita?" Jihoon kira Soora masih akan menyimpan masalahnya sendiri karena gadis itu tak kunjung menjawab. Sampai kemudian. "Apa yang harus ku lakukan?" Soora mulai bicara, ia menghela napas, kepalanya menengadah ke atas. "Dia yang berselingkuh, dia yang menghianati ku tapi kenapa aku yang terlihat menyedihkan? Kenapa aku yang belum bisa melepaskannya padahal dirinya sudah akan bersama pasangan yang sebenarnya?" "Aku tidak ingin terus begini tapi aku juga tidak bisa melupakannya. Semua terlalu sulit bahkan meski sekadar untuk mencoba. Saat aku mencoba melupakan entah kenapa ingatan itu semakin kuat adanya. Semua memburuk hari ini, sebelumnya ku kira aku sudah bisa melupakan perasaan ini sedikit demi sedikit, tapi saat undangan itu datang perasaan itu juga kembali." "Rasa sakit, sesak itu kembali seperti waktu itu. Segala upaya yang sudah ku buat untuk menguatkan hati seakan luruh terbawa angin, tembok yang tengah ku bangun seakan roboh tanpa sisa. Bagaimana lagi aku akan bertahan?" Jihoon tak lantas menanggapi apa yang Soora katakan, pria itu membiarkan Soora menangis lebih dulu. Ia membiarkan si gadis menumpahkan segala perasaanya lewat air mata. "Terkadang perasaan sakit yang sesungguhnya berasal dari orang terdekatmu itu sendiri. Saat kita terlalu mempercayai seseorang, tanpa sadar kita sedang menggali rasa sakit kita terlalu dalam," ujar Jihoon memberikan tissue ke arah Soora. "Rasa sakit yang dirasakan adalah wajar, tidak ada yang bisa melupakan itu. Tapi setidaknya kau bisa mencoba untuk terbiasa. Tidak salah jika merasa terkhianati ataupun tersakiti, tapi yang salah saat kau tidak bisa mencoba bangkit dan membiasakan diri." "Aku sudah mencoba, tapi semuanya kian buruk," tanggap Soora lirih. "Apa kau sudah mencobanya dengan sungguh-sungguh? Lalu bagaimana dengan perasaanmu, sudah mencoba berdamai dengan itu? Hal pertama yang harus kau lakukan adalah berdamai dengan dirimu sendiri. Yang kedua mintalah bantuan." "Kau tidak akan menjadi orang lemah saat meminta bantuan orang lain. Apa gunanya memiliki orang di sampingmu saat kau menanggung semuanya sendiri? Tidak ada satupun orang yang bisa hidup dengan mengandalkan diri mereka sendiri." tutup Jihoon. Pria itu mengarahkan tubuh Soora agar menghadapnya, dengan gerakan pelan tangan besarnya menyapu sisa-sisa air mata yang masih tertinggal di pipi Soora. "Untuk yang pertama aku tidak bisa membantumu, karena yang bisa membuatmu berdamai dengan dirimu adalah dirimu sendiri, bukan orang lain." "Untuk yang ke dua, aku akan membantumu seperti apa yang ku katakan hari itu. Mungkin tidak akan mudah, tapi apa salahnya dicoba," ujar Jihoon dibarengi senyum cerah. Meski terlihat ragu pada mulanya pada akhirnya Soora turut tersenyum. Ia menghapus air matanya sendiri dan mengangguk. "Tolong bantu aku membiasakan diri dengan perasaan ini," pintanya yang diangguki Jihoon. Semua terjadi tanpa rencana. Jihoon menarik pinggang Soora agar mendekat dan memeluk gadis itu hangat, diusapnya punggung si gadis agar memberikan kesan nyaman. "Menangislah, untuk yang terakhir kali," kata Jihoon lirih. Soora tidak bisa lagi menahan air matanya, ia kembali menangis bahkan lebih keras. Gadis itu benar-benar seperti menumpahkan segala isi hatinya lewat air matanya kali ini. Pelukan itu kian mengerat tatkala tangis Soora mulai mereda, ia menyembunyikan wajah basahnya di sela ceruk leher Jihoon yang masih setia mengusap punggungnya. Pelukan terlepas beberapa detik setelahnya, terlihat jelas wajah memerah juga sisa air mata yang masih menggenang di pelupuk mata Soora. Seperti sebelumnya, Jihoon menghapus air mata Soora pelan. Soora memejamkan mata kali ini, berusaha meresapi apa yang sekiranya Jihoon sampaikan lewat sentuhan jarinya. "Ini adalah yang terakhir. Entah untuk alasan apapun jangan sampai air matamu kembali turun. Itu hanya boleh datang saat kau merasa benar-benar bahagia," perkataan lembut Jihoon mampu menghipnotis Soora sampai gadis itu mengangguk semangat dengan senyum cerah. Entah siapa yang memulai lebih dulu, pandangan keduanya bertemu pada satu titik yang seolah membuat mereka enggan mengalihkan pandangan meski sedetik. Jihoon mulai mendekat, ia meletakan tangannya pada pinggang ramping Kang Soora. Perlahan jarak keduanya mulai menjadi dekat, kian dekat sampai bisa merasakan hembusan nafas satu sama lainnya. Perlahan dengan mata terpejam, Jihoon mendaratkan bibirnya ke atas bibir merah Soora. Hanya menempel sebelum kemudian berlanjut dengan pergerakan lembut tanpa kesan menuntut. Pada mulanya hanya Jihoon yang bermain, tapi tak lama kemudian Soora membalas meski masih terasa kaku. Mengikuti insting, Soora turut memejamkan mata. Ia berusaha membalas apa yang Jihoon lakukan meski sekenanya. Apa yang mereka lakukan bertahan cukup lama sampai Soora menepuk-nepuk bahu Jihoon pertanda kehabisan oksigen, barulah tautan itu terlepas. Soora menunduk malu, wajahnya merah padam layaknya tomat masak. Tangan kanannya ia gunakan untuk mengipasi wajahnya yang serasa terbakar. Lain hal dengan Jihoon. Pria itu hanya terdiam menatap Soora tanpa berkedip, entah perasaan aneh macam apa yang masih saja merayap dalam dirinya tiap kali ia memikirkan Soora, dan akan makin menggila saat ia menyentuh gadis itu. Contohnya saat ini, jantungnya berdegub sangat cepat seiring wajahnya yang turut memerah samar saat tak sengaja ia melihat bibir Soora yang memerah dan sedikit membengkak karena ulahnya. Oh, Sh*t! Bagaimana bisa ia kembali teringat kejadian tadi? Rasanya seolah ia enggan untuk melepaskan rasa manis yang terjalin saat kejadian itu berlangsung. Bagaimana rasa manis dan lembut itu berpadu sampai membuatnya gila dan tak sadar menjadi candu. Soora memberanikan diri untuk mendongak, ia menatap Jihoon dengan mata bulatnya yang jernih. "Maaf," hanya kata itu yang terlontar dari bibir Jihoon. Otaknya mendadak tidak bisa untuk berpikir. Ia merasa bersalah entah kenapa. Ia tidak paham apa yang dirasakannya sendiri, mungkin kah ia merasa bersalah karena sudah mencium Soora atau merasa bersalah karena mengkhianati Soondeuk. Jihoon sendiri tidak tahu. Soora menggeleng, masih dengan senyum andalannya ia menggengam tangan Jihoon, membuat si empunya menatapnya lekat. "Tidak apa, untuk kali ini aku maafkan. Terimakasih," gadis itu berkata tulus. Kini giliran Jihoon yang dibuat kikuk. Ia bingung kenapa Soora tidak memarahinya dan justru berterimakasih. "Kau pasti bingung kenapa aku berterimakasih?" tebak Soora tepat sasaran. "Dulu aku juga sempat punya seseorang yang begitu ku percayai, aku menceritakan semua rahasia juga keluh kesah ku padanya tanpa pernah ragu sedikitpun. Sampai pada akhirnya aku tahu jika apa yang ku katakan ia ceritakan pada orang lain," "kau pasti takkan percaya jika saat itu aku masih saja mempercayai nya dan berharap apa yang ia lakukan hanyalah candaan. Tapi, itu semua benar terjadi," Soora menghentikan ceritanya sejenak, ia mengambil napas dalam dan menghembuskannya perlahan. "Semuanya tetap sama bahkan kian bertambah parah. Sampai suatu hari dia berbalik menyerang ku dengan semua hal yang pernah ku ceritakan. Aku tak pernah tahu jika dia menyimpan perasaan pada kekasih ku dulu, dan aku tidak menyangka ia akan menyerangku tanpa ampun." "Aku sendiran saat itu, dijauhi oleh semua teman karena aku yang ceroboh salah mempercayai seseorang. Jika ada yang mengatakan masa SMA adalah masa-masa menyenangkan, maka semua itu tidak berlaku buatku. Hal itu masih bertahan sampai pada akhirnya aku bertemu Hunjae, mempercayainya dan hal itu terjadi lagi," tutup Soora. Ia tertawa lirih. Tawa sumbang dengan air mata yang kembali menggenang. Ia kembali teringat masa-masa mudanya yang terasa begitu menyakitkan karena seseorang yang berlabel teman dekat menusukmu dari belakang. Soora juga ingat betapa sulitnya ia untuk berusaha kembali mempercayai seseorang. Meski ia sudah menolak pria itu puluhan kali, selama itu pula Hunjae terus mencoba meyakinkan. Sampai pada akhirnya Soora menerimanya dan mencoba mempercayakan hatinya pada pria itu sampai ia dikecewakan lagi dan dihancurkan lagi. "Kau pasti sekarang paham kenapa aku begitu ngotot menolak perjodohan kita dan lebih percaya pada Hunjae saat itu. Begitu sulit untuk ku kembali mempercayai orang lain." "Perasaan takut itu selalu terbayang dan tidak mau hilang," Soora tersenyum tipis ke arah Jihoon. "Apa sekarang kau mempercayaiku?" Jihoon bertanya penasaran. Soora menggeleng. "Tidak, setidaknya belum. Tapi akan ku coba, tidak peduli seberapa seringnya aku terluka, aku akan coba mempercayai mu kali ini. Dan ku harap aku tidak lagi salah kali ini," sahutnya tersenyum manis. Ia merasa beruntung bisa bertemu dengan Jihoon saat ini. Meski pada mulanya ia benar-benar merasa kesal dengan apa yang terjadi, tapi ia kini mulai percaya jika bertemu dengan Jihoon tidak seburuk apa yang ia pikirkan. Agak berbeda dengan apa yang Soora pikirkan, jauh di lubuk hati Jihoon tersenyum miring. Ia memang berniat tulus untuk membantu Soora memulihkan rasa sakit hatinya, tapi di balik itu semua ia senang Soora sudah bisa percaya padanya, karena itu artinya rencana yang telah ia susun akan berjalan semakin lancar. Di sisi lain, sebenarnya ia juga kesal melihat Soora menangis karena laki-laki bernama Oh Hunjae itu. Tapi Jihoon sendiri tidak tahu apa penyebab ia merasakan hal tersebut, yang ia pikirkan saat ini adalah bagaimana caranya membuat Soora percaya dan tidak lagi menumpahkan air mata kesedihan. Tapi yang Jihoon tidak sadar justru ia sendirilah yang akan membuat Soora menumpahkan lebih banyak air mata gadis itu nantinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD