07. Alfonzo Penasaran

1328 Words
Setahu Alfonzo, sepanjang masa hidupnya di dunia ini, dia bukan makhluk indigo. Jadi bagaimana mungkin dia bisa melihat hantu? Aneh sekali, dan ini baru pertama kali terjadi. Semoga tak terjadi lagi! Alfonzo tak mau dibuat repot oleh kemampuan barunya yang berkembang. “Cukup sekali!” celetuk Alfonzo geram. Beno mengernyitkan dahi heran. Tak salah tuannya meminta lagu itu? Tumben Bos minta dia menyanyi lagu dangdut. Wajah Beno berubah pias sementara anak buahnya berusaha menyembunyikan tawa mereka. Kebetulan mereka tengah berada di tempat karaoke. Tumben Tuan Alfonzo mengajak kemari. Mungkin Bos tak ingin sendirian setelah melihat hantu. Nah, disinilah kesialan Beno berawal. Dia kalah taruhan dan salah seorang anak buahnya memintanya menyanyi. Sudah tahu suara Beno sengau, dia sengaja meminta pria itu menyanyi. Parahnya Bos meminta dia menyanyi lagu dangdut. “Cukup sekali?” ulang Beno yang ingin memastikannya lagi. Dia terkesiap ketika Alfonzo meliriknya tajam. “Cukup sekali! Sekali saya bilang itu jangan dibantah lagi!” dengkus Alfonzo dingin. Akhirnya dengan kepasrahan tingkat dewa, Beno, pria bertubuh besar yang super duper kaku itu menyanyikan lagu permintaan bosnya. “Cukup sekaliii ... aku meranaaa ... kepedihan cintaaa! Tak akan terulang! Kedua kaliiiik! Hmmmffffthhh ....” Beno gagal melanjutkan nyanyinya karena mendadak bosnya menyumpal mulutnya dengan gulungan tisu yang disambarnya dari meja. Mata Beno membulat heran. Bukannya Bos yang khusus meminta lagu ini? Mengapa sekarang dia justru menghentikan Beno? Apa Beno kurang bagus menyanyikannya? “Saya sedang galau, Beno. Dan suaramu membuat saya pengin bunuh orang saking frustasinya!” ketus Alfonzo. Beno membuang tisu yang menyumpal mulutnya lalu berlutut di depan tuannya. “Maafkan saya, Tuan. Beri saya kesempatan! Saya akan berusaha menyanyi lebih baik. Paling tidak lebih bagus dari yang tadi. Saya tak ingin merusak lagu kesukaan Tuan!” “Lagu kesukaan saya? Maksud kamu lagu dangdut tadi? Beno, dimana pikiran kamu?!” sembur Alfonzo gemas. “Ta-tapi tadi Tuan bilang ... CUKUP SEKALI!” Beno menirukan suara tuannya, sampai ke logatnya yang terdengar geram. ”Saya bilang cukup sekali, saya tak mau melihat hantu konyol lagi!” pekik Alfonzo gusar. Beno terdiam mengetahui kesalahannya. Dia siap menerima hukuman. Beno melangkah gontai, menuju ke pojok ruangan ... menghadap ke tembok. Dia akan berdiri di depan tembok sampai tuannya mengizinkan dirinya duduk! *** Terkadang pada saat weekend, Alfonzo kedatangan tamu istimewa. Siapa lagi kalau bukan keponakan satu-satunya ... Delon. Cowok itu anak kakak wanitanya. Hubungan mereka sangat dekat, lebih mirip teman daripada sebagai paman dan kemenakan. Hari ini Delon berkunjung seperti biasa, dan menemukan wajah jutek pamannya. “Ada apa, Paman? Tak mungkin ada yang membully Paman, kan?” ledek Delon. Alfonzo memutar bola matanya malas. “Seharusnya kamu tahu, pamanmu terlalu perkasa untuk dipermainkan. Hanya kamu yang berani menggoda saya!” Delon menyengir geli. Sebagai sesama lelaki bertipe dingin, mereka saling memahami. Delon tak pernah takut pada pamannya, dia tahu Alfonzo amat menyayanginya. “Bersyukurlah, Paman. Kalau tidak hidup Paman akan sangat membosankan,” balas Delon kurang ajar. Alfonzo terdiam. Apa hidupnya terlalu membosankan sehingga mendadak Tuhan membuatnya bisa melihat hantu? Namun, Alfonzo masih tak yakin yang dilihatnya adalah hantu. Dia harus membuktikannya! “Delon, apa kamu mau ikut Paman melakukan sesuatu yang aneh supaya hidupmu tak membosankan?” “Maksud Paman?” “Ayo temani Paman ke suatu tempat!” *** Setelah menyadari kemana pamannya membawanya pergi, Delon jadi heran. “Tak salah Paman kemari?” kata Delon lirih. “Justru itu saya hanya berani mengajakmu kemari, ini salah sekali! Tapi saya tak bisa menahan rasa penasaran saya.” “Ucapan Paman ambigu sekali,” ledek Delon. “Pokoknya tak usah komentar. Cukup menemani saya dalam diam!” Bagaimana dia bisa diam? Delon bisa merasakan panasnya tatapan para ibu-ibu yang sama-sama menunggu di ruang praktek klenik ini. Mungkin mereka tak pernah bertemu dengan pria tampan, dua orang lagi! Alfonzo terbiasa mengabaikan tatapan penuh hasrat itu, namun Delon sangat risih. “Paman saya keluar dulu,” pamit Delon. Tak dipedulikannya tatapan protes pamannya, Delon bergegas pergi keluar. Delon tak menyadari saat diluar banyak hantu wanita yang mendekatinya dan terkagum-kagum padanya. “Tampan sekali bocah ini.” “Dia daun muda.” “Terus mengapa? Enak kali dibuat lalapan!” “Eh, siapa yang melihat duluan? Dia milik saya!” “Milik saya!” Inul yang melihat keributan itu langsung kepo dan mendekatinya. Matanya membulat melihat Delon. Sepertinya dia pernah melihat cowok ini, wajahnya tak asing baginya. “Tampan sekali. Mengapa hati Inul dag-dig-dur-der melihatnya? Eh, jangan sampai hantu-hantu kecentilan itu mendapatkannya. Kasian cowok itu. Inul harus menolongnya.” Inul memutar otaknya untuk menghalau para hantu wanita kecentilan itu. Dia menjentikkan jarinya begitu menemukan cara untuk memiliki cowok itu sendiri. “Mpok, Mpok ... listen. Inul mau bicara!” Hantu-hantu wanita itu mencibir Inul yang dianggap menganggu keasikan mereka. Sebagian menatap Inul sebagai saingan. “Nul, kalau mau ghibah nanti dulu.” “Benar. Ada yang lebih cakep dari ghibahanmu. Minggir sana!” usir mereka. Inul tak patah semangat. Dia sontak berteriak untuk menarik perhatian mereka. “Cowok ini terkena penyakit KOPID HANTU!” Sepertinya Inul berhasil menarik perhatian mereka semua. Para hantu itu melongo menatap pada Inul. “Apa itu KOPID HANTU?” “Ndak pernah dengar penyakit kayak begitu,” timpal hantu yang lain. “Aku pernah dengar tentang penyakit Covid yang sangat ditakuti manusia. Tapi baru tahu kalau ada penyakit KOPID HANTU. Itu saudaranya toh?” Inul mengangguk dengan serius. “Dia itu covid versi hantu. Jadi kalau terkena hantu-hantu bisa meriang lalu .....” Inul sengaja memasang wajah ketakutan, hingga membuat yang mendengarnya ikut ngeri. “Lalu ... apa?” tanya salah satu dari mereka sambil menelan ludah kelu. Ini saatnya! Inul memasang wajah begitu serius. “Lalu tubuh kita akan semakin transparan lalu ... PLOP! Kita menghilang untuk selamanya!” Spontan mereka berteriak ketakutan. Membayangkan diri mereka lenyap tak berbekas sungguh menakutkan. Buat apa mendapatkan kenikmatan sesaat jika setelahnya mereka koit? “Lebih baik kalian menjauh dari cowok itu, dia membawa wabah KOPID HANTU 13.” lanjut Inul menakut-nakuti temannya. Sepertinya hasutan Inul berhasil, terbukti mereka semua sontak menjauhi Delon. Terkecuali Inul yang semakin mendekat. Salah satu hantu jadi curiga padanya. “Nul, mengapa kamu ndak menjauh? Apa kamu ndak takut kena KOPID HANTU 13?” tanya hantu itu. Inul cengar-cengir dengan wajah sumringah. “Inul sudah vaksin kok. Jadi wes kebal dari KOPID HANTU 13.” Seperti yang diduganya, teman-temannya langsung menanyakan dirinya vaksin dimana. dan mereka semua bergegas pergi setelah Inul memberitahu tempat vaksin abal-abal ciptaannya. Kini Inul dengan bebas bisa menikmati ketampanan hakiki cowok yang menarik hatinya walau dia tak mengenalnya. Cowok itu tampak jenuh. Inul iseng menggodanya supaya dia tak bosan lagi. Tahu yang dilakukan Inul? Dia meniup telinga cowok itu, berkali-kali sambil cekikikan senang. Delon mengusap telinganya. Mengapa dia merasa daun telinganya mendadak semriwing? Bulu kuduk Delon merinding. Tempat ini aneh. Lebih baik dia kembali pada pamannya. Delon memutuskan masuk tanpa sadar dia diikuti oleh makhluk aneh berambut keriting yang cengar-cengir di belakangnya. “Delon, lama sekali kamu pergi! Kalau kamu tak segera kembali, saya berniat ....” Mata Alfonzo membelalak memandang sosok di belakang Delon. Dia melihatnya lagi! Sosok yang menghantui pikirannya belakangan ini! Alfonzo ingin sekali mengabaikannya, namun dia tersadar. Bukannya dia kemari karena penasaran ingin tahu siapa sosok ini? “Kamu disini!” Delon mengangkat bahu dengan acuh. “Kalau tak disini, mau dimana lagi?” “Bukan kamu!” Alfonzo baru ingat, mungkin Delon tak bisa melihat sosok itu. “Ini mungkin aneh, tapi saya melihat ada sosok di belakangmu. Tapi mungkin kamu tak bisa melihatnya.” Merasa penasaran, Delon menoleh ke belakang. “Apa kamu yang dimaksud paman saya?” tanyanya pada seseorang. Alfonzo ternganga seketika. “Kamu bisa melihatnya?” tanya Alfonzo sembari menunjuk pada Inul. Delon mengangguk. “Saya masih belum buta, Paman. Jadi saya bisa melihatnya.” “Jadi kamu bukan hantu!” seru Alfonzo lega. Berarti dia tak gila, dia tak indigo. Dia normal! Inul salah tingkah. Salahnya terlanjur menampakan diri karena ingin Delon melihatnya. Apa yang harus dia katakan? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD