Hal. 9 Teresa Oriel ( Last Wish )

2057 Words
Eits! Sebelum baca ada baiknya jika Kakak TAP LOVE DI SAMPING EPISODE dulu yaa. Satu Love kalian sangat berarti buat penulis/akuu :) Jangan pelit pelit tap LOVE ya kakak, lupp yuu :D Halaman 9   . . . Tuhan seolah mengambil nyawanya hari itu juga, kejadian tadi pagi seolah terngiang kembali di otak Teresa. Rasa sakit yang menjalari salah satu kaki, bahkan derasnya darah mengalir dari sana, tak terasa sama sekali. Teresa hanya duduk, di ambang pintu yang menjadi penghubung ruang tamu dan kolam berenang keluarga mereka. Menekuk lututnya, memeluk tubuh yang masih menggigil. Sudah hampir empat jam Teresa duduk di sana, dengan kondisi pakaian yang basah, rambut tergerai perlahan mengering, kedua maniknya kosong menatap ke depan. Mengabaikan sirene ambulans, dan beberapa orang-orang mulai berdatangan mengunjungi rumah mereka. Tidak ada yang peduli dengan keberadaan Teresa. Dia hanya duduk di sana, air mata yang sejak tadi mengalir bahkan kering terkena hembusan angin. Matahari pagi masih enggan menunjukkan cahayanya, bersembunyi dibalik gumpalan awan berwarna gelap. Tidak ada tetes hujan lagi, semilir angin cukup dingin hari ini. Bagaimana bisa? Hanya itu yang ada di pikiran Teresa, setelah tadi memaksakan diri untuk masuk ke dalam kolam renang, walaupun gaya gravitasi dari kaki palsunya tidak bisa melawan berat air di dalam kolam. Teresa berusaha memeluk tubuh sang Bibi yang sudah dingin, tidak peduli dia hampir tenggelam. Menangis dan sesenggukan, memeluk tubuh Bibi Amari, mendorong agar bisa membawa wanita itu menuju pinggiran kolam. Harapan Teresa masih tersisa, berpikir mungkin saja Bibinya bisa diselamatkan. Beberapa kali mencium bibir sang Bibi, memberikan napas buatan seperti yang Ia sering lihat di televisi, tapi tubuh itu masih sedingin es. Beku, tidak bernapas, bergerak, dengan kedua manik yang tertutup untuk selamanya. Daster bermotif bunga itu bagaikan taburan bunga terakhir yang diterima Bibinya. Baju kesukaan wanita itu, Menangis kembali dan memeluk tubuh Bibi Amari selama hampir dua jam penuh, saat sang ibu dan ayah melihat Teresa di sana. Teresa masih enggan untuk menjauh, sebelum tubuhnya didorong paksa oleh ibunya. Terjatuh, namun berusaha menggapai tubuh wanita paruh baya itu sekali lagi. Di sinilah dia, menunggu, duduk diam, membeku selama hampir berjam-jam. Kondisi tubuhnya lemah, enggan untuk menyantap apapun, toh’ tidak akan ada yang peduli dengan Teresa. Wanita yang biasa menyiapkan sarapan empat sehat lima sempurna untuk Teresa sekarang sudah pergi. Jauh sekali. Manik itu menatap kosong, bibirnya merengut, menahan tangisan. Menekuk lutut dan memeluk tubuhnya makin erat, Teresa menundukkan tubuhnya, menyembunyikan raut wajah itu sebaik mungkin. ‘Tere tidak boleh menangis, tidak boleh, Bibi tidak ada di sini,’ Untuk apa dia menangis? Tempatnya bersandar sudah tidak ada. Tempat Teresa meluapkan semua amarah, kesedihan yang selama ini Ia terima dari keluarganya sendiri. Semuanya menghilang sekarang, untuk apa air mata ini ada? “Bibi,” Suaranya bahkan terlampau serak karena berteriak sejak tadi pagi. Mengingat kembali sensasi dingin memeluk tubuh Bibi Amari, aroma parfum khas wanita itu yang perlahan hilang ditelan dinginnya air hujan, wajah pucat pasi, dan bibir merah yang biasa tersenyum padanya berubah biru. “Bibi kenapa pergi ninggalin, Tere?” Entah bertanya pada siapa, membungkukkan tubuhnya makin dalam. Gigitan bibirnya kali ini meninggalkan jejak darah, Teresa tidak peduli lagi. Kakinya masih meneteskan darah segar, kalau dia mati di sini. Mungkin Teresa bisa menyusul Bibi Amari. . . . Di tempat lain- “Hoekk!!! Hoekkkk!!!” Suara muntahan terdengar keras, beberapa kali keluar dari bibir wanita bertubuh ramping tersebut. Menumpukkan kedua tangannya pada wastafel. Wajah cantik yang biasa dihiasi make up mahal itu kini nampak pucat. Napasnya terengah begitu mengingat kembali kejadian hari ini. Mengambil keputusan dalam waktu singkat, terbuai dengan sentuhan suaminya. Sofia mengambil jalan terakhir. Perlahan mengangkat kepala, menatap pantulan raut wajahnya di depan sana. Pucat dan nampak ketakutan, kedua maniknya masih buram menahan agar tetesan air mata itu tidak jatuh lagi. Salah satu tangannya memukul keramik wastafel dengan sangat keras, “Kenapa Bibi tidak mau mendengarkan permintaanku?!!” teriak Sofia frustasi. Merasakan tetes bening kembali mengalir tanpa Ia sadari, Sofia berdiri. Menangis dengan wajah penuh emosi. Wanita paruh baya yang selama hampir bertahun-tahun hidup bersamanya. Sosok paling dewasa, dan bisa menghadapi tingkah kekanakkan Sofia, wajah teduh dan senyuman itu masih bisa Sofia ingat dengan jelas. Berbeda saat terakhir kali mereka kembali bertatapan. Bukan raut takut yang Sofia lihat, walaupun tahu ajal sebentar lagi akan menjemputnya. Kedua manik yang menatapnya dan Mark dengan teguh, seolah tidak ingin mengubah keputusan. Bibi Amari lebih memilih mati daripada menyetujui rencana mereka untuk menyiksa Teresa. “Kau begitu bodoh, Bibi!! Bodoh sekali!!” umpatnya sekali lagi. Membasahi kedua tangan, membersihkan wajahnya yang pucat sekali lagi. Tangisan itu tidak boleh dilihat oleh siapapun. Ini keputusan Sofia. Dia tidak boleh lengah. Perlahan menyeringai, memikirkan kembali bahwa setelah ini dia akan kembali mendapatkan kehidupan mewah yang sempat Ia tinggalkan selama beberapa minggu. Hanya dengan mengorbankan satu orang saja, Sofia rasa tidak akan begitu berpengaruh. “Dengan ini aku tidak perlu lagi berurusan dengan gadis pincang itu,” Tidak ada alasan lagi untuk Teresa berada di sini.  Teresa harus pergi, meninggalkan mereka. Setelah itu kehidupan Sofia akan sempurna. “Hanya ada Rasi dalam hidup kami, tidak ada pengganggu lagi.” Perlahan tertawa sendiri, membayangkan bagaimana nikmatnya hadiah yang diberikan laki-laki itu. Menghentikan tawanya sekilas, Sofia kembali menatap pantulan dirinya di depan kaca. Senyuman itu menghilang sesaat, “Terimakasih Bibi, pengorbananmu tidak akan aku sia-siakan.” Digantikan sebuah seringai lebar, hati Sofia telah sepenuhnya termakan oleh iblis. . . . Mendengar suara kecil Rasi, Teresa menengadahkan wajahnya perlahan. Menatap sosok adiknya tengah berlari-lari dengan beberapa anak-anak. Mereka tertawa di dekat kolam renang, seolah tidak tahu apa yang terjadi hari ini. Ia masih duduk di sana, menatap kosong. Rasi tertawa sambil membawa sebatang permen besar, memeluk boneka kelincinya. “Rasi, kok rumahmu ramai hari ini?” Seorang anak laki-laki bertanya tiba-tiba, menghentikan langkah Rasi. Adiknya masih berjalan mendekati kolam renang, dengan sengaja menendang air di sana. Menatap langit yang masih pucat. “Hm, Rasi kurang tahu. Sepertinya Bibi Amari meninggal tadi pagi,” jawabnya enteng, menghisap permen sekali lagi. Saat wajah manis itu berbalik, tak sengaja kedua manik mereka bertemu. Rasi menghela napas sesaat. Teresa tidak tahu kalau kalimat sang adik selanjutnya justru mampu menaikkan emosinya, “Rasi sih tidak terlalu sedih kalau Bibi meninggal, soalnya Bibi kan hanya pembantu di sini.” Lanjut gadis kecil itu. Tubuh Teresa menegang, tanpa sadar mengepalkan kedua tangan, merasakan urat-urat di pelipisnya mulai nampak jelas. “Lagipula Rasi juga sudah bosan dengan Bibi Amari, mungkin karena itu Tuhan mengambil Bibi pergi dari sini ya?” Satu kalimat yang polos terucap dari bibir seorang gadis berumur delapan tahun. Poloskah atau anak itu memang sengaja, berkata tepat di depan Teresa, dengan sebuah seringai tipis dan pandangan merendahkan. “Hahaha! Benar-benar!! Bibi Amari itu kadang-kadang bau obat menyengat!!” “Aku juga tidak suka!! Bibi terlalu kuno, dan penampilannya juga kotor!” Kalimat terakhir Rasi sanggup memutus kesabaran Teresa, amarahnya tiba-tiba meluap. Ditambah lagi saat semua anak-anak justru mendukung semua ucapan sang adik. Menggunakan semua kekuatannya, bangkit, mengabaikan rasa sakit di kaki, dengan darah menetes menjadi penanda jejaknya di tempat itu. Berlari cepat menghampiri Rasi, tanpa basa-basi menarik kerah baju adiknya. Mendorong Rasi menjauh dari kolam, “Ah!!” gadis kecl itu berteriak sakit, merasakan pantatnya menyentuh keramik, permen di tangan Rasi pun ikut jatuh ke dalam kolam. Tidak hanya itu, sebelum merespon gerakan Teresa. “Apa yang kakak lakukan-” Satu pukulan melayang, tepat mengenai pipi Rasi. Teresa memukul wajah adiknya cukup kencang. Maniknya berkilat penuh amarah, “A-apa-apaan dia!! Hei, lepaskan Rasi!” “Menjauh dari Rasi, gadis pincang!!” Beberapa anak mulai menghampiri Teresa, bergerak hendak menjauhkan Teresa dari atas tubuh Rasi. Tidak sadar bahwa mereka baru saja membangunkan macam tertidur, Teresa membalikkan tubuhnya, berdiri kembali. Seolah tidak takut berhadapan dengan lima orang anak-anak di depannya. Air matanya perlahan kembali menetes, Teresa menggigit bibir bawahnya kuat, kedua tangan itu mengepal kencang. “Kalian berani mengatakan itu pada Bibi,” Suara paraunya terdengar berat, “Beraninya kalian menjelek-jelekkan Bibi di depanku!” Satu teriakan terakhir, Teresa merasakan satu pukulan memukul pipinya. Tidak cukup membuat tubuh gadis itu jatuh, Ia hanya terdorong mundur. “Lho!! Kenapa kau tidak jatuh!!” “Serang dia!!” Teresa tidak suka, siapapun mengejek Bibi kesayangannya. Wanita yang sudah Ia anggap sebagai ibunya sendiri. Menggertakkan gigi, tubuh Teresa kembali mengambil ancang-ancang. Dia tidak takut! Siapapun yang berani melawannya, Teresa tidak akan menyerah. “KALIAN JANGAN BERANI-BERANINYA MENJELEKKAN BIBIKU!!” teriaknya menggelegar, menerjang anak-anak kecil yang berusaha menghabisinya. Kali ini tidak ada lagi yang membelanya, memeluk tubuh Teresa dengan erat dan hangat. Mulai sekarang, Teresa harus hidup berdiri dengan kekuataannya sendiri. Tanpa pegangan, hanya menggunakan topangan kaki palsu. Gadis kecil itu berteriak kencang. . . . Berakhir membuat semua anak-anak itu terluka dan menangis pada orangtua mereka. Teresa dipaksa masuk ke dalam kamarnya, saat sang ibu datang dan mendapati Rasi terluka. Wanita itu menampar pipi Teresa keras, kedua manik Sofia memerah menahan amarah. Memeluk Rasi dan melindungi gadis itu. Mark tanpa basa-basi langsung menyeret tubuh Teresa masuk ke dalam kamar. Memaksa gadis itu masuk dan mengunci pintu kamar secepat mungkin. “Kau benar-benar tidak bisa diatur, anak sialan!!” Tidak lupa mendapat umpatan amarah dari sang ayah. Teresa bergegas bangkit, memukul pintu kamarnya berkali-kali. Dia yang biasanya patuh dan menurut semua perintah kedua orang itu kali ini memberontak. “Ayah, ibu buka pintunya!!!” Hari ini jenazah Bibi Amari akan dikremasikan, itu artinya hanya sekarang saja Teresa bisa melihat sang Bibi untuk terakhir kali. “Ayah, buka pintunya!!!” teriak Teresa menggelegar, diringi isak tangis saat mengingat sosok paruh baya itu. “Diam di sana dan renungi perbuatanmu!!” “Tere, tidak mau, Ayah!! Biarkan Tere keluar!!” Bahkan laki-laki itu tidak melihat luka putrinya sama sekali. Mark hanya menyeret paksa tubuh Teresa, tanpa memberikan pengobatan cepat, darah yang mengucur dari kaki palsu Teresa perlahan makin merembes. Tubuh Teresa tidak mampu menahan rembesan darah itu, merasakan kakinya lemas seketika. Teresa terjatuh, dengan kedua tangan yang masih setia memukul pintu. “Ayah!! Ayah, buka pintunya!! Tere, mau lihat Bibi!! Ayah!!” teriaknya frustasi. Mendengar langkah kaki tegap itu menjauh dari kamar, tangisan Teresa merembak. “AYAH!!!” Tidak ada yang peduli dengan teriakannya. Teresa terjatuh, merasakan pusing di kepala, tubuh menggigil dan lemas akibat kehilangan banyak darah. Tak perlu waktu lama, karena detik berikutnya, saat teriakan gadis itu makin pelan. Tubuh Teresa ambruk. . . . “Selamat ulang tahun, Nona Teresa,” “Bibi akan selalu ada di samping Nona, apapun yang terjadi.” “Tersenyumlah. Jangan biarkan orang-orang itu melihat wajah cantik Nona kotor oleh tangisan.” “Mimpi yang indah, Nona kecil Bibi.” Satu kalimat terakhir sang Bibi terngiang setiap hari, tiap jam, tiap detik Teresa memejamkan kedua maniknya. Penghormatan terakhir yang ditujukan untuk sang Bibi, Teresa tidak bisa menghadirinya. Melihat sosok wanita itu pergi untuk selamanya. Teresa justru terkurung dalam kamarnya. Tanpa ada siapapun yang bersedia untuk mengetuk pintu kamar, menenangkan, dan duduk di samping Teresa. Menjadi tempat bersandar gadis kecil itu. Dia kini sendiri di tempat ini. Hidup bergantung dengan topeng senyuman yang selama ini Bibi Amari ajarkan padanya. . . . Di tempat lain. Laki-laki paruh baya itu memperhatikan dengan seksama foto-foto yang baru saja dikirimkan Mark hari ini. Latar kolam renang dengan kilat cahaya, di bawah hujan deras, Teresa Oriel nampak menangis, memeluk tubuh seorang wanita paruh baya. Satu desahan terdengar, menyimpan foto tersebut di dalam kotak berwarna kecoklatan, “Maafkan aku gadis kecil,” Suara baritonenya terdengar berat, menyender pada punggung sofa dan menegak segelas alcohol di depannya. Menghiraukan dentum musik dansa yang kini memenuhi seluruh ruangan. “Aku tidak menyangka mereka akan melakukan ini-hh-keluarga gila itu,” Dibalik topi berwarna kusam itu, setetes titik bening jatuh dari pelupuknya. Bergumam tipis, terlarut dalam aroma alcohol di dalam ruangan, “Maaf, gara-gara aku kakak harus mengorbankan nyawa,” Malam itu, ditemani music dansa yang kencang, laki-laki paruh baya itu kembali mengingat sekilas percakapan yang Ia bicarakan pada seseorang. . . Beberapa tahun sebelumnya- Sosok yang paling Ia kenali, “Kita harus bisa membongkar kebusukan keluarga itu, Kak! Mereka sudah membuat keluarga kita seperti ini!” Menggebrak meja dengan kasar tidak membuat wanita di depannya panik ataupun marah. Sosok itu hanya mengangguk kecil. “Aku paham maksudmu, tapi kita harus bersabar. Selama Teresa masih ada di sana, kita tidak bisa bergerak bebas.” “Sudah kukatakan, apa pentingnya gadis kecil itu bagi rencana kita?! Tinggalkan saja dia, hancurkan semua keluarga itu sekaligus!” Mendapat satu gelengan kecil, sang kakak justru tersenyum teduh, “Aku tidak bisa membiarkannya ada di sana lebih lama, Carafal. Kita harus membawa Teresa pergi, tempat itu terlalu kotor bagi anak kecil sepertinya.” Laki-laki itu berdiri tegap, sekilas menggenggam gelas kecil di tangannya, hendak melempar ke sembarang tempat. Tapi begitu melihat wajah sang kakak masih menampakkan raut teduhnya. Ia langsung mengurungkan niat, mengalihkan wajah dan beranjak pergi. “Terserahmu saja!” Siapa yang menyangka bahwa percakapannya setelah bertahun-tahun tidak bertemu justru menjadi kali terakhir mereka saling bertukar pendapat. Keraguan besarnya untuk mengambil Teresa dari tempat itu.    . . Carafal Hanker Sandreas, manik berwarna hitam legam itu menatap kosong. “Aku masih belum siap menerimamu, gadis kecil.” Berbisik entah pada siapa. Ia membutuhkan waktu, dan rencana yang matang sebelum bisa membawa gadis itu ke tempat ini. Setidaknya sampai hati Teresa mampu menerima beban tambahan yang harus Ia tanggung mulai hari ini.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD