Hal. 12 Teresa Oriel ( Take that Hand )

2216 Words
Eits! Sebelum baca ada baiknya jika ingin up setiap hari, bolehlah kakak TAP LOVE DI SAMPING EPISODE dulu yaa. Satu Love kalian sangat berarti buat penulis/akuu :)  Untuk yang belum tahu Love, maksudkuu bentuk jantung di sebelah episode masukann ke librarymu yaa kakak, Thankyouuu :*   Halaman 12  . . . Hujan masih turun membasahi Jakarta malam ini, semakin larut. Entah sudah berapa jam dia duduk tanpa berpindah sama sekali dari posisi awal. Seolah tidak memiliki kekuatan untuk bergerak, manik hazelnya menggelap. Entahlah, Teresa sudah terlalu lelah, hanya untuk menangis, berteriak atau bahkan mengumpat. Tangannya sakit karena berkali-kali melempar batu. Sudah pukul berapa kira-kira? Suasana di tempat ini sangat sepi, tidak ada mobil lalu lalang, hanya ada dia sendiri. Ditemani hujan, dan beberapa pendar lampu jalanan berwarna orange. Rambut berantakan, baju robek, dan kotor, kaki palsu yang mungkin sebentar lagi akan mengkarat karena terkena air terlalu sering. Teresa tidak peduli. Kalaupun dia mati di sini, siapa yang akan menangis? Menundukkan pandangannya, menatap beberapa tetes darah mengalir dari kaki palsunya. Ah, dia terluka lagi. Setelah itu apa? Teresa harus menangis dan merengek? Pada siapa? Menengadahkan wajah sekali lagi, menikmati tetesan air hujan yang mengenai seluruh tubuhnya. Terasa sakit, menusuk kulitnya. Dingin, membuat kulit Teresa perlahan menggigil beku, angin yang kencang seolah mendukung derasnya hujan. Saat beberapa petir terdengar, “Hyaa!!” Teresa reflek berteriak takut, tubuhnya gemetar. Berusaha menutup telinga dengan kedua tangan. Walaupun dia pasrah, jika dihadapankan dengan petir dan kilat, Teresa sangat takut. Mengingat kembali kejadian malam itu. “Hyaa!!! Hentikan!!! Hentikan!!” teriak Teresa semakin kencang, tubuhnya gemetar, berusaha untuk sekedar menghindar dan mencari tempat yang teduh. Tapi tidak ada, hanya beberapa pohon yang besar ada di sekitar Teresa. Benar-benar tempat yang terpencil, jauh dari kota, tak ada siapapun yang lewat. Teresa sendirian. Berteriak setiap kali petir menyambar sangat dekat dengan posisinya. “Huaa!! Hentikan!! Hentikan!” “Bibi!! Tolong, Tere!” Memanggil nama sang Bibi berharap kalau wanita itu datang menemuinya. Tentu saja hanya dalam mimpi, tubuh Teresa menggigil kuat. Manik hazel itu menyipit sekilas saat merasakan sesuatu menyorot matanya. Mengaburkan pandangan dengan cahaya yang sangat silau. Siapa? Tidak bisa melihat sama sekali, menghentikan teriakannya. Mendengar beberapa suara kecil, bahkan derap langkah yang bercampur dengan genangan air hujan. Teresa masih duduk di posisinya, tidak bisa berdiri. “Kau tidak apa-apa?” Merasakan air hujan yang tadi tepat mengenai puncak kepalanya perlahan hilang, sesuatu menghalangi hujan itu, mengembalikan penglihatan Teresa sekali lagi. Semakin jelas, Teresa berusaha membuka kedua matanya. Satu pertanyaan yang terdengar makin jelas, suara seorang laki-laki? Saat mencoba mengangkat wajahnya. Teresa sama sekali tidak sadar kalau sosok itu sudah mensejajarkan tubuh dengannya, menatap lekat gerak-gerik Teresa. Sosok laki-laki dengan rambut panjang yang hampir menutupi kedua mata, berpakaian casual. Satu kacamata berwarna coklat yang menghalangi kedua matanya, sedikit bulu-bulut tipis di sekitar dagu. Alis Teresa tertekuk bingung, Tidak bisa menjawab, hanya diam dan menatap takut. Sosok itu menghela napas sekilas, tanpa senyuman, “Kau ingin tetap berada di sini atau ikut denganku, gadis kecil?” Memberikan sebuah pertanyaan tiba-tiba. Entah akan mempengaruhi hidup Teresa atau tidak, maniknya mengerjap polos. Tidak begitu mengerti. Masih nampak waspada. “Paman, siapa?” Teresa sudah lelah bersikap polos, tidak mengetahui apa-apa dan berakhir dibohongi berulang kali. Mempertahankan wajah dinginnya, satu topeng yang Ia miliki dan jarang Teresa perlihatkan pada siapapun. Awalnya Teresa bahkan ingin membuang topeng itu, memasang senyuman yang selalu diingatkan sang Bibi padanya. Tapi setelah kejadian malam ini. Teresa terlanjur lelah, memasang wajah waspada. Meringsek tubuh kecil itu dan menjauh, “Saya tidak kenal, Paman.” Meskipun dirinya merasa familiar dengan tubuh tegap di depan sana. Dia masih ragu. Sosok itu menggosok dagunya sekilas, “Hm, kau lupa denganku rupanya. Wajar saja, sudah hampir dua tahun kita tidak bertemu,” Dua tahun? Kepala Teresa langsung terasa sakit, mengernyitkan alisnya. Ia menggigil hebat, selama hampir beberapa jam berdiam diri di bawah guyuran hujan. Sekuat apapun tekadnya, tubuh kecil Teresa pasti akan memberontak. “Si-siapa?” Teresa perlahan semakin ingat, saat kedua matanya semakin buram. Kepala itu berdenyut keras, Saat tubuh laki-laki di depan sana kembali mendekatinya. Kali ini dengan sebuah senyuman tipis. “Bagaimana kalau kita bicarakan ini di tempat teduh, gadis kecil?” Melepas kacamata yang menutupi kedua matanya, memperlihatkan sepasang manik berwarna hitam kecoklatan, laki-laki paruh baya yang cukup tegas. Dalam tampilannya yang sedikit kumal namun kasual, ternyata dibalik rambut panjang itu tersembunyi wajah maskulin yang tampan. Tubuh Teresa makin lemah, ada rasa rindu saat melihat wajah laki-laki itu, kemiripannya dengan seseorang. Pandangan itu makin buram, “Ugh, Pa-paman mau bawa saya kemana?” ujarnya sedikit terbata, menahan dingin yang menusuk kulit. Berusaha untuk tetap bertahan. Tidak bisa, sakit kepala ini hampir membuat Teresa tumbang, saat pandangan Teresa makin mengabur, sekilas gadis itu dapat melihat bagaimana wajah paruh baya di hadapannya nampak menekuk dan tersenyum pedih. Teresa tumbang, hampir saja jatuh membentur aspal sebelum kedua lengan sosok di depan Teresa menangkap tubuh mungil itu secepat mungkin. Melindungi dari derasnya hujan. Memeluk tubuh Teresa, dengan helaan napas perlahan. Sosok itu menatap langit yang masih gelap, Berusaha menahan amarahnya, “Aku tidak pernah meminta mereka meninggalkan anak ini di tempat terbuka.” Bangkit kembali, menggendong tubuh Teresa yang masih lemas, mengajak gadis itu ikut kembali ke tempatnya. Berapa harga yang Ia berikan untuk mendapatkan Teresa? Semua itu tidak penting lagi, mengetahui satu rencananya sudah berhasil. Carafal Hanker Sandreas tersenyum puas, menyeringai dibalik payung berwarna kehitaman. Satu rencana yang memerlukan waktu bertahun-tahun, bahkan mengambil nyawa kakak perempuannya. Code Name : Johan, tidak ada yang tahu nama aslinya selama ini. Laki-laki yang sudah hampir lelah mengejar bayangan keluarga Mataniel sampai saat ini. Siapa menyangka kalau ternyata akan ada setitik cahaya terang memberi Johan harapan, tentu saja dengan satu tragedy sebagai hadiahnya. . . . Rasi masih duduk diam di belakang, menundukkan wajahnya, diam-diam gadis kecil itu melirik ke belakang kaca. Memastikan apa sang kakak masih ada di sana. Tentu saja tidak, mereka sudah terlalu jauh meninggalkan Teresa di sana. Hujan yang sangat lebat mengguyur Jakarta. Lampu penerangan jalan yang mereka lewati pun nampak redup. Tidak seterang di perkotaan. Tempat sepi, sedikit kendaraan berlalu lalang. Satu pemikiran Rasi terlintas, meremas kedua tangannya. Nampak tidak tenang selama beberapa saat, kedua manik bulat itu menatap sosok ayah dan sang ibu yang nampak sibuk berbicara. “Kau yakin tidak ada orang lain di sana?” Suara ibunya mendahului. Sofia nampak sibuk menggosok rambutnya dengan handuk, setelah hujan-hujanan mendorong tubuh Teresa keluar dari mobil. Mengajak Rasi untuk ikut melakukan hal tadi. “Tentu saja, hanya dia yang tahu posisi Teresa sekarang. Tidak ada yang lewat, bahkan satu kendaraan pun, jadi kita aman.” jawab Mark santai, terfokus pada jalanan. Bisa Rasi rasakan bagaimana aura yang dikeluarkan mereka berdua nampak berbeda dibandingkan beberapa hari lalu. Bahagia dan tenang. Apa karena kak Teresa tidak ada di sini lagi? “Ibu,” Sedikit gugup menyuarakan pendapatnya. “Hm, ada apa, Rasi?” Wanita di depannya masih sibuk menatap kaca kecil di atas sana, memperbaiki penampilan dan make upnya. “Kita benar-benar meninggalkan kak Tere di sana?” Setengah merengut, meskipun sang ibu sering sekali mengajari Rasi untuk bersikap dingin, dan menganggap bahwa Teresa adalah orang paling tidak penting di rumah mereka. Tetap saja, batinnya yang masih polos ragu, “I-ini kan sudah gelap, jadi-” “Rasi,” Suara berat ayahnya tiba-tiba menyahut singkat. Menyebut nama penuh penekanan, tubuh Rasi menegang tanpa sadar. Merasa takut, saat lampu jalanan berwarna merah, mobil yang dikendarai laki-laki itu berhenti. Hening di dalam sana. Rasi menundukkan wajah takut, tidak berani bicara. “Jangan menyebut nama gadis itu lagi mulai hari ini, mengerti?” ujar Mark singkat. “A-Ayah, tapi kan-” “RASIEL AINSLEY!!” Napas Rasi terengah, tubuhnya makin tegang, merasakan air mata menggenang di pelupuknya. Rasi reflek menggigit bibir bawahnya, ketakutan, dan bungkam. Pertama kali, sosok tegap paruh baya itu membentaknya. Tidak bisa mengatakan apapun lagi, Rasi menunduk. Sementara Sofia, memperhatikan gerak-gerik putrinya. Sedikit iba, perlahan menenangkan sang suami dengan sapuan lembut di lengan. “Sudahlah, Mark. Rasi, belum mengerti apapun. Setelah dewasa nanti dia pasti paham, untuk siapa kita melakukan ini. Amarah Mark seolah ditekan, raut masam yang Ia perlihatkan tadi perlahan menghilang. Laki-laki itu mendesah panjang, “Mulai sekarang ajari dia dengan benar, Sofia.” Sofia tersenyum kecil, “Tentu saja,” Menolehkan wajahnya dan menatap Rasi. “Akan aku pastikan Rasi kita tumbuh menjadi gadis yang sempurna.” Mengakhiri kalimatnya, wanita itu sama sekali tidak melihat bagaimana ekspresi yang diperlihatkan Rasi sekarang. Wajah yang pucat dan takut, Rasi memeluk tubuhnya sendiri. Dia harus bertahan di tempat ini. . . . . Tubuhnya terasa panas, dentum music yang tidak Ia kenali terdengar cukup keras. Teresa mengerang dalam tidurnya, meringsek beberapa saat. Saat music-musik itu semakin terdengar, “Bagaimana keadaannya?” Beriringan dengan suara laki-laki terdengar familiar, alisnya mengernyit bingung. Siapa? Dibarengi dengan jawaban singkat, “Tubuhnya panas, kemungkinan dia demam karena terlalu lama di luar, apalagi hujan-hujan seperti ini.” Suara wanita kali ini terdengar mengalun. Satu benda menempel di keningnya, ditempatkan dengan hati-hati, dingin dan nyaman. Tercium aroma lavender di dalam ruangan. “Ungh,” Mengerang tanpa sadar, mengagetkan kedua orang di dalam sana. “Sepertinya sebentar lagi di sadar, kau ingin menjaganya atau aku saja?” Percakapan dua orang itu semakin lama terdengar jelas. Satu desahan panjang, “Hh, aku saja. Ada yang harus kubicarakan dengan gadis ini,” “Hm, baiklah kalau begitu.” Sosok wanita bertubuh ramping, dibalut dengan kemeja berwarna kecoklatan dan jas putih ciri khasnya, rambut tergulung rapi, make up yang natural nampak menghiasi wajah cantiknya. Kedua manik kecoklatan itu menatap sosok tegap laki-laki yang masih berdiri di dekat tempat tidur. Fokus memperhatikan Teresa. Tidak sadar bagaimana wanita cantik di depannya perlahan bangkit dari tempat tidur, menaruh beberapa alat kesehatan, dengan sebuah seringai tipis. “Carafal,” “Hh, sudah kukatakan jangan sebut nama itu. Kau ingat kan namaku sekarang, Claire?” Manik Johan menatap wanita itu tajam. Sementara sosok Claire Blasatra, mengibaskan rambut bergelombangnya, mencoba berjalan mendekati Johan. Umur mereka tidak terpaut jauh, dan wajah Johan masih sangat tampan di usianya yang menginjak tiga puluh tahun. Semakin mendekat, dengan sengaja menempelkan tubuh mereka satu sama lain. Pandangan Claire melirik nakal, menggigit bibir bawahnya nekat. Salah satu tangan bergerak menggerayangi d**a bidang Johan, jemari lentik itu menekan beberapa titik. “Bagaimana kalau sambil menunggu anak ini sadar, kita bermain sebentar?” Kata bermain tentu saja memiliki arti tertentu. Manik Johan melirik bagaimana Claire sengaja menempelkan kedua d**a besarnya beberapa kali. Laki-laki itu mendesah panjang, “Kau tidak malu melakukannya di sini?” ujarnya setengah bercanda. Mengejek sekilas, Claire seolah tidak peduli. Mengendikkan bahunya dan kembali memeluk tubuh Johan. “Hm, aku tidak peduli. Toh tempat ini juga memang digunakan untuk hal itu kan?” Menyeringai nakal, siapa yang menyangka bahwa dokter cantik anggun di mata semua orang, jika berdekatan dengan Johan. Claire mampu membalikkan sifatnya, menjadi wanita nakal yang lebih dulu bergerak menggodanya. Menggeleng kecil, dengan pelan mendorong tubuh Claire, “Kau bisa mencari pemuas hati di bawah sana, jangan di kamar ini.” Tukas Johan singkat. Wanita itu masih tidak terima, wajahnya merengut. “Aku hanya mau denganmu, Johan!! Tidak ada yang sempurna sepertimu, semua laki-laki di sini kebanyakan kakek tua, kau paham kan?! Aku tidak suka!” Johan sekali lagi mendengus, kali ini bergerak mendorong pundak Claire agar berjalan menjauh dari kamar. “Hh, baiklah, lain kali akan aku pesankan laki-laki tampan dan muda untukmu. Mau apa lagi, hm? Tempat ini kubuat sebagai pelepas stress bagi para petinggi busuk itu, jangan protes lebih banyak lagi.” “Eh! Tunggu dulu, jangan dorong aku!!” Memberontak dan tidak mau, Claire menolak untuk pergi. “Kau sendiri kenapa mengajak gadis sekecil itu datang ke sini?! Segila apa pikiranmu, Carafal?!” Johan mengerutkan kening sekali lagi, mendorong Claire semakin cepat. Berdiri tepat di ambang pintu, “Sudah kubilang jangan panggil aku dengan nama itu,” Mengakhiri kalimatnya tanpa memberi jawaban pasti pada Claire. Johan menutup pintu kamar kembali, cukup keras. Mengagetkan sang empunya, “Aish!! Awas saja!! Lain kali akan kubuat kau bertekuk lutut!!” Memperagakan bibir cerewet itu berteriak di luar sana, Johan mendesah panjang. Kembali terfokus pada sosok mungil yang tidur di kamar khusus miliknya. Berjalan mendekat. Johan berdiri di dekat sana, selama beberapa detik menatap Teresa. Gadis itu nampak tidak tenang, bahkan sesekali meringsek, dan merengek dalam tidurnya. Setengah wajah yang ditutupi rambut panjang itu hanya bisa menunjukkan raut sekilas. Mengingat kamar ini tidak terbuat kedap suara, tentu saja suara music di luar sana terdengar. “Hh, kenapa aku harus repot-repot mengambilnya,” Demi satu rencana selama beberapa tahun ini, Johan mendesah panjang. Kali ini mengambil satu kursi dan duduk di dekat Teresa. Menopang dagunya dengan tangan, alisnya terangkat heran, “Aku saja belum punya anak, dan sekarang tiba-tiba kakak memintaku merawat gadis kecil ini?” Ingatan tentang permintaan terakhir kakaknya lima tahun lalu. “Teresa Oriel,” Menggumamkan nama itu pelan, nama yang cantik sesuai dengan wajah Teresa. Kulit sawo matang, rambut kecoklatan bergelombang. Johan mendesah, mengingat kembali bagaimana kondisi Teresa saat menggendong gadis itu. Celana panjang yang tersingkap, memperlihatkan kaki palsu Teresa dengan jelas. “Hanya karena satu hal itu saja mereka menjualmu padaku? Hidup memang berat, Nak.” Johan dari awalm memang tidak berniat memberikan belas kasihan berlebih pada Teresa. Dia hanya ingin menjalankan rencananya, menghancurkan keluarga Mataniel. Merawat Teresa mungkin menjadi satu opsi tambahan untuk Johan. Dia hanya perlu berpikir sekarang, bagaimana menjelaskan ini semua pada Teresa. Apa gadis kecil itu mau menerima penawarannya untuk tinggal di sini. Hidup di bawah tanah, berteman dengan dentuman musik keras setiap hari, bertemu dengan banyak orang-orang yang tidak Ia kenali, dan satu lagi- Salah satu tangan besar itu bergerak perlahan, hati-hati mengelus rambut halus Teresa. Johan, menatap sang gadis kecil dengan wajah teduh. “Kau harus bertahan hidup di sini, Teresa Oriel. Jika perlu, aku akan mengajari semua ilmuku padamu.” Satu-satunya peninggalan sang kakak. Tentu saja Johan tidak bisa membiarkan Teresa. Dia memang berniat memberikan semua ilmunya pada Teresa. Ilmu yang Ia dapatkan dari berbagai macam orang selama bertahun-tahun lamanya. Laki-laki itu membulatkan tekadnya. “Kau tidak boleh tumbuh menjadi gadis yang lemah lagi, Teresa.” Jika perlu, Johan tidak akan segan-segan memberikan banyak topeng palsu pada gadis ini. Teresa Oriel.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD