Bibury, Gloucestershire 1998
Seorang gadis kecil berdiri di depan tumpukan bunga yang tersusun indah mengitari sebuah photo perempuan, anak itu mengenakan pakaian serba hitam, rambut yang berwarna perak sebahu itu terlihat mencolok. Anak kecil itu menatap sedih photo wanita cantik yang ada di depannya, matanya yang berwarna hijau jernih tidak berhenti meneteskan air mata dengan bibir gemetar terus menerus di tekan agar tidak menimbulkan suara.
Leary tertunduk seraya menghapus air matanya dengan kepalan tangan.
Hari ini yang kelam ini adalah ucapara pemakaman ibunya, ibu Leary meninggal setelah tiga tahun sakit parah karena sebuah kecelakaan. Hari ini, perjuangan ibunya untuk kembali sembuh sudah selesai, semua sakit dan deritanya sudah hilang.
Leary tidak dapat menjabarkan seberapa sedih dan hancur hatinya saat ini, bahkan jika meski air matanya sudah mengering, kesedihan masih akan tenumpuk tidak beranjak sedikitpun dari dalam hatinya.
Leary menengok ke belakang, melihat ruangan upacara pemakaman ibunya yang di hadiri segelintir orang saja dan bisa di hitung dengan jari. Sejak pemakaman tadi pagi, tidak ada banyak orang yang datang berkunjung.
Sekali lagi Leary menghapus air matanya, anak itu terlihat kebingungan harus pergi mendekati siapa karena hanya ibunya satu-satunya keluarga Leary.
Bibir mungil Leary terbuka, gadis itu menarik napasnya dengan sesak memikirkan apa yang harus dia lakukan mulai esok tanpa ibunya. Mungkin Leary akan ke panti asuhan atau menjadi gelandangan seperti anak-anak yang lainnya.
Pintu ruangan di depan Leary bergeser ke sisi, seorang wanita paruh baya masuk ke dalam dan langsung melihat ke arah Leary, ekspresi di wajahnya terhalang oleh kipas cantik yang dia pakai, samar Leary dapat melihat ada senyuman di bibi wanita cantik itu.
Dia adalah bibi Willis, satu-satunya saudara ibunya Leary yang dia Leary kenal. Sayangnya Leary tidak begitu menyukai bibi Willis karena dia banyak bicara, sepanjang hari selalu mengomel mencari-cari kesalahan Leary bersama ibunya.
Meskipun begitu, bibi Willis adalah orang yang selama ini memberi makan Leary dan ibunya sejak ibunya terjatuh sakit.
Bibi Willis baru datang berkunjung di siang hari tanpa melihat upacara pemakaman ibunya, hal itu di karenakan sepanjang malam dia berjudi bersama teman-temannya.
Leary menelan salivanya dengan kesulitan, gadis kecil itu kembali melihat photo ibunya yang terpajang. Sekali lagi Leary menghapus air matanya, hatinya di landa ketakutan dan kekhawatiran, namun Leary tidak dapat mengatakannya karena dia sudah berjanji kepada ibunya bahwa dia akan menjadi anak yang kuat.
“Leary,” panggil bibi Willis yang kini sudah berdiri di hadapan Leary. Dalam satu hentakan bibi Willis menggerakan kipas di tangannya untuk menutupi bibirnya yang berwarna merah cerah, namun sorot matanya yang tajam menatap Leary jelas menyiratkan sesuatu yang tidak begitu baik.
“Ada apa Bibi memanggilku?” tanya Leary dengan wajah memaling, Leary masih bisa mencium aroma alcohol dari mulut biibi Willis karena kebiasaannya yang suka mabuk-mabukan.
“Aku turut berduka cita atas meninggalnya Olivia.”
Leary tersentak kaget, anak kecil yang baru berusia enam tahun itu tampak kebingungan dengan perkataan bibi Willis, padahal selama ini bibi Willis adalah orang yang paling sering bersumpah serapah mengharapkan ibunya segera meninggal karena selalu merepotkan dirinya.
“Kau pasti bersedih dan kesepian.”
Leary tidak menjawab, namun gadis itu menatap lembut bibi Willis, matanya yang berwarna hijau cerah itu menyiratkan banyak harapan agar bibi Willis sejenak saja memberinya izin untuk memeluk.
“Sekarang kau tinggal sendirian, tidak ada yang bisa mengurusmu lagi di sini. Karena itu, besok ikutlah denganku ke kota, akan ada seseorang yang ingin bertemu denganmu.”
“Kenapa harus ke kota?”
“Di sana kebahagiaan dan juga kesenangan akan segera menantimu. Besok pagi pakai baju terbaikmu, bawa semua barang-barang, aku akan menjemput pagi-pagi karena kita akan menumpang dulu bersama paman Rowan.”
Leary berkedip beberapa kali, menatap bibi Willis yang kini membalikan badan dan pergi meninggalkan ruangan. Gadis kecil itu terdiam kebingungan tidak mengerti apa tujuan bibi Willis, di sisi lain Leary juga merasa kecewa karena bibi Willis tidak menemani dan menghiburnya sejenak saja.
***
Hari yang tidak pernah Leary harapkan telah datang, bibi Willis datang menjemputnya begitu pagi. Leary hanya membawa sebuah koper kuno dan memakai sebuah dress putih selutut, dress itu adalah pakaian terbaik yang di milikinya karena sejak ibunya mengalami kecelakaan tiga tahun yang lalu, Leary dan Olivia bertahan hidup karena bantuan orang lain.
Kaki Olivia yang lumpuh membuat dia tidak bisa melakukan banyak hal lagi, Olivia hanya menghabiskan waktunya dengan merenung dalam kesedihan.
Bibi Willis membawa Leary pergi naik sebuah truk untuk menumpang ikut menuju stasiun kereta.
Begitu mereka sampai stasiun, bibi Willis segera membawa Leary naik kereta, keberadaan bibi Willis yang berpakaian cantik dan berpenampilan bagus sangat berbanding balik dengan Leary yang ada di belakangnya terlihat kurus kering tidak begitu terurus, siapapun yang melihat mereka berdua, mungkin mereka akan berpikir jika bibi Willis membawa seorang pelayan kecil.
Begitu mereka sudah masuk ke dalam sebuah ruangan pribadi di kereta, bibi Willis segera duduk di sebrang Leary, tangan rampingnya bersedekap memperhatikan Leary yang kini duduk di hadapannya tengah mengatur napas.
Leary terlihat kelelahan karena sejak tadi harus berlarian mengejar bibi Willis sambil memeluk kopernya yang cukup berat.
Penampilan Leary hari ini sangat lusuh, namun kecantikan gadis itu akan mencuri perhatian semua orang. Siapapun akan terus melihat wajah Leary tanpa mempedulikan apa yang melekat di tubuh kurus kecilnya.
“Kita akan melewati perjalanan yang cukup panjang” ucap bibi Willis.
“Ke mana kita sebenarnya akan pergi?” tanya Leary yang sangat penasaran.
“Nanti juga kau akan tahu.”
Leary hanya bisa menunduk pasrah karena bibi Willis masih tidak mau memberikan jawaban kepadanya.
“Leary, nanti jika seseorang bertanya siapa yang menghidupimu, kau harus menyebut namaku. Kau paham?” tanya Willis.
Leary yang tidak mau banyak berbicara hanya mengangguk setuju.
“Apa ibumu meninggalkan barang peninggalan?”
Leary mengambil kopernya dan mengambil sesuatu, anak itu mengeluarkan sebuah kalung berlian dan menunjukannya pada bibi Willis dengan penuh kewaspadaan. Leary takut bibi Willis akan mengambilnya dan menggunakannya untuk berjudi.
Bibi Willis adalah seorang janda dan bekerja sebagai penjual buku, namun sifat buruknya yang sangat suka berjudi dan mabuk membuat bibi Willis terkadang melakukan apapun untuk bisa mendapatkan uang.
Kekhawatiran Leary rupanya tidak terjadi, alih-alih mengambil kalungnya, bibi Willis tersenyum dengan puas lalu berkata, “Bagus, nanti kau tunjukan kalung itu dan photomu bersama Olivia, itu akan sangat berguna.”
“Kenapa aku harus menunjukannya?” tanya Leary yang penasaran.
Sikap bibi Willis terasa berbeda dari biasanya, meski Leary masih kecil, namun karena selama ini bibi Willis sering berbicara dengan suara menyelak dan berkata kasar, hari ini terasa aneh karena tiba-tiba saja bibi Willis bersikap begitu tenang.
“Itu demi kebaikanmu Leary. Mulai besok kau akan banyak makan enak dan berpakaian bagus, karena itu dengarkan permintaanku. Kau paham?”
Masih dengan kebingungan Leary mengangguk.
***
London
Perjalanan yang di lewati bibi Willis bersama Leary berlangsung lebih dari tiga jam, kedatangan pertama Leary ke kota membuat anak itu tidak dapat mengalihkan pandangannya dari pemandangan indah bangunan yang berseni, orang-orang berpakaian serba rapi, Leary terlihat senang seakan itu adalah pemandangan terindah yang baru pertama kali di lihatnya dalam kehidupannya.
Selama ini Leary hanya tinggal di desa, Olivia tidak pernah mengizinkan Leary pergi keluar, dia selalu mengatakan bahwa di luar desa ada banyak orang jahat.
Butuh waktu satu jam dari stasiun kereta untuk bisa sampai ke tempat tujuannya.
Di sinilah Leary dan bibi Willis sekarang, mereka berdiri di depan sebuah rumah besar dan megah, seorang penjaga gerbang menyambut kedatangan mereka tanpa kata-kata karena kedatangan bibi Willis memang sudah di tunggu sejak wanita itu memberikan sebuah surat sepuluh hari yang lalu.
Wajah mungil Leary tidak berhenti bergerak melihat ke sana-kemari, pupil mata gadis itu melebar tidak dapat menyembunyikan keterpukauannya saat melihat taman yang indah dan luas, rumah yang begitu besar melebihi besarnya balai pemerintah di desanya.
Tangan Leary menggenggam erat koper kecil yang di jinjingnya agar tidak jatuh, sejak turun dari kereta Leary tidak melepaskan tangannya dari koper yang dia jinjing. Tidak ada yang berharga di dalam koper itu, namun semua yang dia miliki ada di dalamnya.
Cukup jauh Leary dan bibi Willis berjalan menuju teras rumah, di depan pintu rumah seorang pengawal baru menyambut dan memandu mereka masuk ke dalam rumah.
Kaki mungil Leary sedikit gemetar melihat lantai yang di pijaknya, gadis kecil itu terlihat malu karena sepatunya yang kotor berdebu menginjak lantai mewah.
“Leary” bisik bibi Willis memanggil, seketika Leary mendongkakan kepalanya dan melihat bibi Willis. “Ingat nasihatku tadi, kamu mengerti?”
Leary mengangguk patuh meski dia tidak tahu apa tujuannya yang penting bibi Willis tidak lagi mengomel kepadanya karena saat ini hanya bibi Willis satu-satunya orang yang bisa Leary percaya. Meski bibi Willis sering berteriak dan berkata kasar, bibi Willis tidak pernah memukulnya dan membiarkan Leary kelaparan dengan ibunya. Itulah kebaikan bibi Willis.
Tidak berapa lama pengawal yang memandu berhenti di depan sebuah pintu besar yang menjulang tinggi, pengawal itu mengetuk pintu beberapa kali lalu memutuskan membuka pintu di hadapannya.
“Silahkan masuk” kata pengawal itu mempersilahkan.
Bibi Willis langsung mendorong bahu Leary agar melangkah sejajar dengannya, keduanya segera masuk ke dalam ruangan, begitu mereka masuk pintu du belakang segera di tutup dengan rapat.
Leary menelan salivanya dengan kesulitan, tiba-tiba saja tenggorokannya terasa kering karena gugup.
Sepasang mata berwarna hijau cerah mirip dengannya kini menatap Leary dengan tajam, pemilik mata indah itu kini tengah duduk di kursi kerjanya, memperhatikan Leary dengan sejak anak itu terlihat dari balik pintu.
Pria itu terlihat sedikit kaget namun tetap berekspresi dingin, dia terlihat muda dan berpenampilan sangat elegan.
“Selamat siang Tuan Darrel McCwin” bibi Willis sedikit membungkuk memberi hormat. Leary segera ikut membungkuk mengikuti bibi Willis.
Darrel McCwin tidak menjawab, pria itu hanya menatap Leary tanpa bisa mengalihkan perhatiannya dari anak kecil itu. Pakaian sederhana hampir lusuh itu tidak dapat menghalangi kecantikannya yang mengingatkan dia pada Olivia.
“Dia, anak yang kau ceritakan?” tanya Darrel seraya bangkit dari duduknya dan mengitari meja, pria itu tetap menatap Leary yang kini tertunduk gemetar ketakutan.
“Benar Tuan, dia Leary McCwin, anak dari Olivia, sepuluh hari yang lalu pengacara dan dokter pribadi Anda sudah melakukan tes dna, mungkin sekarang Anda sudah mendapatkan hasilnya.
Pandangan Darrel bertemu dengan mata Leary, mereka saling menatap seperti sedang berkaca, hal itu jelas menyiratkan bahwa mata Leary di turunkan dari Darrel.
“Jika kau membawanya seperti ini, aku tidak perlu melakukan tes dna”
Willis tersenyum samar, “Syukurlah jika Anda menyadarinya.”
Darrel terdiam, wajahnya tidak berekspresi apapun selain menunjukan ekpresi dingin dan tatapan tajam penuh penilaian. “Sayangnya dia sangat mirip dengan ibunya,” komentar Darrel terdengar sedikit menggeram.