5. Kepedulian Kecil

1028 Words
Semua acara telah selesai digelar dan berakhir dengan sangat baik. Pernikahan yang terjadi antara anak tunggal dari kedua pebisnis dirancang dengan sangat megah dan dihadiri oleh orang-orang penting pula. Ada juga teman-teman Sekolah Azel juga teman yang satu agensi model dengan dirinya. Saat ini Azel, dengan pakaian casualnya sedang menatap para pekerja dari wedding organizer yang sedang membereskan peralatan di ballroom hotel tempat ia melangsungkan pernikahan. "Azel, Ayah sama Bunda mau pamit pulang, mereka gak bisa nginep di hotel." Ucap Zavier tiba-tiba yang entah sejak kapan berada di belakang Azel. Azel menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. "Okay, dimana mereka?" "Di kamar kita." Azel tersenyum hambar. "Kita... Heem, kamar kita." Ucapnya lesu seraya berjalan memasuki lorong menuju kamar. Ceklek. "Malam Bunda, Ayah." Sapa Azel seraya memasuki kamar. Disusul oleh Zavier. Nathalie mengusap wajah cantik dari menantunya itu. "Kami pamit pulang yah, kalian istirahat di sini aja dulu, besok Bunda tunggu di rumah. Okay?" Azel menganggukkan kepalanya paham. "Za, jagain istri kamu." Ucap Abimanyu. "Iya," Ucap Zavier. Ketika Nathalie hendak berlalu, Azel menahan pergelangan tangannya. "Ada apa, nak?" "Bunda tidur di sini aja, aku takut." Ucap Azel pelan. Nathalie tersenyum dengan lembut. Lalu mengusap tangan Azel yang kini dalam genggamannya. "Gak perlu takut, kan ada Zavier." Ucapnya. Azel melirik Zavier yang hanya diam dan menatapnya dengan ekspresi yang sulit untuk diartikan. "Kami pamit pulang yah sayang, kalian harus menghabiskan waktu berdua supaya bisa lebih mengenal satu sama lain." Ucap Abimanyu. Akhirnya Azel menurut dan melepaskan tangan sang Ibu mertua. "Baiklah," ucapnya pasrah. "Anak Bunda yang cantik, ingat jangan takut. Kalau butuh sesuatu, kamu minta ke Zavier aja yah..." Ucap Nathalie sebelum pergi. Azel mengangguk. "Kami pergi yah, daah!..." "Daaah!..." Balas Azel. Setelah kepergian Ayah dan Ibu mertuanya, Azel berjalan ke arah sofa dan duduk di sana. Sedangkan Zavier, pria itu tampak berdiri memperhatikan Azel dengan melipat tangan di depan d**a. "Azel, kita--" "Aku lapar." Ucap Azel sembari menyalakan TV. Zavier berjalan ke sudut ruangan, dimana ada telpon di sana. "Mau makan apa?" Tanyanya. "Aku udah pesen go-food, Om." Jawab Azel. "Ok--wait, what? Om?" Zavier memasang ekspresi terkejutnya. "Woah, kau ini... Benar-benar--ck." Azel mengangkat bahu tak peduli. Zavier tersenyum miring, "Okay, kalau gitu... Come here baby girl, don't call me Om, just call me Daddy." Ucapnya seraya berjalan dengan perlahan menghampiri Azel yang duduk dengan santai. Lalu Zavier duduk tepat di samping kanan istri kecilnya itu. "Aku gak takut yah, mau kamu nyosor atau gimanapun." Ucap Azel dengan santai. Zavier tersenyum miring seraya menyandarkan tubuhnya, lalu tiba-tiba saja seseorang mengetuk pintu kamar mereka berdua dengan sangat keras dan terburu-buru. Tok tok tok! Tok tok tok! Zavier berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah pintu. Ceklek. "Sia--" BUGH! Pintu baru saja dibukanya, namun tanpa aba-aba seseorang memukuli Zavier dengan tas miliknya. Melihat hal itu, Azel turut terkejut. Namun ia hanya diam dengan wajah syoknya. "Jahat! Nikah gak bilang-bilang!!" Ujar seseorang tersebut dengan penuh rasa kesal. "Hey tenang... Tenang dulu," Ucap Zavier sembari memegangi kedua bahu tamu tak diundang mereka. Dia Sharllote, sahabat Zavier sejak mereka kecil. Mata Sharllote terlihat sangat sembab seperti sudah menangis selama berjam-jam. "Tenang, okay?" Zavier pun membawa Sharllote masuk ke dalam dan menutup pintu kamarnya kembali. Tanpa memedulikan Azel, Zavier membawa Sharllote ke balkon kamar hotel mereka untuk berbincang. Sedangkan Azel, dia seperti orang b**o yang hanya diam melongo melihat suaminya membawa wanita lain masuk ke dalam kamar. Tapi ya, Azel tidak peduli. Ia hanya penasaran dengan siapa Zavier berbincang dan apa yang dibicarakan sampai-sampai harus menjauh dari dirinya. "Itu pacarnya? Atau temennya? Kalau temen, kok semarah itu. Aih, gimana kalau dia pacarnya? Bisa dijambak-jambak dong gue," Pikir Azel yang membuatnya bergidik takut sendiri. Ting! Ponselnya berbunyi. Azel langsung meraihnya dan sebuah senyuman merekah dengan sempurna. "Abang yang kirim makanannya udah sampe, yuhuu..." Azel berjalan hendak keluar. Ceklek. Ia menyembulkan kepalanya keluar terlebih dahulu. Hening. Sangat sepi dan menakutkan. Itu yang Azel rasakan. Ia kembali menutup pintu kamar dan mengcek jam di ponselnya. "Udah jam 10 lebih... Tapi kok kayak udah sepi, keluarga sewa hotel keseluruhan apa gimana sih!! Kok sepi..." Bingungnya. Azel melirik Zavier yang terlihat sedang memeluk wanita itu. "Monyed! Apa gue minta Room service aja yang bawa--" Kalimatnya menggantung di udara ketika Ojol yang mengirimkan makanan menelponnya. "Halo, i-iya Pak saya ke sana sekarang." Ucapnya. Azel langsung menarik nafas panjang dan memberanikan diri untuk keluar. Menyusuri lorong hotel. Setidaknya dirinya tidak perlu memakai lift karena kamar mereka ada di lantai kedua. Yang Azel harus lakukan hanya menyusuri lorong yang sepi dan Azel benci hal itu. Dia penakut. Sangat. "Tenang... Ah ya tuhan, jantung aku..." Gumamnya pelan. Hussh... Langkahnya membeku ketika angin dingin menerpa leher putihnya yang sensitif. Azel kembali berusaha untuk berjalan. Namun tiba-tiba saja dari jendela yang berada tepat di penghujung lorong, sebuah kilatan muncul. Lalu, DUARR!! "Aaahk!!" Pekiknya ketakutan. Tubuh Azel langsung ambruk. Ia menyembunyikan wajahnya diantara kedua lutut sembari menutupi kedua telinganya. Di sisi lain terlihat Zavier yang sedang menutup pintu kaca ke arah balkon ketika hujan mulai turun. "Gila, kilatnya kenceng banget." Ucap Sharllote seraya duduk di sofa. Ia mengedarkan pandangannya. "Istri kamu mana? Aku mau liat," lanjutnya. Zavier turut mengedarkan pandangannya. Kemudian ia berjalan ke arah kamar mandi dan mengecek keberadaan Azel di sana. Namun tetap tidak ada. "Gadis itu... Ck, kemana perginya dia." Gumamnya pelan. "Shar, kamu tunggu di sini sebentar," ucapnya yang kemudian berlalu dari dalam kamar untuk mencari Azel karena sahabatnya ingin melihat gadis itu. Zavier berjalan menyusuri lorong yang cukup panjang karena kamar mereka berada hampir di ujung, ketika ia hendak berbelok, telinganya mendengar seorang wanita sedang menangis. "S-siapa itu?" Tanya Zavier karena ia tidak melihat siapapun. Zavier memundurkan langkahnya kembali dan ia seketika terkejut. Ternyata itu Azel, ia sedang menangis ketakutan di balik sebuah guci besar. Tak menunggu waktu lama, Zavier langsung menghampirinya. "Azel..." Panggilnya pelan. Tubuh Azel terperanjat kaget ketika Zavier memegang bahu kanannya. "Kamu kenapa?" Tanya Zavier sembari membantu Azel berdiri. Azel masih terlihat panik, keringat yang membasahi pelipisnya sangat banyak, bahkan tubuhnya masih bergetar. Melihatnya seperti itu, Zavier langsung menarik tubuh Azel ke dalam dekapannya. Lalu mengusap punggungnya dengan lembut. "Detak jantungnya sampe sekeras ini. Dia kenapa..." Gumam Zavier dalam hati. "It's okay... Tenang," ucapnya. "Aku takut..." Lirih Azel berucap. Zavier terus berusaha untuk menenangkan istri kecilnya itu. "I'm here, don't be scared." Perlahan tapi pasti, deru nafas Azel kembali teratur, ia sudah mulai tenang. Zavier pun melepaskan Azel dari pelukannya. "Kamu kenapa?" Tanyanya. Azel mengusap keringat yang membasahi area pelipisnya. "A-aku udah gak pa-pa, m-makasih." "Kenapa keluar kamar?" Tanya Zavier. Azel menepuk keningnya. "Aish... Ojolnya pasti udah nunggu lama," Azel berbalik dan hendak berlalu, namun ingatannya akan kilatan tadi membuat langkahnya kembali terhenti. Deg. Zavier menggenggam tangan kirinya. "Aku anter," ucapnya. Merekapun berjalan dengan beriringan. Azel bahkan terus menatap tangan Zavier yang menggenggam tangan kirinya. "Et... Azel sadar!" Ucapnya dalam hati, memperingatkan diri sendiri. Keduanya mulai menuruni anak tangga. Memang tidak terlalu ramai di lobi sana, hanya ada beberapa orang saja yang sedang berbincang. Juga beberapa pegawai WO yang sedang mengambil sisa peralatan. "Itu Ojolnya!" Pekik Azel, ia langsung saja berlari menghampiri Ojol tersebut. Zavier menghembuskan nafas kasar. "Berasa jadi Bapak nemenin anaknya." Gumamnya pelan. ***** Bersambung... Semoga suka... Jangan lupa komentarnya ya...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD